Anda di halaman 1dari 15

Manfaat Pemeriksaan Interferon-Gamma

Release Assay untuk Diagnosis Tuberkulosis


di Indonesia

Pembimbing:

Dr. Puji Astuti, Sp.P

Disusun oleh:

Raena Sepryana

11 2016 073

Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng
Periode 03 Juli 2017 – 09 September 2017
Pendahuluan
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global sekaligus penyebab kematian

terbanyak kedua di dunia da di kelompok penyakit infeksi setelah human immunodeficiency

virus(HIV) . Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus baru dan 1,3 juta kematian akibat TB setiap

tahun di seluruh dunia.1 Menurut data World Health Organization tahun 2012 terdapat 730.000

penderita di Indonesia dengan kasus baru 460.000 jiwa dan angka kematian 67.000 jiwa.2

Tingginya angka kematian dan pertumbuhan kasus baru yang cukup besar ini menjadi

permasalahan global.

Terdapat tantangan besar dalam diagnosis TB, baik infeksi TB aktif maupun TB laten

(latent tuberculosis infection (LTBI)). Kendala penegakkan diagnosis TB aktif adalah hasil uji

mikroskopis atau biakan sebagai baku emas sering tidak memuaskan, sedangkan pada LTBI,

penegakkan diagnosis sulit karena belum ada baku emasnya. Uji standar yang selama ini

digunakan untuk diagnosis LTBI adalah uji Mantoux atau tuberculin skin test (TST); uji ini

memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah akibat penggunaan (PPD) sebagai antigen yang

juga dimiliki oleh spesies non-tuberculous mycobacteria (NTM) dan vaksin BCG.3

Sebagai alternative TST, uji in vitro berbasis sel T, yaitu uji pelepasan interferon-g

(IGRA), semakin banyak diteliti. Uji ini berdasarkan prinsip bahwa sel T dari individu yang

pernah tersensitisasi dengan antigen tuberculosis akan memproduksi IFN-g jika terpapar lagi

dengan antigen mikrobakterial. IGRA menggunakan antigen spesifik TB sehingga diharapkan

akan meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya.3,4 Kurangnya modalitas diagnostic TB

yang memuaskan serta pemahaman IGRA yang kurang lengkap menyebabkan banyak praktisi

kesehatan berharap besar pada pemeriksaan ini. Pada makalah ini akan dibahas mengenai aspek

imunologi infeksi TB, perbandingan uji TST dan IGRA, prinsip pemeriksaan IGRA, serta

manfaat dan penggunaannya di Indonesia.


Antigen Spesifik TB: ESAT6 dan CFP10

Metode diagnostik baru, yang menggunakan antigen spesifik seperti early secreted

antigen target 6 k D a ( E S A T - 6 ) d a n culture filtrate protein-10 kDa (CFP10)dari Mtb

telah dievaluasi. Gen-gen yang mengkode antigen ini terletak pada deoxyribonucleic

acid (DNA) region of difference(RD)-1 dari M. tuberculosis, M. africanum dan M. bovis.

Perkembangan teknologi di bidang molekuler telah berhasil mengidentifikasi genom

M. tuberculosis secara lengkap, yaitu terdiri atas sekitar 4.000 gen. Dari jumlah tersebut,

sebanyak 200 gen berlokasi di 16 lokus region of difference (RD) mulai dari RD1 sampai

dengan RD 16. Penelitian terhadap gen-gen yang terletak di lokus RD1 telah banyak dilakukan

karena perannya yang berhubungan dengan virulensi. Lokus RD1 terdiri atas 9 gen, yaitu

Rv3871 sampai Rv3879, dengan panjang 9,5 kb, mengkode suatu system sekresi yang

dinamakan ESX-1.

Setiap bakteri mempunyai system sekresi yang berkolerasi dengan patogenitasnya.

Bakteri yang mensekresi factor virulensinya melalui system sekresi tersebut ke lingkungan

ekstraseluler atau langsung ke sel inang. System sekresi ESX-1 pada M. tuberculosis disebut

juga system sekresi tipe VII, karena system sekresi tipe I sampai VI telah teridentifikasi terlebih

dahulu dan merupakan milik bakteri Gram negative.

System sekresi ESX-1 terdiri dari banyak protein, diantaranya terdapat dua protein

target antigenic sel T yang imunodominan dan paling esensial terhadap virulensi M.

tuberculosis, yaitu early secreted antigenic target dengan berat molekul 6 kDa (ESAT6) dan

culture filtrate protein dengan berat molekul 10 kDa(CFP10).5,6


Aspek Imunologi Infeksi Tuberkulosis

Penyakit TB pada anak bersifat pausibasilar dan biasanya tanpa gejala klinis

sehingga disebut infeksi laten tuberkulosis (latent tuberculosis infection, LTBI). Sekresi

interferon (IFN)-g terjadi pada fase ini dan menjadi prinsip dasar uji kulit tuberculin tuberculin

skin test, TST). Uji kulit tuberkulin tidak spesifik terhadap Mycobacterium tuberculosis

karena merupakan derivat protein M. Bovis yang digunakan sebagai vaksin bacillus

CalmetteGuerin(BCG)serta bila terdapat riwayat pajanan

terhadap Mycobacterium selain M. tuberculosis sehingga besar kemungkinan terjadi hasil

positif palsu. Hal tersebut menjadi dasar perlu diambil alternatif penegakan diagnosis TB

melalui uji yang diharapkan lebih spesifik.

Mycobacterium tuberculosis adalah pathogen intraseluler fakultatif aerob. Pada saat

bakteri masuk ke dalam tubuh, terjadi respon imun innate yang diperentarai oleh fagosit dan

sel natural killer (NK). Produk-produk bakteri akan mengaktivasi sel NK sehingga sel NK

mensekresi interferon-gamma (IFN-g) yang bertujuan mengaktivasi makrofag. Fagosit, pada

awalnya neutrophil dan selanjutnya makrofag, akan berusaha menghancurkan bakteri namun

tidak mampu mengatasi infeksi, karena bakteri resisten terhadap enzim degradasi. Sehingga

dengan perjalanan penyakit dan bertambahnya jumlah bakteri, peran imunitas innate

digantikan oleh imunitas adaptif yang bertujuan mendegradasi infeksi. Respon imun protektif

utama terhadap bakteri intraseluler adalah imunitas yang diperentarai sel T, yang terdiri atas

dua jenis sel, yaitu sel T CD4+ dan sel TCD8+. Sel T CD4+ akan merekrut fagosit dan

mengaktivasinya melalui ligan CD40 dan sitokin IFN-g yang membunuh bakteri di dalam

fagolisosom. Apabila bakteri mampu melarikan diri dari fagosom dan masuk ke sitoplasma sel

terinfeksi, maka bakteri tidak lagi peka terhadap mekanisme mikrobisidal fagosit. Untuk dapat

mendegradasinya, sel yang terinfeksi harus dibunuh melalui kerja sel T CD8+ yang disebut

juga cytotoxic T lymphocyte (CTL). (Gambar 1).7,8


Gambar 1. Imunitas adaptif: Kerjasama antara sel T CD4+ dan CD8+ dalam melawan

mikroba intraseluler.

Kompleks antigen early secretory antigenic target (ESAT)-6 dan culture

filtrate protein (CFP)-10 merupakan protein sekretorik yang khas dihasilkan oleh lokus gen

region of difference (RD)-1 M. tuberculosis dan berinteraksi dengan sel T di dalam darah yang

akan menstimulasi sekresi intergeron gamma (IFN-g). Sekresi IFN-g dapat diamati

pada pemeriksaan laboratorium, disebut sebagai pemeriksaan IFN-g release assay (IGRA).

Aktivasi sel T menyebabkan disekresikannya berbagai sitokin seperti IFN-g dan tumor

necrosis factor (TNF), yang bertujuan mengaktivasi makrofag, meningkatkan kemampuan

fagositosis, dan respon inflamasi local. Proses aktivasi yang terus menerus menyebabkan

terbentuknya granuloma untuk melokalisasi infeksi dan juga nekrosis sentral yang disebut

nekrosis kaseosa. Nekrosis kaseosa ini disebabkan oleh produk makrofag, seperti enzim

lisosomal dan reactive oxygen species. Pembentukkan granuloma akan diikuti oleh nekrosis,
scarring, atau fibrosis jaringan, sehingga terjadi kerusakkan jaringan dan timbul gejala klinis

infeksi TB. Selain itu, bakteri dapat bertahan di dalam makrofag selama bertahun-tahun dan

dapat mengalami reaktivasi kapan saja, khususnya ketika respons imun tubuh tidak mampu

lagi mengontrol infeksi.8

Interferon Gamma Release Assay (IGRA)

Sebelum tahun 2001, tes tuberkulin/ TST (Tuberculin Skin Test) adalah satu-satunya

pemeriksaan imunologi untuk mendiagnosis infeksi Mycobacterium tuberculosis di Amerika

Serikat, baik itu TB laten atau TB aktif. Seiring perkembangan penelitian penyakit TBC di

tingkat genom, peneliti menemukan biomarker baru untuk infeksi M. Tuberculosis yaitu

interferon gamma (IFN-γ). IFN-γ muncul sebagai reaksi imun terhadap bakteri M.Tuberculosis

di dalam tubuh. Penemuan ini menyebabkan perkembangan pemeriksaan imunologi baru

dengan mengukur IFN-γ dalam tubuh secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan ini bernama

Interferon Gamma Release Assay (IGRA).

Pemeriksaan IGRA adalah pemeriksaan darah yang dapat mendeteksi infeksi TB di

dalam tubuh. IGRA bekerja dengan mengukur respons imunitas selular atau sel T terhadap

infeksi TB. Hasilnya pun spesifik sebab sensitivitasnya tinggi.

Sel T dalam individu yang terinfeksi TB akan diaktivasi sebagai respons terhadap

sensitisasi antigen berupa peptida spesifik Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Early Secretory

Antigenic Target-6 (ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein- 10 (CFP-10) yang ada di dalam

sistem reaksi. Sel T akan menghasilkan Interferon Gamma (IFN-γ) yang diukur dalam

pemeriksaan.

Protein yang digunakan dalam reaksi pemeriksaan IGRA tidak terdapat dalam vaksin

BCG dan MOTT (kecuali M. kansasii, M. Marinum, dan M. Szulgai). Alhasil, pemeriksaan
menjadi sangat spesifik dan tidak terpengaruh oleh vaksin BCG. Oleh karena itu, pemeriksaan

IGRA dengan hasil positif lebih akurat hingga 6 kali lipat dibandingkan TST atau Tuberculin

Skin Test.

Pemeriksaan IGRA lebih unggul dibanding dengan TST karena kelemahan- kelemahan

yang selama ini terjadi pada pemeriksaan TST bisa dieliminasi, seperti terjadinya positif palsu

pada pasien yang sebelumnya telah diberikan vaksin BCG, negatif palsu pada pasien yang

mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, serta ketidakefisienan waktu dan logistik.

TST IGRA
Antigen yang digunakan Purified protein derivative Antigen spesifikTB
Bahan uji Kulit Darah
Sel yang terlibat Neutrophil, sel T CD4+, sel Sel T CD4+ in vitro
CD8+, sel T reg
Kunjungan pasien 2 kali 1 kali
Waktu yang diperlukan unuk 48-72 jam 24 jam
memperoleh hasil
Pengaruh riwayat vaksinasi Menyebabkan hasil positive Relative tidak terpengaruh
BCG palsu
Pengaruh infeksi NTM Menyebabkan hasil positive Dapat menjadi hasil positive
palsu pada infeksi oleh M.kansasii,
M.szulgai, M.gordonae, M.
marinum, M.riyadhense, tapi
tidak pada M. avium

Pengaruh keadaan Berpotensi menyebabkan hasil Relative tidak terpengaruh


imunodefisiensi (HIV) negative palsu
Kontrol interna pemeriksaan Tidak ada Ada
Pembacaan hasil Relative subyektif Relative obyektif
Pengerjaan Tidak membutuhkan Membutuhkan waktu peralatan
peralatan/tenaga khusus khusus dan tenaga
Biaya pemeriksaan Murah Mahal

Tabel 1. Perbandingan antara IGRA dan TST.

Pemeriksaan imunologi penyakit TBC bertujuan untuk mengetahui apakah tubuh

pasien sudah terpapar bakteri M. Tuberculosis. Hasil positif menunjukan tubuh sudah terpapar
bakteri M. Tuberculosis tetapi belum tentu menyebabkan sakit. Oleh karena itu untuk

penegakan diagnosa penyakit TB secara menyeluruh, pemeriksaan IGRA harus diikuti dengan

pemeriksaan lain seperti pemeriksaan riwayat penyakit, gejala klinis, radiografi dan sputum

(BTA dan kultur).

Keuntungan dari tes IGRA adalah hasil dapat tersedia dalam waktu 24 jam, tidak

meningkatkan respon terhadap pemeriksaan berikutnya, sebelum vaksinasi BCG (Bacille

Calmette-Guerin) tidak menyebabkan hasil tes IGRA positif palsu.

Kerugian dan keterbatasan tes IGRA berupa sampel darah harus diproses dalam waktu

8-30 jam setelah pengumpulan sementara sel-sel darah putih yang masih layak. Kesalahan

dalam mengumpulkan atau mengambil spesimen darah atau dalam menjalankan dan

menginterpretasikan hasil tes dapat menurunkan keakuratan tes IGRA. Data yang terbatas pada

penggunaan tes IGRA untuk memprediksi siapa yang akan berkembang menjadi penyakit TB

di masa yang akan datang. Data yang terbatas pada penggunaan tes IGRA yaitu anak-anak yang

berusia kurang dari 5 tahun, orang yang baru terkena M. tuberculosis, orang dengan sistem

kekebalan tubuh yang rendah (HIV, mlignansi dll) dan pemeriksaannya serial. Pemeriksaan tes

IGRA mahal.

Interpretasi IGRA didasarkan pada jumlah IFN-g yang dilepaskan atau jumlah sel-sel

yang melepaskan IFN-g. Kedua standar kualitatif interpretasi tes (positif, negatif, atau tak

tentu) dan pengukuran tes kuantitatif (konsentrasi Nil, TB, dan mitogen atau jumlah spot) harus

dilaporkan. Seperti tes kulit tuberkulin, tes IGRA juga digunakan untuk membantuan

mendiagnosa infeksi M. tuberculosis. Hasil tes yang positif menunjukkan bahwa seseorang

terinfeksi M. tuberculosis; bila hasil negatif menunjukkan bahwa seseorang tidak terinfeksi M.

tuberculosis. Hasil tes pada garis batas/ borderline (hanya T-Spot) menunjukkan infeksi M.

tuberculosis belum bisa pastikan.


Diagnosis infeksi Tuberkulosis Laten mengharuskan mengeklusi penyakit TB dengan

melakukan evaluasi medis. Evaluasi ini mencakup pemeriksaan tanda- tanda dan gejala yang

menunjukkan penyakit TB, pemeriksaan foto toraks dan jika ada indikasi, dilakukan

pemeriksaan sputum dan pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa infeksi M. tuberkulosis.

Diagnosis infeksi M. tuberkulosis juga mencakup informasi epidemiologi dan riwayat penyakit

sebelumnya.

Tes IGRA ada dua macam, yaitu berbasis Immunospot Enzyme-Linked (ELISpot) dan

Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA). Beberapa nama dagang beserta pedoman

pemeriksaan ini sudah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Sejak tahun 2001-

2005 yaitu T-SPOT.TB (T-Spot), QuantiFERON-TB (QFT), QuantiFERON-TB Gold (QFT-

G), dan QuantiFERON- TB In-Tube (QFTGIT).

QuantiFERON-TB merupakan pemeriksaan in vitro menggunakan protein simulasi

ESAT-6, CFP-10 dan TB7.7 (berperan sebagai antigen M. Tuberculosis) untuk menstimulasi

sel dalam sampel darah heparin. Deteksi interferon-γ (IFN-γ) menggunakan Enzyme-Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengidentifikasi respon in vitro terhadap protein

simulasi ini yang dapat diasosiasikan sebagai infeksi Mycobacterium tuberculosis.9

IGRA: Prinsip Pemeriksaan

Hasil penelitian menghasilkan dua uji komersial yang telah dipasarkan secara luas dan

juga telah tersedia di Indonesia, yaitu QuantiFERON-TB (Cellestis Limited, Carnegie,

Victoria, Australia) dan T-SpotTB (Oxford Immunotec, Oxford, UK). Perbedaan utama

terletak pada metode dan bahan pemeriksaan.QuantiFERON-TB menggunakan metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dengan specimen whole blood, sedangkan T-


SPOT.TB menggunakan metode enzyme linked immunospot (ELISPOT) dengan specimen

peripheral blood mononuclear cells (PMBC).

Pemeriksaan QuantiFERON-TB Gold In Tube (QTF-IT) terdiri atas 2 tahap. Tahap

pertama adalah inkubasi darah utuh dengan antigen spesifik TB dan antigen kontrol fungsi

imun, baik kontrol positif (mitogen) maupun kontrol negative. Tahap berikutnya adalah deteksi

IFN-g secara cepat menggunakan ELISA sandwich.

Cara kerja QTF-IT secara singkat adalah sebagai berikut. Darah pasien diambil

menggunakan wing needle kemudian dimasukkan ke dalam 3 tabung berisi kontrol Nil, TB

antigen, dan mitogen, dengan volume masing masing 0,8-1,2 ml. Setelah itu, kocok masing-

masing tabung secara kuat selama 5-10 detik untuk memastikan bahwa isi tabung telah

tercampur dengan baik. Tahap pengocokkan ini merupakan bagian dari proses analitik yang

harus dikerjakan secara tepat. Setelah itu dilanjutkan dengan inkubasi selama 16-24 jam pada

suhu 37 derajat celcius. Pasca-inkubasi, tabung disetrifus dengan kecepatan 2000-3000 g

selama 15 menit. Supernatan (plasma) diambil untuk dideteksi kadar IFN-g nya menggunakan

metode ELISA sandwich. Hasil positive atau negative ditentukan berdasarkan cut off. Hasil

pemeriksaan dikatakan positif apabila kadar IFN-g tabung antigen TB lebih tinggi

dibandingkan kadar IFN-g tabung nihil. Hasil pemeriksaan kadar IFN-g tabung mitogen yang

rendah (kurang dari 0,5 IU/mL) menunjukkan hasil indeterminate bila ternyata sampel darah

negatif terhadap tabung antigen TB, yang sering terjadi pada penanganan tidak tepat terhadap

sampel atau gangguan sekresi IFN-g dari darah sampel.


Hasil Konsentrasi IFN-g (IU/mL)
Antigen Mtb Kontrol Mitogen (PHA) Interpretasi
negative
Positive >0,35 IU/ml dan <8.0 IU/ml Berapapun Infeksi Mtb
>25% diatas nilainya
kontrol negative not likely
Negative <0,35 IU/ml dan <8.0 IU/ml >0.5 IU/ml Infeksi Mtb
>25% diatas
kontrol negative Likely
Intermediate <0,35 IU/ml dan <8.0 IU/ml <0.5 IU/ml Hasil
>25% diatas intermediate
kontrol negative terhadap respon
antigen TB

Kriteria Intrpretasi Hasil Pemeriksaan QFT-GIT

Berbeda dengan QTF-IT, bahan pemeriksaan T-SPOT.TB harus berupa PBMC. Darah

pasien diambil dan dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan heparin (tabung vacuum

bertutup warna hijau). Proses separasi PMBC dapat dilakukan melalui beberapa prosedur

berbasil FICOLL yang telah tervalidasi oleh pabrik, yaitu metode standard, tabung Leucosep,

dan Cell Preparation Tubes (CPT) dari Becton Dickinson. Metode yang lazim dikerjakan di

Indonesia adalah metode tabung Leucosep karena relative mudah.

Darah dimasukkan ke dalam tabung Leucosep lalu disentrifus. Setelah disentrifus, sel

darah merah akan terjebak di dasar tabung, sedangkan PBMC terdapat di lapisan keruh di atas

lapisan FICOLL. Supernatant ini dipindahkan ke tabung lain, ditambahi media kultur, dan

disentrifus kembali. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan PBMC yang bersih dan

menghilangkan partikel sel yang dapat mengganggu pembacaan. Setelah disentrifus,

supernatant dibuang, sedimen disisakan. Sedimen ini merupakan suspense PBMC yang

selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah sel yang dapat dilakukan perhitungan jumlah sel

yang dapat dilakukan secara manual atau otomatis menggunakan haematology analyzer.

Tahapan inilah yang vital dalam pengerjaan T-SPOT.TB. dibutuhkan sebanyak +1 juta PBMC
(250.000 sel per sumur) per pasien untuk hasil yang optimal. Pada keadaan defisiensi sel imun

berarti pada HIV, darah pasien harus diambil lebih banyak agar dapat mencapai PBMC

tersebut. Selanjutnya PBMC dimasukkan ke dalam empat sumur berisi dua macamm antigenic

spesifik TB, kontrol negative, dan kontrol positif (mitogen), lalu diinkubasi selama 16-20 jam

dalam incubator CO2. Pasca-inkubasi, sumur dicuci untuk membuang sel, kemudia dilakukan

serangkaian metode ELISA untuk mendeteksi IFN-g dalam bentuk spot. Spot inilah yang

dihitung dan dikonversi menjadi hasil positive atau negative berdasarkan cut off jumlah spot

yang telah ditentukan.9,10 (Gambar 2)

T-SPOT.TB QTF-IT
ESAT6
ESAT66
Antigen yang digunakan CFP10
CFP10
TB7.7
Metode ELISPOT ELISA

Spesimen pemeriksaan PBMC Whole blood


Waktu yang dibutuhkan untuk
24 jam 24 jam
mendapatkan hasil
Sitokin yang diperiksa IFN-g IFN-g

Menghitung jumlah spot Menentukan nilai optical


Tujuan pemeriksaan
IFN-g density produksi IFN-g
Jumlah sel T yang Kadar plasma IFN-g yang
Keluaran yang diukur
memproduksi IFN-g diproduksi oleh sel T
Unit pembacaan Spot forming cells IFN-g IU/mL

Kontrol internal pemeriksaan Ada Ada

Tabel 2. Perbedaan antara T-SPOT.TB dan QuantiFERON.


Gambar 2. Prinsip pemeriksaan QuatriFERON-TB Gold (ELISA) dan T-SPOT.TB

(ELISPOT).
Daftar Pustaka

1. World Health Organitation. Global tuberculosis report [Internet]. 2013 [cited 2014 May 13].

Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/ 


2. World Health Organitation. Indonesia: Tuberculosis country profile [Internet]. 2012 [cited
2014 May 12]. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/

3. World Health Organitation. Guidelines on the management of latent tuberculosis infection


[Internet].2015.Availablefrom:http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/136471/1/9789

241548908_eng.pdf?ua=1&ua=1 


4. Pai M Riley LW, Colford JM Jr. Interefon-gamma assays in the immunodiagnosis of


tuberculosis: A systematic review. Lancet Infect Dis. 2004;4(12):761-76.

5. Abdallah AM, Gey van Pittus NC, Champion PA, CoxJ, Luirink J, Vandenbroucke-Grauls
CM,et al. Type VII secretion-mycobacteria show the way. Nat Rev
Microbiol.2007;5(11):883-91.

6. Forellad MA, Klepp LI, Gioffre A, Sabio y Gracia J, Morbidoni HR, de la Paz Santangelo
M, et al. Virulence factors of the Mycobacterium tuberculosis complex. Virulence
2013;4(1):3-66.

7. Raja A. Immunology of tuberculosis, Indian J Med Res. 2004;120(4):213-32.

8. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. 7th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2012.p.351-5.

9. Kasambira TS, Shah M, Adrian PV, Holshouser M, Madhi SA, Chaisson RE, et al.
QuantiFERON®-TB gold in-tube for the detection of mycobacterium tuberculosis
infection in children with household tuberculosis contact. Int J Tuberc Lung Dis. 2011;
15(5):628–34.

10. Feng TT, Shou CM, Shen L, Qian Y, Wu ZG, Fan J, et al. Novel monoclonal antibodies
to ESAT-6 and CFP-10 antigens for ELISA-based diagnosis of pleural tuberculosis. Int
J Tuberc Lung Dis. 2011;15(6):804-10.

Anda mungkin juga menyukai