Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


PEMERIKSAAN UJI TUBERKULIN DAN IGRA PADA ANAK

Pembimbing:
dr. Dhian Endarwati Sp.A

Disusun oleh :
Risma Orchita Agwisa Fitri
G4A017072

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

PEMERIKSAAN UJI TUBERKULIN DAN IGRA PADA ANAK

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti


Ujian kepaniteraan klinik
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh:

Risma Orchita Agwisa Fitri


G4A017072

Disetujui dan disahkan


Pada tanggal November 2019

Pembimbing

2
dr. Dhian Endarwati, Sp.A
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama dekade akhir dari abad 20 jumlah kasus baru tuberkulosis meningkat
di seluruh dunia. Saat ini, 95% dari kasus tuberkulosis terjadi di negara
berkembang, di mana HIV/AIDS memiliki dampak yang terbesar, dan sumber
daya yang ada seringkali tidak tersedia untuk mengidentifikasi dan mengobati
penyakit ini. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaksir bahwa terjadi lebih
dari 8 juta kasus baru dari tuberkulosis dan kira-kira 3 juta orang meninggal
tiap tahunnya diseluruh dunia karena penyakit ini. Hampir 1,3 juta kasus dan
450,000 kematian terjadi pada anak-anak tiap tahun, dimana 80% sampai 95%
terjadi pada anak-anak dan 50% sampai 60% terjadi pada bayi. Menurut WHO, di
seluruh dunia, setidaknya 180 juta anak di bawah usia 15 tahun terinfeksi
M.tuberculosis. WHO juga melaporkan pada tahun 1998 , setidaknya setiap 4 detik,
satu orang terinfeksi TB dan setiap 10 detik, satu orang meninggal. Organisasi
kesehatan sedunia (WHO) juga memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia
terinfeksi dengan M.tuberculosis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan pada tahun 2015 sebanyak 1 juta anak di seluruh dunia menderita
TB, antara usia <15 tahun, dan lebih dari 136 ribu meninggal setiap tahun. Sekitar
70 persen hingga 80 persen anak-anak dengan TB memiliki jenis TB paru dan
sisanya merupakan jenis TB ekstraparu. Angka infeksi tertinggi didapatkan di Asia
Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Selain itu,diperkirakan sekitar
dua miliar orang menderita TB laten oleh Mycobacterium tuberculosis, dan
menyebabkan kasus baru TB pada 9.2 juta orang dan kematian pada 1.7 juta orang
di dunia. Diperkirakan Asia merupakan penyumbang sekitar 55% kasus baru TB
tersebut dan hanya 78% diantaranya yang terdeteksi. Di Indonesia, proporsi kasus
TB anak di antara semua kasus yang diobati pada tahun 2007-2013 berkisar pada

3
angka 7,9-12 %, sedangkan pada tahun 2015 di Indonesia, kejadian TB dilaporkan
228 per 100.000 orang (WHO,2011; WHO, 2015).

Tuberkulosis pada anak mempunyai masalah khusus yang berbeda


dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang masih dihadapi adalah
kendala dalam penegakkan diagnosis, pengobatan,pencegahan, serta TB pada
infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Jika tidak dilakukan tindakan
segera untuk menghentikan penyebaran TB, World Health Organization (WHO)
memperkirakan sekitar 70 milyar orang akan meninggal oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis selama 20 tahun mendatang. Deteksi dan pengobatan
TB dan TB laten merupakan strategi kunci dalam upaya kontrol dan eliminasi TB.
Anak dengan TB laten lebih mungkin berkembang menjadi penyakit yang serius
dibanding dewasa, karena kemampuan yang rendah melawan infeksi akibat sistem
imun yang belum berkembang sempurna (immature) (Panjaitan, 2013).

Gejala tuberkulosis pada anak seringkali tidak khas sehingga diagnosis


pasti ditegakkan dengan menemukan kuman tuberkulosis pada pemeriksaan
mikrobiologis. Akan tetapi pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen
diagnostik yang representatif dan berkualitas baik. Seringkali, sekalipun
spesimen dapat diperoleh, M.tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung
maupun kultur. Oleh karena itu, uji tuberkulin memegang peranan penting
dalam mendiagnosis tuberkulosis pada anak. Dalam penelitian lebih lanjut, belum
ada tes diagnostik sederhana yang dapat menggantikan uji tuberkulin.Uji
Tuberkulin tetap menjadi suatu uji yang sederhana, mudah dilakukan, yang
membuatnya sangat bermanfaat untuk mendiagnosa tuberkulosis meskipun
memiliki keterbatasan. Meskipun Uji Tuberkulin harus selalu dilakukan, hasilnya
dapat saja negatif pada 10 – 25 % pasien dengan penyakit yang aktif (Lewinsohn et
al., 2017).

Pemeriksaan standar yang selama ini digunakan untuk diganosis TB laten


atau Laten Tuberculosis Infection (LTBI) adalah uji Mantoux atau tuberculin skin
test (TST) atau uji tuberkulin. Uji ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas rendah
akibat penggunaan purified protein derivative (PPD) sebagai antigen yang juga

4
dimiliki oleh spesies non-tuberculous mycobacteria (NTM) dan vaksin BCG. Hal
tersebut menjadikan munculnya tantangan yang cukup besar dalam menegakkan
diagnosis infeksi TB aktif maupun TB laten atau LTBI (latent tuberculosis
infection). Kendala penegakkan diagnosis TB aktif lainnya adalah hasil uji
mikroskopis atau biakan sebagai baku emas sering tidak memuaskan sedangkan
pada pemeriksaan LTBI penegakkan dianosis sulit karena belum terdapat baku
emasnya. Sebagai alternatif uji tuberkulin, uji in vitro bebasis sel T, yaitu uji
pelepasan interferon gamma (IGRA) yang kini semakin banyak diteliti. Uji ini
berdasarkan prinsip bahwa sel dari individu yang pernah tersensitisasi dengan
antigen tuberkulosis akan memproduksi INF-g jika terpapar lagi dengan antigen
mikrobakteial. IGRA menggunakan antigen spesifik sehingga diharapkan akan
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitasnya. Kurangnya modalitas dianostik
yang memuaskan serta pemahaman mengenai IGRA yang kurang lengkap
menyebabkan banyak praktisi kesehatan beharap besar pada pemeriksaan ini
(Andersen et al.,2010; Inselman et al.,, 2006 ).

5
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Imunologi Infeksi Tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah suatu patogen intaseluler fakultatif


aerob. Pada saat bakteri tersebut masuk ke dalam tubuh maka terjadi respons imun
innate yang diperantarai oleh fagosit dan sel natural killer (NK). Produk-produk
bakteri akan mengaktivasi sel NK sehingga sel NK mensekresi interferon-gamma
yang bertujuan untuk mengaktivasi makroba. Sel yang berperan sebagai fagosit
pada awalnya adalah sel neutrofil dan selanjutnya makroba akan berusaha
menghancurkan bakteri namun tidak mampu mengatasi infeksi karena bakteri telah
mengalami resistensi terhadap enzim degradasi. Seiring dengan perjalanan penyakit
dan bertambahnya jumlah bakteri, peran imunitas innate digantikan oleh imunitas
adaptif yang bertujuan mengeradikasi infeksi. Respons imun protektif utama
terhadap bakteri intaseluler adalah imunitas yang diperantarai sel yang terdiri atas
dua jenis sel yaitu sel CD4+ dan sel CD8+. Sel CD4+ akan merekrut fagosit dan
mengaktivasinya melalui kerja ligan CD4+ dan sitokin interferon gamma kemudian
bekerja membunuh bakteri di dalam fagolisosom. Apabila bakteri mampu
melarikan diri dari fagosom dan masuk ke sitoplasma sel yang terinfeksi maka
bakteri tidak lagi peka tehadap mekanisme mikrobisidal fagosit. Untuk dapat
mengeradikasinya, sel yang terinfeksi harus dibunuh melalui kerja sel CD8+ yang
disebut juga cytotoxic T lymphocyte (Fadilah et al.,2015).

6
Aktivasi sel imun tersebut akan menyebabkan disekresikannya berbagai
sitokin seperti INF-g dan tumor necrosis factor (TNF) yang bertujuan untuk
mengaktivasi makroba, meningkatkan kemampuan fagositosis dan respon inflamasi
lokal. Proses aktivasi yang terus menerus menyebabkan terbentuknya granuloma
untuk melokalisasi infeksi dan juga
nekrosis sentral yang disebut nekrosis
kaseosa. Nekrosis kaseosa ini
disebabkan oleh poduk makroba
sepeti enzim lisosomal dan
reactive oxygen species.
Pembentukan granuloma akan
diikuti oleh nekrosis scarring, atau
fibrosis jaringan sehingga terjadi
kerusakan jaringan dan timbul gejala
klinis infeksi. Selain itu bakteri dapat
bertahan di dalam makroba selama
bertahun-tahun dan dapat mengalami reaktivasi kapan saja khususnya ketika respon
imun tubuh tidak mampu lagi mengontrol infeksi (Fadilah et al.,2015).

7
Gambar 2.1 Imunitas adaptif :
kerjasama antara sel T CD4+ dan sel
CD8+ dalam melawan mikroba

B. Uji Tuberculin dan Interferon-Gamma Release Assay (IGRA)

Diagnostik dasar yang terbukti berguna untuk mengidentifikasi TB maupun


TB laten pada praktek klinis adalah uji tuberkulin dan IGRA. Baik Uji tuberkulin
maupun IGRA memiliki mekanisme yang sama yaitu menstimulasi pelepasan
sitokin oleh sel di dalam tubuh setelah pemberian antigen tertentu. Sel dari individu
yang pernah tersensitisasi oleh antigen akan mensekresi sitokin INF-g apabila
dipaparkan kembali dengan antigen. Pada uji tuberkulin reaksi imunologi terjadi in
vivo, sedangkan pada IGRA reaksi imunologi terjadi in vitro. Selain itu perbedaan
antara uji tuberkulin dan IGRA juga terletak pada antigen yang digunakan serta
parameter yang diukur. Pada uji tuberkulin digunakan PPD atau purified protein
derivative untuk menstimulasi sel sedangkan pada IGRA digunakan antigen
spesifik seperti ESAT6, CFP10 dan TB 7.7. Dari segi parameter yang diukur, pada
uji tuberkulin diukur besarnya diameter indurasi kulit sedangkan pada IGRA diukur
kadar INF-g yang disekresi oleh sel (Adilistiya, 2016).

Tabel 2.1. Perbandingan Uji Tuberkulin (TST) dan IGRA

8
C. Uji Tuberkulin

Uji Tuberkulin adalah suatu metode terstandar untuk mengetahui apakah


seseorang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis atau tidak. Uji tuberkulin juga
menandakan adanya peningkatan respon imun tubuh apabila seseorang telah
terinfeksi M.tuberculosis. Respon imun ini terjadi apabila seseorang sedang
terinfeksi, atau pernah terinfeksi pada masa lampau ataupun pernah mendapatkan
vaksin BCG. Nama lain dari uji tuberkulin antara lain uji mantoux atau Tuberculin
skin test (TST), dan Purified protein derivative test (PPD) (CDC,2000).

Uji tuberkulin didasarkan pada fakta bahwa infeksi bakteri M. tuberculosis


menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe-lambat pada kulit terhadap komponen-
komponen tertentu dari M.tuberkulosis. Para peneliti mengekstrak komponen
organisme dari kultur TB yang merupakan elemen inti dari PPD tuberkulin klasik
(juga dikenal sebagai turunan protein murni/ purified protein derivate). Bahan
untuk uji PPD ini kemudian digunakan untuk melakukan uji tuberkulin. Ada 2
perusahaan yang memproduksi tuberkulin (PPD) yaitu PPD dari USA : Parke-Davis
(Aplisol) dan Tubersol. PPD yang dipakai ada 2 jenis yaitu PPD-S dibuat oleh
Siebert dan Glenn tahun 1939 yang sampai sekarang digunakan sebagai standart
Internasional. Sebagai dosis standart adalah 5 Tuberkulin Unit (TU) PPD-S yang
diartikan aktivitas uji tuberkulin ini dapat mengekskresikan 0.1 mg/0.1 ml PPD-S.
Dosis lain yang pernah dilaporkan adalah dosis 1 dan 250 TU, tetapi dosis ini tidak
digunakan karena akan menghasilkan reaksi yang kecil dan membutuhkan dosis
yang besar. PPD jika diencerkan dapat diabsorsi oleh gelas dan plastik dalam
jumlah yang bervariasi, sehingga untuk menghindarinya didalam sediaan PPD
ditambah dengan Tween 80 untuk menghindari sediaan tersebut terabsorbsi.
Standart tuberkulin ada 2 yaitu PPD-S dan PPD RT, dibuat oleh Biological
Standards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark. Dosis standart 5 TU

9
PPD-S sama dengan dosis 1 atau 2 TU PPD RT 23.4 WHO merekomendasikan
penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan diagnosis TB guna
memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB (Farhat et al., 2006).

1. Mekanisme Imunologi Uji Tuberkulin

Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan menghasilkan


reaksi hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity (DTH).
Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T tersensitisasi dan
merangsang limfosit datang ke lokasi suntikan, kemudian sel tersebut akan
memproduksi limfokin. Limfokin ini menginduksi terjadinya indurasi (area
keras yang menonjol dengan batas yang jelas di sekitar lokasi injeksi) melalui
vasodilatasi lokal (ekspansi diameter pembuluh darah) yang akhirnya
menimbulkan edema, deposit fibrin, dan sel-sel inflamasi lain berdatangan ke
daerah suntikan seperti tampak pada gambar. Biasanya untuk masa inkubasi
dibutuhkan dua hingga dua belas minggu setelah pajanan terhadap bakteri TB
agar uji tuberkulin menjadi positif ( Lewinsohn et al.,2017).

Gambar 2.2. Reaksi Imunologi pada Uji Tuberkulin

2. Cara Melakukan Uji Tuberkulin

Alat dan bahan yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan uji


Tuberkulin antaralain Alas, bengkok ,bak Instrumen kecil ,kapas alkohol pada

10
tempat tertutup,syringe/spuit 1 ml ,PPD (Purified Protein Derivative) 2 TU /
5 TU 0,1 ml , dan sarung tangan (jika diperlukan). Uji tuberkulin dilakukan
dengan injeksi 0,1 ml PPD yang mengandung 5 unit tuberkulin. Tuberkulin
adalah protein murni yang dihasilkan dari kuman TB (tetapi tidak
mengandung kuman TB aktif). Teknik penyuntikkan dilakukan secara
intradermal (dengan metode Mantoux) di volar / permukaan belakang lengan
bawah. Injeksi tuberkulin menggunakan jarum gauge 27 dan spuit tuberculin.
Saat melakukan injeksi harus membentuk sudut 10-15° antara kulit dan
jarum. Reaksi dibaca dalam 48 sampai 72 jam. Seorang pasien yang tidak
kembali dalam 72 jam harus dijadwal ulang untuk tes kulit lain. Reaksi harus
diukur dalam milimeter indurasi (teraba, terangkat, mengeras, atau bengkak).
Pembaca seharusnya tidak mengukur eritema (kemerahan). Standarisasi
digunakan diameter indurasi diukur secara transversal dari panjang axis
lengan bawah dicatat dalam milimeter. Bila nilai indurasinya 0-4 mm, maka
dinyatakan negatif. Bila 5-9 mm dinilai meragukan, sedangkan di atas 10 mm
dinyatakan positif (Lewinsohn et al., 2017).

Gambar 2.3 Teknik Injeksi


Gambar 2.4 Teknik Injeksi Intrakutan
Pada Uji Tuberkulin 11
Tabel 2.2 Cutoff Point Hasil Uji Tuberkulosis

3. Indikasi dan Kontraindikasi Uji Tuberkulin

Hampir semua orang dapat dilakukan uji tuberkulin. Uji tuberkulin


memiliki kontraindikasi hanya pada orang yang telah mengalami kondisi
penyakit tertentu (seperti nekrosis, lepuh pada kulit, syok anafilaksis, atau
ulserasi) yang merupakan respon terhadap uji tuberkulin sebelumnya. Uji
tuberkulin tidak dikontraindikasikan untuk bayi, anak-anak, wanita hamil,
orang yang terinfeksi HIV, atau orang yang telah divaksinasi dengan BCG
(Lewinsohn et al., 2017).

4. Kelebihan dan Kelemahan Uji Tuberkulin

Uji tuberkulin (Mantoux) telah digunakan secara luas untuk


mengetahui adanya infeksi TB sejak lebih dari enam dekade. Uji tuberkulin
mempunyai sensitivitas 100% dan spesivisitas 100%. Kelebihan uji
tuberkulin lainnya adalah pemeriksaan tersebut tidak terlalu membutuhkan
laboratorium yang lengkap, dan staf kesehatan sudah biasa dengan
penyuntikannya. Kekurangannya, selain tidak bisa membedakan infeksi
Mycobacterium tuberculosis dengan Mycobacterium bovis dari vaksinasi
BCG atau mikobakterium atipikal, juga mempunyai sensitifitas dan spesifitas

12
yang rendah dalam mendiagnosis TB laten pada kondisi
immunocompromized (Panjaitan, 2013).

Selain itu, pada uji tuberkulin harus dipertimbangkan beberapa


kondisi yang dapat mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Malnutrisi diketahui
dapat mempengaruhi hasil uji tuberkulin. Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa anak-anak dengan berat badan di bawah nilai normal (underweight)
biasanya menimbulkan hasil uji negatif palsu pada uji tuberkulin. Vaksinasi
dengan virus hidup juga dapat mengganggu reaksi uji tuberkulin. Untuk
pasien yang akan dilakukan pengujian harus waktu dilakukan uji tuberkulin
sebaiknya pada hari yang sama dengan vaksinasi dengan vaksin virus hidup
atau 4-6 minggu setelah pemberian vaksin virus hidup atau setidaknya dapat
diberikan satu bulan setelah vaksinasi cacar. Selain itu hasil uji tuberkulin
pada anak seringkali sulit diinterpretasikan, namun beberapa tenaga medis
menggunakan perbedaan ukuran indurasi untuk mengindikasikan adanya
hasil yang positif (CDC,2006).

Beberapa orang mungkin tidak bereaksi terhadap uji tuberkulin


walaupun mereka terinfeksi M. tuberculosis. Beberapa penyebab yang
mungkin dapat menimbulkan reaksi negatif palsu antaralain anergi kulit atau
ketidakmampuan untuk bereaksi terhadap tes kulit karena sistem kekebalan
yang melemah seperti yang terjadi pada: 1) Malnutrisi Energi Protein; (2)
TB berat; (3) Morbili, Varisela; (4) Pertusis, Difteria, Tifus
abdominalis; (5) Pemberian kortikosteroid yang lama; (6) Vaksin virus
dan (7) Penyakit keganasan. Selain itu hasil negatif palsu juga dapat terjadi
pada infeksi TB yang belum lama terjadi (dalam 8-10 minggu setelah
paparan),infeksi TB yang sudah lama (bertahun-tahun), usia penderita sangat
muda (kurang dari 6 bulan), metode uji tuberkulin yang salah serta
interpretasi reaksi yang kurang tepat. Sementara hasil tes positif palsu terjadi
saat tes Mantoux menunjukkan hasil yang positif, sementara pasien
sesungguhnya tidak terpapar kuman TB. Kekeliruan hasil tes ini bisa
disebabkan oleh beberapa kondisi seperti terindentifikasi adanya bakteri

13
Mycobacterium, tapi bukan jenis tuberculosis, baru melakukan vaksinasi
BCG,teknik penyuntikan yang salah, iterpretasi yang salah dari reaksi yang
muncul serta penggunaan botol antigen yang salah (Farhat et al., 2006).

Walaupun jarang terjadi, namun beberapa penelitian telah


melaporkan adanya reaksi anafilaksis setelah pemberian uji tuberkulin.
Beberapa orang juga beresiko memiliki reaksi yang berat terhadap uji
tuberkulin, seperti munculnya kemerahan dan edema pada tangan terutama
pada orang-orang yang terinfeksi TB, atau seseorang yang telah mendapatkan
vaksin BCG sebelumnya. Reaksi alergi juga merupakan komplikasi yang
jarang. Bakteri hidup tidak digunakan pada uji tuberkulin sehingga tidak ada
kemungkinan terjadinya pertumbuhan kuman TB dari uji tuberkulin. Reaksi
inflamasi lokal seperti limfangitis regional dan adenitis juga dapat terjadi,
namun jarang (Farhat et al., 2006; Fadilah et al.,2015)

Secara umum, tidak ada risiko yang terkait dengan penempatan tes
kulit tuberkulin berulang. Jika seseorang tidak kembali dalam 48-72 jam
untuk pembacaan tes kulit tuberkulin, tes kedua dapat dilakukan sesegera
mungkin. Tidak ada kontraindikasi untuk mengulang uji tuberkulin, kecuali
uji tuberkulin sebelumnya dikaitkan dengan reaksi yang parah (Farhat et al.,
2006; Fadilah et al.,2015).

D. Interferon Gamma release assays (IGRA)

Interferon Gamma release assays (IGRA) adalah pemeriksaan darah yang


dapat membantu menemukan adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis. IGRA
merupakan salah satu alat diagnosis infeksi tuberkulosis laten lewat pemeriksaan
serologi darah. Terdapat dua jenis IGRA telah disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA), pertama adalah inkubasi darah dengan early secretory
antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtratprotein-10 (CFP-10) dengan nama
dagang Quantiferon TB (QFT) dan Quantiferon TB Gold (QFT-G). Kedua adalah
pemeriksaan enzyme linked immune spot dengan nama dagang T-spot TB. Antigen
ini lebih spesifik dari PPD (purified protein derivative) yang ada di vaksin BCG

14
atau mycobacteria nontuberculous (NTB) lainnya, sehingga uji tuberkulin akan
positif palsu jika dilakukan setelah vaksinasi/booster BCG atau terinfeksi NTB
yang ada di lingkungan (Tan, 2017).

1. Mekanisme Imunologi IGRA

IGRA mengukur reaksi imun seseorang terhadap M.Tuberkulosis. Sel darah


putih dari sebagian besar orang yang telah terinfeksi M.tuberkulosis akan
mengeluarkan interferon-gamma (IFN-g) ketika bertemu dengan antigen yang
berasal dari M.tuberkulosis. Untuk melakukan pemeriksaan, sampel darah segar
dicampur dengan antigen dan kontrol. Perbedaan antigen, metode pemeriksaan
serta kriteria interpretasi IGRA pada kedua jenis pemeriksaan terdapat pada tabel
2 (Diel et al.,2013).

Tabel 2.3 Perbedaan antigen dan metode pemeriksaan IGRA

QFT-GIT T-spot
Proses awal Mengolah whole blood Mengolah sel
selama 16 jam mononuklear darah tepi
selama 8 jam
Antigen M.Tuberkulosis Campuran yang hanya Pemisahan beberapa
terdiri dari peptida sintetis campuran yang terdiri dari
yang merepresentasikan peptida sintetis yang
ESAT-6, CFP 10, dan merepresentasikan ESAT 6
TB7.7 dan CFP 10
Pengukuran Konsentrasi IFN-g Jumlah sel penghasil IFN-g
Interpretasi hasil Positif, negatif, Positif, negatif, borderline,
indeterminate/ tak tentu invalid

2. Cara Melakukan IGRA

Perkembangan teknologi di bidang molekuler telah berhasil


mengidentifikasi genom M. tuberculosis secara lengkap yaitu tediri atas sekitar
4.000 gen. Dari jumlah tersebut sebanyak 200 gen berlokasi di 16 lokus RD

15
mulai dari RD1 sampai dengan RD16. Penelitian terhadap gen-gen yang terletak
di lokus RD1 telah banyak dilakukan karena perannya yang berhubungan dengan
virulensi. Lokus RD1 terdiri atas 9 gen yaitu Rv3871 sampai Rv3879 dengan
panjang 9,5 kb mengkode suatu sistem sekresi yang dinamakan ESX-1
(Adilistiya, 2016 ; Pai et al., 2014)

Setiap bakteri mempunyai sistem sekresi yang berkorelasi dengan


patogenitasnya. Bakteri akan mensekresi faktor virulensinya melalui sistem
sekresi tersebut ke lingkungan ekstraseluler atau lansung ke sel inang. Sistem
sekresi ESX-1 pada M. tuberculosis disebut juga sistem sekresi tipe II karena
sistem sekresi tipe I sampai VI telah teridentifikasi terlebih dahulu dan
merupakan milik bakteri gram negatif. Sistem sekresi ESX-1 terdiri dari banyak
protein di antaranya terdapat dua protein target antigenik sel T yang
imunodominan dan paling esensial tehadap virulensi M. tuberculosis, yaitu early
secreted antigenic target dengan berat molekul 6 kDa (ESAT6) dan culture
filtrate protein dengan berat molekul 10 kDa (CFP10) (Adilistiya, 2016 ;
Hongvan et al., 2014).

Prinsip kerja QTF-IT secara singkat adalah dengan merangsang limfosit T


dengan antigen tertentu, diantaranya antigen kuman TB. Bila sebelumnya
limfosit T telah tersensitasi oleh antigen TB, maka limfosit T akan menghasilkan
interferon gamma, yang kemudian dikalkulasi. Pada uji ini digunakan tabung
khusus untuk mengumpulkan darah. Ada tiga tabung yang digunakan yaitu Nil
Control (tutup berwarna abu) sebagai kontrol negatif, TB Antigen (tutup
berwarna merah) sebagai tabung tes, dan Mitogen Control (tutup berwarna ungu)
sebagai kontrol positif (opsional). Kontrol positif digunakan untuk memastikan
kondisi imun tubuh pasien, dan memastikan penanganan sampel serta inkubasi
dilakukan dengan benar. Darah pasien diambil mengguunakan wing needle
kemudian dimasukkan ke dalam 3 tabung berisi Nil control, antigen dan mitogen
dengan volume masing-masing 0,8-1,2 ml. Setelah itu dilakukan pengocokan
masing-masing tabung secara kuat selama 5-10 detik untuk memastikan bahwa
isi tabung telah tecampur baik. Tahap pengocokan ini merupakan bagian dari

16
proses analitik yang harus dikerjakan secara tepat. Setelah itu dilanjutkan dengan
inkubasi selama 16-24 am pada suhu 37C. Pasca-inkubasi, tabung disentrifus
dengan kecepatan 2000-3000 g selama 15 menit. Supernatan (plasma) diambil
untuk dideteksi kadar INF-g-nya menggunakan metode ELISA sandwich. Hasil
positif atau negatif ditentukan berdasarkan cut off point. Hasil tes dikatakan
positif jika respon IFN-γ terhadap tabung TB antigen secara signifikan nilainya
diatas tabung Nil Control. Nilai rendah pada tabung Mitogen Control (<0,5
IU/mL) menunjukkan hasil indeterminate (tak tentu) ketika respon yang sama
juga terjadi pada tabung TB Antigen. Pola seperti ini dapat terjadi karena jumlah
limfosit tidak cukup, pengurangan aktivitas limfosit karena penanganan
spesimen yang tidak tepat, tidak benar ketika memasukan darah / pengocokan
tabung mitogen, atau ketidakmampuan sel limfosit pasien untuk menghasilkan
IFN-γ (Adilistiya, 2016).

Gambar 2.5. Cara Kerja QTF-IT

17
Gambar 2.7. Tabung pada pemeriksaan
QTF-IT

Tabel 2.4 Kriteria Interpretasi Pada QFT

18
Berbeda dari QTF-IT, cara kerja T-Spot TB adalah dengan kalkulasi
interferon gamma yang dihasilkan oleh sel T CD4+ dan CD8+ yang tersensitisasi
oleh Mycobacterium tuberculosis. Sel mononuklear darah tepi diinkubasi
dengan kontrol dan digabungkan dengan dua peptida, satu mewakili keseluruhan
sekuensi asam amino dari ESAT-6 dan satu lagi mewakili keseluruhan sekuensi
asam amino dari CFP-10. Bahan pemeriksaan TSPOT TB harus berupa
Peripheral blood sel mononuclear cell (PBMC) atau sel mononuklear darah tepi.
Darah pasien diambil dan dimasukkan ke dalam tabung dengan antikoagulan
heparin tabung vakum bertutup warna hijau. Proses separasi PBMC dapat
dilakukan melalui beberapa prosedur berbasis FICOLL yang telah divalidasi
oleh pabrik yaitu metode standar tabung Leucosep dan Cell separation tubes
(CPT) dan Becton Dickinson. Metode yang dikerjakan di Indonesia adalah
metode tabung Leucosep karena relatif mudah. Darah dimasukkan ke dalam
tabung leucosep lalu disentrifus. Setelah disentrifus sel darah merah akan
terjebak di dasar tabung, sedangkan PBMC terdapat di lapisan keruh di atas
lapisan FICOLL. Supernatan ini dipindahkan ke tabung lain, ditambahi media
kultur dan disentrifus kembali. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan PBMC
yang bersih dan menghilangkan partikel sel yang dapat mengganggu pembacaan.
Setelah disentrifus supernatan dibuang, sedimen disisakan. Sedimen ini
merupakan suspensi PBMC yang selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah
sel yang dapat dilakukan secara manual atau otomatis menggunakan hematology
analyzer. Tahapan inilah yang vital dalam penerapan TSPOT TB. Dibutuhkan
sebanyak 1 juta sel PBMC (250.000 sel per lapang pandang) per pasien untuk

19
hasil yang optimal. Pada keadaan defisiensi sel imun berat sepeti pada HIV
adalah pasien harus diambil lebih banyak agar dapat mencapai jumlah PBMC
tersebut. Selanjutnya PBMC dimasukkan ke dalam tempat berisi dua macam
antigen spesifik TB kontrol negatif dan kontrol positif (mitogen) lalu diinkubasi
selama 16-20 jam di Inkubator CO2 pada suhu 37C. Pasca-inkubasi tempat
dicuci untuk membuang sel kemudian dilakukan serangkaian metode ELISA
untuk mendeteksi INF-g dalam bentuk spot. Spot inilah yang dihitung dan
dikonversi menjadi hasil positif atau negatif berdasarkan cut off point jumlah
spot yang telah ditentukan. Dikatakan positif apabila pada tempat A (yang
mewakili asam amino ESAT-6) dan atau tempat B (yang mewakili asam amino
CFP 10) terdapat spot > 8. Dikatakan negatif apabila pada kedua tempat hanya
ditemukan kurang dari sama dengan 4 spot, dan dikatakan borderline apabila
pada tempat A atau B didapatkan 5 sampai 7 spot. (Hongvan et al.,2014).

Gambar 2.8. Interpretasi pada TSPOT TB

20
Gambar 2.9. Teknik Pemeriksaan QTF-IT dan TSPOT TB

3. Indikasi dan Kontraindikasi

Pemeriksaan IGRA dapat dilakukan pada pasien anak yang tersuspek TB


aktif maupun laten. Namun perlu diperhatikan bahwa IGRA tidak terlalu
direkomendasikan untuk beberapa kondisi seperti adanya HIV,infeksi TB aktif
pada daerah dengan insidensi TB yang tinggi, malnutrisi, penyakit akut atau
kronis lain, pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif dan pasien anak yang
berusia kurang dari 17 tahun (Metcalfe et al., 2011).

4. Kelebihan dan Kelemahan IGRA

Beberapa keunggulan pemeriksaan IGRA antaralain hanya membutuhkan


satu kali kunjungan untuk melakukan tes, hasil bisa diperoleh dalam 24 jam dan
riwayat vaksinasi BCG sebelumnya tidak menyebabkan hasil positif palsu pada
pemeriksaan ini. Selain itu IGRA memiliki tingkat spesifisitas hingga >95%
untuk mendiagnosis infeksi TBC laten. IGRA T-SPOT TB memiliki sensitivitas
paling tinggi (90%) disbanding QFT-GIT (80%) atau uji tuberkulin (TST)
(Adilistiya, 2016).

Sedangkan beberapa keterbatasan pemeriksaan IGRA antaralain sampel


darah harus menjalani proses 8-30 jam setelah dikumpulkan ketika sel darah
putih (leukosit) masih hidup/viabel, masih seringnya terjadi kesalahan dalam

21
mengumpulkan ataupun membawa spesimen sampel atau dalam menjalankan
dan menginterpretasikan tes juga dapat mengurangi akurasi IGRA. Selain itu
kelemahan lainnya adalah masih terbatasnya data penggunaan IGRA, terutama
pada anak kurang dari 5 tahun, hasil menjadi terpengaruh terutama pada orang
yang baru terpapar kuman M.tuberculosis atau pada pasien dengan kekebalan
tubuh menurun. Sensitivitas IGRA berkurang pada infeksi HIV, level CD4+
yang rendah berasosiasi dengan kemungkinan yang lebih tinggi mendapat hasil
IGRA tidak dapat diinterpretasi. Spesifisitas dan sensitivitas IGRA rendah untuk
mendeteksi tuberkulosis aktif, terutama pada daerah dengan insidensi TB tinggi.
Spesifisitas buruk karena tingginya prevalensi populasi infeksi tuberkulosis laten
dan pemeriksaan dari serologis tidak dapat membedakan infeksi tuberkulosis
aktif atau laten. Infeksi tuberkulosis aktif harus ditegakkan dengan cara
konvensional yaitu menemukan Mycobacterium tuberculosis dalam tubuh,
bukan respon imun yang aktif karena infeksi M. tuberculosis. Sensitivitas
berkurang karena banyaknya faktor yang mempengaruhi hasil seperti malnutrisi,
supresi imun karena HIV, penyakit akut atau kronis lain (Adilistiya, 2016 ; Tan,
2017).

Penggunaan IGRA tidak direkomendasikan sebagai alat diagnosis untuk TB


aktif di negara pendapatan rendah dan menengah. Alasannya karena biaya
pemeriksaan yang cukup mahal dan IGRA diciptakan untuk menggantikan uji
tuberkulin pada diagnosis infeksi tuberkulosis laten bukan tuberkulosis aktif,
sebab IGRA (dan uji tuberkulin) tidak dapat membedakan antara infeksi
tuberkulosis aktif (paru maupun ekstra paru) dengan infeksi tuberkulosis laten
(hasil akan positif pada keduanya). Hal ini dikarenakan banyaknya penderita
tuberkulosis aktif di negara tersebut menyebabkan banyak juga populasi yang
berisiko terkena infeksi tuberkulosis laten. Maka hasil positif disini akan
mengaburkan diagnosis dan meningkatkan kesalahan tata laksana. Penggunaan
IGRA pada anak juga tidak direkomendasikan untuk menggantikan uji
tuberkulin dalam mendiagnosis infeksi tuberkulosis laten dan juga tidak
direkomendasikan sebagai tambahan penunjang dalam mendiagnosis

22
tuberkulosis aktif di negara pendapatan rendah dan menengah (Adilistiya, 2016
; Diel et al.,2011).

Sebuah studi juga telah membandingkan penggunaan T-Spot TB dengan uji


tuberkulin untuk mengevaluasi risiko TB laten pada anak lebih muda (18 bulan)
menunjukkan sensitivitas T-Spot TB tidak lebih baik dibanding uji tuberkulin.
Sama seperti QFT atau QFT-G, AAP belum merekomendasikan penggunaan
TSpot TB untuk diagnosis TB laten pada anak (Panjaitan, 2013).

23
III.KESIMPULAN

1. Hampir 1,3 juta kasus dan 450,000 kematian terjadi pada anak-anak tiap
tahun, dimana 80% sampai 95% menginfeksi anak-anak dan 50% sampai
60% menginfeksi pada bayi. Menurut WHO, di seluruh dunia, setidaknya
180 juta anak di bawah usia 15 tahun terinfeksi Mycobacterium TB.
2. Penegakkan diagnosis infeksi TB aktif maupun TB laten atau LTBI (latent
tuberculosis infection) masih menjadi kendala, seperti sulitnya untuk
mendapatkan spesimen diagnostik yang representatif dan berkualitas baik.
3. Baik uji tuberkulin maupun IGRA dapat digunakan sebagai alat untuk
mendeteksi TB aktif maupunTB laten, namun IGRA belum dapat
menggantikan uji tuberkulin pada negara dengan pendapatan rendah dan
menengah.
4. Negara Indonesia sebagai negara pendapatan rendah dan menengah
termasuk negara dengan penderita TB terbanyak setelah India dan Cina,
maka fokus utamanya adalah mengidentifikasi dan menatalaksana penderita
infeksi tuberkulosis aktif. Diagnosis infeksi tuberkulosis aktif ditegakkan
lewat penemuan tuberkulosis pada sputum dan rontgen toraks serta gejala
khas TB. Pemeriksaan serologis seperti IGRA dan uji tuberkulin dapat
dilakukan untuk mendiagnosis infeksi tuberkulosis laten, yang terjadi pada
reaktivasi TB aktif yang sudah sembuh atau berhasilnya mekanisme imun
tubuh mengontrol infeksi M. tuberkulosis sehingga infeksi tetap dalam
keadaan laten. Semakin banyak populasi infeksi tuberkulosis aktif, maka
akan semakin banyak pula orang yang terpapar dan berisiko terkena infeksi
tuberkulosis laten. Oleh karena keadaan ini, pemeriksaan IGRA tidak dapat

24
dilakukan untuk menegakkan infeksi tuberkulosis aktif, karena IGRA tidak
dapat membedakan infeksi tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten.
5. IGRA dan uji tuberkulin memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-
masing, namun pada hierarkinya kedua tes ini sejajar. IGRA dapat
dilakukan sebagai pengganti uji tuberkulin, bukan sebagai tambahan.
Namun karena pertimbangan ketersediaan dan harga pemeriksaan IGRA
yang relatif lebih mahal dari uji tuberkulin, di negara pendapatan rendah dan
menengah, termasuk Indonesia, uji tuberkulin lebih dipilih daripada IGRA.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adilistiya, Tika. 2016. Manfaat Pemeriksaan Interferon-Gamma Release Assay untuk


Diagnosis Tuberkulosis di Indonesia. CDK Journal. 43(7)
American Thoracic Society and CDC.2000.Diagnostic standards and classification of
tuberculosis in adults and children. Am Journal Respir Crit Care Med.16(1)1.
Andersen P, Munk ME, Pollock JM et al. 2010. Specific immune-based diagnosis of
tuberculosis.Lancet. 35(6)
Centers for Disease Control and Prevention(CDC). 2000. Targeted tuberculin testing and
treatment of latent tuberculosis infectionCdc-pdf . MMWR 2000; 49 (No. RR-6).
Diel R, Goletti D, Ferrara G, Bothamley G et al. 2011. Interferon- release assays for the
dianosis of latent Mycobacterium tuberculosis infection: systematic review and
meta-analsis. Eur respi Journal.37(1):88-9. 15.
Fadilah Harahap, Ridwan M. Daulay, Muhammad Ali, Wisman Dalimunthe, Rini Savitri
Daulay. 2015. Mantoux test results and BCG vaccination status in TB-exposed
children.Paediatric Indones Journal.55(1)
Farhat M, Greenaway C, Pai M, Menzies D et al. 2006.False-positive tuberculin skin tests:
what is the absolute effect of BCG and non-tuberculous mycobacteria?. Int Journal
Tuberc Lung Dis.10(11)
Hong-Van Tieu, Piyarat Suntarattiwong, Thanyawee Puthanakit et al.2014 Comparing
Interferon-Gamma Release Assays toTuberculin Skin Test in Thai Children with
Tuberculosis Exposure. Plos One Journal.8(9)
Inselman LS. 2003.Tuberculin skin testing and interpretation in children. Pediatr Asthma
Allergy Immunol Journal.16:22
Lewinsohn DM, Leonard MK, LoBue PA et al. 2017. Official American Thoracic
Society/Infectious Diseases Society of America/Centers for Disease Control and

26
Prevention Clinical Practice Guidelines: Diagnosis of Tuberculosis in Adults and
Children.Clin Infect Dis Journal. 64(2)
Metcalfe JZ, Everett CK, Steingart KR et al. 2011.Interferon-γ release assays for active
pulmonary tuberculosis diagnosis in adults in low- and middle-income countries:
systematic review and meta-analysis.J Infect Dis.
National Tuberculosis Controllers Association; Centers for Disease Control and Prevention
(CDC).2006.Guidelines for the investigation of contacts of persons with infectious
tuberculosis. Recommendations from the National Tuberculosis Controllers
Association and CDC. MMWR 2006; 49 (No. RR-6).
Pai M, Denkinger CM, Kik SV,et al.2014.Gamma interferon release assays for detection
of Mycobacterium tuberculosis infection.Clin Microbiol Rev.27(1)
Tan N. 2017. Interferon gamma release assay for the diagnosis of latent tuberculosis
infection : a latent class analysis. Plos One Journal.12(11)
WHO. 2013. Global tuberculosis report 2013. Diakses pada tanggal 4 november 2019
WHO. 2015. Global tuberculosis report 2015. Diakses pada tanggal 4 November 2019

27

Anda mungkin juga menyukai