Anda di halaman 1dari 6

PERAN MIKRONUTRIEN (VITAMIN A

DAN ZINC) TERHADAP SISTEM IMUN


Sep 21
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Vitamin adalah komponen organik yang diperlukan dalam jumlah kecil, namun sangat penting untuk reaksi-
reaksi metabolik di dalam sel, serta diperlukan untuk pertumbuhan normal dan pemeliharaan kesehatan.
Beberapa vitamin berfungsi sebagai koenzim yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya reaksi-reaksi
kimia yang esensial. Sebagian besar koenzim terdapat dalam bentuk apoenzim, yaitu vitamin yang terikat
dengan protein (Almatsier 2006; Piliang 2006).

Zat gizi mikro, baik vitamin maupun mineral diperlukan oleh tubuh dalam jumlah terbatas, namun mempunyai
peranan yang sangat penting. Kekurangan zat gizi mikro pada tingkat ringan sekalipun, dapat mempengaruhi
kemampuan belajar, mengganggu produktivitas kerja, dan kualitas sumber daya manusia (World Bank 2006).
Vitamin dan mineral mempunyai fungsi membantu kerja berbagai jenis enzim, di samping itu juga sebagai
antioksidan yang berkaitan erat dengan fungsi sistem kekebalan (imunitas) tubuh. (Wintegrest et al. 2007).

Sistem imunitas/kekebalan tubuh memerlukan zat gizi antioksidan antara lain untuk memproduksi dan menjaga
keseimbangan sel imun (hematopoises), melindungi membran sel dari SOR ( vitamin dan mineral sebagai
antioksidan), untuk melawan mikroorganisme penyebab penyakit (imunitas bawaan/innate dan
dapatan/adaptive). Tubuh memerlukan vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup agar sistem imun dapat
berfungsi secara optimal. Vitamin dan mineral tertentu seperti vitamin A, vitamin E, vitamin C, vitamin B6,
vitamin B12, zinc, selenium dan zat besi mempunyai peranan dalam respon imun. Zat gizi tersebut membantu
pertahanan tubuh pada tiga level yaitu pertahanan fisik (kulit/mukosa), seluler dan produksi antibodi. Oleh
karena itu kombinasi vitamin dan mineral dapat membantu sistem perlindungan tubuh bekerja dengan optimal
(Wintergerst et al. 2007).

Vitamin A dan zinc adalah zat gizi mikro berperan penting dalam fungsi sistem imunitas bawaan (Innate
immunity) maupun perolehan (adaptive immunity) dan mempertahankan integritas sel mukosa, juga diperlukan
dalam ekspresi gen di selular baik di level transkripsi maupun translasi. Untuk mobilisasi kedua zat gizi mikro
memerlukan karier berupa protein transporter (retinol binding protein dan metallothionine atau albumin) untuk
mengikat dan memindahkan ke jaringan target perifer (Berdanier C.D et al. 2009).

B. TUJUAN

Untuk mengetahui peran mikronutrien (Vitamin A dan Zink) terhadap sistem imun.

PEMBAHASAN

A. SISTEM IMUN

Imunitas atau kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, meniadakan kerja toksin dan faktor
virulen lainnya yang bersifat antigenik dan imunogenik. Antigen adalah suatu bahan atau senyawa yang dapat
merangsang pembentukan antibodi. Antigen dapat berupa protein, lemak, polisakarida, asam nukleat,
lipopolisakarida, lipoprotein dan lain-lain. Antigenik adalah sifat suatu senyawa yang mampu merangsang
pembentukan antibodi spesifik terhadap senyawa tersebut. Sedangkan imunogen adalah senyawa yang dapat
merangsang pembentukan kekebalan/imunitas, dan imunogenik adalah sifat senyawa yang dapat merangsang
pembentukan antibodi spesifik yang bersifat protektif dan peningkatan kekebalan seluler. Jika sistem kekebalan
melemah, kemampuannnya untuk melindungi tubuh juga berkurang, sehingga membuat patogen, termasuk virus
dapat tumbuh dan berkembang dalam tubuh. Sanitasi yang buruk, kesehatan personal, kepadatan penduduk,
makanan dan air yang terkontaminasi serta pengetahuan gizi yang kurang memberikan kontribusi terhadap
menurunnya kekebalan (Roitt 2003).

Sistem imunitas terdiri atas sistem imunitas alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired). Sistem imunitas yang normal sangat penting untuk kesehatan manusia, dan
makanan adalah salah satu faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem imunitas. (Alberset et al., 2005).

Sistem imun non-spesifik adalah sistem pertahanan bawaan, yakni komponen normal tubuh yang selalu
ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba yang akan masuk ke dalam tubuh. Untuk
menyingkirkan mikroba tersebut dengan cepat, imunitas non-spesifik melibatkan kulit dan selaput lendir,
fagositosis, inflamasi, demam, serta produksi komponen-komponen antimikrobial (selain antibodi). Sistem imun
ini disebut non-spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak
lahir. Sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat
memberikan respon secara langsung (Baratawidjaja 2006).

Berbeda dengan sistem imun non-spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda
asing yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh
sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpajan
ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan
benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem ini disebut spesifik (Baratawidjaja 2006).

Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, sel T pada imunitas seluler, dan sel
B pada imunitas humoral. Pada imunitas humoral, CD4+ adalah molekul permukaan sel T helper akan
berintegrasi dengan sel B dan merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B. Pada imunitas seluler, CD4+
mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba intraselular yang menginfeksi sel. Kedua sistem imun
bekerja sangat erat satu dengan lainnya.

B. RESPON IMUN

Sel-sel utama yang berperan pada respon imun adalah makrofag, sel T, sel B, sel NK (Natural Killer), dan sel K
(Killer). Ketiga jenis sel yang pertama berinteraksi satu sama lain secara langsung atau melalui interlukin (IL).
Selain itu juga diikutsertakan komponen humoral, seperti kmplemen, C reaktif Protein (CRP) dan interferon
(IFN). Sedangkan mukosa dan kulit berperan sebagai barier pertama.

Mikroorgnanisme yang menembus barier mekanik non spesifik masih dapat dieliminir oleh barier larut non
spesifik lainnya, seperti enzim lisosom yang akan menghancurkan dinding bakteri, komplemen yang diaktifkan
secara alternative akan melisiskan membrane sel bakteri dan meningkatkan fagisitosis melalui kemotaksis dan
opsonisasim CRP, yang dengan bantuan Ca 2+ akan mengikat berbagai molekul di permukaan bakteri dan jamur,
untuk kemudian memudahkan fagositosis. Selanjutnya respon dari jajaran pertahanan seluler non spesifik
deberikan oleh fagosit, makrofag, sel NK dan sel K. penghancuran bakteri oleh fagosit terjadi melali beberapa
tahap, yaitu kemotaksis, fagositosis, mencerna dan membuang produkya. Makrofag melepaskan lisosom,
komplemen, interferon, dan sitokin yang semuanya berperan dalam pertahanan spesifik dan non spesifik. Sel
NK yang diaktifkan oleh IFN, dapat membunuh sel kanker dan sel yang terinfeksi virus tanpa bantuan antibodi.
IFN juga meningkatkan resistensi sel terhadap virus. Sel K dapat membunuh sel sasaran yang diapisi antibody
melalui Antibody Dependent Cell Citotoxicity (ADCC). ADCC merusak sel tunggal dan mikrorganisme
multiseluler, berperan pada penghancuran sel kanker, penolakan transplant dan penyakit autoimun.
Bila pertahanan non spesifik tidak dapat mengeliminir antigen, system imun spesifik akan dikerahkan. Jika
terjadi suatu rangsangan imunogenik, sebelum ekspresi respon imun spesifik, terjadilah serangkaian peristiwa
seluler (Hunt et al., 2004).
VITAMIN A

Vitamin A sebagai salah satu mikronutrien yang mempunyai peran penting sebagai regulator sistem imun dan
juga sebagai anti infeksi (Charles BS, 2004). Vitamin A juga berfungsi sebagai regulator produksi sitokin.
Dalam beberapa tahun terakhir dibuktikan bahwa vitamin A memegang peran vital bagi perkembangan embrio
sebagai kunci regulator pertumbuhan dan deferensiasi sel-sel tubuh bagi kehidupan. Vitamin A mempunyai
peranan penting pada regulasi hemapoetik sistem, mempunyai efek pada perkembangan dan deferensiasi sel-sel
mieloid leukemia telah ditemukan pada hewan. Kekurangan dan kelebihan vitamin A mempengaruhi respons
imun normal dari tubuh (Blomhoff et al., 2008).

Vitamin A merupakan bagian dari senyawa larut dalam lemak yang penting untuk penglihatan normal, ekspresi
gen, integritas epitel, pertumbuhan, dan fungsi kekebalan tubuh, terdiri dari retinoid dan pro vitamin A
karotenoid (Rose C et al., 2006). Vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua retinoid dan
prekursor/ provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas biologik sebagai retinol. Vitamin A mempunyai
peranan penting di dalam pemeliharaan sel epitel oleh karena itu vitamin A sangat berperan dalam imunitas non-
spesifik, dimana dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel terganggu, keadaan ini sebagian
besar disebabkan karena hilangnya sel globlet penghasil mukus. Salah satu dampak kekurangan vitamin A
adalah meningkatnya kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan
(Almatsier 2006).

Peranan vitamin A selain pada imunitas non-spesifik juga pada imunitas seluler, seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Villamor dan Fauzi (2005) dimana vitamin A selain mempengaruhi kekebalan alami dengan cara
mengganggu pertahanan mukosal, juga dengan cara mengurangi fungsi neutrofil, makrofag, sel NK, dan
mempengaruhi perkembangan sel Th dan sel B yang berfungsi sebagai pertahanan humoral dan seluler. Peranan
vitamin A di dalam imunitas non spesifik dan spesifik juga telah dibuktikan oleh Reifen (2008) dimana
suplementasi vitamin A memperbaiki kondisi inflamasi seperti gangguan kulit, bronco pulmonary dysplasia.

Penelitian pemberian zat gizi kombinasi vitamin A dan zinc oleh Zeba et al (2008) menunjukkan bahwa anak
yang terinfeksi malaria (6-72 bulan) setelah diberi suplemen vitamin A dosis 200.000 IU + zinc elemental 10
mg/hari selama 6 bulan menunjukkan adanya penurunan prevalensi dan keparahan infeksi malaria.

Kekurangan vitamin A (KVA) terjadi ketika simpanan tubuh habis terpakai sehingga mengganggu fungsi
fisiologis. Kekurangan ini dapat merupakan kekurangan primer yang disebabkan oleh kurangnya konsumsi
vitamin A atau kekurangan sekunder karena adanya gangguan penyerapan dan penggunaannya di dalam tubuh,
kebutuhan meningkat, dan karena gangguan pada konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A
pada tahap awal, terjadi gangguan pada integritas sel epitel dan kemudian mengganggu sistem imun, selanjutnya
diikuti gangguan pada sistem penglihatan. Dalam keadaan kekurangan vitamin A, integritas mukosa epitel
terganggu, hal ini sebagian besar disebabkan karena hilangnya sel globlet penghasil mukus. Konsekuensinya
adalah meningkatkan kerentanan terhadap kuman patogen di mata dan saluran nafas serta saluran pencernaan.
Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian dimana anak anak dengan kekurangan vitamin A menderita penyakit
saluran nafas (Long et al. 2006).

ZINC

Zinc merupakan komponen lebih dari 300 enzim yang berpartisipasi dalam sintesa dan degradasi karbohidrat,
lemak, protein, dan asam nukleat. Zinc juga menstabilkan struktur molekul dari komponen seluler dan membran
serta berkontribusi dalam menjaga integritas sel dan organ. Peranan penting lainnya adalah sebagai bagian
integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA, juga
sebagai bagian dari enzim kolagen. Zinc berperan pula dalam sintesa dan degradasi kolagen. Oleh karena itu
zinc berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat dan penyembuhan luka. Di samping itu zinc
diperlukan untuk sintesa Retinol Binding Protein/RBP yaitu protein pengikat retinol di dalam hati. Peranan zinc
di dalam fungsi imunitas antara lain di dalam fungsi sel T dan dalam pembentukan antibodi oleh sel B, serta
pertahanan non-spesifik (Almatsier 2006).

Konsentrasi zinc yang rendah menyebabkan perkembangan abnormal dari sel limfosit T pada manusia.
Kerusakan fungsi limfosit bertanggung jawab pada kemampuan proliferasi sel T dan B. Defisiensi zinc dapat
menekan sintesis DNA atau devisi sel yang diperlukan untuk perkembangan organ normal karena zinc adalah
komponen struktural dari banyak metalloenzymes, termasuk yang terlibat dalam replikasi gen, seperti DNA dan
RNA polimerase (Park et al, 2003). Kekurangan zinc dapat terjadi bila seseorang banyak mengonsumsi
makanan berupa serealia dan kacang-kacangan, dimana makanan ini mengandung tinggi serat dan fitat yang
dapat menghambat penyerapan zinc. Gejala-gejala kekurangan zinc diantaranya menurunnya ketajaman indera
perasa, melambatnya penyembuhan luka, gangguan pertumbuhan, menurunnya kematangan seksual,
terganggunya sistem imun, terganggunya fungsi kelenjar tiroid, laju metabolisme dan gangguan homeostasis
(Almatsier 2006). Kekurangan zinc mengganggu pembentukan IgG (Raqib et al. 2004). Sementara itu,
kelebihan zinc dilaporkan dapat mengganggu penyerapan tembaga. Dosis zinc 2 gram atau lebih dapat
menyebabkan muntah, diare, deman (Almatsier 2006).

Zn juga berperan di dalam perkembangan sel-T, reaksi antigen antibodi dan mempengaruhi fungsi limfosit dan
fagositosis. Suplementasi Zn mampu meningkatkan produksi sitokin oleh sel limfosit T Helper sehingga
menyebabkan terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel. Sitokin berperan dalam banyak respon imun seperti
aktivasi sel T, sel B, monosit dan makrofag. Zn juga mampu berperan sebagai imunostimulator yaitu mampu
meningkatkan sistem kekebalan baik seluler maupun humoral. Sel T merupakan pengatur utama bagi seluruh
fungsi tanggap kebal dengan cara membentuk serangkaian mediator protein yang disebut limfokin. Peningkatan
jumlah limfosit pada suplementasi Zn disebabkan karena Zn mampu meningkatkan produksi limfokin
menyebabkan sel limfosit mampu berdiferensiasi dan berproliferasi dan Zn dibutuhkan oleh sel untuk dapat
tumbuh dan berkembang. Zn juga sebagai kofaktor untuk hormon timulin. Defisiensi hormon ini menyebabkan
kegagalan dalam proliferasi dan menurunnya fungsi sel limfosit T (Prasad et al., 2007).

Peran Zn juga dilaporkan terhadap kemampuannya di dalam meningkatnya aktivitas enzim superoksida
dismutase (SOD) dan mampu meningkatkan semua jenis sel-T, dengan demikian memungkinkan sel-T
berproliferasi dan berdiferensiasi yang pada akhirnya memacu aktivitas enzim selular. Zn dapat menginduksi
produksi sitokin oleh sel leukosit, seperti monosit dengan meningkatkan produksi interleukin-1, interleukin-6
dan tumor nekrosis faktor. Zn juga mampu menstimulasi produksi tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) oleh sel
monosit, sehingga kemampuan fagositosis meningkat. TNF-α merupakan mediator pada tanggap kebal non-
spesifik dan termasuk ke dalam kelompok sitokin. Helge dan Rink (2003) melaporkan bahwa inkubasi sel
mononuklear in vitro dalam medium Zn dapat meningkatkan produksi interleukin 1, interleukin 6, tumor
necrosis factor (TNF), IL-2R dan interferon.

KETERKAITAN VITAMIN A DAN ZINK DALAM SISTEM IMUN

Zinc mempengaruhi metabolisme vitamin A karena zinc dibutuhkan pada sintesis protein transport retinol
(RBP). Selain itu zinc juga dibutuhkan pada proses oksidatif vitamin A di jaringan perifer yang membutuhkan
aktifasi dari zinc dependent retinol dehydrogenase enzyme seperti enzim alkohol dehidrogenase (ADH) dan
retinal oksidase. Akibat kadar zinc yang rendah menyebabkan gangguan dalam proses metabolisme vitamin A.

Kadar zinc rendah akan berpengaruh pada fungsi zinc sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi imunitas
tubuh. Zinc diperlukan dalam aktifitas biologistymulin, yaitu suatu hormon nonpeptida yang disekresi oleh sel-
sel epitelia tymus yang berguna untuk pematangan limfosit T dan produksi interleukin-2. Aktifitas tymulin baik
invitro maupun invivo sangat dipengaruhi konsentrasi zinc dalam serum. Defisiensi zinc mengakibatkan
terjadinya kerusakan epitel saluran nafas, mengganggu fungsi leukosit PMN, sel natural killer,dan aktivasi
komplemen. Defisiensi zinc juga menyebabkan rendahnya kadar vitamin A yang menyebabkan terganggunya
peran vitamin A dalam sistem kekebalan tubuh untuk deferensiasi limfosit T dan limfosit B, penghambatan
apoptosis, serta mempertahankan integritas dan fungsi permukaan mukosa.

Zinc berpengaruh baik secara langsung pada sistem gastrointestinal maupun secara tidak langsung dalam sistem
imun. Zinc berperan dalam menjaga integritas mukosa usus melalui fungsinya dalam regenerasi sel dan
stabilitas membran sel. Defisiensi zinc merusak epidermis dan mukosa saluran cerna (Fedriyansyah et al., 2010).

SIMPULAN

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa kekurangan vitamin A mempengaruhi imunitas non spesifik, antara
lain melalui mekanisme : Hilangnya silia di saluran pernafasan, Hilangnya mikrovilli di saluran pencernaan,
Hilangnya sel musin dan goblet di saluran pernafasan, pencernaan dan saluran kemih, Squamous metaplasia
dengan keratinisasi abnormal di saluran pernafasan dan saluran kemih (genitourinary), Mengganggu fungsi sel
imun yang berhubungan dengan mukosa dan Mengganggu integritas usus. Setiap sel membutuhkan
mineral Zinc (Zn) agar tetap hidup sehat dan dapat berfungsi dengan baik. Zn merupakan mikromineral
dibutuhkan dalam jumlah sedikit akan tetapi mutlak harus ada di dalam pakan, karena dia tidak bisa dikonversi
dari zat gizi lain. Fungsi Zn sebagai kofaktor berbagai enzim, struktur dan integritas sel, sintesis DNA,
penyimpanan dan pengeluaran hormonal, dan berperan dalam sistem tanggap kebal. Zn mampu berperan di
dalam meningkatkan respon imun yang bersifat non-spesifik dan spesifik. Kekurangan Zn dapat menyebabkan
lesio pada kulit, dermatitis, pertumbuhan lambat, kematangan seksual lambat, infertilitas dan imunodefisiensi.
Defisiensi Zn yang parah dicirikan dengan menurunnya fungsi sel imun dan meningkatnya kejadian infeksi.
Defisiensi Zn dikaitkan dengan perubahan fungsi sistem tanggap kebal, seperti menurunnya fungsi selB dan T,
menurunnya fagositosis dan menurunnya produksi sitokin. Suplementasi Zn mampu meningkatkan produksi
sitokin oleh sel Limfosit T helper sehingga menyebabkan terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel. Zn juga
mampu meningkatkan produksi tumor necrosis factor alpha (TNF-α) oleh sel monosit, sehingga kemampuan
fagositosis meningkat. Diduga kekurangan zinc mempengaruhi pembentukan vitamin A pada tingkat seluler.
Pada kondisi kekurangan zinc, sintesis retinol binding protein(RBP) di hati menjadi terganggu dan retinene
reductase activity menurun. Enzim ini adalah enzim yang bergantung pada keberadaan zinc, dan aktivitas
retinene reductaseberhubungan erat dengan adaptasi terhadap gelap pada seseorang dengan kekurangan zinc.
Ditambahkan pula bahwa zinc esensial untuk sintesa (RBP) di hati dan RBP esensial untuk mengangkut vitamin
A dari liver ke jaringan feriferal.

DAFTAR PUSTAKA
Albers R, Antoine JM, Sicard RB, Calder PC, Gleeson M, Lesourd B, Samartin S, Sanderson IR, Loo JV, Van
Dias FW, Watzl B. 2005. Markers to measure immunomodulation in human nutrition intervention
studies. British Journal of Nutrition 94:452-481

Almatsier S. 2006. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Berdanier C.D. dan Zempleni J. Advanced Nutrition: Macronutriens, Micronutrients and Metabolism. Boca
Raton: CRC Press. 2009; 309-339, 476-482

Baratawidjaja. 2006. Immunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Blomhoff et al., 2008. Vitamin A is the key Regulator for cell growth and cytokines,British Journal Nutrition.
23: 170-85

Charles BS. 2004. Vitamin A in immunity system, Annual Review Nutrition. 21 : 167-99

Fedriyansyah,HM Nazir Hz, Theodorus, Syarif Husin. 2010. Hubungan kadar zinc dan vitamin A dengan
kejadian ISPA dan diare pada anak. Sari Pediatri, Vol. 12, No. 4, Desember 2010, 244-245

Helge, K. and L. Rink. 2003. Zinc altered immune function. J. Nutr. 133: 1452S – 1456S

Hunt J.R., Gallagher S.K., Johnson L.K. and Lykken G.I. 2004. Effect of zinc supplementation on immune and
inflamantory responses in pediatric patient with shigellosis. Am J Clin Nutr. 79, 444-450

Long KZ, Montoya Y, Hertzmark E, Santos JI, Rosado JL. 2006. A double-blind, randomized clinical trial on
the effect of vitamin A and zinc supplementation on diarrheal disease and respiratory tract infections in children
in Mexico City, Mexico. Am J Clin Nutr;83:693-700.

Piliang WG dan Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi. Volume II. IPB Press

Prasad, A.S., F.W. Beck, B. Bao, J.T. Fitzgerald, D. C.Snell, J.D. Steinber Gand L. J. Cardoso. 2007.
Zinc supplementation decreases incidence of infections in the elderly: Effect of zinc on generation of cytokines
and oxidative stress. Am. J. Clin. Nutr. 85: 837 – 844.

Roitt IM. 2003. Essential Immunology. Blackwell Science limite. Oxford

Reifen Ram. 2008. Vitamin A as an anti-inflammatory agent. Cambridge University Press.

Rose C Graham-Maar, Joan I Schall, Nicolas Stettler, Babette S Zemel, and Virginia A Stallings. 2006. Elevated
vitamin A intake and serum retinol in preadolescent children with cystic fibrosis. AmJ Clin Nutr;84:174–82

Raqib R, Swapan KR, Jubayer M, Tasnim, Syeda. 2004. Effect of Zn supplementation on immune and
inflammatory responses in pediatric patients with shigellosis. Am J Clin Nutr Vol 79(3):444-450.

S. Y. Park, S. G. Birkhold, L. F. Kubena, D. J. Nisbet, And S. C. Ricke. 2003. Review on the Role of Dietary
Zinc in Poultry Nutrition, Immunity, and Reproduction. Biological Trace Element Research Vol. 101: 148-149
Villamor E, Fawzi WW. 2005. Effect of vitamin A suplementastion on immune respon and correlation with
clinical outcomes. Clinical Microbiology Review 18 (3): 446-464

Zeba A, Herman S, Noel R, Issiaka Z, Jeremi R, Robert TG, Davidson H, Najat M, Jean BO. 2008. Major
reductions of malaria morbidity with combined vitamin A and Zinc suplementation in young children in Burkina
Faso: a randomized double blind trial

Anda mungkin juga menyukai