Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TUNAGRAHITA

A. Pengertian Anak Tunagrahita

Tuna berarti merugi dan grahita berarti pikiran. Istilah lain dari tunagrahita

adalah lemah pikiran (feeble-minded), terbelakang mental (mentally retarded),

bodoh atau dungu (idiot), pander (imbecile), tolol (moron), oligofrenia

(oligophrenia), mampu didik (educable), mampu latih (trainable), ketergantungan

penuh (totally dependent) butuh rawat, mental subnormal, defisit mental, defisit

kognitif, cacat mental, defisiensi mental, gangguan intelektual, dan down syndrom.1

Tunagrahita berarti keadaan seseorang yang ditandai dengan fungsi

kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata disertai dengan berkurangnya

kemampuan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi, yang mulai timbul sebelum

usia 18 tahun.2 Selain itu, anak tunagrahita juga di artikan sebagai anak yang

memiliki kecerdasan yang berada di bawah rata-rata dan di sertai dengan

ketidakmampuan dalam menyesuaikan perilaku yang muncul dalam masa

perkembangan.3

1
Dodo Sudrajat dan Lilis Rosida, Pendidikan Bina Diri Bagi Anak Berkebutuhan Khusus,
(Jakarta: Luxima Metro Media, 2013), h. 16-17.
2
Dadan Rachmayana, op.cit., h. 23.
3
Dedy Kustawan, Penilaian Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:
Luxima Metro Media, 2013), h. 14.
Tunagrahita di artikan sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual

umum dibawah rata-rata (IQ 84 ke bawah sesuai tes), muncul sebelum usia 16

tahun, dan menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Namun ada juga yang

mengartikan tunagrahita sebagai anak yang memiliki inteligensi yang signifikan

berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan beradaptasi yang

muncul dalam masa perkembangan.4 Jadi, anak tunagrahita adalah anak yang

memiliki fungsi kecerdasan di bawah rata-rata anak normal yang menyebabkan

anak tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan muncul saat masa

perkembangan, yaitu sampai dengan usia 18 tahun.

B. Klasifikasi dan Karakteristik Anak Tunagrahita

Secara umum, tunagrahita diklasifikasikan menjadi:

1. Tunagrahita ringan (IQ : 52-68 atau 51-70)

Anak yang tergolong tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan

kemampuan. Mereka mampu dididik dan dilatih. Misalnya membaca, menulis,

berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah

diajak berkomunikasi. Selain itu, kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok.

Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anank tunagrahita

ringan tidak memerlukan pegawasan ekstra.5

2. Tunagrahita sedang (IQ : 36-51)

4
Ibid., h. 27.
5
Yani Meimulyani dan Caryoto, Media Pembelajaran Adaptif bagi Anak Berkebutuhan
Khusus, (Jakarta: Luxima Metro Media, 2013), h. 15.
Anak tunagrahita sedang juga mampu diajak berkomunikasi sama seperti

anak tunagrahita ringan. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam

menulis, membaca dan berhitung. Tetapi ketika ditanya siapa nama dan alamat

rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja dilapangan namun

dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya.

Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan

sosial anak tunagrahita sedang.6

3. Tunagrahita berat

Anak tunagrahita berat mempunyai kisaran IQ antara 20-35. Mereka dapat

dilatih walaupun lebih sulit dibandingkan tunagrahita sedang.7 Karakteristik yang

lain juga di jelaskan oleh Nunung Apriyanto seperti, tidak dapat membedakan

bahaya dan bukan bahaya, hanya mampu mengucapkan kata-kata atau tanda

sederhana, dan untuk menjaga kestabilan fisik serta kesehatannya di perlukan

kegiatan yang bermanfaat untuk mereka lakukan (seperti: mengampelas,

memindahkan, mengisi karung beras sampai penuh, dan lain-lain).8 Jadi, anak

tunagrahita berat adalah anak tunagrahita yag hanya mampu mengucapkan kata-

kata atau tanda sederhana, namun tindak mampu mencapai tingkat kemandirian

tertentu.

4. Tunagrahita sangat berat

6
Ibid., h. 15-16.
7
Dadan Rachmayana, op.cit, h.26.
8
Nur Fathurrahmatul A’liah, “Pelaksanaan Pembelajaran PAI Jurusan Tunagrahita di
SDLB Dharma Wanita Persatuan Banjarmasin”, Skripsi, (Banjarmasin: Perpustakaan FTK IAIN
Antasari, 2013), h. 34.
Tunagrahita sangat berat mempunyai kisaran IQ antara 19 atau kurang.

Biasanya mereka tidak dapat belajar berjalan, berbicara atau memahami. Angka

harapan kehidupan bagi anak tunagrahita sangat berat mungkin lebih pendek,

tergantung kepada penyebab dan beratnya tunagrahita. Dengan kata lain, semakin

berat ketunagrahitaannya maka semakin kecil angka harapan hidupnya.9 Selain itu,

tunagrahita ini disebut juga dengan idiot. Karena dalam kehidupan sehari-hari

mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal.

Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya.10

Dalam pembelajaran, anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi:

1. Educable (mampu didik), yaitu anak tunagrahita yang masih mempunyai

kemampuan dalam akademik setara dengan anak regular pada kelas 5

Sekolah Dasar dengan IQ 50-75 atau 75.

2. Trainable (mampu latih), yaitu anak tunagrahita yang masih mempunyai

kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan

penyesuaian sosial. Namun, sangat terbatas kemampuannya untuk

mendapat pendidikan secara akademik. Anak ini memiliki IQ 30-50 atau

35-55.

3. Custodial (mampu rawat), yaitu anak tunagrahita yang membutuhkan

pemberian latihan secara terus menerus dan khusus, sehingga dapat

melatih anak tentang dasar-dasar cara menolong diri sendiri dan

9
Dadan Rachmayana, op.cit, h.25.
10
Yani Meimulyani dan Caryoto, h.16
kemampuan yang bersifat komunikatif. Anak ini memiliki IQ dibawah 25

atau 30.11

Beberapa karakteristik anak tunagrahita telah disebutkan diatas. Namun,

secara umum karakteristik anak tunagrahita yaitu: lamban dalam mempelajari hal-

hal yang baru, kesulitan dalam membentuk gagasan dan mempelajari hal-hal yang

baru, kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat, cacat fisik

dan perkembangan gerak, kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, tingkah

laku dan interaksi yang tidak lazim, dan tingkah laku kurang wajar yang terus

menerus.12 Selain itu, anak tunagrahita juga mempunyai ciri-ciri yang lain

diantaranya penampilan fisik tidak seimbang (seperti: kepala terlalu kecil/besar),

tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usia, tidak ada/kurang sekali

perhatian terhadap lingkungan, dan koordinasi gerakan kurang dengan kata lain

gerakan sering tidak terkendali.13

C. Penyebab dan Usaha Pencegahan Terjadinya Tunagrahita

Tunagrahita dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu:

1. Generik, seperti kerusakan/kelainan biokimiawi dan ketidaknormalan

kromosomal

2. Sebelum lahir, meliputi infeksi rubella (cacar) dan faktor rhesus (Rh)

11
Dodo Sudrajat dan Lilis Rosida, op.cit., h. 18-19.
12
Kemis dan Ati Rosnawati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita, (Jakarta:
Luxima Metro Media, 2013), h.17-18.
13
Elly Sari melinda, Pembelajaran Adaptif bagi Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta:
Luxima Metro Media, 2013), h. 45.
3. Kelahiran, disebabkan oleh kejadian yang terjadi saat kelahiran

4. Setelah lahir yang diakibatkan oleh infeksi. Misalnya: meningitis dan

kekurangan gizi

5. Faktor sosial budaya lingkungan

6. Gangguan nutrisi, meliputi: phenylketonuria, gargoylisme, dan

cretinisme.14

Penyebab tunagrahita secara umum, terdiri dari infeksi dan/atau intoxikasi,

rudapaksa dan/atau sebab fisik lain, gangguan metabolisme, gangguan

pertumbuhan atau gizi atau nutrisi, penyakit otak yang nyata, akibat penyakit atau

pengaruh sebelum lahir yang tidak diketahui, akibat kelainan kromosomal,

gangguan waktu kehamilan, gangguan jiwa yang berat, pengaruh lingkungan, dan

kondisi-kondisi lainnya.15

Jadi, secara umum faktor penyebab anak menjadi tunagrahita berasal dari

genetik, biologis non keturunan (seperti: obat-obatan, radiasi sinar x, dan

sebagainya), dan lingkungan. Terjadi saat sebelum kelahiran, saat kelahiran, atau

bisa juga sesudah kelahiran.

Terjadinya anak tunagrahita dapat dicegah dengan melakukan beberapa

usaha, diantaranya diagnostik prenatal (sebelum kelahiran), imunisasi, tes darah,

pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kebersihan lingkungan, penyuluhan genetik,

tindakan operasi, program keluarga berencana, dan intervensi dini.16

14
Kemis dan Ati Rosnawati, op.cit., h. 15-16.
15
Dodo Sudrajat, op.cit., h. 22.
16
Kemis dan Ati Rosnawati, op.cit., h. 17.
D. Asas Pengajaran Anak Tunagrahita

Ada lima asas pengajaran yang sering diterapkan pada sekolah anak luar

biasa bagian tunagrahita, yaitu:

1. Asas keperagaan, yaitu menggunakan alat peraga untuk mengajar anak

tunagrahita, karena anak tunagrahita sangat lambat daya tangkapnya maka

penggunaan alat peraga mengajar sangat bermanfaat. Selain itu, alat peraga

sangat bermanfaat untuk menarik minat anak untuk belajar agar tidak cepat

bosan, membantu proses berpikir , dan lain-lain.

2. Asas kehidupan konkret. Dalam asas ini anak di perlihatkan dengan situasi

kehidupan sesungguhnya, kemudian di jelaskan kegunaannya dalam

kehidupan sehari-hari. Contoh: anak di bawa ke pasar kemudian di

perkenalkan alat-alat dapur beserta kegunaannya seperti panci, wajan,

sendok, dan lain-lain.

3. Asas sosialisasi. Dalam asas ini anak tunagrahita di ajarkan bersosialisai

dengan masyarakat, sehingga anak tunagrahita mampu beradaptasi dan

mengembangkan kemampuan yang di milikinya dan akhirnya mereka

mampu di terima oleh masyarakat.

4. Asas skala perkembangan mental. Dalam asas ini guru mengelompokan

anak-anak yang memiliki mental yang sama atau hampir sama di dalam

suatu kelas, sehingga memudahkan guru dalam memberikan pelajaran.17

17
Sarkila, ”Strategi Pembelajaran PAI Pada Siswa Tunagrahita di Sekolah Dasar Luar Biasa
Negeri Marabahan Kabupaten Barito Kuala”, Skripsi, (Banjarmasin: Perpustakaan FTK IAIN
Antasari, 2015), h. 29-30.
5. Asas individual. Dalam asas ini guru memberikan bantuan atau bimbingan

kepada anak tunagrahita sesuai dengan kemampuan yang di milikinya agar

dapat belajar dengan baik.18

Jadi, asas-asas pengajaran pada anak tunagrahita terdiri dari asas keperagaan

(menggunakan alat peraga), asas kehidupan konkret (sesuai dengan kehidupan

nyata), asas sosialisasi (beradaptasi dengan masyarakat), asas skala perkembangan

mental (pengelompokan homogen), dan asas individual (bimbingan secara

individu).

E. Masalah-masalah yang di Hadapi Anak Tunagrahita

Perkembangan fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang rendah

menyebabkan anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam hidupnya. Masalah-

masalah yang dihadapi mereka secara umum meliputi:

1. Masalah belajar

Anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk dapat berpikir abstrak, belajar

apapun harus terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Hal ini berhubungan

dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan dalam bernalar, dan sukar

sekali dalam mengembangkan ide. Selain itu, anak tunagrahita dalam mempelajari

sesuatu kerap kali melakukannya dengan cara coba-coba (trial and error). Mereka

tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, tidak dapat melihat obyek yang

dipelajari secara gestalt, dan lebih melihat sesuatu hal secara terpisah-pisah. Jadi

18
Sarkila, op.cit., h. 30.
melihat unsur nampak lebih dominan. Akibat dari kondisi seperti ini mereka

mengalami kesulitan dalam memahami hubungan sebab akibat.19

Melihat masalah-masalah belajar anak tunagrahita terdapat beberapa hal

yang perlu dipertimbangkan didalam membelajarkan mereka. Pertimbangan

tersebut meliputi:

a. Bahan yang diajarkan perlu dipecah-pecah menjadi bagian-bagian

kecil dan ditata secara berurutan

b. Setiap bagian dari bahan ajar , diajarkan satu demi satu dan dilakukan

secara berulang-ulang

c. Kegiatan belajar hendaknya dilakukan dalam situasi yang konkret

d. Berikan kepadanya dorongan untuk melakukan apa yang sedang ia

pelajari

e. Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan menghindari

kegiatan belajar yang terlalu formal

f. Gunakan alat peraga dalam mengkonkretkan konsep.20

2. Masalah penyesuaian diri

Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan

norma lingkungan. Oleh karena itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan

yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku

anak tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagian anggota masyarakat karena

19
Kemis dan Ati Rosnawati, op.cit, h. 22.
20
Ibid., h. 25-26.
mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normatif atau karena tingkah

lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya.21

3. Gangguan bicara dan bahasa

Ada dua hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan gangguan proses

komunikasi. Pertama: gangguan atau kesulitan bicara dimana individu mengalami

kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar, sebagai contoh

substitusi bunyi menghilangkan bunyi dan gagap. Kedua; gangguan bahasa, dimana

seorang anak mengalami kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosa kata

serta kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan.22

4. Masalah kepribadian

Anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-

anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian ini berhubungan erat dengan

faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kepribadian seseorang dibentuk oleh

faktor organik seperti disposisi genetic, disfungsi otak, san faktor-faktor lingkungan

seperti; pengalaman pada masa kecil dan lingkungan masyarakat secara umum.23

Jadi, secara umum masalah yang dihadapi anak tunagrahita adalah belajar,

menyesuaikan diri dengan lingkungan, gangguan berbicara dan bahasa, dan

kepribadian yang ada pada diri anak tunagrahita.

21
Ibid., h. 26-27.
22
Ibid., h.29-30.
23
Ibid., h.31.
F. Prinsip dalam Proses Pembelajaran Anak Tunagrahita

Prinsip dalam proses pembelajaran anak tunagrahita terdiri dari prinsip

secara umum dan prinsip secara khusus. Prinsip secara umum meliputi prinsip

motivasi, prinsip latar/konteks, prinsip keterarahan, prinsip hubungan sosial,

prinsip belajar sambi bekerja, prinsip individualisasi, prinsip menemukan, dan

prinsip pemecahan masalah. Sedangkan prinsip khususnya adalah prinsip kasih

sayang, keperagaan, habilitasi (pembiasaan), dan rehabilitasi (perbaikan).

Jadi prinsip-prinsip tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja, sebab prinsip

ini adalah acuan dalam kegiatan pembelajaran. Apabila prinsip tersebut kita

abaikan maka pembelajaran tidak akan berhasil dengan baik. Selain menerapkan

prinsip tersebut dalam kegiatan pembelajaran harus memberikan penguatan yang

berguna untuk memotivasi peserta agar belajar dengan senang dan bergairah24

Penguatan adalah bentuk respon guru dengan menggunakan ucapan (verbal

atau gerakan isyarat/non verbal) terhadap perilaku yang ditujukan siswa. Penguatan

non verbal seperti gerakan kepala mengangguk, wajah ceria/cerah yang

menyenangkan, tersenyum, tertawa sewajarnya sehingga siswa merasa dihargai dan

diperhatikan, kontak pandang mata saling bertatap muka, mengangkat ibu jari atau

jempol tangan, dan tepuk tangan. Penguatan dengan sentuhan seperti memegang

atau menepuk bahu, mengusap kepala, dan jabat tangan. Penguatan dengan

pendekatan kepada siswa, seperti berdiri disamping siswa, guru berjalan mendekat

dan duduk disamping siswa. Penguatan dengan memberi hadiah, seperti alat tulis,

24
Ibid., h. 84-86.
boneka sederhana, dan sebagainya. Sedangkan penguatan verbal berbentuk kata-

kata pujia, penghargaan, persetujuan dan sebagainya.25

25
Ibid., h. 87-93.

Anda mungkin juga menyukai