PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asma
2.1 Definisi
2.2 Etiologi
Faktor – faktor yang dapat memicu atau memperburuk gejala asma adalah termasuk :
- Alergen lingkungan (debu rumah, allergen hewan pada kucing dan anjing, allergen kecoa,
dan jamur)
- Infeksi virus saluran nafas
- Latihan, hiperventilasi
- GERD (Gastroesofageal Reflux Disease)
- Chronic sinusitis dana tau rhinitis
- Aspirin hipersensitifitas
- Beta-blocker adrenergic
- Zat iritan (spray, bau cat)
- Factor emosional
- Factor perinatal (premature dan peningkatan umur maternal, smoking)
[ ] Camargo CA Jr, Weiss ST, Zhang S, Willett WC, Speizer FE. Prospective study of body
mass index, weight change, and risk of adult-onset asthma in women. Arch Intern Med.
1999 Nov 22. 159(21):2582-8.
Trias dari asma, sensitivitas aspirin, dan polip hidung mempengaruhi 5-10% pasien
asma. Kebanyakan pasien mengalami gejala selama dekade ketiga sampai keempat. Dosis tunggal
dapat memicu eksaserbasi asma akut, disertai dengan rhinorrhea, iritasi konjungtiva, dan
pembilasan kepala dan leher. Hal ini juga dapat terjadi dengan obat anti-inflamasi nonsteroid
lainnya dan disebabkan oleh peningkatan eosinofil dan leukotrien sisteinil setelah terpapar.
Pengobatan primer adalah penghindaran obat ini, namun antagonis leukotrien telah menunjukkan
harapan dalam pengobatan, yang memungkinkan pasien tersebut mengkonsumsi aspirin setiap hari
untuk penyakit jantung atau rematik. Desensitisasi aspirin juga telah dilaporkan dapat mengurangi
gejala sinus, yang memungkinkan dosis aspirin setiap hari.
Peningkatan asam lambung di esofagus distal, dimediasi melalui refleks saraf atau reflek
vagal lainnya, dapat secara signifikan meningkatkan resistensi saluran napas dan reaktivitas jalan
napas. Penderita asma 3 kali lebih mungkin untuk memiliki GERD. Beberapa penderita asma
memiliki refluks gastroesofagus yang signifikan tanpa gejala kerongkongan. Refluks
gastroesophageal ditemukan sebagai faktor penyebab asma yang pasti (didefinisikan oleh respon
asma yang menguntungkan terhadap terapi antireflux medis) pada 64% pasien; Refluks diam
secara klinis hadir pada 24% dari semua pasien.
Asma akibat olahraga (EIA), atau olahraga yang diinduksi bronkokonstriksi (EIB),
adalah varian asma yang didefinisikan sebagai kondisi di mana olahraga atau aktivitas fisik yang
kuat memicu bronkokonstriksi akut pada orang dengan reaktivitas saluran udara yang meningkat.
Hal ini terutama diamati pada orang-orang yang menderita asma (bronkokonstriksi akibat olahraga
pada orang-orang yang menderita penyakit asma) tetapi juga dapat ditemukan pada pasien dengan
temuan spirometri istirahat normal dengan atopi, rhinitis alergi, atau fibrosis kistik dan bahkan
pada orang sehat, banyak di antaranya adalah elit Atau atlet cuaca dingin (exercise-induced
bronchoconstriction at athletes). Bronkokonstriksi akibat olahraga seringkali merupakan diagnosis
yang terabaikan, dan asma yang mendasarinya mungkin diam pada sebanyak 50% pasien, kecuali
saat berolahraga.
Sebuah studi oleh Cottrell dkk mengeksplorasi hubungan antara asma, obesitas, dan
metabolisme lipid dan glukosa yang abnormal. Studi ini menemukan bahwa data berbasis
komunitas menghubungkan asma, massa tubuh, dan variabel metabolik pada anak-anak. Secara
khusus, temuan ini menggambarkan hubungan yang signifikan secara statistik antara asma dan
metabolisme lipid dan glukosa abnormal di luar asosiasi massa tubuh. Bukti menumpuk bahwa
individu dengan indeks massa tubuh tinggi memiliki kontrol asma yang lebih buruk dan penurunan
berat badan yang berkelanjutan memperbaiki kontrol asma.
Peningkatan berat badan yang dipercepat pada awal masa kanak-kanak dikaitkan dengan
peningkatan risiko gejala asma menurut satu studi anak-anak prasekolah.
[28]Cottrell L, Neal WA, Ice C, Perez MK, Piedimonte G. Metabolic abnormalities in children
with asthma. Am J Respir Crit Care Med. 2011 Feb 15. 183(4):441-8.
Michael JM, Daniel JP, ect. Asthma. Medscape. 2017, Diakses pada 18 Juli 2017
[http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview#a5]
2.3 Epidemiologi
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi masalah kesehatan
baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi dan angka rawat inap penyakit
asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi,
angka kesakitan dan kematian asma bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam
berbagai penelitian. Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma
bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai belahan dunia.
Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan kuisioner namun mendapatkan hasil
yang konsisten untuk prevalensi asma bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan
prevalensi lebih banyak pada wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data
epidemiologi yang pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.4
Dua pertiga penderita asma bronkial merupakan asma bronkial alergi (atopi) dan 50% pasien
asma bronkial berat merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial atopi ditandai dengan
timbulnya antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti debu, tungau rumah, bulu binatang dan
jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon terhadap alergen. Prevalensi
asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%. Asma bronkial merupakan interaksi yang
kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. Data pada penelitian saudara kembar monozigot
dan dizigot, didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial diturunkan sebesar 60-70%.4
Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi Indonesia 2008;28. 165-73.
2.4 Patofisiologi
Gejala – gejala tersebut berhubungan dengan aliran udara ekspirasi yang bervariasi seperti
susah bernafas karena bronkokonstriksi (penyempitan jalan nafas), penebalan dinding saluran
udara, dan karena peningkatan produksi mucus di jalan nafas.
Allergen merupakan factor risiko yang sering menyebabkan kejadian eksaserbasi akut pada
asma. Reaksi alergi pada asma merupakan reaksi hipersensifitas tipe 1. Allergen yang masuk
(debu, asap) akan berinteraksi dengan sel TH2 di dalam plasma, selanjutnya akan merangsang
pembentukan IgE dalam plasma yang nanti akan berikatan dengan reseptor FC di sel mast. Sel
mast yang telah berikatan dengan IgE, akan mengalami degranulasi sel mast dan terjadi eksositosis
mediator inflamasi (histamin, interleukin, leukotriene, prostaglandin, bradykinin) dan kemokin.
Efek mediator inflamasi pada saluran pernafasan pada asma di bagian bronkus adalah terjadinya
peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi edema mucosa, hipersekresi mucus,
dan terjadinya bronkospasme. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan resistensi pernafasan,
sehingga pada saat ekspirasi paru akan memerlukan tekanan yang lebih besar untuk ekspirasi.
Ciri khas suara nafas ekspirasi mengi/ wheezing (musikal, bernada tinggi, bersiul yang
dihasilkan oleh turbulensi aliran udara), merupakan salah satu gejala yang paling umum. Asma
yang paling ringan, mengi hanyalah ekspirasi akhir. Seiring dengan meningkatnya tingkat
keparahan, wheeze berlangsung sepanjang ekspirasi. Pada episode asma yang lebih parah, mengi
juga terdengar pada saat inspirasi. Selama episode yang paling parah, mengi mungkin tidak ada
karena keterbatasan aliran udara yang parah yang terkait dengan penyempitan saluran napas dan
kelelahan otot pernafasan.
Asma dapat terjadi tanpa mengi ketika obstruksi melibatkan sebagian besar saluran udara
kecil. Dengan demikian, mengi tidak perlu untuk diagnosis asma. Selanjutnya, mengi dapat
dikaitkan dengan penyebab penyumbatan jalan napas lainnya, seperti cystic fibrosis dan gagal
jantung. Pasien dengan disfungsi pita suara, yang sekarang disebut sebagai Induciblke laryngeal
obstruction (ILO), memiliki wheeze monofonik pada saat inspirasi (berbeda dari wheeze polifonik
pada asma), yang paling baik didengar pada area laring di leher. Pasien dengan Excessive dynamic
airway collapse (EDAC), bronkomalacia, atau trakeomalacia juga terdengar monofonik ekspirasi
yang terdengar di atas saluran napas yang besar. Pada bronkokonstriksi akibat olahraga, mengi
mungkin terjadi setelah olahraga, dan pada asma nokturnal, mengi hadir di malam hari.
Batuk mungkin satu-satunya gejala asma, terutama pada kasus asma yang diinduksi
olahraga atau nokturnal. Biasanya, batuk tidak produktif dan nonparoksismal. Anak-anak dengan
asma nokturnal cenderung batuk setelah tengah malam dan pada dini hari. Dada sesak atau riwayat
sesak atau nyeri di dada mungkin ada bersamaan dengan atau tanpa gejala asma lainnya, terutama
pada asma yang diinduksi olahraga atau nokturnal.
Gejala nonspesifik lainnya pada bayi atau anak kecil mungkin merupakan riwayat
bronkitis kambuhan, bronkiolitis, atau pneumonia. Batuk terus-menerus dengan pilek; Dan / atau
croup berulang atau dada berderak. Sebagian besar anak-anak dengan bronkitis kronis atau rekuren
memiliki asma. Asma juga merupakan diagnosis dasar yang paling umum pada anak-anak dengan
pneumonia rekuren; Anak yang lebih tua mungkin memiliki riwayat sesak dada dan / atau
kemacetan dada berulang.
- Riwayat gejala saluran pernafasan seperti mengeluarkan suara wheezing pada wakti
ekspirasim pernafasan menjadi pendek, rasa sesak di bagian dada, batuk – batuk yang
bervariasi dari waktu – kewaktu dan dengan intensitas berbeda
- Mempunyai keterbatasan aliran udara ekspirasi.
Pendekatan untuk mendiagnosis pasien dengan gejala saluran pernafasan menurut pedoman
GINA dan GOLD 2017 adalah sebagai berikut :
Step pertama adalah dengan mengidentifikasi risiko yang dimiliki oleh pasien dan
melakukan ekslusi penyebab potensial lainya terhadap gejala respiratoriknya. Hal ini dilakukan
berdasarkan riwayat medis / gejala klinis, pemeriksaan fisik (inspeksi dada, perkusi, auskultasi
wheezing, ronki dll) dan pemeriksaan penunjang lainya (pemeriksaan radiologi, hematologi
pendukung, sputum dll)
Step kedua adalah memastikan gambaran klinis sesuai dengan asma atau penyakit PPOK,
dengan cara mengidentifikasi lebih dalam dan memilah – milah bahwa gejala/ ciri klinis yang
tampak merupakan tipikal asma atau ppok.
Table 1. Gejala Umum pada Asma, PPOK, dan Asma – PPOK overlaping
Step ke tiga adalah dengan melakukan tes penunjang Spirometry. Spirometry sangat
penting untuk penilaian pasien dengan kecurigaan pengakit saluran nafas kronis. Tes ini harus
dilakukan pada kunjungan awal pasien maupun berikutnya, jika mungkin sebelum dan setelah
pengobatan dilakukan. Pada asma pemeriksaan sebelum dan sesudah penggunaan bronkodilator
dapat dilakukan dengan hasil pada penderita asma akan terjadi perbaikan jalan nafas bisa sampai
normal, tergantung derajat keparahan asma. Jiks Post – bronchodilator FEV1 > 80 % maka sesuai
dengan diagnosis asma yang ringan atau terkontrol baik, dan kita hasil FEV1 < 80% dari prediksi
normal, maka sesuai dengan diagnosis asma tapi dengan risiko terjadinya eksaserbasi berulang.\
Step ke empat adalah bagaimana memulai terapi inisial untuk asma. Mulai terapi sesuai
dengan klasifikasi asma dan paduan stategi oleh GINA. Secara farmakologi Mukai dengan Inhalan
Kortikosteroid (ICS), dengan tambahan pengobatan jika perlu seperti Long-acting beta2-agonist
(LABA) atau penggunaan Long-acting muscarinic antagonist (LAMA)
Step kelima adalah dengan cara melakukan investigasi secara spesialistik, dengan meminta
pendapat dari expert dan evaluasi diagnosis lainya jika diperlukan.
Box 1. Ringkasan strategi pendekatan pada Disease of chronic airflow limitation dalam praktek
klinis
[1] [Guideline] National Asthma Education and Prevention Program. Expert Panel Report
3 (EPR-3): Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma-Summary Report
2007. J Allergy Clin Immunol. 2007 Nov. 120 (5 Suppl):S94-138.
[101] Rank MA, Liesinger JT, Ziegenfuss JY, Branda ME, Lim KG, Yawn BP, et al. The
impact of asthma medication guidelines on asthma controller use and on asthma
exacerbation rates comparing 1997-1998 and 2004-2005. Ann Allergy Asthma Immunol.
2012 Jan. 108(1):9-13.
Pedoman NAEPP 2007 dan pedoman pengelolaan asma VA / DoD 2009 menggunakan
tingkat keparahan klasifikasi asma di bawah ini, dengan ciri keparahan asma dibagi menjadi
tiga grafik untuk mencerminkan klasifikasi pada kelompok usia yang berbeda (0-4 y, 5 -11 y,
dan 12 y dan lebih tua). Klasifikasi meliputi (1) asma intermiten, (2) asma persisten ringan, (3)
asma persisten sedang, (4) dan asma persisten berat.
Rekomendasi panduan klinis asma GINA 2016 mengenai tatalaksana untuk pengobatan dan
kontrol gejala adalah sebagai berikut [101]:
1. Langkah 1: SABA, tanpa controller; Pilihan lain adalah mempertimbangkan ICS dosis
rendah untuk pasien dengan risiko eksaserbasi
2. Langkah 2: ICS dosis rendah reguler plus SABA yang dibutuhkan; Pilihan lainnya
adalah LTRA atau teofilin
3. Langkah 3: ICS / LABA dosis rendah plus terapi SABA atau ICS / formoterol yang
dibutuhkan dan terapi pereda; Pilihan lainnya adalah ICS dosis sedang atau ICS /
LABA dosis rendah
4. Langkah 4: Terapi dengan dosis rendah ICS / formoterol dan terapi pereda atau ICS /
LABA dosis sedang sebagai perawatan plus SABA yang dibutuhkan; Add-on
tiotropium untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi; Pilihan lain adalah dosis tinggi
ICS / LTRA atau teofilin slow-release; Rujuklah untuk penilaian dan saran ahli
5. Langkah 5: Rujuk penyelidikan ahli dan perawatan tambahan; Perawatan tambahan
meliputi tiotropium oleh inhaler kabut untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi,
omalizumab untuk asma alergi parah, dan mepolizumab untuk asma eosinofilik berat;
Pilihan lain adalah beberapa pasien mungkin mendapat manfaat dari kortikosteroid oral
dosis rendah namun efek samping sistemik jangka panjang terjadi
Berdasarkan panduan klinis GINA 2016 menekankan pentingnya membedakan antara asma
berat dan asma yang tidak terkontrol, yang mana secara umum menentukan gejala presisten dan
eksaserbasi, dan mungkin akan lebih mudah diperbaiki. Masalah yang paling umum yang perlu
dikesampingkan sebelum diagnosis asma berat bisa dilakukan adalah sebagai berikut [101]:
- Penyuluhan
- Menghindari faktor pencetus
- Pengendalian emosi
- Pemakaian oksigen
Amin M, Alsagaff H, Saleh T. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press. 1989. 1-
11.
Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara Eosinofil Sputum dengan
Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia 2006;1.45
2. Pengobatan Farmakologis
Pengobatan pada asma harus dilakukan secara adekuat guna mengurangi kejadian eksaserbasi akut
yang dapat mengganggu aktifitas keseharian. Untuk hasil yang memuaskan, pemberian controller
harian harus dilakukan secepat mungkin setelah ditegakanya diagnosis asma, karena:
- Pengobatan awal dengan low – dose Inhalan Corticosteroid (ICS) akan memperbaiki fungsi
paru – paru
- Pada pasien yang tidak mengkonsumsi ICS dengan eksaserbasi yang parah mempunyai
kemungkinan yang rendah untuk fungsi paru jangka panjang dari pada yang telah memulai
terapi ICS.
- Pada asma okupasional, menghindari / menghilangkan ekspose factor risiko dan terapi
awalan meningkatkan kemungkinan untuk kesembuhan / recovery.
Rekomendasi untuk penggunaan low-dose ICS pada pasien asma dengan gejala lebih dari 2 kali
sebulan, gejala bangun di malam hari karena asma lebih dari sekali sebulan dan adanya factor –
factor risiko terjadinya eksaserbasi asma.
Peningkatan dosis terapi sesuai dengan gejala yang semakin memberat seperti bangun do
malam hari karena asma lebih dari sekali seminggu sekali dan jika terdapat factor risiko
eksaserbasi. Dosis diturunkan ketika asma sudah terkontrol baik dalam 3 bulan.
Asma merupakan penyakit yang bersifat multifactorial, yang mana penyebab tersering atau
patofisiologi tersering adalah karena reaksi hipersensitifitas terhadap allergen tertentu. Reaksi
allergi yang terjadi ada yang fase cepat dan fase lambat. Gejala berupa batuk, suara nafas tambahan
berupa wheezing, rasa sesak di dada, dan nafas yang cepat dapat menjadi acuan kecurigaan
terjadinya asma. Identifikasi factor risiko merupakan hal yang sangat penting selain temuan klinis,
dan untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang lainya seperti tes
spirometry, tes hematologi (IgE, Eosinofil, Neutrofil dll). Terapi terhadap asma harus berdasarkan
tingkat keparahan asma. Terapi yang adekuat akan mengurangi kejadian eksaserbasi akut secara
perlahan.
DAFTAR PUSTAKA