Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat semakin
meresahkan. Dalam menyelesaikan suatu konflik atau permasalahan disertai dengan
tindakan kekerasan. Secara umum, tindakan kekerasan dapat diartikan penggunaan
secara sengaja kekuatan fisik atau kekuatan, ancaman atau kekerasan aktual terhadap
diri sendiri, orang lain, atau terhadap kelompok atau komunitas, yang berakibat luka
atau kemungkinan besar bisa melukai, mematikan, membahayakan psikis,
pertumbuhan yang tidak normal atau kerugian. Bentuk kekerasan banyak ragamnya,
meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi,
kekerasan simbolik dan penelantaran. Kekerasan dapat dilakukan oleh perseorangan
maupun secara berkelompok, secara serampangan (dalam kondisi terdesak) atau
teroganisir.
Kekerasan fisik dapat terjadi dimana saja, kapan saja dan pada siapa saja.
Dalam lingkungan rumah sakit juga bisa terjadi kekerasan fisik, baik pada pegawai,
pasien, penunggu pasien, maupun pengunjung pasien. Oleh karena itu pihak rumah
sakit perlu melakukan pencegahan agar tidak terjadi kekerasan fisik.

B. Definisi
1. Kekerasan Fisik adalah ekspresi dari apa baik yang dilakukan secara fisik yang
mencerminkan tindakan agresi dan penyerangan pada kebebasan atau martabat
seseorang. Kekerasan fisik dapat dilakukan oleh perorangan atau sekelompok
orang.
2. Perlindungan Pasien Terhadap Kekerasan Fisik adalah suatu upaya rumah
sakit untuk melindungi pasien dari kekerasan fisik oleh pengunjung, pasien lain
atau staf rumah sakit.
3. Bayi Baru Lahir (Neonatus) adalah bayi dalam kurun waktu satu jam pertama
kelahiran.
4. Bayi Yang Lahir Normal adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan 37
minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500 gram sampai 4000 gram.
5. Anak-Anak adalah masa yang dimulai dari dari periode bayi sampai masa
pubertas yaitu 13 – 14 tahun.
6. Lansia (Lanjut Usia) adalah periode dalam kehidupan yang ditandai dengan
menurunnya kemampuan fisik dan psikologis. Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia pertengahan (middle
age) 45-59 tahun, Lanjut Usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75-90
tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
7. Orang Dengan Gangguan Jiwa adalah orang yang mengalami suatu perubahan
pada fungsi kejiwaan. Keadaan ini ditandai dengan adanya gangguan pada fungsi

1
jiwa, yang menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran social.
8. Perempuan adalah seorang manusia yang mempunyai vagina, dapat menstruasi,
hamil, melahirkan dan menyusui anak.
9. Kekerasan Pada Perempuan adalah segala bentuk kekerasan berbasis jender
yang berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental atau penderitaan terhadap
perempuan.
10. Koma dalam istilah kedokteran adalah suatu kondisi tidak sadar yang sangat
dalam, sehingga tidak memberikan respon atas rangsangan rasa sakit atau
rangsangan cahaya.
11. Pasien Koma adalah pasien yang tidak dapat dibangunkan, tidak memberikan
respons normal terhadap rasa sakit atau rangsangan cahaya, tidak memiliki siklus
tidur-bangun, dan tidak dapat melakukan tindakan sukarela. Koma dapat timbul
karena berbagai kondisi, termasuk keracunan, keabnormalan, metabolik, penyakit
sistem saraf pusat, serta luka neurologis akut seperti stroke dan hipoksia, gegar
otak karena kecelakaan berat terkena kepala dan terjadi perdarahan di dalam
tempurung kepala. Koma juga dapat secara sengaja ditimbulkan oleh agen
farmasentika untuk mempertahankan fungsi otak setelah timbulnya trauma otak
lain.

C. Tujuan
1. Sebagai panduan bagi seluruh tenaga yang ada di rumah sakit dalam melindungi
pasien/ keluarga dari kekerasan fisik, terutama bagi kelompok yang berisiko
mengalami kekerasan fisik
2. Meningkatkan kualitas pelayanan dan rasa nyaman pasien/ keluarga saat berada di
dalam lingkungan rumah sakit

BAB II
RUANG LINGKUP

1. Panduan perlindungan dari kekerasan fisik dilakukan oleh pimpinan dan seluruh staf
RS Mutiara Hati.
2. Perlindungan dari kekerasan fisik diterapkan bagi seluruh pasien dan keluarga pasien
di RS Mutiara Hati antara lain :

2
a. Bayi baru lahir (neonatus) dan anak-anak
Kekerasan terhadap bayi meliputi semua bentuk tindakan / perlakuan menyakitkan
secara fisik, pelayanan medis yang tidak standar seperti inkubator yang tidak
layak pakai, penculikan, bayi tertukar dan penelantaraan bayi.
b. Kekerasan pada anak (child abuse) di rumah sakit adalah perlakuan kasar yang
dapat menimbulkan penderitaan, kesengsaraan, penganiayaan fisik, seksual,
penelantaraan (ditinggal oleh orang tuanya di rumah sakit), maupun emosional,
yang diperoleh dari orang dewasa yang ada di lingkungan rumah sakit. Hal
tersebut mungkin dilakukan oleh orang tuanya sendiri, pasien lain atau
pengunjung atau oleh staf rumah sakit.
c. Lansia (lanjut usia)
Dalam kehidupan sosial, kita mengenal adanya kelompok rentan, yaitu semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat
yang berperadaban. Salah satu contoh kelompok rentan tersebut adalah lanjut usia
(lansia).
d. Kekerasan pada perempuan
Kekerasan di rumah sakit dapat berupa perkosaan, yaitu hubungan seksual yang
dilakukan seseorang atau lebih tanpa persetujuan korbannya. Namun perkosaan
tidak semata-mata sebuah serangan seksual akibat pelampiasan dari rasa marah,
bisa juga disebabkan karena godaan yang timbul sesaat seperti melihat bagian
tubuh pasien wanita yang tidak ditutupi pakaian atau selimut, mengintip pasien
saat mandi dan sebagainya.
e. Orang dengan gangguan jiwa
Pasien dengan gangguan jiwa terkadang tidak bisa mengendalikan perilakunya,
sehingga pasien tersebut perlu dilakukan tindakan pembatasan gerak (restraint)
atau menempatkan pasien di kamar isolasi.
Kekerasan fisik pada pasien jiwa yang dilakukan restrain di rumah sakit, bisa
disebabkan oleh tindakan restrain yang tidak sesuai prosedur, atau menggunakan
pengikat yang tidak standar. Selain itu, pasien jiwa yang dilakukan restrain mudah
menerima kekerasan fisik, baik dari pengunjung lain, sesama pasien jiwa, maupun
oleh tenaga medis.
f. Pasien koma
Kekerasan fisik bagi pasien yang koma di rumah sakit, bisa disebakan oleh
pemberian asuhan medis yang tidak standar, penelantaraan oleh perawat,
diperlakukan secara kasar oleh tenaga kesehatan yang bertugas sampai pada
menghentikan bantuan hidup dasar pada pasien tanpa persetujuan keluarga/ wali.
g. Pasien dengan cacat fisik
Pasien dengan cacat fisik memiliki keterbatasan untuk melindungi dirinya sendiri
bila terjadi kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang terjadi pada pasien cacat di
Rumah Sakit bisa disebabkan karena tindakan tenaga kesehatan saat perawatan,
karena staf rumah sakit, pengunjung ataupun pihak-pihak lain yang ada di Rumah

3
Sakit Mutiara Hati yang bermaksud untuk melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan.
h. Pasien korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Pasien korban KDRT memiliki keadaan fisik dan psikis yang kurang stabil akibat
kekerasan yang terjadi sebelumnya. Jika ditemui pasien dengan korban KDRT di
RS Mutiara Hati Mojokerto, perlu dilakukan pengawasan yang lebih intensif
dibandingkan pasien lain. Hal ini dikarenakan, pasien tersebut berpotensi
menyakiti diri sendiri dan orang lain disekitarnya. Jika perlu, perawat dapat
melakukan koordinasi dengan pihak keamanan Rumah Sakit.
i. Pasien Napi, korban dan tersangka tindak pidana
Pasien Napi, korban dan tersangka tindak pidana sangat berisiko untuk mengalami
kekerasan fisik baik oleh pihak dalam maupun pihak dari luar Rumah Sakit. Hal
ini dikarenakan pasien tersebut berkaitan dengan masalah pidana yang terjadi
sebelumnya. Pihak rumah sakit perlu mengawasi pasien tersebut dengan lebih
intensif, sehingga tidak menyakiti orang lain ataupun disakiti oleh pihak lain. Jika
diperlukan, pihak rumah sakit dapat melakukan kerja sama dengan pihak yang
berwajib selama perawatan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Panduan perlindungan dari kekerasan fisik ini dilakukan di seluruh instalasi di RS
Mutiara Hati Mojokerto.
4. Panduan perlindungan dari kekerasan fisik ini dilaksanakan setiap waktu, terutama
jika terdapat pasien yang tergolong dalam kelompok yang berisiko mengalami
kekerasan fisik.

BAB III
TATA LAKSANA

A. Tatalaksana dari perlindungan terhadap kekerasan fisik pada pasien sebagai


berikut :
1. Petugas Rumah Sakit melakukan proses mengidentifikasi pasien berisiko melalui
pengkajian secara terperinci.
2. Bila tindak kekerasan fisik dilakukan oleh pasien : Perawat unit bertanggung jawab
untuk mengamankan kondisi dan memanggil dokter medis untuk menilai kebutuhan
fisik dan psikologis dan mengecualikan masalah medis pasien tersebut.
3. Bila tindak kekerasan dilakukan oleh anggota staf rumah sakit : Perawat unit
bertanggung jawab menegur staf tersebut dan melaporkan insiden ke kepala bidang
terkait untuk diproses lebih lanjut.

4
4. Bila tindak kekerasan dilakukan oleh pengunjung : Staf bertanggung jawab dan
memiliki wewenang untuk memutuskan diperbolehkan atau tidak pengunjung tersebut
memasuki area Rumah Sakit.
5. Monitoring di setiap lobi, koridor rumah sakit, unit rawat inap, rawat jalan maupun di
lokasi terpencil atau terisolasi dengan pemasangan kamera CCTV (Closed Circuit
Television) yang terpantau oleh Petugas Keamanan selama 24 (dua puluh empat) jam
terus menerus.
6. Jumlah penunggu yang diijinkan hanya 2 (dua) orang, dan wajib memakai kartu
penunggu.
7. Setiap pengunjung rumah sakit selain penunggu pasien wajib melapor ke petugas
informasi di front office dan wajib mengisi buku kunjungan serta wajib memakai
kartu pengunjung.
8. Pemberlakuan jam berkunjung pasien :
Pagi : jam 10.00 – 13.00 WIB
Sore : jam 16.00 – 19.00 WIB
9. Petugas keamanan berwenang menanyai pengunjung yang mencurigakan dan
mendampingi pengunjung terebut sampai ke pasien yang dimaksud.
10. Staf perawat unit wajib melapor kepada petugas keamanan apabila menjumpai
pengunjung yang mencurigakan atau pasien yang dirawat membuat keonaran maupun
kekerasan.

B. Tata laksana perlindungan terhadap pasien usia lanjut dan gangguan kesadaran :
1. Pasien Rawat jalan
a. Pendampingan oleh petugas penerimaan pasien dan mengantarkan sampai ke
tempat periksa yang dituju dengan memakai alat bantu bila diperlukan.
b. Perawat poli umum, spesialis dan gigi wajib mendampingi pasien saat
dilakukan pemeriksaan sampai selesai.
2. Pasien rawat inap
a. Penempatan pasien dikamar rawat inap sedekat mungkin dengan kantor
perawat
b. Perawat memastikan dan memasang pengaman tempat tidur
c. Perawat memastikan telepon PABX pasien mudah dijangkau oleh pasien dan
dapat digunakan.

5
d. Meminta keluarga untuk menjaga pasien baik oleh keluarga atau pihak yang
ditunjuk dan dipercaya.

C. Tata laksana perlindungan terhadap penderita cacat :


1. Petugas penerima pasien melakukan proses penerimaan pasien penderita cacat baik
rawat jalan maupun rawat inap dan wajib membantu serta menolong sesuai dengan
kecacatan yang disandang sampai proses selesai dilakukan.
2. Bila diperlukan, perawat meminta pihak keluarga untuk menjaga pasien atau pihak
lain yang ditunjuk sesuai kecacatan yang disandang.
3. Memastikan telepon PABX pasien dijangkau oleh pasien dan memastikan pasien
dapat menggunakan telepon PABX tersebut.
4. Perawat memasang dan memastikan pengaman tempat tidur pasien.

D. Tata laksana perlindungan terhadap bayi dan anak-anak:


1. Ruang neonatus harus dijaga minimal satu orang perawat atau bidan, ruangan tidak
boleh ditinggalkan tanpa ada perawat atau bidan yang menjaga.
2. Perawat meminta surat pernyataan secara tertulis kepada orang tua apabila akan
dilakukan tindakan yang memerlukan pemaksaan.
3. Perawat memasang pengamanan tempat tidur pasien.
4. Pemasangan CCTV di ruang neonatus untuk memantau setiap orang yang keluar
masuk dari ruang tersebut.
5. Perawat memberikan bayi dari ruang neonatus hanya kepada ibu kandung bayi bukan
kepada keluarga yang lain.

E. Tata laksana perlindungan terhadap pasien yang berisiko disakiti ( risiko


penyiksaan, napi, korban dan tersangka tindak pidana, korban kekeran dalam
rumah tangga ) :
1. Pasien ditempatkan di kamar perawatan sedekat mungkin dengan kantor perawat.
2. Pengunjung maupun penjaga pasien wajib lapor dan mencatat identitas dikantor
perawat,berikut dengan penjaga pasien lain yang satu kamar perawatan dengan pasien
berisiko.
3. Perawat berkoordinasi dengan satuan pengamanan untuk memantau lokasi perawatan
pasien,penjaga maupun pengunjung pasien.
4. Koordinasi dengan pihak berwajib bila diperlukan.

F. Daftar kelompok pasien berisiko adalah sebagai berikut :


1. Pasien dengan cacat fisik dan cacat mental.

6
2. Pasien usia lanjut
3. Pasien bayi dan anak-anak
4. Korban kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT)
5. Pasien Napi,korban dan tersangka tindak pidana

BAB IV
DOKUMENTASI

1. Pencatatan dan pelaporan dilakukan oleh seluruh penyelenggara RS dengan


menggunakan format yang sudah disediakan.
2. Seluruh tindakan perlindungan dari kekerasan fisik yang dilakukan di catat dalam :
a. Formulir insiden keselamatan pasien
b. Lembar Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT)
c. Buku pencatatan pengunjung pasien.

Anda mungkin juga menyukai