Anda di halaman 1dari 9

Cari dalam ejaan/bahasa Indonesia di situs ini :

Search term:
Case-sensitive - yes
exact fuzzy

MANAJEMEN - PENANGANAN KORBAN BENCANA


TINDAKAN PADA PASIEN GAWAT-DARURAT
Syaiful Saanin, SpBS. BSB Dinkes Propinsi Sumbar.
learning @ http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery

Kehalaman utama.

Slides

PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini (early) karena trauma yang bisa terjadi dalam
beberapa menit hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma,
immediate, terjadi saat trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat
kematian kemudian, late, karena trauma yang terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak
adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi end-organ tidak memadai),
cedera SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan / atau rusaknya pusat
regulasi batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang
dapat diprediksi (mekanisme cedera, usia, sex, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan).
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera / kelainan
pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer kefasilitas sesuai.
Setiap bencana selalu menampilkan bahaya dan kesulitannya masing-masing. Yang akan
dibicarakan berikut ini antara lain adalah petunjuk umum dalam mengelola korban bencana
disamping untuk kegawatan sehari-hari. Mungkin diperlukan modifikasi oleh pemegang
komando bila dianggap diperlukan perubahan.
Bencana adalah setiap keadaan dimana jumlah pasien sakit atau cedera melebihi
kemampuan sistem gawat darurat yang tersedia dalam memberikan perawatan adekuat
secara cepat dalam usaha meminimalkan kecacadan atau kematian (korban massal), dengan
terjadinya gangguan tatanan sosial, sarana, prasarana (Bencana kompleks bila disertai
ancaman keamanan). Bencana mungkin disebabkan oleh ulah manusia atau alam.
Keberhasilan pengelolaan bencana memerlukan perencanaan sistem pelayanan gawat darurat
lokal, regional dan nasional, pemadam kebakaran / rescue, petugas hukum dan masyarakat.
Kesiapan rumah sakit serta kesiapan pelayanan spesialistik harus disertakan dalam
mempersiapkan perencanaan bencana. Secara nasional kegiatan penanggulangan gawat
darurat sehari-hari maupun dalam bencana diatur dalam Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu (SPGDT S/B) yang harus diterapkan oleh semua fihak termasuk
masyarakat awam, dibagi kedalam subsistem pra rumah sakit, rumah sakit dan antar rumah
sakit.
Proses pengelolaan bencana diatur dalam Sistem Komando Bencana. Kendali biasanya
ditangan Bakornas-PB (Banas) / Satkorlak-PB / Satlak-PB, namun bisa juga pada penegak
hukum seperti pada kasus kriminal / terorisme atau penyanderaan. Kelompok lain bisa
membantu pemegang kendali. Jaringan transportasi dan komunikasi antar instansi harus
sudah dimiliki untuk mendapatkan pengelolaan bencana yang berhasil.

Tingkat respons atas bencana.


Akan menentukan petugas dan sarana apa yang diperlukan ditempat kejadian :
Respons Tingkat I : Bencana terbatas yang dapat dikelola oleh petugas sistim gawat darurat
dan penyelamat lokal tanpa memerlukan bantuan dari luar organisasi.
Respons Tingkat II : Bencana yang melebihi atau sangat membebani petugas sistim gawat
darurat dan penyelamat lokal hingga membutuhkan pendukung sejenis serta koordinasi antar
instansi. Khas dengan banyaknya jumlah korban.
Respons Tingkat III : Bencana yang melebihi kemampuan sumber sistim gawat darurat dan
penyelamat baik lokal atau regional. Korban yang tersebar pada banyak lokasi sering terjadi.
Diperlukan koordinasi luas antar instansi.

TRIASE.
Triase adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit
(berdasarkan yang paling mungkin akan mengalami perburukan klinis segera) untuk
menentukan prioritas perawatan gawat darurat medik serta prioritas transportasi
(berdasarkan ketersediaan sarana untuk tindakan). Artinya memilih berdasar prioritas atau
penyebab ancaman hidup. Tindakan ini berdasarkan prioritas ABCDE yang merupakan
proses yang sinambung sepanjang pengelolaan gawat darurat medik. Proses triase inisial
harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba / berada ditempat dan tindakan ini harus
dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Bila kondisi
memburuk atau membaik, lakukan retriase.
Triase harus mencatat tanda vital, perjalanan penyakit pra RS, mekanisme cedera, usia, dan
keadaan yang diketahui atau diduga membawa maut. Temuan yang mengharuskan
peningkatan pelayanan antaranya cedera multipel, usia ekstrim, cedera neurologis berat,
tanda vital tidak stabil, dan kelainan jatung-paru yang diderita sebelumnya.
Survei primer membantu menentukan kasus mana yang harus diutamakan dalam satu
kelompok triase (misal pasien obstruksi jalan nafas dapat perhatian lebih dibanding amputasi
traumatik yang stabil). Di UGD, disaat menilai pasien, saat bersamaan juga dilakukan
tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien
berkurang.
Di institusi kecil, pra RS, atau bencana, sumber daya dan tenaga tidak memadai hingga
berpengaruh pada sistem triase. Tujuan triase berubah menjadi bagaimana memaksimalkan
jumlah pasien yang bisa diselamatkan sesuai dengan kondisi. Proses ini berakibat pasien
cedera serius harus diabaikan hingga pasien yang kurang kritis distabilkan. Triase dalam
keterbatasan sumber daya sulit dilaksanakan dengan baik.
Saat ini tidak ada standard nasional baku untuk triase. Metode triase yang dianjurkan bisa
secara METTAG (Triage tagging system) atau sistim triase Penuntun Lapangan START
(Simple Triage And Rapid Transportation). Terbatasnya tenaga dan sarana transportasi saat
bencana mengakibatkan kombinasi keduanya lebih layak digunakan.

Tag Triase
Tag (label berwarna dengan form data pasien) yang dipakai oleh petugas triase untuk
mengindentifikasi dan mencatat kondisi dan tindakan medik terhadap korban.
Triase dan pengelompokan berdasar Tagging.
Prioritas Nol (Hitam) : Pasien mati atau cedera fatal yang jelas dan tidak mungkin
diresusitasi.
Prioritas Pertama (Merah) : Pasien cedera berat yang memerlukan penilaian cepat serta
tindakan medik dan transport segera untuk tetap hidup (misal : gagal nafas, cedera torako-
abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar
berat).
Prioritas Kedua (Kuning) : Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera yang kurang
berat dan dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. Pasien
mungkin mengalami cedera dalam jenis cakupan yang luas (misal : cedera abdomen tanpa
shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa shok, cedera kepala atau
tulang belakang leher tidak berat, serta luka bakar ringan).
Prioritas Ketiga (Hijau) : Pasien degan cedera minor yang tidak membutuhkan stabilisasi
segera, memerlukan bantuan pertama sederhana namun memerlukan penilaian ulang berkala
(cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa
gangguan jalan nafas, serta gawat darurat psikologis).
Sebagian protokol yang kurang praktis membedakakan prioritas 0 sebagai Prioritas Keempat
(Biru) yaitu kelompok korban dengan cedera atau penyaki kritis dan berpotensi fatal yang
berarti tidak memerlukan tindakan dan transportasi, dan Prioritas Kelima (Putih)yaitu
kelompok yang sudah pasti tewas.
Bila pada Retriase ditemukan perubahan kelas, ganti tag / label yang sesuai dan pindahkan
kekelompok sesuai.

Triase Sistim METTAG.


Pendekatan yang dianjurkan untuk memprioritasikan tindakan atas korban. Resusitasi
ditempat.

Triase Sistem Penuntun Lapangan START.


Berupa penilaian pasien 60 detik dengan mengamati ventilasi, perfusi, dan status mental
(RPM : R= status Respirasi ; P = status Perfusi ; M = status Mental) untuk memastikan
kelompok korban (lazimnya juga dengan tagging) yang memerlukan transport segera atau
tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan atau mati. Ini memungkinkan penolong secara
cepat mengidentifikasikan korban yang dengan risiko besar akan kematian segera atau
apakah tidak memerlukan transport segera. Resusitasi diambulans.

Triase Sistem Kombinasi METTAG dan START.


Sistim METTAG atau sistim tagging dengan kode warna yang sejenis bisa digunakan
sebagai bagian dari Penuntun Lapangan START. Resusitasi di ambulans atau di Area
Tindakan Utama sesuai keadaan.

PENILAIAN DITEMPAT DAN PRIORITAS TRIASE


Bila jumlah korban serta parahnya cedera tidak melebihi kemampuan pusat pelayanan,
pasien dengan masalah mengancam jiwa dan cedera sistem berganda ditindak lebih dulu.
Bila jumlah korban serta parahnya cedera melebihi kemampuan *) dst dibawah algoritma

Algoritma Sistem START :


Hitam = Deceased (Tewas) ; Merah = Immediate (Segera), Kuning = Delayed (Tunda) ;
Hijau = Minor.
Semua korban diluar algoritma diatas : Kuning.
Disini tidak ada resusitasi dan C-spine control.
Satu pasien maks. 60 detik. Segera pindah kepasien berikut setelah tagging.
Pada sistem ini tag tidak diisi, kecuali jam dan tanggal. Diisi petugas berikutnya.

*) tenaga dan fasilitas pusat pelayanan, pasien dengan peluang hidup terbesar dengan paling
sedikit manghabiskan waktu, peralatan dan persediaan, ditindak lebih dulu. Ketua Tim
Medik mengatur Sub Tim Triase dari Tim Tanggap Pertama (First Responders) untuk secara
cepat menilai dan men tag korban. Setelah pemilahan selesai, Tim Tanggap Pertama
melakukan tindakan sesuai kode pada tag. (Umumnya tim tidak mempunyai tugas hanya
sebagai petugas triase, namun juga melakukan tindakan pasca triase setelah triase selesai).
1. Pertahankan keberadaan darah universal dan cairan.
2. Tim tanggap pertama harus menilai lingkungan atas kemungkinan bahaya, keamanan dan
jumlah korban dan kebutuhan untuk menentukan tingkat respons yang memadai (Rapid
Health Assessment / RHA).
3. Beritahukan koordinator propinsi (Kadinkes Propinsi) untuk mengumumkan bencana
serta mengirim kebutuhan dan dukungan antar instansi sesuai yang ditentukan oleh beratnya
kejadian (dari kesimpulan RHA).
4. Kenali dan tunjuk pada posisi berikut bila petugas yang mampu tersedia :
- Petugas Komando Bencana.
- Petugas Komunikasi.
- Petugas Ekstrikasi/Bahaya.
- Petugas Triase Primer.
- Petugas Triase Sekunder.
- Petugas Perawatan.
- Petugas Angkut atau Transportasi.
5. Kenali dan tunjuk area sektor bencana :
- Sektor Komando / Komunikasi Bencana.
- Sektor Pendukung (Kebutuhan dan Tenaga).
- Sektor Bencana.
- Sektor Ekstrikasi / Bahaya.
- Sektor Triase.
- Sektor Tindakan Primer.
- Sektor Tindakan Sekunder.
- Sektor Transportasi.
6. Rencana Pasca Kejadian Bencana :
7. Kritik Pasca Musibah.
8. CISD (Critical Insident Stress Debriefing).
Sektor Tindakan Sekunder bisa berupa Sektor Tindakan Utama dimana korban kelompok
merah dan kuning yang menunggu transport dikumpulkan untuk lebih mengefisienkan
persedian dan tenaga medis dalam resusitasi-stabilisasi.

TINDAKAN DAN EVAKUASI MEDIK


Tim Medik dari Tim Tanggap Pertama (bisa saja petugas yang selesai melakukan triase)
mulai melakukan stabilisasi dan tindakan bagi korban berdasar prioritas triase, dan
kemudian mengevakuasi mereka ke Area Tindakan Utama sesuai kode prioritas. Kode
merah dipindahkan ke Area Tindakan Utama terlebih dahulu.

TRANSPORTASI KORBAN
Koodinator Transportasi mengatur kedatangan dan keberangkatan serta transportasi yang
sesuai. Koordinator Transportasi bekerjasama dengan Koordinator Medik menentukan
rumah sakit tujuan, agar pasien trauma serius sampai kerumah sakit yang sesuai dalam
periode emas hingga tindakan definitif dilaksanakan pada saatnya. Ingat untuk tidak
membebani RS rujukan melebihi kemampuannya. Cegah pasien yang kurang serius dikirim
ke RS utama. (Jangan pindahkan bencana ke RS).

PERIMETER
Perimeter Terluar.
Mengontrol kegiatan keluar masuk lokasi. Petugas keamanan mengatur perimeter sekitar
lokasi untuk mencegah masyarakat dan kendaraan masuk kedaerah berbahaya. Perimeter
seluas mungkin untuk mencegah yang tidak berkepentingan masuk dan memudahkan
kendaraan gawat darurat masuk dan keluar.
Jalur untuk Transport Korban
Petugas keamanan bersama petugas medis menetapkan perimeter sekitar lokasi bencana
yang disebut Zona Panas. Ditentukan jalur yang dinyatakan aman untuk memindahkan
korban ke perimeter kedua atau zona dimana berada Area Tindakan Utama. Tidak
seorangpun diizinkan melewati perimeter Zona Panas untuk mencegah salah menempatkan
atau memindahkan pasien secara tidak aman tanpa izin. Faktor lain yang mempengaruhi
kemantapan Zona Panas antaranya lontaran material, api, jalur listrik, bangunan atau
kendaraan yang tidak stabil atau berbahaya.

Keamanan.
Mengamankan penolong dan korban. Petugas keamanan mengatur semua kegiatan dalam
keadaan aman bagi petugas rescue, pemadaman api, evakuasi, bahan berbahaya dll. Bila
petugas keamanan melihat keadaan berpotensi bahaya yang bisa membunuh penolong atau
korban, ia punya wewenang menghentikan atau merubah operasi untuk mecegah risiko lebih
lanjut.
Semua anggota Tim Tanggap Pertama dapat bekerja bersama secara cepat dan efektif
dibawah satu sistem komando yang digunakan dan dimengerti, untuk menyelamatkan hidup,
untuk meminimalkan risiko cedera serta kerusakan.

PENILAIAN AWAL.
Penilaian awal mencakup protokol persiapan, triase, survei primer, resusitasi-stabilisasi,
survei sekunder dan tindakan definitif atau transfer ke RS sesuai. Diagnostik absolut tidak
dibutuhkan untuk menindak keadaan klinis kritis yang diketakui pada awal proses. Bila
tenaga terbatas jangan lakukan urutan langkah-langkah survei primer. Kondisi pengancam
jiwa diutamakan.
Survei Primer.
Langkah-langkahnya sebagai ABCDE (airway and C-spine control, breathing, circulation
and hemorrhage control, disability, exposure/environment).
Jalan nafas merupakan prioritas pertama. Pastikan udara menuju paru-paru tidak terhambat.
Temuan kritis seperti obstruksi karena cedera langsung, edema, benda asing dan akibat
penurunan kesadaran. Tindakan bisa hanya membersihkan jalan nafas hingga intubasi atau
krikotiroidotomi atau trakheostomi.
Nilai pernafasan atas kemampuan pasien akan ventilasi dan oksigenasi. Temuan kritis bisa
tiadanya ventilasi spontan, tiadanya atau asimetriknya bunyi nafas, dispnea, perkusi dada
yang hipperresonans atau pekak, dan tampaknya instabilitas dinding dada atau adanya defek
yang mengganggu pernafasan. Tindakan bisa mulai pemberian oksigen hingga pemasangan
torakostomi pipa dan ventilasi mekanik.
Nilai sirkulasi dengan mencari hipovolemia, tamponade kardiak, sumber perdarahan
eksternal. Lihat vena leher apakah terbendung atau kolaps, apakah bunyi jantung terdengar,
pastikan sumber perdarahan eksternal sudah diatasi. Tindakan pertama atas hipovolemia
adalah memberikan RL secara cepat melalui 2 kateter IV besar secara perifer di ekstremitas
atas. Kontrol perdarahan eksternal dengan penekanan langsung atau pembedahan, dan
tindakan bedah lain sesuai indikasi.
Tetapkan status mental pasien dengan GCS dan lakukan pemeriksaan motorik. Tentukan
adakah cedera kepala atau kord spinal serius. Periksa ukuran pupil, reaksi terhadap cahaya,
kesimetrisannya. Cedera spinal bisa diperiksa dengan mengamati gerak ekstremitas spontan
dan usaha bernafas spontan. Pupil yang tidak simetris dengan refleks cahaya terganggu atau
hilang serta adanya hemiparesis memerlukan tindakan atas herniasi otak dan hipertensi
intrakranial yang memerlukan konsultasi bedah saraf segera.
Tidak adanya gangguan kesadaran, adanya paraplegia atau kuadriplegia menunjukkan
cedera kord spinal hingga memerlukan kewaspadaan spinal dan pemberian metilprednisolon
bila masih 8 jam sejak cedera (kontroversial). Bila usaha inspirasi terganggu atau diduga lesi
tinggi kord leher, lakukan intubasi endotrakheal.
Tahap akhir survei primer adalah eksposur pasien dan mengontrol lingkungan segera. Buka
seluruh pakaian untuk pemeriksaan lengkap. Pada saat yang sama mulai tindakan
pencegahan hipotermia yang iatrogenik biasa terjadi diruang ber AC, dengan memberikan
infus hangat, selimut, lampu pemanas, bila perlu selimut dengan pemanas.
Prosedur lain adalah tindakan monitoring dan diagnostik yang dilakukan bersama survei
primer. Pasang lead ECG dan monitor ventilator, segera pasang oksimeter denyut. Monitor
memberi data penuntun resusitasi. Setelah jalan nafas aman, pasang pipa nasogastrik untuk
dekompresi lambung serta mengurangi kemungkinan aspirasi cairan lambung. Katater Foley
kontraindikasi bila urethra cedera (darah pada meatus, ekimosis skrotum / labia major,
prostat terdorong keatas). Lakukan urethrogram untuk menyingkirkan cedera urethral
sebelum kateterisasi.

RESUSITASI DAN PENILAIAN KOMPREHENSIF


Fase Resusitasi.
Sepanjang survei primer, saat menegakkan diagnosis dan melakukan intervensi, lanjutkan
sampai kondisi pasien stabil, tindakan diagnosis sudah lengkap, dan prosedur resusitatif
serta tindakan bedah sudah selesai. Usaha ini termasuk kedalamnya monitoring tanda vital,
merawat jalan nafas serta bantuan pernafasan dan oksigenasi bila perlu, serta memberikan
resusitasi cairan atau produk darah.
Pasien dengan cedera multipel perlu beberapa liter kristaloid dalam 24 jam untuk
mempertahankan volume intravaskuler, perfusi jaringan dan organ vital, serta keluaran urin.
Berikan darah bila hipovolemia tidak terkontrol oleh cairan. Perdarahan yang tidak
terkontrol dengan penekanan dan pemberian produk darah, operasi. Titik capai resusitasi
adalah tanda vital normal, tidak ada lagi kehilangan darah, keluaran urin normal 0,5-1
cc/kg/jam, dan tidak ada bukti disfungsi end-organ. Parameter (kadar laktat darah, defisit
basa pada gas darah arteri) bisa membantu.

Survei Sekunder.
Formalnya dimulai setelah melengkapi survei primer dan setelah memulai fase resusitasi.
Pada saat ini kenali semua cedera dengan memeriksa dari kepala hingga jari kaki. Nilai lagi
tanda vital, lakukan survei primer ulangan secara cepat untuk menilai respons atas resusitasi
dan untuk mengetahui perburukan. Selanjutnya cari riwayat, termasuk laporan petugas pra
RS, keluarga, atau korban lain.
Bila pasien sadar, kumpulkan data penting termasuk masalah medis sebelumnya, alergi dan
medikasi sebelumnya, status immunisasi tetanus, saat makan terakhir, kejadian sekitar
kecelakaan. Data ini membantu mengarahkan survei sekunder mengetahui mekanisme
cedera, kemungkinan luka bakar atau cedera karena suhu dingin (cold injury), dan kondisi
fisiologis pasien secara umum.

Pemeriksaan Fisik Berurutan.


Diktum jari atau pipa dalam setiap lubang mengarahkan pemeriksaan. Periksa setiap
bagian tubuh atas adanya cedera, instabilitas tulang, dan nyeri pada palpasi. Periksa lengkap
dari kepala hingga jari kaki termasuk status neurologisnya.

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DAN LABORATORIUM.


Pemeriksaan radiologis memberikan data diagnostik penting yang menuntun penilaian awal.
Saat serta urutan pemeriksaan adalah penting namun tidak boleh mengganggu survei primer
dan resusitasi. Pastikan hemodinamik cukup stabil saat membawa pasien keruang radiologi.

Pemeriksaan Laboratorium saat penilaian awal.


Paling penting adalah jenis dan x-match darah yang harus selesai dalam 20 menit. Gas darah
arterial juga penting namun kegunaannya dalam pemeriksaan serial digantikan oleh
oksimeter denyut. Pemeriksaan Hb dan Ht berguna saat kedatangan, dengan pengertian
bahwa dalam perdarahan akut, turunnya Ht mungkin tidak tampak hingga mobilisasi otogen
cairan ekstravaskuler atau pemberian cairan resusitasi IV dimulai.
Urinalisis dipstick untuk menyingkirkan hematuria tersembunyi. Skrining urin untuk
penyalahguna obat dan alkohol, serta glukosa, untuk mengetahui penyebab penurunan
kesadaran yang dapat diperbaiki. Pada kebanyakan trauma, elektrolit serum, parameter
koagulasi, hitung jenis darah, dan pemeriksaan laboratorium umum lainnya kurang berguna
saat 1-2 jam pertama dibanding setelah stabilisasi dan resusitasi.

PENUTUP.
Indonesia adalah super market bencana. Semua petugas medis bisa terlibat dalam
pengelolaan bencana. Semua petugas wajib melaksanakan Sistim Komando Bencana dan
berpegang pada SPGDT-S/B pada semua keadaan gawat darurat medis baik dalam keadaan
bencana atau sehari-hari. Semua petugas harus waspada dan memiliki pengetahuan
sempurna dalam peran khusus dan pertanggung-jawabannya dalam usaha penyelamatan
pasien.
Karena banyak keadaan bencana yang kompleks, dianjurkan bahwa semua petugas harus
berperan-serta dan menerima pelatihan tambahan dalam pengelolaan bencana agar lebih
terampil dan mampu saat bencana sebenarnya.

RUJUKAN.
1. Seri PPGD. Penanggulangan Penderita Gawat Darurat / General Emergency Life Support
(GELS). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Cetakan Ketiga.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Departemen Kesehatan R.I. 2006.
2. Penanggulangan Kegawatdaruratan sehari-hari & bencana. Departemen Kesehatan R.I.
Jakarta : Departemen Kesehatan, 2006.
3. Tanggap Darurat Bencana (Safe Community). Departemen Kesehatan R.I. Jakarta :
Departemen Kesehatan, 2006.
4. Prosedur Tetap Pelayanan Kesehatan Penanggulangan Bencana dan Penaanganan
Pengungsi. Departemen Kesehatan R.I. Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan. Tahun
2002.
5. Advanced Trauma Life Support. Course for Physicians 6th. edition. American College of
Surgeons, 55 East Erie Street, Chicago, IL 60611-2797.
6. Multiple Casualty Insidents. Available at
http://www.vgernet.net/bkand/state/multiple.html.

Kehalaman utama.

Anda mungkin juga menyukai