Anda di halaman 1dari 19

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
kami dapat menyelesaikan penyusunan Asuhan Keperawatan yang berjudul
SINDROM NEFROTIK Askep ini merupakan tugas mata kulia SistemUrinaria. Dalam
penulisan askep ini penulis merasa masih memiliki banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingatkan kemampuan yang di miliki
penulis.Untuk itu kritikan dan saran yang membangun dari dosen dan teman-teman
yang penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makala ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan terimah kasih kepadaYth


:

1. Islaeli,.S.Kep.,Ns.,M.Kes yang memberikan bimbingan untuk


pembuatan konsep Askep ini.
2. Kepada orang tua yang tercinta turut membantu membimbing dan
mengatasi berbagai kesulitan sehingga tugas ini selesai.
3. Kepada semua pihak yang membentu dalam menyelesaikan masalah
ini.

Akhir kata penulis berharap semoga konsep Askep yang di buat ini bermanfaat bagi
pengembangan ilmu di masa mendatang amin.

Kendari, 18 Desember 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................................................... 1


DAFTAR ISI........................................................................................................................................... 2
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................... 4
C. Tujuan .................................................................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................................... 5
A. Konsep Medis ........................................................................................................................... 5
1. Definisi ................................................................................................................................... 5
2. Etiologi ................................................................................................................................... 5
3. Patofisiologi ........................................................................................................................... 5
4. Manifestasi Klinis .................................................................................................................. 8
5. Pemeriksaan Penunjang ..................................................................................................... 8
6. Penatalaksanaan.................................................................................................................. 8
7. Komplikasi ........................................................................................................................... 13
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan .................................................................................. 13
1. Pengkajian ........................................................................................................................... 13
2. Diagnosa Keperawatan ..................................................................................................... 14
3. Intervensi ............................................................................................................................. 15
4. Implementasi ....................................................................................................................... 16
5. Evaluasi ............................................................................................................................... 17
BAB III .................................................................................................................................................. 18
PENUTUP ........................................................................................................................................... 18
1. Kesimpulan .............................................................................................................................. 18
2. Saran ........................................................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 19

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kesehatan terus berkembang mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta masyarakat yang dinamis, semakin memacu
tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan kualitas diri dan pelayanan
dalam upaya mencapai tujuan pembangunan kesehatan.
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2018 adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan yang optimal melalui terciptanya
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya
yang hidup dengan perilaku dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan
untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil, merata,
serta memiliki derajat kesehatan yang optimal diseluruh wilayah Republik
Indonesia.
Pencapaian tujuan diatas, didalam lingkungan pembangunan nasional
yang sedang dan atau diselenggarakan harus memiliki wawasan kesehatan,
artinya program pembangunan nasional tersebut harus memberikan
konstribusi yang positif terhadap kesehatan, setidak-tidaknya terhadap dua
hal. Pertama terhadap pembentukan lingkungan sehat, kedua terhadap
pembentukan perilaku sehat adalah amanah diharapkan agar setiap program
pembangunan nasional yang diselenggarakan di Indonesia dapat
memberikan konstribusi yang positif terhadap terbentuknya lingkungan dan
perilaku sehat tersebut (Depkas RI, 2001).
Oleh karena itu kesehatan merupakan harta yang sangat berharga,
bagi seseorang tanpa kesehatan berarti segala aktivitas akan berhenti
dengan menyadari hal itu setiap orang akan dituntut untuk meningkatkan dan
mempertahankan kondisi tubuhnya yang kuat sehingga tidak akan mudah
diserang berbagai penyakit, diantaranya syndrom nefrotik.
Penyakit syndrom nefrotik merupakan salah satu masalah dimana
angka kejadiannya terbanyak pada anak berumur antara 3-4 tahun dengan
perbandingan wanita : pria, 1 : 2. Menurut penelitian terdapat perbedaan
bentuk sindrom nefrotik di Indonesia (Negara tropis) dan negara maju. Di
Negara maju umumnya sindrom nefrotik jenis kelainan minimal; pada sindrom
nefrotik ini kelainan terdapat pada tubulus, dan glumerulus tidak mengalami
gangguan fungsi. Di Indonesia umumnya sindrom nefrotik bukan kelainan
minimal yang menurut dugaan peneliti disebabkan karena berbagai infeksi
yang pernah diderita pasien atau gangguan gizi (malnutrisi) pada waktu
lampau. Kekurangan gizi mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh
sehingga pasien mudah mendapat infeksi (Ngastiyah, 1997).
Berdasarkan data yang didapatkan dari bagian Rekam Medik ( RM )
Rumah Sakit Umum Kota kendari, pada tahun 2006 jumlah pasien 4989
orang dan kasus Sindrom nefrotik adalah sebanyak 2 orang ( 0,04 %
) dan satu orang ( 0,01 % ) diantaranya meninggal dunai. Sedangkan pada
3
tahun 2007 jumlah pasien 6219 orang dan kasus Sindrom Nefrotik adalah
sebanyak 7 orang ( 0,11 % ) dimana 6 orang ( 0,09 % ) berjenis kelamin laki-
laki dan satu orang ( 0,01 % ) perempuan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Medis Sindrom Nefrotik ?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien Sindrom Nefrotik ?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Membantu mahasiswa dalam memahami secara umum konsep dari
Asuhan Sindrom Nefrotik .
2. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Sindrom Nefrotik
b) Mampu menemukan masalah keperawatan pada pasien dengan
Sindrom Nefrotik.
c) Mampu merencanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Sindrom Nefrotik
d) Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Sindrom Nefrotik

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Medis

1. Definisi
Sindrom nefrotik berasal dari dua kata yaitu sindrom dan nefron,
dimana sindrom itu adalah kumpulan gejala dan nefron adalah satuan
fungsional ginjal.
Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan
oleh injury glomerulus yang terjadi pada anak dengan karakteristik,
proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema
(Suriadi, 2001). Selanjutnya menurut Wong L. Donna (2003) dijelaskan
bahwa sindrom nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang
mengakibatkan kehilangan protein urinarius yang masiv.
Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu
sindroma (kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit
yang menyerang ginjal dan menyebabkan: proteinuria (protein di dalam air
kemih) ,menurunnya kadar albumin dalam darah,penimbunan garam dan
air yang berlebihan, dan meningkatnya kadar lemak dalam darah.

2. Etiologi
3. Sindrom nefrotik berasal dari dua kata yaitu sindrom dan nefron, dimana
sindrom itu adalah kumpulan gejala dan nefron adalah satuan fungsional
ginjal.
4. Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh injury
glomerulus yang terjadi pada anak dengan karakteristik, proteinuria,
hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan edema (Suriadi,
2001). Selanjutnya menurut Wong L. Donna (2003) dijelaskan bahwa
sindrom nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan peningkatan
permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinarius yang masiv.
5. Sindroma Nefrotik (NEPHROTIC SYNDROME) adalah suatu sindroma
(kumpulan gejala-gejala) yang terjadi akibat berbagai penyakit yang
menyerang ginjal dan menyebabkan: proteinuria (protein di dalam air
kemih) ,menurunnya kadar albumin dalam darah,penimbunan garam dan
air yang berlebihan, dan meningkatnya kadar lemak dalam darah.

6. Patofisiologi
Menurut Suriadi, (2001) patofisiologi dari sindrom nefrotik adalah
sebagai berikut:
a) Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat
pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria.

5
Kelanjutan dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan
menurunnya albumin, tekanan osmotic plasma menurun sehingga
cairan intravaskuler berpindah ke dalam intertisiel. Perpindahan cairan
tersebut menjadikan volume cairan intravaskuler berkurang, sehingga
menurunkan jumlah aliran darah ke renal karena hipovolemia.
b) Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi
dengan merangsang produksi rennin – angiotensin dan peningkatan
sekresi antidiuretik hormone (ADH) dan sekresi aldosteron yang
kemudian terjadi retensi natrium dan air. Dengan retensi natrium dan
air akan menyebabkan edema.
c) Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari
peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma
albumin atau penurunan onkotik plasma.
d) Adanya hiperlipidemia juga akibat dari meningkatknya produksi
lipoprotein.
e) Respon alergi, glumerulonefritis. Dikaitkan dengan respon imun
(Abnormal immunoglobulin).

Alergen,antigen

Glomerulus

Reaksi Antigen & Antibodi

Peradangan glomerulus

↑ Permeabilitas membran basal glomerulus

Kortikosteroid

Proteinuri

6
Hipoalbuminema Hiperlipidemia

↓ Sistem imun ↓ tekanan osmotik Penebalan tunika intima

Resiko infeksi Transudasi ke interstitial → Hipovolemi Aterosklerosis

Transudasi ke interstiil → Hipovolemi Aterosklerosis

Kelemahan ADH ↑ GFR ↓ ↑Tahanan


Aldosteron ↑ perifir
Hambatan
Mobilitas fisik Retensi Na↑ PK

Odema H2O Hipertensi

Kerusakan Cemas Defisit pengetahuan


Resiko

integritas kulit ketidak efektifan


program terapeutik

Kelebihan volume cairan

Oligouri/anuri Ureum ↑

Perubahan pola eleminasi urin

Stimulasi Pruritus

7
SSP

Mual dan muntah Krs. integritas


kulit

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

7. Manifestasi Klinis
Menurut Cecily L. Betz (2002) Tanda dan gejala yang timbul pada
anak yang mengalami sindrom nefrotik adalah sebagai berikut :
a) Proteinuria
b) Retensi cairan dan edema yang menambah berat badan, edema
perorbital, edema dependen, pembengkakan genitalia eksterna,
edema fasial, asites, hernia inguinalis dan distensi badomen serta efusi
pleural.
c) Penurunan jumlah urine, urine gelap dan berbusa.
d) Hematuria.
e) Anoreksia.
f) Diare
g) Pucat
h) Gagal tumbuh dan pelusitan otot untuk jangka panjang.

8. Pemeriksaan Penunjang
a) Uji urine
1) Protein urin – meningkat
2) Urinalisis – cast hialin dan granular, hematuria
3) Dipstick urin – positif untuk protein dan darah
4) Berat jenis urin – meningkat
b) Uji darah
1) Albumin serum – menurun
2) Kolesterol serum – meningkat
3) Hemoglobin dan hematokrit – meningkat (hemokonsetrasi)
4) Laju endap darah (LED) – meningkat
5) Elektrolit serum – bervariasi dengan keadaan penyakit perorangan.

c) Uji diagnostic
Biopsi ginjal merupakan uji diagnostik yang tidak dilakukan
secara rutin

9. Penatalaksanaan
a) Terapi nonfarmakologis

8
1) Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgBB/hari, sebagian besar
terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1
g/kgBB/hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgBB/hari
ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri.
Hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan
kadar fibrinogen menurun.
2) Istirahat sampai oedema tinggal sedikit
b) Terapi farmakologis
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan
dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi
atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta
mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati
membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi
yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada
glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi
respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap. Schieppati
dan kawak menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati
membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya
lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh
karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan
imunosupresan pada nefropati jenis ini. Regimen penggunaan
kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di antaranya prednison 125
mg setiap 2 hari sekali selama 2 bulan kemudian dosis dikurangi
bertahap dan dihentikan setelah 1-2 bulan jika relaps, terapi dapat
diulangi. Regimen lain pada orang dewasa adalah
prednison/prednisolon 1-1,5 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu
diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari selama 4 minggu. Sampai
90% pasien akan remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu,
namun 50% pasien akan mengalami kekambuhan setelah
kortikosteroid dihentikan. Hopper menggunakan dosis 100 mg/48 jam.
Jika tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu, dosis dinaikkan sampai
200 mg per 48 jam dan dipertahankan sampai proteinuri turun hingga 2
gram atau kurang per 24 jam, atau sampai dianggap terapi ini tidak
ada manfaatnya. Pada anak-anak diberikan prednison 60 mg/m2 luas
permukaan tubuh atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4 minggu,
diikuti 40 mg/m2 luas permukaan tubuh setiap 2 hari selama 4
minggu.Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi :

a) Remisi lengkap
 proteinuri minimal (< 200 mg/24 jam)
 albumin serum >3 g/dl
 kolesterol serum < 300 mg/dl
 diuresis lancar dan edema hilang

9
b) Remisi parsial
 proteinuri <3,5 g/harI
 albumin serum >2,5 g/dl
 kolesterol serum <350 mg/dl
 diuresis kurang lancar dan masih edema
c) Resisten
klinis dan laboratoris tidak memperlihatkan perubahan atau
perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan kortikosteroid.
Pemberian kortikosteroid memberi remisi lengkap pada 67%
kasus SN nefropati lesi minimal, remisi lengkap atau parsial pada
50% SN nefropati membranosa dan 20%-40% pada
glomerulosklerosis fokal segmental. Perlu diperhatikan efek
samping pemakaian kortikosteroid jangka lama di antaranya
nekrosis aseptik, katarak, osteoporosis, hipertensi, diabetes
melitus. Pada pasien yang tidak responsif terhadap kortikosteroid,
untuk mengurangi proteinuri digunakan terapi simptomatik dengan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI), misal kaptopril atau
enalapril dosis rendah, dan dosis ditingkatkan setelah 2 minggu
atau obat antiinflamasi non-steroid (OAINS), misal indometasin
3×50mg.
converting enzyme inhibitor mengurangi ultrafiltrasi protein
glomerulus dengan menurunkan tekanan intrakapiler glomerulus
dan memperbaiki size selective barrier glomerulus. Efek
antiproteinurik obat ini berlangsung lama (kurang lebih 2 bulan
setelah obat dihentikan). Angiotensin receptor blocker (ARB)(ARB)
ternyata juga dapat memperbaiki proteinuri karena menghambat
inflamasi dan fibrosis interstisium, menghambat pelepasan sitokin,
faktor pertumbuhan, adesi molekul akibat kerja angiotensin II lokal
pada ginjal.
Kombinasi ACEI dan ARB dilaporkan memberi efek
antiproteinuri lebih besar pada glomerulonefritis primer
dibandingkan pemakaian ACEI atau ARB saja. Obat antiinflamasi
non-steroid dapat digunakan pada pasien nefropati membranosa
dan glomerulosklerosis fokal segmental untuk menurunkan sintesis
prostaglandin. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi ginjal,
penurunan tekanan kapiler glomerulus, area permukaan filtrasi dan
mengurangi proteinuria sampai 75%.
Selain itu OAINS dapat mengurangi kadar fibrinogen, fibrin-
related antigenic dan mencegah agregasi trombosit. Namun
demikian perlu diperhatikan bahwa OAINS menyebabkan
penurunan progresif fungsi ginjal pada sebagian pasien. Obat ini
tidak boleh diberikan bila klirens kreatinin < 50 ml/menit.

10
Pada pasien yang sering relaps dengan kortikosteroid atau
resisten terhadap kortikosteroid dapat digunakan terapi lain dengan
siklofosfamid atau klorambusil. Siklofosfamid memberi remisi yang
lebih lama daripada kortikosteroid (75% selama 2 tahun) dengan
dosis 2-3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu. Efek samping
siklofosfamid adalah depresi sumsum tulang, infeksi, alopesia,
sistitis hemoragik dan infertilitas bila diberikan lebih dari 6 bulan.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg bb./hari selama
8 minggu. Efek samping klorambusil adalah azoospermia dan
agranulositosis. Ponticelli dan kawan-kawan menemukan bahwa
pada nefropati membranosa idiopatik, kombinasi metilprednisolon
dan klorambusil selama 6 bulan menginduksi remisi lebih awal dan
dapat mempertahankan fungsi ginjal dibandingkan dengan
metilprednisolon sendiri, namun perbedaan ini berkurang sesuai
dengan waktu (dalam 4 tahun perbedaan ini tidak bermakna lagi).
Regimen yang digunakan adalah metilprednisolon 1 g/hari
intravena 3 hari, lalu 0,4 mg/kg/hari peroral selama 27 hari diikuti
klorambusil 0,2 mg/kg/hari 1 bulan berselang seling.
Alternatif lain terapi nefropati membranosa adalah
siklofosfamid 2 mg/kg/hari ditambah 30 mg prednisolon tiap 2 hari
selama beberapa bulan (maksimal 6 bulan). Levamisol suatu obat
cacing, dapat digunakan untuk terapi SN nefropati lesi minimal
pada anak-anak dengan dosis 2,5mg/kg bb tiap 2 hari sekurang-
kurangnya 112 hari. Efek samping yang jarang terjadi adalah
netropeni, trombositopeni dan skin rash.
Siklosporin A dapat dicoba pada pasien yang relaps setelah
diberi siklofosfamid atau untuk memperpanjang masa remisi
setelah pemberian kortikosteroid. Dosis 3-5 mg/kgbb/hari selama 6
bulan sampai 1 tahun (setelah 6 bulan dosis diturunkan 25% setiap
2 bulan). Siklosporin A dapat juga digunakan dalam kombinasi
dengan prednisolon pada kasus SN yang gagal dengan kombinasi
terapi lain. Efek samping obat ini adalah hiperplasi gingival,
hipertrikosis, hiperurisemi, hipertensi dan nefrotoksis. Terapi lain
yang belum terbukti efektivitasnya adalah azatioprin 2-2,5
mg/kgBB/hari selama 12 bulan.
Pada kasus SN yang resisten terhadap steroid dan obat
imunospresan, saat ini dapat diberikan suatu imunosupresan baru
yaitu mycophenolate mofetil (MMF) yang memiliki efek
menghambat proliferasi sel limfosit B dan limfosit T, menghambat
produksi antibodi dari sel B dan ekspresi molekul adhesi,
menghambat proliferasi sel otot polos pembuluh darah. Penelitian
Choi dkk pada 46 pasien SN dengan berbagai lesi histopatologi
mendapatkan angka remisi lengkap 15,6% dan remisi parsial 37,8
%. Dosis MMF adalah 2 x (0,5-1) gram.
11
Untuk mengurangi edema diberikan diet rendah garam (1-2
gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari atau
golongan tiazid) dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium
sparing diuretic (spironolakton). Pada pasien SN dapat terjadi
resistensi terhadap diuretik (500 mg furosemid dan 200 mg
spironolakton).
Resistensi terhadap diuretik ini bersifat multifaktorial. Diduga
hipoalbuminemi menyebabkan berkurangnya transportasi obat ke
tempat kerjanya, sedangkan pengikatan oleh protein urin bukan
merupakan mekanisme utama resistensi ini. Pada pasien demikian
dapat diberikan infus salt-poor human albumin. Dikatakan terapi ini
dapat meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi
glomerulus, aliran urin dan ekskresi natrium. Namun demikian infus
albumin ini masih diragukan efektivitasnya karena albumin cepat
diekskresi lewat urin, selain itu dapat meningkatkan tekanan darah
dan bahkan edema paru pada pasien hipervolemi.
Hiperlipidemi dalam jangka panjang meningkatkan risiko
terjadinya aterosklerosis dini. Untuk mengatasi hiperlipidemi dapat
digunakan penghambat hidroxymethyl glutaryl co-enzyme A (HMG
Co-A) reductase yang efektif menurunkan kolesterol plasma. Obat
golongan ini dikatakan paling efektif dengan efek samping minimal.
Gemfibrozil, bezafibrat, klofibrat menurunkan secara bermakna
kadar trigliserid dan sedikit menurunkan kadar kolesterol. Klofibrat
dapat toksis pada kadar biasa karena kadar klofibrat bebas yang
meningkat menyebabkan kerusakan otot dan gagal ginjal akut.
Probukol menurunkan kadar kolesterol total dan kolesterol LDL,
tetapi efeknya minimal terhadap trigliserida. Asam nikotinat (niasin)
dapat menurunkan kolesterol dan lebih efektif jika dikombinasi
dengan gemfibrozil. Kolestiramin dan kolestipol efektif menurunkan
kadar kolesterol total dan kolesterol LDL, namun obat ini tidak
dianjurkan karena efeknya pada absorbsi vitamin D di usus yang
memperburuk defisiensi vitamin D pada SN.
Untuk mencegah penyulit hiperkoagulabilitas yaitu
tromboemboli yang terjadi pada kurang lebih 20% kasus SN (paling
sering pada nefropati membranosa), digunakan dipiridamol (3 x 75
mg) atau aspirin (100 mg/hari) sebagai anti agregasi trombosit dan
deposisi fibrin/trombus. Selain itu obat-obat ini dapat mengurangi
secara bermakna penurunan fungsi ginjal dan terjadinya gagal
ginjal tahap akhir. Terapi ini diberikan selama pasien mengalami
proteinuri nefrotik, albumin <2 g/dl atau keduanya. Jika terjadi
tromboemboli, harus diberikan heparin intravena/infus selama 5
hari, diikuti pemberian warfarin oral sampai 3 bulan atau setelah
terjadi kesembuhan SN. Pemberian heparin dengan pantauan
activated partial thromboplastin time (APTT) 1,5-2,5 kali kontrol,
12
sedangkan efek warfarin dievaluasi dengan prothrombin time (PT)
yang biasa dinyatakan dengan International Normalized Ratio (INR)
2-3 kali normal. Bila terjadi penyulit infeksi bakterial (pneumonia
pneumokokal atau peritonitis) diberikan antibiotik yang sesuai dan
dapat disertai pemberian imunoglobulin G intravena. Untuk
mencegah infeksi digunakan vaksin pneumokokus.
Pemakaian imunosupresan menimbulkan masalah infeksi
virus seperti campak dan herpes. Penyulit lain yang dapat terjadi di
antaranya hipertensi, syok hipovolemik, gagal ginjal akut, gagal
ginjal kronik (setelah 5-15 tahun). Penanganan sama dengan
penanganan keadaan ini pada umumnya. Bila terjadi gagal ginjal
kronik, selain hemodialisis, dapat dilakukan transplantasi ginjal.
Dantal dkk menemukan pada pasien glomerulosklerosis fokal
segmental yang menjalani transplantasi ginjal, 15%-55% akan
terjadi SN kembali. Rekurensi mungkin disebabkan oleh adanya
faktor plasma (circulating factor) atau faktor-faktor yang
meningkatkan permeabilitas glomerulus. Imunoadsorpsi protein
plasma A menurunkan ekskresi protein urin pada pasien SN karena
glomerulosklerosis fokal segmental, nefropati membranosa maupun
SN sekunder karena diabetes melitus. Diduga imunoadsorpsi
melepaskan faktor plasma yang mengubah hemodinamika atau
faktor yang meningkatkan permeabilitas glomerulus.

10. Komplikasi
Menurut Cecily L. Betz (2002), komplikasi yang mungkin terjadi
pada kasus Syndrom Nefrotik adalah :
a) Penurunan volume intravaskuler (syok hipovolemik)
b) Kemampuan koagulasi yang berlebihan (thrombosis vena)
c) Pemburukan pernafasan(berhubungan dengan retensi cairan).
d) Kerusakan kulit
e) Infeksi
f) Peritonitis (berhubungan dengan asites)
g) Efek samping steroid yang tidak diinginkan

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Menurut Wong L Donna (2003) pengkajian data dasar yang dapat
menunjang dan didapatkan riwayat penyakit dengan cermat termasuk hal-
hal berikut.
a) Lakukan pengkajian fisik, termasuk pengkajian luasnya edema.

13
b) Dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat, terutama yang
berhubungan dengan adanya peningkatan berat badan saat ini dan
kegagalan fungsi ginjal.
c) Observasi adanya manifestasi dari sindrom nefrotik; kenaikan berat
badan, edema pada wajah (khususnya disekitar mata) yang timbul
pada saat bangun pagi, berkurang disiang hari, penglihatan kabur,
pembengkakan abdomen (acites), kesulitan bernafas (efusi pleura),
pembengkakan labial atau skrotal, edema mukosa usus yang
menyebabkan diare, mual/ muntah, enoreksia, absorbsi usus buruk,
kulit pucat, peka rangsang, mudah lelah, letargi, tekanan darah normal
atau sedikit menurun , kerentanan terhadap infeksi, perubahan pada
urine (penurunan volume urine, gelap dan berbau buah).
d) Pengkajian diagnositk dan pengujian misalnya analisa urine akan
adanya protein, silinder dan sel darah merah, analisa darah untuk
protein serum (total, perbandingan albumin), globulin kolesterol jumlah
darah merah, natrium serum.

3. Diagnosa Keperawatan
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan akumulasi cairan di
dalam jaringan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan nafsu makan (anoreksia).

14
c. Resiko kehilangan volume cairan intravaskuler berhubungan dengan
kehilangan protein, cairan dan edema.
d. Ansietas Berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit.

4. Intervensi
NO. DIAGNOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI(NIC)
1. Kelebihan volume Tujuan :Pasien tidak 1) Kaji masukan yang relatif
cairan berhubungan menunjukkan bukti-bukti terhadap keluaran secara
dengan akumulasi akumulasi cairan (pasien akurat
cairan dalam jaringan mendapatkan volume cairan
yang tepat). 2) Timbang berat badan setiap
Kriteria Hasil : hari (ataui lebih sering jika
 Penurunan edema, ascites. diindikasikan).
 Tidak mengalami 3) Kaji perubahan edema :
peningkatan edema ukur lingkar abdomen pada
 Berat badan kembali dalam umbilicus serta pantau
batas normal edema sekitar mata
 Output urine adekuat (450 4) Atur masukan cairan
– 900 cc/hr) dengan cermat.

5) Pantau infus intra vena

6) Berikan kortikosteroid
sesuai ketentuan.
7) Berikan diuretik bila
diinstruksikan
2. Perubahan nutrisi Tujuan : Setelah dilakukan 1) Kaji / catat pemasukan diet.
kurang dari kebutuhan tindakan selama 3x24 jam 2) Timbang BB tiap hari
tubuh berhubungan diharapkan kebutuhan nutrisi 3) Tawarkan perawatan mulut
dengan kehilangan terpenuhi dengan sebelum dan sesudah
nafsu makan Kriteria hasil: Klien dapat makan Berikan makanan
(anoreksia). Mempertahankan berat badan sedikit tapi sering.
yang diharapkan 4) Berikan diet tinggi protein
dan rendah garam.
5) Berikan makanan yang
disukai dan menarik
6) g. Awasi pemeriksaan
laboratorium, contoh: BUN,
albumin serum, transferin,
natrium, dan kalium.
3. Risiko tinggi Tujuan :Klien tidak 1) Catat intake dan output
kekurangan volume menunjukkan kehilangan secara akurat
cairan (intravaskuler) cairan intravaskuler atau
berhubungan dengan shock hipovolemik yang
kehilangan protein dan ditunjukkan pasien minimum 2) Kaji dan catat TD,
cairan, edema. atau tidak ada Pembesaran abdomen, BJ
Kriteria Hasil : Urine, nilai laboratorik
 Penurunan oedema, setiap 4 jam.

15
ascites. 3) Timbang BB tiap hari dalam
 Kadar protein darah skala yang sama
meningkat/cukup 4) Pegang daerah oedema
 Berat badan kembali secara hati-hati, laki-laki
dalam batas normal mungkin perlu
 Output urine adekuat (450 menggunakan penyangga
– 900 cc/hr) scrotum
 Tekanan darah dalam 5) Berikan steroid (prednison)
batas normal (D < 54 S > sesuai jadwal. Kaji
90) efektifitas dan efek samping
(retensi Natrium,
Kehilangan Potasium)
6) Sesuai indikasi, berikan
diuretik dan antasid(untuk
mencegah perdarahan GI
akibat terapi steroid)
4. Ansietas Berhubungan Tujuan : Setelah dilakukan 1) Berikan motivasi pada
dengan kurang tindakan selama 3x24 jam keluarga untuk ikut secara
pengetahuan tentang diharapkan Rasa cemas aktif dalam kegiatan
penyakit berkurang setelah mendapat perawatan klien.
penjelasan 2) Jelaskan pada klien setiap
Kriteria Hasil: Klien tindakan yang akan
mengungkapkan sudah tidak dilakukan.
takut terhadap tindakan 3) Observasi tingkat
perawatan, klien tampak kecemasan klien dan
tenang, klien kooperatif respon klien terhadap
tindakan yang telah
dilakukan

5. Implementasi

NO. DIAGNOSA IMPLEMENTASI


1. Kelebihan volume cairan berhubungan 1) Kaji masukan yang relatif terhadap
dengan akumulasi cairan dalam jaringan keluarn
2) Kaji perubahan edema
3) Uji urine untuk berat jenis, albumin
4) Tampung spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium
5) Berikan kortikosteroid seusia indikasi
6) Berikan diuretik bila diinstruksikan
7) Batasi cairan sesuai indikasi
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan 1) Membantu dan mengidentifikasi
tubuh berhubungan dengan kehilangan defisiensii dan kebutuhan diet.
nafsu makan (anoreksia). 2) Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat
menunjukkan perpindahan keseimbangan
cairan.
3) Meningkatkan nafsu makan
4) meminimalkan anoreksia dan mual

16
sehubungan dengan status uremik

5) Memenuhi kebutuhan protein, yang


hilang bersama urine.
6) Pasien cenderung mengonsumsi lebih
banyak porsi makan jika ia diberi
beberapa makanan kesukanannya.
7) Indikator kebutuhan nutrisi, pembatasan,
dan efektivitas terapi.
3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan 1) Kaji kulaitas dan frekuensi nadi
(intravaskuler) berhubungan dengan 2) Ukur tekanan darah
kehilangan protein dan cairan, edema 3) Berikan albumin bergaram rendah
4. Ansietas Berhubungan dengan kurang 1) Deteksi dini terhadap perkembangan
pengetahuan tentang penyakit klien.
2) Peran serta keluarga secara aktif dapat
mengurangi rasa cemas klien.
3) Penjelasan yang memadai
memungkinkan klien kooperatif terhadap
tindakan yang akan dilakukan

6. Evaluasi
Setelah mendapat intervensi keperawatan, maka pasien dengan
sindrom nefrotik diharapkan sebagai berikut:
1. Kelebihan volume cairan teratasi
2. Meningkatnya asupan nutrisi
3. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
4. Penurunan kecemasan

17
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sindroma nefrotik adalah penyakit ginjal yang mengenai glomerulus
(ginjal terdiri dari tubulus, glomerulus, dll.) dan ditandai proteinuria
(keluarnya protein melalui air kencing) yang masif, hipoalbuminemia
(kadar albumin di dalam darah turun), edema (bengkak) disertai hiperlipid
emia (kadar lipid atau lemak dalam darah meningkat) dan
hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah meningkat) jadi untuk
memastikannya perlu pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan etiologinya dibagi atas:
a) Sindroma nefrotik bawaan.
- Resesif autosomal.
- Reaksi maternofetal.
b) Sindroma nefrotik sekunder.
- Malaria kuartana atau parasit lainnya.
- Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata,
purpura anafilaktoid.
- Glumerulonefritis akut atau kronik, trombosis vena renalis.
- Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam
emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa.
- Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis
membranoproliferatif hipokomplementemik.
- Sindroma nefrotik idiopatik.
- Tidak diketahui sebabnya atau disebut juga SN primer.

2. Saran
Pada makalah yang telah saya susun sedemikian rupa dengan
judul “Asuhan Keperawatan Sindroma Nefrotik” dapat bermanfaat bagi
seluruh komponen masyarakat khususnya, makalah ini kami tujukan untuk
perawat dalam menangani masalah kesehatan yang tertuju pada anak
yang menderita penyakit Sindroma Nefrotik. Makalah ini tidak luput akan
kesalahan baik dari segi bahasa, penyusunan, maupun referensi yang
saya buat, untuk itu saya berharap masukan saran guna dalam
memperbaiki makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Suriadi dan Rita Yulianti, Asuhan Keperawatan pada Anak, edisi 1, Penerbit CV. Sagung
Seto, Jakarta, 2001.

Wong D.L., Pedoman klinis Keperawatan Pediatrik, Edisi 4, EGC –Penerbit Buku
Kedokteran, Jakarta, 2004.
Betz,. Keperawatan Pediatr EGC Penerbit Buku Kedokteran,jakarta,2002

19

Anda mungkin juga menyukai