Case BPH
Case BPH
Disusun oleh :
Jesita Silfiana Purnama (07120100087)
Pembimbing :
dr. Gardjito Sipan Sp.U
Retensi urin akut merupakan keadaan darurat dalam urologi. Retensi urin
paling banyak terjadi pada laki-laki dengan benign prostat hiperplasia1. Benign
prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran stroma (otot polos) prostat dan
kelenjar epitel yang menyebabkan pembesaran prostat jinak. Kelenjar prostat
dapat tumbuh sampai 10 kali lebih besar dari kelenjar prostat dewasa yang normal
seiring dengan pertambahan usia. Oleh karena itu 70 % BPH terjadi pada usia 60
tahun keatas2 dan dimulai dari 50 tahun.
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, namun banyak teori yang
menjelaskan terjadinya BPH. Teori tersebut yaitu teori stem sel, teori
Reawakening, keseimbangan esterogen dan testosteron, efek DHT berlebih, efek
GF, dan faktor penambahan usia. Pembesaran prostat sebagian besar berasal dari
zona transisional dan zona periuretral prostat3.
Gejala klinis yang ditimbulkan BPH yaitu gejala obstruksi dan iritasi
saluran kemih. Diagnosis BPH ditegakkan dengan cara anamnesis mengarah pada
gejala prostatismus, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan distensi buli-buli, colok dubur dan pemeriksaan
bimanual (DRE) ditemukan pembesaran prostat4. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan yaitu urinalisis, mengukur sisa urin post miksi, pemeriksaan pancaran
urin, sistogram, BNO IVP, dan TRUS. Pengukuran PSA dilakukan pada usia 50
tahun keatas untuk mengetahui adanya kanker prostat.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu hipetrofi otot detusor, trabekulasi,
sakulasi, diverkulasi pada buli-buli. Dapat timbul hidroureter, hidronefrosis, dan
gagal ginjal. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan pada
buli – buli yang dapat menyebabkan sistitis hingga pyelonefritis. Pengobatan BPH
dimulai dari observasi, medikamentosa, hingga terapi dengan pembedahan.
Pembedahan BPH dapat dilakukan dengan TURP maupun suprapubik
prostatektomi1.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Bpk. S
Nomor M.R. : 32 88 **
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Sragen, 15 / 04 / 1955
Umur : 59 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Antariksa No. 70 Cipedak, Jagakarsa
No. Telepon : 081 293 708 5**
Penjamin : BPJS - Jamkesnas
Pekerjaan : Tukang pacul
Tanggal dan jam MRS : 09/06/2014, pk 11.20
Tanggal Periksa : 09/06/2014, pk 11.20
2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada tanggal 09 Juni 2014, pukul 11.20)
o Keluhan Utama:
Tidak dapat buang air kecil
o Riwayat Kebiasaan:
Pasien menyangkal kebiasan merokok, minum-minuman keras, dan
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
3
o Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah kebawah
namun sanitasi di rumahnya diakui cukup baik.
4
Mulut Tidak ada ulkus, gigi-geligi baik, mukosa lembab. Faring
tampak tenang. Tonsil T1/T1
Thorax Dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak tampak
luka bekas operasi maupun peradangan.
Extremitas Edema (-), deformitas (-), akral hangat, CRT < 2 detik,
sensori baik, ROM aktif dan pasif baik.
5
Anus Rectal toucher :
(Pemeriksaan fisik pada tanggal 15 Juni 2014, pukul 16.25. Hari 1 pasien masuk
bangsal)
Status Generalis: dalam batas normal
Status Lokalis: R. Genitourinaria
Genitourinaria Inspeksi: tidak tampak kemerahan, bengkak, tidak ada
discharge, tidak ada luka maupun luka bekas operasi.
Terpasang DC dengan urin berwarna kuning sebanyak 500
cc, rembesan (-).
6
Skor IPSS: 29 termasuk kategori berat (20 – 35)
8
3. Laboratorium : 10 Juni 2014
TES HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah Rutin
Hemoglobin 13 g/dL P: 13 – 17
Hematokrit 39 % 37 – 54
Leukosit 13.500 /µL 5.000 – 10.000
Trombosit 494.000 /µL 150.000 – 400.000
CT 5’ Menit 2–6
BT 3’ Menit 1–3
2.5 RESUME
Pasien Tn. S, usia 59 tahun datang dengan keluhan retensi urin
sejak 2 hari SMRS. Pasien mengeluh adanya gejala obstruksi yaitu
hesitancy, weak stream, terminal dribbling, straining, intermittency, dan
inkontinensia. Gejala iritatif pada pasien yaitu frekuensi dan nokturia,
namun disuria dan urgensi disangkal. Warna urin kuning. Pasien
menyangkal adanya darah maupun batu saat BAK. Pasien sudah pernah
mengalami hal yang sama sejak 2 tahun SMRS. Pasien mengatasi hal
9
tersebut dengan menggunakan kateter urin setiap gejalanya kambuh dan
digunakan 4-5 hari, lalu dilepas di klinik. Pasien menyangkal adanya
demam, nyeri otot, dan nyeri pinggang.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 9 Juni 2014, NT regio hypogastric
(+), teraba vesika urinaria penuh dan tidak tampak kelainan pada
pemeriksaan genitourinaria. Pada pemeriksaan fisik tanggal 15 Juni 2014,
VU tidak teraba penuh dan terpasang DC. Pada rectal touche teraba prostat
dengan ukuran ± 3,5cm, permukaan rata, dan konsistensi kenyal.
Laboratorium darah menunjukan adanya anemia, leukositosis dan
trombositosis. Pada pemeriksaan USG tampak pembesaran ringan kelenjar
prostat dan rontgen thoraks dalam batas normal.
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Benign prostat hiperplasia
2.7 PENATALAKSANAAN
Tanggal 15 Juni 2014 (Pre Op)
Pasien dipuasakan 8 – 10 jam pre op (Tanggal 15 Juni 2014).
Rencana TURP tanggal 16 Juni 2014, pukul 13.30.
2.8 FOLLOW UP
17 Juni 2014, pukul 19.00
S:
Os. tidak mengeluh apapun. Mual, muntah dan sait kepala disangkal
pasien. BAK (+). BAB (-). Pasien sudah dapat buang angin
O:
KU : sakit sedang, Kesadaran : CM
TD: 120/70 mmHg T : 36,5 ◦C N : 78x/menit RR: 18x/menit
Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT :, faring tenang, tonsil T1/T1
Thorax :
Cor : Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, BU (+), NT (-), timpani pada perkusi.
11
Genitourinaria : terpasang DC (+) Urin kuning (+) sebanyak 300 cc.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2s
A:
Post TURP hari I
P:
o IVFD RL:D5% 2:2
o Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (IV)
o Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
o Inj. Kalnex 3 x 500 mg (IV)
o Inj. Vitamin K 3 x 1 amp (IV)
12
A:
Post TURP hari IV, Faringitis
P:
o IVFD RL:D5% 2:2
o Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (IV)
o Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV) prn
o Inj. Kalnex 3 x 500 mg (IV)
o Inj. Vitamin K 3 x 1 amp (IV)
o Renax 3x1
o Stimuno 3x1
o Troches 3x1
o Terapi mobilisasi
21 Juni 2014, pukul 11.00
S:
Os. tidak mengeluh apapun. Mual, muntah dan sait kepala disangkal
pasien. BAK (+). BAB (+).
O:
KU : sakit sedang, Kesadaran : CM
TD: 120/70 mmHg T : 36,5 ◦C N : 78x/menit RR: 18x/menit
Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT :, faring tenang, tonsil T1/T1
Thorax :
Cor : Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, BU (+), NT (-), timpani pada perkusi.
Genitourinaria : terpasang DC (+) Urin kuning.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2s
13
A:
Post TURP hari VI
P:
o Pasien boleh pulang, dan kontrol hari Rabu tanggal 25 Juni
2014
2.9 PROGNOSIS
- ad vitam : bonam
- ad fungsionam : bonam
- ad sanationam : bonam
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
bersifat asam. Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai
fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid.
Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis,
dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis
46-80% pada waktu ejakulasi. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos.
2.2 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hyperplasia prostat. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan sensitifitas sel
prostat terhadap dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal walaupun jumlah DHT BPH
dan non BPH sama.
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatitif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosteron relatif meningkat. Esterogen meningkatkan sensitifitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis) sehingga umur sel prostat lebih panjang. Estrogen diduga
mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
17
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
2.3 EPIDEMIOLOGI
BPH biasanya asimtomatik, namun dapat menumbulkan gejala
pada usia 50 tahun keatas. Setiap tahunnya lebih dari 400.000 laki-laki di
US melakukan penagangan BPH dengan TURP. Pada usia 55 tahun, 25%
biasanya mengeluh gejala obstruksi prostat, pada usia 75 tahun, 50%
mengeluh pancaran urin lemah. Pada autopsi, 50% laki-laki usia 51-60
tahun memiliki hiperplasia prostat3.
2.4 PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebakan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh
pasienn dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau
lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus[4].
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal[4].
18
Gambar 3.4 Patofisiologi BPH
19
2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Gejala klinis
Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi
uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Hesitancy terjadi
karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra. Intermittency terjadi detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa puas
sehabis miksi akan terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam
buli–buli. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan tidak
lengkap pada tiap miksi sehingga interval miksi menjadi lebih pendek.
Frekuensi biasa terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkuang
selama tidur. Urgensi dan disuria jarang terjadi, dan jika ada disebabkan
oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Inkontinensia bukan gejala khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit–sedikit secara berkala karena setelah buli–
buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli–buli akan
cepat naik melebihi tekanan spingter.
Obstruksi Iritasi
Hesistansi Frekuensi
Intermitensi Urgensi
20
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan
dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Sistem
skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah International Prostate
Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American
Urological Association (AUA). Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan
gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan:
Skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 – 19, dan (3) berat: skor 20 – 35.
BPH dapat menimbulkan berupa gejala nyeri pinggang dan demam
(infeksi/urosepsis). Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering
mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik (Abdomen)
Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE).
Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter ani/refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli- buli
neurogenic, mukosa rectum, keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, konsistensi prostat,simetri antar lobus
dan batas prostat
Colok dubur pada
pembesaran prostat benigna
menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul; sedangkan
pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras/teraba nodul dan
21
simetri.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi, hematuri atau
inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Pengukuran kadar elektrolit, BUN, dan kreatinin
berguna untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal
dapat ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan
pemeriksaan radiologi saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi mengalami
komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat. Serum PSA dapat dipakai
untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika
kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebihcepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih
22
mudahterjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.[10]
23
2.3 Pemeriksaan Radiologis
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis
akibat kegagalan ginjal. Batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikel kandung kemih juga dapat dilihat untuk menghetahui adanya
metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.
25
2.7 TATALAKSANA
1. Watchful Waiting[4]
Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai hal
yang memperburuk keluhannya, misalnya tidak mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman
yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), batasi penggunaan obat-obat
influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedasadan
asin, dan jangan menahan kencing terlalu lama.
26
2. Medikamentosa[5,11]
b. Penghambat 5 α reduktase
3. Invasif Minimal[4,5,7]
2.5 Operasi
Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan
terapi lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi
retrograd (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%).
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang
kecil sering didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior
(terangkatnya leher kandung kemih). Pasien tersebut biasanya lebih baik
dilakukan insisi prostat.
c. Prostatektomi Terbuka[5]
2.8 PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan BPH dapat mengalami perbaikan gejala
dan peningkatan kualitas hidup melalui terapi medikamentosa maupun
operatif. Pada pasien dengan terapi medikamentosa membutuhkan konsumsi
obat terus menerus dan morbiditas utamanya adalah gangguan fungsi
seksual[11].
Banyak pendapat bahwa BPH dapat memicu keganasan prostat namun
sebenearnya BPH bukan merupakan faktor risiko kanker, namun keduanya
dapat mungkin terjadi beriringan, prediktor utama dari keganasan prostat
adalah usia dan riwayat keluarga[12].
30
DAFTAR PUSTAKA
31