Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN KASUS

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Disusun oleh :
Jesita Silfiana Purnama (07120100087)

Pembimbing :
dr. Gardjito Sipan Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 5 MEI 2014 – 12 JULI 2014
BAB I
PENDAHULUAN

Retensi urin akut merupakan keadaan darurat dalam urologi. Retensi urin
paling banyak terjadi pada laki-laki dengan benign prostat hiperplasia1. Benign
prostat hiperplasia (BPH) merupakan pembesaran stroma (otot polos) prostat dan
kelenjar epitel yang menyebabkan pembesaran prostat jinak. Kelenjar prostat
dapat tumbuh sampai 10 kali lebih besar dari kelenjar prostat dewasa yang normal
seiring dengan pertambahan usia. Oleh karena itu 70 % BPH terjadi pada usia 60
tahun keatas2 dan dimulai dari 50 tahun.
Penyebab BPH belum diketahui secara pasti, namun banyak teori yang
menjelaskan terjadinya BPH. Teori tersebut yaitu teori stem sel, teori
Reawakening, keseimbangan esterogen dan testosteron, efek DHT berlebih, efek
GF, dan faktor penambahan usia. Pembesaran prostat sebagian besar berasal dari
zona transisional dan zona periuretral prostat3.
Gejala klinis yang ditimbulkan BPH yaitu gejala obstruksi dan iritasi
saluran kemih. Diagnosis BPH ditegakkan dengan cara anamnesis mengarah pada
gejala prostatismus, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan distensi buli-buli, colok dubur dan pemeriksaan
bimanual (DRE) ditemukan pembesaran prostat4. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan yaitu urinalisis, mengukur sisa urin post miksi, pemeriksaan pancaran
urin, sistogram, BNO IVP, dan TRUS. Pengukuran PSA dilakukan pada usia 50
tahun keatas untuk mengetahui adanya kanker prostat.
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu hipetrofi otot detusor, trabekulasi,
sakulasi, diverkulasi pada buli-buli. Dapat timbul hidroureter, hidronefrosis, dan
gagal ginjal. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan pada
buli – buli yang dapat menyebabkan sistitis hingga pyelonefritis. Pengobatan BPH
dimulai dari observasi, medikamentosa, hingga terapi dengan pembedahan.
Pembedahan BPH dapat dilakukan dengan TURP maupun suprapubik
prostatektomi1.
1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Bpk. S
Nomor M.R. : 32 88 **
Jenis kelamin : Laki-laki
Tempat, tanggal lahir : Sragen, 15 / 04 / 1955
Umur : 59 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jl. Antariksa No. 70 Cipedak, Jagakarsa
No. Telepon : 081 293 708 5**
Penjamin : BPJS - Jamkesnas
Pekerjaan : Tukang pacul
Tanggal dan jam MRS : 09/06/2014, pk 11.20
Tanggal Periksa : 09/06/2014, pk 11.20

2.2 ANAMNESIS
(Autoanamnesis pada tanggal 09 Juni 2014, pukul 11.20)

o Keluhan Utama:
Tidak dapat buang air kecil

o Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RS bersama istrinya dengan keluhan tidak dapat
buang air kecil sejak 2 hari SMRS. Enam hari SMRS pasien mengeluh
pancaran air kencing lemah sehingga perlu mengedan sebelum BAK. Saat
ingin BAK pasien juga harus menunggu pada permulaannya dan air
2
kencing menetes di akhir BAK. Frekuensi BAK juga bertambah, terutama
pada malam hari. Pasien juga mengeluh tidak lampias saat berkemih dan
menimbulkan rasa penuh pada perut bagian tengah bawah. Rasa penuh itu
menimbulkan nyeri yang menyebar di perut tengah bawah.
Pasien masih dapat menahan BAK. Pasien menyangkal adanya rasa
nyeri saat BAK. Warna kencing pasien kuning dan tidak pernah coklat
kemerahan. Pasien menyangkal adanya darah maupun batu saat BAK.
Sebelumnya pasien sudah pernah mengalami hal yang sama sejak 2 tahun
SMRS. Gejala tersebut sering timbul dengan interval 5 bulan sekali.
Pasien mengatasi hal tersebut dengan menggunakan selang kateter setiap
gejalanya kambuh dan digunakan 4-5 hari, lalu dilepas di klinik.
Pasien hanya mengonsumsi obat dari klinik saat terpasang kateter,
namun pasien tidak mengetahui jenis obatnya. Pasien menyangkal adanya
demam, nyeri otot, dan nyeri pinggang. Tidak ada keluhan dalam buang
air besar. Nafsu makan pasien baik. Berat badan pasien tidak berkurang.

o Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat alergi, asma, diabetes, hipertensi, penyakit jantung, stroke, trauma
tulang belakang dan TB disangkal. Pasien pernah menjalani operasi
odontectomy 1 bulan SMRS.

o Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat anggota keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat anggota keluarga dengan alergi, asma, diabetes, hipertensi, TB
maupun sakit jantung disangkal.

o Riwayat Kebiasaan:
Pasien menyangkal kebiasan merokok, minum-minuman keras, dan
mengkonsumsi obat-obatan terlarang.

3
o Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi menengah kebawah
namun sanitasi di rumahnya diakui cukup baik.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


(Pemeriksaan fisik pada tanggal 09 Juni 2014, pukul 11.25)
o Status Generalis
 Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tanda-Tanda Vital:
 Tekanan darah : 120/80 mmHg
 Pernafasan : 18 kali/menit
 Nadi : 60 kali/menit
 Suhu : 36.5 oC
 Berat badan : 40 kg
 Tinggi Badan : 160 cm

Kepala Normocephali tanpa tanda trauma

Mata Konjungtiva pucat -/-

Sklera ikterik -/-

Pupil bulat isokor, diameter 3 mm / 3 mm

Refleks cahaya langsung +/+


Reflex cahaya tidak langsung +/+

Telinga Bentuk normal, tidak ada luka, perdarahan, serumen ataupun


cairan

Hidung Tidak tampak deviasi septum nasi, tidak ada perdarahan


aktif, sekret -/-

4
Mulut Tidak ada ulkus, gigi-geligi baik, mukosa lembab. Faring
tampak tenang. Tonsil T1/T1

Thorax Dinding dada terlihat simetris kanan dan kiri, tidak tampak
luka bekas operasi maupun peradangan.

Jantung Tidak terlihat dan tidak teraba adanya ictus cordis.


Terdengar dull saat perkusi jantung. Bunyi jantung S1-S2
regular, tidak terdapat mumur atau gallop.

Paru Gerak napas simetris kanan dan kiri.

Retraksi atau penggunaan otot pernapasan tambahan (-).

Terdengar sonor di kedua lapang paru saat diperkusi.

Tactile fremitus baik, simetris kanan dan kiri.

Bunyi napas vesikular +/+, tidak terdengar adanya rhonki


ataupun wheezing.

Abdomen Inspeksi : dinding abdomen datar, tidak tampak luka bekas


operasi, caput medusa, dan peradangan.

Auskultasi : bising usus (+) 8 kali/menit.

Perkusi : Dull pada regio hypogastric. Nyeri ketok CVA (-)

Palpasi : supel, defense muscular (-), nyeri tekan regio


hypogastric (+).

Hepar tidak teraba, limpa tidak teraba.

Extremitas Edema (-), deformitas (-), akral hangat, CRT < 2 detik,
sensori baik, ROM aktif dan pasif baik.

Genitourinaria Inspeksi: tidak tampak kemerahan, bengkak, tidak ada


discharge, tidak ada luka maupun luka bekas operasi.

Palpasi: NT hypogastric (+), VU teraba penuh.

5
Anus Rectal toucher :

Tonus sphincter ani baik, ampulla recti tidak kolaps, mukosa


rectum rata dan licin, teraba prostat pada arah jam 12
dengan ukuran ±3,5 cm, konsistensi kenyal, permukaan
prostat rata dan tidak bernodul, batas tegas, batas atas masih
dapat teraba, dan simetri antar lobus dan batas prostat. Pada
handscoon tidak terlihat feses dan tidak ada darah.

(Pemeriksaan fisik pada tanggal 15 Juni 2014, pukul 16.25. Hari 1 pasien masuk
bangsal)
Status Generalis: dalam batas normal
Status Lokalis: R. Genitourinaria
Genitourinaria Inspeksi: tidak tampak kemerahan, bengkak, tidak ada
discharge, tidak ada luka maupun luka bekas operasi.
Terpasang DC dengan urin berwarna kuning sebanyak 500
cc, rembesan (-).

Palpasi: NT hypogastric (-), VU tidak teraba penuh.

6
Skor IPSS: 29  termasuk kategori berat (20 – 35)

4. Seberapa sering anda


tidak dapat menahan pipis?

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Rontgen Thoraks PA: (9 Juni 2014)
Cor : Besar dan bentuk normal.
Pulmo : Corakan paru baik, tak tampak
infiltrat.
Sinus dan diafragma baik.
Tulang dan soft tissue baik.
Kesan: Jantung dan paru dalam batas normal.
7
2. Pemeriksaan USG ginjal-buli: (9 Juni 2014)
Ginjal kanan dan kiri: Besar kedua ginjal normal, cortex dan
medulla baik, tak tampak batu/pelebaran kedua kalises.
Vesika urinaria: Besar normal, dinding tidak menebal, tak tampak
batu.
Prostat : Diameter 3,89 x 3,63 x 3,30 cm.
Kesan : Pembesaran ringan kelenjar prostat.

8
3. Laboratorium : 10 Juni 2014
TES HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah Rutin
Hemoglobin 13 g/dL P: 13 – 17
Hematokrit 39 % 37 – 54
Leukosit 13.500 /µL 5.000 – 10.000
Trombosit 494.000 /µL 150.000 – 400.000

CT 5’ Menit 2–6

BT 3’ Menit 1–3

4. Laboratorium: 15 Juni 2014


TES HASIL UNIT NILAI NORMAL
Darah Rutin
Hemoglobin 12,8 g/dL P: 13 – 17
Hematokrit 37 % 37 – 54
Leukosit 10.600 /µL 5.000 – 10.000
Trombosit 380.000 /µL 150.000 – 400.000

Golongan Darah/Rhesus AB/+

Glukosa Sewaktu 83 mg/dL <200

2.5 RESUME
Pasien Tn. S, usia 59 tahun datang dengan keluhan retensi urin
sejak 2 hari SMRS. Pasien mengeluh adanya gejala obstruksi yaitu
hesitancy, weak stream, terminal dribbling, straining, intermittency, dan
inkontinensia. Gejala iritatif pada pasien yaitu frekuensi dan nokturia,
namun disuria dan urgensi disangkal. Warna urin kuning. Pasien
menyangkal adanya darah maupun batu saat BAK. Pasien sudah pernah
mengalami hal yang sama sejak 2 tahun SMRS. Pasien mengatasi hal

9
tersebut dengan menggunakan kateter urin setiap gejalanya kambuh dan
digunakan 4-5 hari, lalu dilepas di klinik. Pasien menyangkal adanya
demam, nyeri otot, dan nyeri pinggang.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 9 Juni 2014, NT regio hypogastric
(+), teraba vesika urinaria penuh dan tidak tampak kelainan pada
pemeriksaan genitourinaria. Pada pemeriksaan fisik tanggal 15 Juni 2014,
VU tidak teraba penuh dan terpasang DC. Pada rectal touche teraba prostat
dengan ukuran ± 3,5cm, permukaan rata, dan konsistensi kenyal.
Laboratorium darah menunjukan adanya anemia, leukositosis dan
trombositosis. Pada pemeriksaan USG tampak pembesaran ringan kelenjar
prostat dan rontgen thoraks dalam batas normal.

2.6 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Benign prostat hiperplasia

2.7 PENATALAKSANAAN
Tanggal 15 Juni 2014 (Pre Op)
 Pasien dipuasakan 8 – 10 jam pre op (Tanggal 15 Juni 2014).
Rencana TURP tanggal 16 Juni 2014, pukul 13.30.

 Skin test ceftriaxone  tidak ada alergi

 Dilakukan konsultasi ke dokter spesialis anastesi, dokter spesialis


penyakit dalam  acc TURP.

Tanggal 16 Juni 2014

(Post TURP, pukul 14.45)

 Cairan : IVFD  RL : D5% (30 tpm)

 Cek Hb. Jika < 10gr/dL tranfusi packed red cell


 Bed rest 24 jam setelah operasi
10
 Makan bila kondisi sudah seperti semula
 Medikamentosa : - Inj. Ceftriaxone 2 x1 gram (IV)

- Inj. Raniditine 2 x 1 amp (25mg) (IV)

- Inj. Adona 3 x 1 amp (IV)

- Inj. Ketorolac 3 x 1 (IV)

- Inj. Kalnex 3x1 (IV)

- Vitamin K 3x1 (IV)

Cek patologi anatomi prostat


Drip Spooling  Urin jernih : 40-60 tetes
Urin merah : 100-120 tetes
Bila aliran macet : Spooling

2.8 FOLLOW UP
17 Juni 2014, pukul 19.00
S:
Os. tidak mengeluh apapun. Mual, muntah dan sait kepala disangkal
pasien. BAK (+). BAB (-). Pasien sudah dapat buang angin
O:
KU : sakit sedang, Kesadaran : CM
TD: 120/70 mmHg T : 36,5 ◦C N : 78x/menit RR: 18x/menit
Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT :, faring tenang, tonsil T1/T1
Thorax :
Cor : Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, BU (+), NT (-), timpani pada perkusi.
11
Genitourinaria : terpasang DC (+)  Urin kuning (+) sebanyak 300 cc.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2s

A:
Post TURP hari I
P:
o IVFD RL:D5% 2:2
o Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (IV)
o Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
o Inj. Kalnex 3 x 500 mg (IV)
o Inj. Vitamin K 3 x 1 amp (IV)

19 Juni 2014, pukul 10.00


S:
Os. mengeluh nyeri tenggorokan. Tidak ada keluhan dalam BAB. Nafsu
makan baik.
O:
KU : sakit sedang, Kesadaran : CM
TD: 110/70 mmHg T : 36 ◦C N : 70x/menit RR: 20x/menit
Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT :, faring hiperemis, tonsil T1/T1
Thorax :
Cor : Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, BU (+), NT (-), timpani pada perkusi.
Genitourinaria : terpasang DC (+)  Urin kuning (+) sebanyak ± 2500
cc/24 jam.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2s

12
A:
Post TURP hari IV, Faringitis
P:
o IVFD RL:D5% 2:2
o Inj. Ceftriaxone 2 x 1gr (IV)
o Inj. Ketorolac 3 x 30 mg (IV) prn
o Inj. Kalnex 3 x 500 mg (IV)
o Inj. Vitamin K 3 x 1 amp (IV)
o Renax 3x1
o Stimuno 3x1
o Troches 3x1
o Terapi mobilisasi
21 Juni 2014, pukul 11.00
S:
Os. tidak mengeluh apapun. Mual, muntah dan sait kepala disangkal
pasien. BAK (+). BAB (+).
O:
KU : sakit sedang, Kesadaran : CM
TD: 120/70 mmHg T : 36,5 ◦C N : 78x/menit RR: 18x/menit
Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
THT :, faring tenang, tonsil T1/T1
Thorax :
Cor : Jantung S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Abdomen : Datar, supel, BU (+), NT (-), timpani pada perkusi.
Genitourinaria : terpasang DC (+)  Urin kuning.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2s

13
A:
Post TURP hari VI
P:
o Pasien boleh pulang, dan kontrol hari Rabu tanggal 25 Juni
2014

2.9 PROGNOSIS
- ad vitam : bonam
- ad fungsionam : bonam
- ad sanationam : bonam

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PROSTAT


Prostat merupakan sebuah organ fibromuskuler sebesar kemiri yang
berfungsi sebagai kelenjar aksesoris dan mengelilingi urethra pars
prostatika. Kelenjar prostat
merupakan kelenjar yang terdiri
atas dari jaringan kelenjar dinding
uretra yang mulai menonjol pada
masa pubertas dan stroma prostat.
Secara anatomis prostat
berhubungan erat dengan kandung
kemih, uretra, kedua ureter, vas
deferens dan vesikula seminalis[1].
Prostat terletak diatas panggul
sehingga uretra yang terfiksasi
dalam diafragma tersebut, dapat
terobek bersama diafragma bila
terjadi cendera. Prostat dapat
diraba pada pemeriksaan colok
Gambar 3.1 Posisi anatomi prostat
dubur pada arah jam 12. Selain
mengandung jaringan kelenjar, kelenjar prostat banyak mengandung
jaringan fibrosa dan jaringan otot. Kelenjar ini ditembus oleh uretra dan
kedua duktus ejakulatorius, dan dikelilingi oleh suatu pleksus vena.
Kelenjar limfe regionalnya adalah kelenja limfe hipogastrik, sakral,
obturator, dan iliaka eksterna.
Prostat terletak dileher atau inferior vesika urinaria dan membungkus
uretra posterior. Berat normal ± 20 gram. Lowsley membagi prostat
menjadi zona anterior atau ventral (stromafibromuskular), zona perifer
15
(70% massa kelenjar prostat, rentan terhadap inflamasi dan merupakan
tempat asal karsinoma), zona sentralis (resisten terhadap inflamasi), zona
transisional (kelenjar preprostatik), dan kelenjar periuretra. Zona
transisional adalah zona tersering yang mengalami hiperplasia pada BPH.
Zona ini dapat melebar bersama jaringan stroma fibromuskular anterior
menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).

Gambar 3.2 Zona pada prostat

Aliran arteri dari cabang a. vesicalis inferior, a. rectalis media,


cabang a. pudendalis interna. Vena bergabung membentuk plexus venosus
prostaticus sekeliling sisi dan prostat bagian inferior. Plexus prostaticus
akan bermuara ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe terutama berakhir
pada nodi lymphoidei iliaca interna dan nodus lymphoidei sacrales.
Persarafan sistem simpatis dari plexus hipogastricus inferior dan sistem
parasimpatis dari nervi splanchnic pelvic (nervi erigentes) [S2-S4].
Hiperplasia prostat merupakan hiperplasi kelenjar periurethal ( sel –
sel glanduler dan interstitial ) dari prostat. Sel – sel kelenjar prostat akan
terdesak menjadi gepeng dan disebut sebagai kapsul surgical.
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-
sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari
cairan semen. Semen bersifat agak basa untuk menetralisir pH vagina yang

16
bersifat asam. Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai
fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid.
Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan plasma seminalis,
dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula seminalis
46-80% pada waktu ejakulasi. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos.

2.2 ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya hyperplasia prostat. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan sensitifitas sel
prostat terhadap dihidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan.
Pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi dibandingkan dengan prostat normal walaupun jumlah DHT BPH
dan non BPH sama.
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan
kadar estrogen relatitif tetap sehingga perbandingan antara estrogen :
testosteron relatif meningkat. Esterogen meningkatkan sensitifitas sel-sel
prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis) sehingga umur sel prostat lebih panjang. Estrogen diduga
mampu memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor
pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses apoptosis.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan
estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin,
serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.

17
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai
ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang
berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

2.3 EPIDEMIOLOGI
BPH biasanya asimtomatik, namun dapat menumbulkan gejala
pada usia 50 tahun keatas. Setiap tahunnya lebih dari 400.000 laki-laki di
US melakukan penagangan BPH dengan TURP. Pada usia 55 tahun, 25%
biasanya mengeluh gejala obstruksi prostat, pada usia 75 tahun, 50%
mengeluh pancaran urin lemah. Pada autopsi, 50% laki-laki usia 51-60
tahun memiliki hiperplasia prostat3.

2.4 PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-
buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi
yang terus menerus ini menyebakan perubahan anatomik buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan
divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh
pasienn dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau
lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala
prostatismus[4].
Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-
buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara
ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke
dalam gagal ginjal[4].

18
Gambar 3.4 Patofisiologi BPH

Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya


disebabkan oleh adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi
juga disebabkan oleh tonus otot polos yang ada pada stroma prostat, kapsul
prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu dipersarafi oleh serabut
simpatis yang berasal dari nervus pudendus[4].
Pada BPH terjadi rasio peningkatan komponen stroma terhadap epitel.
Pada prostat normal rasio stroma dibanding dengan epitel adalah 2:1, pada BPH,
rasionya meningkat menjadi 4:1, hal ini menyebabkan pada BPH terjadi
peningkatan tonus otot polos prostat dibandingkan dengan prostat normal. Dalam
hal ini massa prostat yang menyebabkan obstruksi komponen statik sedangkan
tonus otot polos yang merupakan komponen dinamik sebagai penyebab obstruksi
prostat[4].

19
2.5 DIAGNOSIS
2.5.1 Gejala klinis
Penurunan kekuatan dan kaliber aliran yang disebabkan resistensi
uretra adalah gambaran awal dan menetap dari BPH. Hesitancy terjadi
karena detrusor membutuhkan waktu yang lama untuk dapat melawan
resistensi uretra. Intermittency terjadi detrusor tidak dapat mengatasi
resistensi uretra sampai akhir miksi. Terminal dribbling dan rasa puas
sehabis miksi akan terjadi karena jumlah residu urin yang banyak dalam
buli–buli. Nokturia dan frekuensi terjadi karena pengosongan tidak
lengkap pada tiap miksi sehingga interval miksi menjadi lebih pendek.
Frekuensi biasa terjadi pada malam hari (nokturia) karena hambatan
normal dari korteks berkurang dan tonus spingter dan uretra berkuang
selama tidur. Urgensi dan disuria jarang terjadi, dan jika ada disebabkan
oleh ketidakstabilan detrusor sehingga terjadi kontraksi involunter.
Inkontinensia bukan gejala khas, walaupun dengan berkembangnya
penyakit urin keluar sedikit–sedikit secara berkala karena setelah buli–
buli mencapai compliance maksimum, tekanan dalam buli–buli akan
cepat naik melebihi tekanan spingter.
Obstruksi Iritasi
 Hesistansi  Frekuensi

 Pancaran miksi lemah  Nokturi

 Intermitensi  Urgensi

 Miksi tidak puas  Disuria

 Distensi abdomen Urgensi dan disuria jarang


terjadi, jika ada disebabkan
 Terminal dribbling oleh ketidakstabilan
(menetes) detrusor sehingga terjadi
kontraksi involunter.
 Volume urine menurun

 Mengejan saat berkemih

20
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan
dengan penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan
pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Sistem
skoring yang dianjurkan oleh WHO adalah International Prostate
Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor American
Urological Association (AUA). Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan
gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu (1) ringan:
Skor 0 – 7, (2) sedang: skor 8 – 19, dan (3) berat: skor 20 – 35.
BPH dapat menimbulkan berupa gejala nyeri pinggang dan demam
(infeksi/urosepsis). Keluhan pada penyakit hernia/ hemoroid sering
mengikuti penyakit hipertropi prostat. Timbulnya kedua penyakit ini
karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal.
2.5.2 Pemeriksaan Fisik (Abdomen)
 Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE).
Pada colok dubur diperhatikan tonus sfingter ani/refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli- buli
neurogenic, mukosa rectum, keadaan prostat, antara lain:
kemungkinan adanya nodul, konsistensi prostat,simetri antar lobus
dan batas prostat
Colok dubur pada
pembesaran prostat benigna
menunjukkan konsistensi prostat
kenyal seperti meraba ujung hidung,
lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul; sedangkan
pada karsinoma prostat, konsistensi
prostat keras/teraba nodul dan

Gambar 3.5. Rectal Touche mungkin diantara lobus prostat tidak

21
simetri.
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.1 Pemeriksaan laboratorium
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi, hematuri atau
inflamasi pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.

c. Faal ginjal
Mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran
kemih bagian atas. Pengukuran kadar elektrolit, BUN, dan kreatinin
berguna untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal
dapat ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan
pemeriksaan radiologi saluran kemih bagian atas. Pasien dengan
insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi mengalami
komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH.
d. Gula darah
Mencari kemungkinan adanya penyekit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik)
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
Jika curiga adanya keganasan prostat. Serum PSA dapat dipakai
untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika
kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume prostat lebihcepat,
(b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih buruk, dan (c) lebih

22
mudahterjadinya retensi urine akut. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada
prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua.[10]

2.2 Pemeriksaan Patologi Anatomi

BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan


stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia. Secara histologis dapat ditemukan
kenaikan jumlah sel prostat yang terdiri dari sel kelenjar dan sel otot polos.
Pada zona periuretral banyak stroma, sedangkan zona transisional lebih
banyak jaringan kelenjar. Pada pasien BPH juga dapat ditemukan
hipertropi dan trabekulasi otot detrusor karena deposisi kolagen.

Gambar 3.6 Patologi Anatomi Prostat

23
2.3 Pemeriksaan Radiologis
a. Foto polos abdomen (BNO)
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik
sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis
akibat kegagalan ginjal. Batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikel kandung kemih juga dapat dilihat untuk menghetahui adanya
metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)


Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai filling defect/indentasi
prostat pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok
keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish). Dapat pula
mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit (trabekulasi, divertikel
atau sakulasi buli – buli). Foto setelah miksi untuk menilai residu urin.
c. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Prosedur ini dilakukan setelah
solusi numbs bagian dalam penis sehingga sensasi semua hilang.
Tabung, disebut sebuah “cystoscope”, berisi lensa dan sistem cahaya
yang membantu dokter melihat bagian dalam uretra dan kandung
kemih. Tes ini untuk menentukan ukuran kelenjar dan
mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.
d. USG Transabdominal

 Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan


pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung menekan
zona central dan perifer. Batas yang memisahkan hyperplasia
dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
24
 USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya hidronefrosis
ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang lama.

2.4 Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara


mengukur:
a. Residual urin :

Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan


kateterisasi/USG setelah miksi.
b. Pancaran urin/flow rate :

Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi


berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya
kurang dari 15mL/s dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void
residual mengukur jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih
setelah buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan
pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100 sampai
200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien diminta untuk
buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin ditentukan oleh USG atau
kateterisasi.

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Salah satu keluhan yang dijumpai pada BPH adalah gangguan
miksi, untuk itu kita perlu mempertmbangkan kemungkinan penyebab lain
dengan manifestasi gangguan miksi. Proses miksi bergantung pada
kekuatan detrusor kandung kemih hal ini dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
neurologis, kekakuan leher kandung kemih dan resistensi uretra3.

25
2.7 TATALAKSANA

1. Watchful Waiting[4]

Terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah
7. Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai hal
yang memperburuk keluhannya, misalnya tidak mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman
yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), batasi penggunaan obat-obat
influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedasadan
asin, dan jangan menahan kencing terlalu lama.

Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan


keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau
uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya,
mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.

26
2. Medikamentosa[5,11]

a. Penghambat reseptor adrenergik α.

Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang


membantu untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran
prostat di BPH.

Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.


Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax),
alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin)
atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin
dan mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak
berpengaruh pada ukuran prostat.

b. Penghambat 5 α reduktase

Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron


(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel
prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi
sel-sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung
tergantung pada DHT, sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25%
perkiraan ukuran prostat lebih dari 6 sampai 12 bulan.

3. Invasif Minimal[4,5,7]

Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap pembedahan.

a. TUMT (microwave thermotherapy transurethral)


Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan prostat
yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave thermotherapy
transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro melalui
27
kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya 111
derajat Fahrenheit. TUMT belum dilaporkan menyebabkan disfungsi
ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak
menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi,
tegang, dan intermitensi.

b. TUBD (Transurethral balloon dilation of the prostate)


Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang
berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui
kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40
cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun
efek ini hanya sementara sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
c. TUNA (Transurethral needle ablation)[1,7]
Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui transurethral jarum ablasi
invasif minimal (TUNA) sistem untuk pengobatan BPH. Sistem TUNA
memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah melalui jarum kembar
untuk region prostat yang membesar. Shields melindungi uretra dari
kerusakan akibat panas. Sistem TUNA meningkatkan aliran urin dan
mengurangi gejala dengan efek samping yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan reseksi transurethral dari prostat (TURP).

2.5 Operasi

Indikasi pembedahan adalah pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi,


antara lain:

 Retensi urine karena BPO


 Infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
 Hematuria makroskopik
 Batu buli-buli karena obstruksi prostat
 Gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prostat, dan
28
 Divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi

a. TURP (Transurethral resection of the prostate)[1,5,7]

Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan
terapi lain yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi
retrograd (75%), impotensi (5-10%), dan inkontinensia (<1%).

TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah


terbuka dan memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum
TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran
urine hingga 100%.
Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur
pada leher kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan
pada kondisi berat terjadi sindroma TUR yang disebabkan oleh keadaan
hipervolemik dan hipernatremia akibat absorbsi cairan irigasi yang bersifat
hipotonis. Manifestasi klinis sindroma TUR antara lain nausea, muntah,
hipertensi, bradikardi, confusing, dan gangguan penglihatan. Risiko terjadinya
sindroma TUR meningkat pada reseksi yang lebih dari 90 menit. Penatalaksanaan
meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan larutan hipertonis.

Gambar 3.8 a. alat TURP b. Metode c, Pasca TURP


29
b. TUIP (Transurethral Incision of the Prostate)[5]

Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang
kecil sering didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior
(terangkatnya leher kandung kemih). Pasien tersebut biasanya lebih baik
dilakukan insisi prostat.

Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah


dibandingkan TURP. Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin
pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di arah distal menuju orifisium
ureter dan meluas ke arah verumontanum.

c. Prostatektomi Terbuka[5]

Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat membesar


(>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih telah
rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui
pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal
(Millin).

2.8 PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan BPH dapat mengalami perbaikan gejala
dan peningkatan kualitas hidup melalui terapi medikamentosa maupun
operatif. Pada pasien dengan terapi medikamentosa membutuhkan konsumsi
obat terus menerus dan morbiditas utamanya adalah gangguan fungsi
seksual[11].
Banyak pendapat bahwa BPH dapat memicu keganasan prostat namun
sebenearnya BPH bukan merupakan faktor risiko kanker, namun keduanya
dapat mungkin terjadi beriringan, prediktor utama dari keganasan prostat
adalah usia dan riwayat keluarga[12].

30
DAFTAR PUSTAKA

1. La Rochelle J, Shuch B, Belldegrun A. Chapter 40.


Urology. In: Brunicardi F, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Matthews JB, Pollock RE. eds.Schwartz's Principles of Surgery, 9e. New
York, NY: McGraw-Hill; 2010.
2. Fode M, Sønksen J, McPhee SJ, Ohl DA. Chapter 23. Disorders of the
Male Reproductive Tract. In: McPhee SJ, Hammer
GD. eds. Pathophysiology of Disease, 6e. New York, NY: McGraw-Hill;
2010.
3. Meng MV, Walsh TJ, Stoller ML. Chapter 23. Urologic
Disorders. In: Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW. eds. CURRENT
Medical Diagnosis & Treatment 2014. New York, NY: McGraw-Hill;
2014.
4. Mansjoer A, Suprahaita, Wardhani. 2000. Pembesaran Prostat Jinak.
Dalam: Kapita selekta Kedokteran. Media Aesculapius, Jakarta ; 329-344.
5. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwartz’s Principles of Surgery
8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2005
6. Mulyono, A. 1995. Pengobatan BPH Pada Masa Kini. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 40-48.5.
7. Purnomo, Basuki B. Dasar – Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta :
Sagung Seto.
8. Rahardjo, J. 1996. Prostat Hipertropi. Dalam : Kumpulan Ilmu Bedah.
Binarupa aksara, Jakarta ; 161-703.
9. Sabiston, David. Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus. Timan.
EGC. 1994.
10. Sjafei, M. 1995. Diagnosis Pembesaran Prostat Jinak. Dalam :
Pembesaran Prostat Jinak. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta ; 6-17
11. Sjamsuhidajat R, De Jong W. 1997. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar
Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997; 1058-64.
12. Umbas, R. 1995. Patofisiologi dan Patogenesis Pembesaran Prostat Jinak.
Yayasan penerbit IDI, Jakarta ; 1-52.

31

Anda mungkin juga menyukai