Pembimbing:
dr. Dhian Endarwati Sp.A
Disusun oleh :
Risma Orchita Agwisa Fitri
G4A017072
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Disusun oleh:
Pembimbing
2
dr. Dhian Endarwati, Sp.A
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama dekade akhir dari abad 20 jumlah kasus baru tuberkulosis meningkat
di seluruh dunia. Saat ini, 95% dari kasus tuberkulosis terjadi di negara
berkembang, di mana HIV/AIDS memiliki dampak yang terbesar, dan sumber
daya yang ada seringkali tidak tersedia untuk mengidentifikasi dan mengobati
penyakit ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaksir bahwa terjadi lebih
dari 8 juta kasus baru dari tuberkulosis dan kira-kira 3 juta orang meninggal
tiap tahunnya diseluruh dunia karena penyakit ini. Hampir 1,3 juta kasus dan
450,000 kematian terjadi pada anak-anak tiap tahun, dimana 80% sampai 95%
terjadi pada anak-anak dan 50% sampai 60% terjadi pada bayi. Menurut WHO, di
seluruh dunia, setidaknya 180 juta anak di bawah usia 15 tahun terinfeksi
M.tuberculosis. WHO juga melaporkan pada tahun 1998 , setidaknya setiap 4 detik,
satu orang terinfeksi TB dan setiap 10 detik, satu orang meninggal. Organisasi
kesehatan sedunia (WHO) juga memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia
terinfeksi dengan M.tuberculosis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan pada tahun 2015 sebanyak 1 juta anak di seluruh dunia menderita
TB, antara usia <15 tahun, dan lebih dari 136 ribu meninggal setiap tahun. Sekitar
70 persen hingga 80 persen anak-anak dengan TB memiliki jenis TB paru dan
sisanya merupakan jenis TB ekstraparu. Angka infeksi tertinggi didapatkan di Asia
Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Selain itu,diperkirakan sekitar
dua miliar orang menderita TB laten oleh Mycobacterium tuberculosis, dan
menyebabkan kasus baru TB pada 9.2 juta orang dan kematian pada 1.7 juta orang
di dunia. Diperkirakan Asia merupakan penyumbang sekitar 55% kasus baru TB
tersebut dan hanya 78% diantaranya yang terdeteksi. Di Indonesia, proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus yang diobati pada tahun 2007-2013 berkisar pada
3
angka 7,9-12 %, sedangkan pada tahun 2015 di Indonesia, kejadian TB dilaporkan
228 per 100.000 orang (WHO,2011; WHO, 2015).
4
dimiliki oleh spesies non-tuberculous mycobacteria (NTM) dan vaksin BCG. Hal
tersebut menjadikan munculnya tantangan yang cukup besar dalam menegakkan
diagnosis infeksi TB aktif maupun TB laten atau LTBI (latent tuberculosis
infection). Kendala penegakkan diagnosis TB aktif lainnya adalah hasil uji
mikroskopis atau biakan sebagai baku emas sering tidak memuaskan sedangkan
pada pemeriksaan LTBI penegakkan dianosis sulit karena belum terdapat baku
emasnya. Sebagai alternatif uji tuberkulin, uji in vitro bebasis sel T, yaitu uji
pelepasan interferon gamma (IGRA) yang kini semakin banyak diteliti. Uji ini
berdasarkan prinsip bahwa sel dari individu yang pernah tersensitisasi dengan
antigen tuberkulosis akan memproduksi INF-g jika terpapar lagi dengan antigen
mikrobakteial. IGRA menggunakan antigen spesifik sehingga diharapkan akan
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya. Kurangnya modalitas dianostik
yang memuaskan serta pemahaman mengenai IGRA yang kurang lengkap
menyebabkan banyak praktisi kesehatan beharap besar pada pemeriksaan ini
(Andersen et al.,2010; Inselman et al.,, 2006 ).
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
6
Aktivasi sel imun tersebut akan menyebabkan disekresikannya berbagai
sitokin seperti INF-g dan tumor necrosis factor (TNF) yang bertujuan untuk
mengaktivasi makroba, meningkatkan kemampuan fagositosis dan respon inflamasi
lokal. Proses aktivasi yang terus menerus menyebabkan terbentuknya granuloma
untuk melokalisasi infeksi dan juga
nekrosis sentral yang disebut nekrosis
kaseosa. Nekrosis kaseosa ini
disebabkan oleh poduk makroba
sepeti enzim lisosomal dan
reactive oxygen species.
Pembentukan granuloma akan
diikuti oleh nekrosis scarring, atau
fibrosis jaringan sehingga terjadi
kerusakan jaringan dan timbul gejala
klinis infeksi. Selain itu bakteri dapat
bertahan di dalam makroba selama
bertahun-tahun dan dapat mengalami reaktivasi kapan saja khususnya ketika respon
imun tubuh tidak mampu lagi mengontrol infeksi (Fadilah et al.,2015).
7
Gambar 2.1 Imunitas adaptif :
kerjasama antara sel T CD4+ dan sel
CD8+ dalam melawan mikroba
8
C. Uji Tuberkulin
9
PPD-S sama dengan dosis 1 atau 2 TU PPD RT 23.4 WHO merekomendasikan
penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan diagnosis TB guna
memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB (Farhat et al., 2006).
10
tempat tertutup,syringe/spuit 1 ml ,PPD (Purified Protein Derivative) 2 TU /
5 TU 0,1 ml , dan sarung tangan (jika diperlukan). Uji tuberkulin dilakukan
dengan injeksi 0,1 ml PPD yang mengandung 5 unit tuberkulin. Tuberkulin
adalah protein murni yang dihasilkan dari kuman TB (tetapi tidak
mengandung kuman TB aktif). Teknik penyuntikkan dilakukan secara
intradermal (dengan metode Mantoux) di volar / permukaan belakang lengan
bawah. Injeksi tuberkulin menggunakan jarum gauge 27 dan spuit tuberculin.
Saat melakukan injeksi harus membentuk sudut 10-15° antara kulit dan
jarum. Reaksi dibaca dalam 48 sampai 72 jam. Seorang pasien yang tidak
kembali dalam 72 jam harus dijadwal ulang untuk tes kulit lain. Reaksi harus
diukur dalam milimeter indurasi (teraba, terangkat, mengeras, atau bengkak).
Pembaca seharusnya tidak mengukur eritema (kemerahan). Standarisasi
digunakan diameter indurasi diukur secara transversal dari panjang axis
lengan bawah dicatat dalam milimeter. Bila nilai indurasinya 0-4 mm, maka
dinyatakan negatif. Bila 5-9 mm dinilai meragukan, sedangkan di atas 10 mm
dinyatakan positif (Lewinsohn et al., 2017).
12
yang rendah dalam mendiagnosis TB laten pada kondisi
immunocompromized (Panjaitan, 2013).
13
Mycobacterium, tapi bukan jenis tuberculosis, baru melakukan vaksinasi
BCG,teknik penyuntikan yang salah, iterpretasi yang salah dari reaksi yang
muncul serta penggunaan botol antigen yang salah (Farhat et al., 2006).
Secara umum, tidak ada risiko yang terkait dengan penempatan tes
kulit tuberkulin berulang. Jika seseorang tidak kembali dalam 48-72 jam
untuk pembacaan tes kulit tuberkulin, tes kedua dapat dilakukan sesegera
mungkin. Tidak ada kontraindikasi untuk mengulang uji tuberkulin, kecuali
uji tuberkulin sebelumnya dikaitkan dengan reaksi yang parah (Farhat et al.,
2006; Fadilah et al.,2015).
14
atau mycobacteria nontuberculous (NTB) lainnya, sehingga uji tuberkulin akan
positif palsu jika dilakukan setelah vaksinasi/booster BCG atau terinfeksi NTB
yang ada di lingkungan (Tan, 2017).
QFT-GIT T-spot
Proses awal Mengolah whole blood Mengolah sel
selama 16 jam mononuklear darah tepi
selama 8 jam
Antigen M.Tuberkulosis Campuran yang hanya Pemisahan beberapa
terdiri dari peptida sintetis campuran yang terdiri dari
yang merepresentasikan peptida sintetis yang
ESAT-6, CFP 10, dan merepresentasikan ESAT 6
TB7.7 dan CFP 10
Pengukuran Konsentrasi IFN-g Jumlah sel penghasil IFN-g
Interpretasi hasil Positif, negatif, Positif, negatif, borderline,
indeterminate/ tak tentu invalid
15
mulai dari RD1 sampai dengan RD16. Penelitian terhadap gen-gen yang terletak
di lokus RD1 telah banyak dilakukan karena perannya yang berhubungan dengan
virulensi. Lokus RD1 terdiri atas 9 gen yaitu Rv3871 sampai Rv3879 dengan
panjang 9,5 kb mengkode suatu sistem sekresi yang dinamakan ESX-1
(Adilistiya, 2016 ; Pai et al., 2014)
16
proses analitik yang harus dikerjakan secara tepat. Setelah itu dilanjutkan dengan
inkubasi selama 16-24 am pada suhu 37C. Pasca-inkubasi, tabung disentrifus
dengan kecepatan 2000-3000 g selama 15 menit. Supernatan (plasma) diambil
untuk dideteksi kadar INF-g-nya menggunakan metode ELISA sandwich. Hasil
positif atau negatif ditentukan berdasarkan cut off point. Hasil tes dikatakan
positif jika respon IFN-γ terhadap tabung TB antigen secara signifikan nilainya
diatas tabung Nil Control. Nilai rendah pada tabung Mitogen Control (<0,5
IU/mL) menunjukkan hasil indeterminate (tak tentu) ketika respon yang sama
juga terjadi pada tabung TB Antigen. Pola seperti ini dapat terjadi karena jumlah
limfosit tidak cukup, pengurangan aktivitas limfosit karena penanganan
spesimen yang tidak tepat, tidak benar ketika memasukan darah / pengocokan
tabung mitogen, atau ketidakmampuan sel limfosit pasien untuk menghasilkan
IFN-γ (Adilistiya, 2016).
17
Gambar 2.7. Tabung pada pemeriksaan
QTF-IT
18
Berbeda dari QTF-IT, cara kerja T-Spot TB adalah dengan kalkulasi
interferon gamma yang dihasilkan oleh sel T CD4+ dan CD8+ yang tersensitisasi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Sel mononuklear darah tepi diinkubasi
dengan kontrol dan digabungkan dengan dua peptida, satu mewakili keseluruhan
sekuensi asam amino dari ESAT-6 dan satu lagi mewakili keseluruhan sekuensi
asam amino dari CFP-10. Bahan pemeriksaan TSPOT TB harus berupa
Peripheral blood sel mononuclear cell (PBMC) atau sel mononuklear darah tepi.
Darah pasien diambil dan dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan
heparin tabung vakum bertutup warna hijau. Proses separasi PBMC dapat
dilakukan melalui beberapa prosedur berbasis FICOLL yang telah divalidasi
oleh pabrik yaitu metode standar tabung Leucosep dan Cell separation tubes
(CPT) dan Becton Dickinson. Metode yang dikerjakan di Indonesia adalah
metode tabung Leucosep karena relatif mudah. Darah dimasukkan ke dalam
tabung leucosep lalu disentrifus. Setelah disentrifus sel darah merah akan
terjebak di dasar tabung, sedangkan PBMC terdapat di lapisan keruh di atas
lapisan FICOLL. Supernatan ini dipindahkan ke tabung lain, ditambahi media
kultur dan disentrifus kembali. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan PBMC
yang bersih dan menghilangkan partikel sel yang dapat mengganggu pembacaan.
Setelah disentrifus supernatan dibuang, sedimen disisakan. Sedimen ini
merupakan suspensi PBMC yang selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah
sel yang dapat dilakukan secara manual atau otomatis menggunakan hematology
analyzer. Tahapan inilah yang vital dalam penerapan TSPOT TB. Dibutuhkan
sebanyak 1 juta sel PBMC (250.000 sel per lapang pandang) per pasien untuk
19
hasil yang optimal. Pada keadaan defisiensi sel imun berat sepeti pada HIV
adalah pasien harus diambil lebih banyak agar dapat mencapai jumlah PBMC
tersebut. Selanjutnya PBMC dimasukkan ke dalam tempat berisi dua macam
antigen spesifik TB kontrol negatif dan kontrol positif (mitogen) lalu diinkubasi
selama 16-20 jam di Inkubator CO2 pada suhu 37C. Pasca-inkubasi tempat
dicuci untuk membuang sel kemudian dilakukan serangkaian metode ELISA
untuk mendeteksi INF-g dalam bentuk spot. Spot inilah yang dihitung dan
dikonversi menjadi hasil positif atau negatif berdasarkan cut off point jumlah
spot yang telah ditentukan. Dikatakan positif apabila pada tempat A (yang
mewakili asam amino ESAT-6) dan atau tempat B (yang mewakili asam amino
CFP 10) terdapat spot > 8. Dikatakan negatif apabila pada kedua tempat hanya
ditemukan kurang dari sama dengan 4 spot, dan dikatakan borderline apabila
pada tempat A atau B didapatkan 5 sampai 7 spot. (Hongvan et al.,2014).
20
Gambar 2.9. Teknik Pemeriksaan QTF-IT dan TSPOT TB
21
mengumpulkan ataupun membawa spesimen sampel atau dalam menjalankan
dan menginterpretasikan tes juga dapat mengurangi akurasi IGRA. Selain itu
kelemahan lainnya adalah masih terbatasnya data penggunaan IGRA, terutama
pada anak kurang dari 5 tahun, hasil menjadi terpengaruh terutama pada orang
yang baru terpapar kuman M.tuberculosis atau pada pasien dengan kekebalan
tubuh menurun. Sensitivitas IGRA berkurang pada infeksi HIV, level CD4+
yang rendah berasosiasi dengan kemungkinan yang lebih tinggi mendapat hasil
IGRA tidak dapat diinterpretasi. Spesifisitas dan sensitivitas IGRA rendah untuk
mendeteksi tuberkulosis aktif, terutama pada daerah dengan insidensi TB tinggi.
Spesifisitas buruk karena tingginya prevalensi populasi infeksi tuberkulosis laten
dan pemeriksaan dari serologis tidak dapat membedakan infeksi tuberkulosis
aktif atau laten. Infeksi tuberkulosis aktif harus ditegakkan dengan cara
konvensional yaitu menemukan Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh,
bukan respon imun yang aktif karena infeksi M. tuberculosis. Sensitivitas
berkurang karena banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil seperti malnutrisi,
supresi imun karena HIV, penyakit akut atau kronis lain (Adilistiya, 2016 ; Tan,
2017).
22
tuberkulosis aktif di negara pendapatan rendah dan menengah (Adilistiya, 2016
; Diel et al.,2011).
23
III.KESIMPULAN
1. Hampir 1,3 juta kasus dan 450,000 kematian terjadi pada anak-anak tiap
tahun, dimana 80% sampai 95% menginfeksi anak-anak dan 50% sampai
60% menginfeksi pada bayi. Menurut WHO, di seluruh dunia, setidaknya
180 juta anak di bawah usia 15 tahun terinfeksi Mycobacterium TB.
2. Penegakkan diagnosis infeksi TB aktif maupun TB laten atau LTBI (latent
tuberculosis infection) masih menjadi kendala, seperti sulitnya untuk
mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik.
3. Baik uji tuberkulin maupun IGRA dapat digunakan sebagai alat untuk
mendeteksi TB aktif maupunTB laten, namun IGRA belum dapat
menggantikan uji tuberkulin pada negara dengan pendapatan rendah dan
menengah.
4. Negara Indonesia sebagai negara pendapatan rendah dan menengah
termasuk negara dengan penderita TB terbanyak setelah India dan Cina,
maka fokus utamanya adalah mengidentifikasi dan menatalaksana penderita
infeksi tuberkulosis aktif. Diagnosis infeksi tuberkulosis aktif ditegakkan
lewat penemuan tuberkulosis pada sputum dan rontgen toraks serta gejala
khas TB. Pemeriksaan serologis seperti IGRA dan uji tuberkulin dapat
dilakukan untuk mendiagnosis infeksi tuberkulosis laten, yang terjadi pada
reaktivasi TB aktif yang sudah sembuh atau berhasilnya mekanisme imun
tubuh mengontrol infeksi M. tuberkulosis sehingga infeksi tetap dalam
keadaan laten. Semakin banyak populasi infeksi tuberkulosis aktif, maka
akan semakin banyak pula orang yang terpapar dan berisiko terkena infeksi
tuberkulosis laten. Oleh karena keadaan ini, pemeriksaan IGRA tidak dapat
24
dilakukan untuk menegakkan infeksi tuberkulosis aktif, karena IGRA tidak
dapat membedakan infeksi tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten.
5. IGRA dan uji tuberkulin memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-
masing, namun pada hierarkinya kedua tes ini sejajar. IGRA dapat
dilakukan sebagai pengganti uji tuberkulin, bukan sebagai tambahan.
Namun karena pertimbangan ketersediaan dan harga pemeriksaan IGRA
yang relatif lebih mahal dari uji tuberkulin, di negara pendapatan rendah dan
menengah, termasuk Indonesia, uji tuberkulin lebih dipilih daripada IGRA.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Prevention Clinical Practice Guidelines: Diagnosis of Tuberculosis in Adults and
Children.Clin Infect Dis Journal. 64(2)
Metcalfe JZ, Everett CK, Steingart KR et al. 2011.Interferon-γ release assays for active
pulmonary tuberculosis diagnosis in adults in low- and middle-income countries:
systematic review and meta-analysis.J Infect Dis.
National Tuberculosis Controllers Association; Centers for Disease Control and Prevention
(CDC).2006.Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious
tuberculosis. Recommendations from the National Tuberculosis Controllers
Association and CDC. MMWR 2006; 49 (No. RR-6).
Pai M, Denkinger CM, Kik SV,et al.2014.Gamma interferon release assays for detection
of Mycobacterium tuberculosis infection.Clin Microbiol Rev.27(1)
Tan N. 2017. Interferon gamma release assay for the diagnosis of latent tuberculosis
infection : a latent class analysis. Plos One Journal.12(11)
WHO. 2013. Global tuberculosis report 2013. Diakses pada tanggal 4 november 2019
WHO. 2015. Global tuberculosis report 2015. Diakses pada tanggal 4 November 2019
27