Anda di halaman 1dari 17

PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA ANAK TUNAGRAHITA

Nurmiati
(Mahasiswi IAIN Antasari Banjarmasin)
Abstract: This research has purpose to know the effective mathematics
learning for student with mental retardation towards tunagrahita child. The kind
of this research is library research. The source of data that used is the result of
the former research and related books to mathematics learning for student with
mental retardation towards tunagrahita child. The approach used in this
research is qualitative approach that has characteristic as descriptive
approach. Technique of data collection is by collecting and examine the
former research and related books to mathematics learning for student with
mental retardation towards tunagrahita child, then analyzed by content analysis
in qualitative characteristic. Result of this research is that mathematics
learning only can be taught towards low and medium student with mental
retardation tunagrahita child. Mathematics learning for student with mental
retardation towards tunagrahita child will be effective if the components in
mathematics learning can be operated well, such as: the objective of learning
can be reached, the material can be understood, the learning activities can be
operated based on the planning, using variations in learning method, using
media in learning activity if it is needed, have many learning resources and
using learning evaluation.
Key word: Learning, Mathematic, student with mental retardation Tunagrahita.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pembelajaran matematika
yang efektif pada anak tunagrahita. Jenis penelitian ini adalah library
research (penelitian pustaka). Sumber data yang digunakan adalah hasil
penelitian terdahulu dan buku-buku yang berhubungan dengan pembelajaran
matematika pada anak tunagrahita. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini dengan cara mengumpulkan dan mengkaji penelitian terdahulu
dan buku-buku yang berhubungan dengan pembelajaran matematika pada
anak tunagrahita, kemudian di analisis dengan analisis isi yang bersifat
kualitatif. Hasil dari penelitian ini yaitu pembelajaran matematika hanya
mampu di ajarkan kepada anak tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang,
pembelajaran matematika pada anak tunagrahita akan efektif apabila
komponen-komponen dalam pembelajaran matematika terlaksana dengan
baik, seperti: tujuan pembelajaran dapat tercapai, materi pembelajaran dapat
dipahami, kegiatan pembelajaran berjalan sesuai dengan yang direncanakan,
metode pembelajaran yang digunakan bervariasi, menggunakan media
pembelajaran jika diperlukan, memiliki beberapa sumber belajar, dan evaluasi
terhadap pembelajaran dilaksanakan.
Kata kunci: Pembelajaran, Matematika, Tunagrahita

Pendahuluan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
pasal 1 ayat 1 di dalam buku Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS & Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2013 Tentang
Standar Nasional Pendidikan Serta Wajib Belajar, menyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
(2014, 2) Sehingga pendidikan untuk manusia sangatlah penting dan dengan
adanya pendidikan kehidupan manusia lebih terarah. Pendidikan mampu
mengangkat derajat manusia didalam kehidupannya didunia. Orang yang
berpendidikan pastilah berbeda dengan orang yang tidak mempunyai
pendidikan, semua itu dapat dilihat pada perilakunya dengan orang lain,
kemampuannya dalam menghadapi masalah, sikapnya dalam bertindak dan
lain-lain.
Menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 menyatakan
bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia 2002) Hal ini menunjukan bahwa anak
berkebutuhan khusus mempunyai kesempatan yang sama dalam hal
pendidikan, sama seperti anak normal lainnya. Hanya saja, pendidikan yang
diberikan kepada anak berkebutuhan khusus tidak sama dengan pendidikan
yang diberikan pada anak umumnya, dikarenakan kelainan yang dimiliki oleh
mereka. Sehingga dibutuhkan pendidikan yang khusus pada anak
berkebutuhan khusus agar mereka mampu menerima pembelajaran yang
diberikan. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 pasal 5 ayat 2 di dalam buku Undang-undang R.I. Nomor 20
Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS & Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2013
Tentang Standar Nasional Pendidikan Serta Wajib Belajar, menyatakan bahwa
warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. (2014, 7)
Menurut Sumekar, anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang
mengalami penyimpangan, kelainan atau ketunaan pada fisik, mental, emosi
dan sosial, maupun gabungan dari hal-hal tersebut sehingga memerlukan
pendidikan yang khusus berdasarkan penyimpangan dan kelainan atau
ketunaan anak tersebut. (Anggraini 2013, 1-2) Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) terbagi menjadi 2 bagian, yaitu: ABK permanen dan ABK sementara.
ABK permanen seperti: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunaganda, autistic, anak berkecerdasan dan berbakat istimewa. Sedangkan
ABK sementara seperti: berkesulitan belajar, anak jalanan, anak korban
narkoba, anak dalam suku dan adat budaya tertentu, anak PSK dan PSK anak,
anak daerah terpencil dan anak perbatasan. (Rachmayana 2013, 1-2) Selain
itu, ada juga yang membagi anak berkebutuhan khusus menjadi 11 bagian,
meliputi: tunanetra yaitu anak yang mengalami gangguan penglihatan,

tunarungu yaitu anak yang mengalami gangguan pendengaran, tunadaksa yaitu


anak yang mengalami kelainan anggota tubuh, berbakat yaitu anak yang
memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, tunagrahita yaitu anak yang
mengalami hambatan dan keterbelakangan mental jauh di bawah anak ratarata, lamban belajar yaitu anak yang mengalami keterlambatan dalam belajar,
anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik, anak yang mengalami
gangguan komunikasi, tunalaras yaitu anak yang mengalami gangguan emosi
dan perilaku, ADHD/GPPH yaitu anak yang mengalami gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas, dan autisme yaitu anak yang mengalami berbagai
gangguan seperti gangguan komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas
menghayalnya. (Chamidah, 2-4)
Kepedulian pemerintah dan masyarakat terhadap anak berkebutuhan
khusus sangatlah baik, dapat di lihat dari banyaknya Sekolah Luar Biasa
(SLB) yang di bangun. Sekolah Luar Biasa adalah sekolah khusus untuk anak
usia sekolah yang memiliki kebutuhan khusus. Menurut Rachmayana (2013)
SLB dikategorikan menjadi enam macam, yaitu: SLB bagian A untuk anak
tunanetra, SLB bagian B untuk anak tunarungu, SLB bagian C untuk anak
tunagrahita, SLB bagian D untuk anak tunadaksa, SLB bagian E untuk anak
tunalaras, dan SLB bagian G untuk anak cacat ganda. (Rachmayana 2013, 7-8)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37
ayat 1 di dalam buku Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS & Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2013 Tentang Standar
Nasional Pendidikan Serta Wajib Belajar menyatakan bahwa kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu
pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga,
keterampilan/ kejuruan, dan muatan lokal. (2014, 20) Jadi, matematika
merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus di berikan di sekolah,
baik sekolah dasar maupun sekolah menengah. Begitu juga dengan Sekolah
Luar Biasa (SLB), mata pelajaran matematika harus di berikan karena sangat
bermanfaat bagi anak berkebutuhan khusus dalam menjalani kehidupan sehariharinya. Seperti menghitung uang yang di milikinya, melakukan transaksi jual
beli dengan orang lain, menghitung benda-benda di sekitarnya dan lain-lain.
Sebagian besar anak normal menganggap matematika merupakan pelajaran
yang sangat sulit untuk di pelajari, apalagi jika matematika tersebut di ajarkan
kepada anak berkebutuhan khusus jenis tunagrahita, pastilah banyak kendala
yang di hadapi oleh guru pengajarnya. Hal itu di sebabkan anak tunagrahita
memiliki kemampuan intelegensi di bawah rata-rata anak normal yang
membuat mereka sulit untuk memahami dan mengingat materi pelajaran yang
abstrak seperti matematika. Sehingga di perlukan pembelajaran matematika
yang khusus terhadap anak tunagrahita agar membantu mereka memahami dan
mengingat mata pelajaran matematika yang telah di sampaikan oleh guru.
Karena itulah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
penelitian pembelajaran matematika pada anak tunagrahita. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui bagaimana pembelajaran matematika yang efektif


pada anak tunagrahita.
Kajian Teoritis
Tunagrahita
Tunagrahita berasal dari dua kata, yaitu tuna dan grahita. Menurut
Dodo Sudrajat dan Lilis Rosida tuna artinya merugi dan grahita artinya
pikiran. (Baiti 2016, 48) Tunagrahita berarti keadaan seseorang yang ditandai
dengan fungsi kecerdasan umum yang berada di bawah rata-rata disertai
dengan berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi,
yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. (Rachmayana 2013, 23) Sedangkan
menurut Lee Willerman, penyandang tunagrahita adalah seseorang yang
memiliki intelektual di bawah normal sehingga menyebabkan kesulitan dalam
beradaptasi dengan lingkungan yang berlangsung selama fase perkembangan.
(Arifah 2016, 14-15) Jadi, anak tunagrahita adalah anak yang memiliki
kemampuan intelegensi di bawah rata-rata anak normal yang menyebabkan
anak tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungannya, memahami dan
mengingat sesuatu.
Berdasarkan tingkatan IQ, tunagrahita diklasifikasikan menjadi empat
bagian yaitu tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, tunagrahita berat dan
tunagrahita sangat berat.
1 Tunagrahita ringan (debil)
Anak tunagrahita ringan mempunyai IQ berkisar antara 52-68. Mereka
masih bisa mencapai kemampuan membaca sampai kelas 4-6. Meskipun
mengalami kesulitan membaca, tetapi mereka dapat mempelajari pendidikan
dasar yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Anak tunagrahita ringan
memerlukan pengawasan, bimbingan, pendidikan serta pelatihan yang khusus.
Mereka biasanya tidak memiliki kelainan fisik, tetapi bisa menderita penyakit
epilepsi. Mereka seringkali tidak dewasa dan perkembangan interaksi
sosialnya kurang. Mereka juga sulit menyesuaikan diri dengan keadaan yang
baru dan mungkin memiliki penilaian yang buruk. Selain itu mereka jarang
melakukan penyerangan yang serius kepada orang lain, tetapi mereka bisa
melakukan kejahatan impulsif. (Rachmayana 2013, 25-26) Nunung Apriyanto
juga menjelaskan beberapa karakteristik anak tunagrahita ringan yaitu mereka
masih mampu di didik dalam hal: membaca, menulis, mengeja, berhitung,
menyesuaikan diri dengan lingkungan, tidak menggantungkan diri kepada
orang lain, dapat bergaul dan melakukan pekerjaan yang hanya memerlukan
semi skilled. (Aliah 2013, 33-34) jadi, beberapa karakteristik anak tunagrahita
ringan yaitu mampu membaca, dapat belajar pendidikan dasar seperti
mengeja, menulis dan berhitung, memerlukan pengawasan khusus karena bisa
melakukan kejahatan impulsif, bimbingan yang khusus, pendidikan dan
latihan khusus sesuai kemampuannya, bisa menderita penyakit ayan, dan sulit
beradaptasi dengan lingkungan.
2 Kemampuan anak tunagrahita ringan dapat dilihat berdasarkan
usianya. Pada usia prasekolah (sejak lahir sampai usia 5 tahun),

anak tunagrahita ringan bisa membangun kemampuan sosial dan


komunikasi, koordinasi ototnya sedikit terganggu, dan seringkali
tidak terdiagnosis. Pada usia sekolah (6-20 tahun), mereka bisa
mempelajari pelajaran kelas 6 pada akhir usia belasan tahun,
mampu dibimbing ke arah pergaulan sosial, dan bisa dididik.
Sedangkan pada usia dewasa (21 tahun ke atas), biasanya mereka
bisa mencapai kemampuan kerja dan bersosialisasi yang cukup,
namun ketika mengalami stres sosial ataupun ekonomi mereka
memerlukan bantuan dari orang lain. (Rachmayana 2013, 24)
3 Tunagrahita ringan (imbesil)
Anak-anak tunagrahita sedang mempunyai IQ berkisar antara 36-51.
Mereka mengalami kelambatan dalam belajar berbicara dan mecapai tingkat
perkembangan lainnya. Dengan dukungan dan latihan dari lingkungannya,
anak tunagrahita sedang mampu hidup dengan tingkat kemandirian tertentu.
(Rachmayana 2013, 26) Karakteristik anak tunagrahita sedang yang lain juga
di jelaskan oleh Nunung Apriyanto antara lain mengenal angka tanpa
pengertian, memiliki potensi untuk mengurus diri sendiri, dapat dilatih
mengerjakan sesuatu yang rutin, dapat dilatih berkawan, mengikuti dan
menghargai hak miliki orang lain. (Aliah 2013, 34)
4 Kemampuan anak tunagrahita sedang berbeda-beda tiap tahapan
usianya. Pada usia prasekolah (sejak lahir-5 tahun), mereka bisa
berbicara dan berkomunikasi, koordinasi otot cukup, namun
kesadaran sosial kurang. Pada usia sekolah (6-20 tahun), mereka
bisa mempelajari beberapa kemampuan sosial dan pekerjaan, selain
itu mereka juga bisa belajar bepergian sendiri di tempat-tempat
yang dikenalnya dengan baik. Sedangkan pada masa dewasa (21
tahun ke atas), mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri
dengan melakukan pekerjaan yang tidak terlatih atau semi terlatih
di bawah pengawasan. Selain itu, mereka juga memerlukan
pengawasan dan bimbingan ketika mengalami stres sosial maupun
ekonomi yang ringan. (Rachmayana 2013, 24)
5 Tunagrahita berat
Anak tunagrahita berat mempunyai kisaran IQ antara 20-35. Mereka
dapat dilatih walaupun lebih sulit dibandingkan tunagrahita sedang.
(Rachmayana 2013, 26) Karakteristik yang lain juga di jelaskan oleh Nunung
Apriyanto seperti, tidak dapat membedakan bahaya dan bukan bahaya, hanya
mampu mengucapkan kata-kata atau tanda sederhana, dan untuk menjaga
kestabilan fisik serta kesehatannya di perlukan kegiatan yang bermanfaat
untuk mereka lakukan (seperti: mengampelas, memindahkan, mengisi karung
beras sampai penuh, dan lain-lain). (Aliah 2013, 34)
6 Kemampuan yang dimiliki anak tunagrahita berat pada usia
prasekolah, yaitu: bbisa mengucapkan beberapa kata, mampu
mempelajari kemampuan untuk menolong diri sendiri, tidak
memiliki atau sedikit sekali memiliki kemampuan ekspresif, dan
koordinasi ototnya sangat jelek. Kemampuan anak tunagrahita

berat pada usia sekolah (6-20 tahun), yaitu: bisa berbicara atau
belajar berkomunikasi dan bisa mempelajari kebiasaan hidup sehat
yang sederhana. Sedangkan kemampuan mereka pada masa dewasa
(21 tahun ke atas), yaitu: bisa memelihara diri sendiri dibawah
pengawasan dan dapat melakukan beberapa kemampuan
perlindungan diri dalam lingkungan yang terkendali. (Rachmayana
2013, 25)
7 Tunagrahita sangat berat
Tunagrahita sangat berat mempunyai kisaran IQ antara 19 atau kurang.
Biasanya mereka tidak dapat belajar berjalan, berbicara atau memahami.
Angka harapan kehidupan bagi anak tunagrahita sangat berat mungkin lebih
pendek, tergantung kepada penyebab dan beratnya tunagrahita. Dengan kata
lain, semakin berat ketunagrahitaannya maka semakin kecil angka harapan
hidupnya.
Pada usia prasekolah (sejak lahir-5 tahun), anak tunagrahita sangat
berat memiliki kemampuan yang sangat terbelakang, koordinasi ototnya
sedikit sekali, bahkan mungkin memerlukan perawatan khusus. Pada usia
sekolah (6-20 tahun), anak tunagrahita sangat berat hanya memiliki beberapa
koordinasi otot, bahkan memiliki kemungkinan tidak dapat berjalan atau
berbicara. Sedangkan pada masa dewasa (21 tahun ke atas), mareka memiliki
kemampuan merawat diri tetapi sangat terbatas, memiliki beberapa koordinasi
otot dan berbicara, dan memerlukan perawatan khusus. (Rachmayana 2013,
25)
Menurut Hildayani,dkk ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang
menjadi tunagrahita yaitu faktor genetik, faktor biologis non-keturunan, dan
faktor lingkungan. Faktor genetik karena adanya pembentukan enzim yang
salah. Faktor biologis non-keturunan terdiri dari radiasi sinar X, gizi ibu yang
kurang baik ketika hamil, obat-obatan, dan faktor kimia di dalam darah
manusia. Sedangkan faktor lingkungan disebabkan oleh dorongan yang di
berikan kepada anak. (Dewi 2012, 9)
Pembelajaran Matematika pada Anak Tunagrahita
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan pasal 1 ayat 36 di
dalam buku Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
& Peraturan Pemerintah R.I. Tahun 2013 Tentang Standar Nasional
Pendidikan Serta Wajib Belajar, menyatakan bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan/atau sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. (2014, 286) Pembelajaran berasal dari kata belajar.
Menurut Howard L. Kingskey, learning is the process by which behavior (in
the broader sense) is originated or change trough practice or training.
Maksudnya , belajar adalah suatu proses di mana tingkah laku (dalam arti
luas) ditimbulkan atau di ubah melalui praktek atau latihan. (Djamarah 2011,
13) Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir dan berargumentasi seseorang, memberikan kontribusi

dalam menyelesaikan masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja, serta


memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(Susanto 2013, 185) Selain itu, pengertian matematika menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia di definisikan sebagai ilmu tentang bilangan, hubungan
antara bilangan, dan langkah-langkah operasional dalam penyelesaian masalah
mengenai bilangan. (Fitria 2013, 46) Jadi pembelajaran matematika adalah
suatu proses untuk mengetahui tentang bilangan, hubungan antara bilangan,
dan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah mengenai bilangan
melalui latihan yang sangat berguna untuk meningkatkan kemampuan berpikir
dan .berargumentasi, menyelesaikan masalah, dan mendukung perkembangan
iptek.
Pembelajaran yang baik pastilah memiliki komponen-komponen di
dalamnya. Ada tujuh ciri-ciri di dalam pembelajaran, yaitu:
1

Memiliki tujuan, yaitu membentuk siswa dalam perkembangan tertentu


yang meliputi aspek pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik).

Adanya materi pembelajaran. Menurut Sobry Sutikna materi merupakan


unsur inti yang ada dalam kegiatan pembelajaran karena materi inilah
yang harus dikuasai oleh siswa berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.

Adanya kegiatan pembelajaran. Menurut Sobry Sutikna dalam kegiatan


pembelajaran guru dan siswa harus terlibat dalam interaksi dengan materi
pembelajaran sebagai perantaranya

Adanya metode pembelajaran. Menurut Sobry Sutikna metode merupakan


suatu cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Adanya media pembelajaran. Menurut Sobry Sutikna media merupakan


segala sesuatu yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan
pembelajaran yang di inginkan

Adanya sumber belajar. Menurut Sobry Sutikna sumber belajar


merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan
pelajaran karena di sana terdapat materi pelajaran. Dan

Adanya evaluasi terhadap pembelajaran. Menurut Sobry Sutikna evaluasi


yaitu aspek yang sangat berguna untuk mengukur dan menilai seberapa
jauh tujuan pembelajaran telah di capai dan bagaimana tingkat
keberhasilannya. (Rahmah 2014, 19-22)

Ketika pembelajaran berlangsung, tidak semua anak mampu menerima


materi yang di sampaikan oleh guru. Beberapa anak pasti mengalami kesulitan
dalam menerima pelajaran tersebut. Menurut Lerner ada beberapa
karakteristik anak berkesulitan belajar matematika, yaitu:

1. Adanya gangguan dalam hubungan keruangan yang dapat mengganggu


pemahaman anak tentang sistem bilangan. Contoh: anak tidak mampu
menentukan bahwa angka 3 lebih dekat ke angka 4 daripada ke angka 6
pada baris bilangan.
2. Abnormalitas persepsi visual, menyebabkan anak sulit untuk
mengidentifikasi jumlah objek dalam suatu kelompok.
3. Asosiasi visual motor, maksudnya anak sering tidak dapat menghitung
benda-benda secara berurutan sambil menyebutkan bilangannya.
4. Perseverasi, maksudnya perhatian anak hanya terfokus pada satu objek
saja dalam waktu yang relatif lama.
5. Kesulitan mengenal dan memahami simbol, seperti +, -, x, :, >, <, dan
sebagainya.
6. Gangguan penghayatan tubuh, menyebabkan anak merasa sulit memahami
hubungan bagian dari tubuhnya sendiri.
7. Kesulitan dalam bahasa dan membaca, karena untuk menyelesaikan soal
cerita di butuhkan kemampuan membaca untuk memahaminya.
8. Performance IQ jauh lebih rendah daripada skor verbal IQ. (Abdurrahman
2002, 210-213)
Pembelajaran yang baik pasti juga memiliki dasar-dasar yang baik.
Bagi anak tunagrahita sudah seharusnya memiliki dasar-dasar yang baik dan
khusus dalam pengajarannya. Ada lima asas pengajaran yang sering diterapkan
pada sekolah anak luar biasa bagian tunagrahita, yaitu:
1. Asas keperagaan, yaitu menggunakan alat peraga untuk mengajar anak
tunagrahita, karena anak tunagrahita sangat lambat daya tangkapnya maka
penggunaan alat peraga mengajar sangat bermanfaat. Selain itu, alat
peraga sangat bermanfaat untuk menarik minat anak untuk belajar agar
tidak cepat bosan, membantu proses berpikir , dan lain-lain.
2. Asas kehidupan konkret. Dalam asas ini anak di perlihatkan dengan situasi
kehidupan sesungguhnya, kemudian di jelaskan kegunaannya dalam
kehidupan sehari-hari. Contoh: anak di bawa ke pasar kemudian di
perkenalkan alat-alat dapur beserta kegunaannya seperti panci, wajan,
sendok, dan lain-lain.
3. Asas sosialisasi. Dalam asas ini anak tunagrahita di ajarkan bersosialisai
dengan masyarakat, sehingga anak tunagrahita mampu beradaptasi dan
mengembangkan kemampuan yang di milikinya dan akhirnya mereka
mampu di terima oleh masyarakat.

4. Asas skala perkembangan mental. Dalam asas ini guru mengelompokan


anak-anak yang memiliki mental yang sama atau hampir sama di dalam
suatu kelas, sehingga memudahkan guru dalam memberikan pelajaran.
5. Asas individual. Dalam asas ini guru memberikan bantuan atau bimbingan
kepada anak tunagrahita sesuai dengan kemampuan yang di milikinya agar
dapat belajar dengan baik. (Sarkila 2015, 29-32)
Beberapa penelitian telah di lakukan terhadap anak berkebutuhan
khusus dalam pembelajaran matematika, termasuk di dalamnya tunagrahita.
Pertama, skripsi yang di susun oleh Widya astuti (2015) mahasiswi Fakultas
Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Antasari, dengan judul Pembelajaran
Matematika Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Pendidikan Inklusif SDN
Benua Anyar 4 Banjarmasin tahun pelajaran 2014/2015. Dari skripsi tersebut
terdapat kesimpulan bahwa kegiatan belajar siswa tunagrahita sudah baik
karena siswa selalu berpartisipasi secara aktif dalam segala tahapan
pembelajaran, seperti; aktif dalam menjawab pertanyaan saat pemberian
apersepsi, memperhatikan penjelasan guru pengajar meskipun tidak dengan
maksimal, dapat menyelesaikan contoh dan soal latihan yang di berikan guru
pengajar walaupun selalu dengan bimbingan guru pendamping. Kedua, skripsi
yang di susun oleh Rahmah (2014) Mahasiswi Jurusan Pendidikan
Matematika, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Antasari, dengan
judul Pembelajaran Matematika Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Dalam
Pendidikan Inklusif di Kelas IV SDN Benua Anyar 8 Banjarmasin
(Penyelenggara pendidikan Inklusi) tahun pelajaran 2013/2014. Dari skripsi
tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa perencanaan pembelajaran yang di
terapkan untuk seluruh siswa adalah RPP berkarakter beserta silabusnya,
sdgkan untuk siswa berkebutuhan khusus berupa RPP berkarakter beserta
silabusnya yang di sesuaikan menjadi program pembelajaran individual (PPI).
Pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung kurang sesuai dengan yang di
rencanakan. Metode yang di gunakan saat pembelajaran adalah metode
ceramah, tanya jawab dan latihan. Media pembelajaran kurang di sediakan
oleh sekolah. Evaluasi yang di lakukan guru dengan memberikan evaluasi
materi dengan beberapa soal latihan. Sedangkan kegiatan belajar mengajar
siswa tunagrahita di dalam kelas tidak pernah lepas dari perilaku yang
membuat suasana kelas kurang nyaman, seperti: berjalan-jalan di kelas,
mengganggu temannya, mengejek dan atau bertengkar dengan teman. Namun,
tingkah laku mereka tersebut masih bisa di kendalikan oleh guru pendamping.
Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Ariyani Mahasiswi Universitas Dian
Nuswantoro, dengan judul Meningkatkan Kemampuan Menjumlah bagi Anak
Tunagrahita Ringan di SDLB-C Demak Melalui Media Game Edukasi
Matematika. Dari penelitian tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa media
game edukasi dapat meningkatkan kemampuan menjumlah bagi anak
tunagrahita ringan. Dengan menggunakan media game edukasi, nilai rata-rata
pelajaran matematika mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Nilai
rata-rata sebelum menggunakan media game edukasi adalah 62, sedangkan

setelah menggunakan media game edukasi nilai rata-ratanya menjadi 72. Ke


empat, penelitian yang dilakukan oleh Aromawati (2014) Mahasiswi Jurusan
Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri
Surabaya dengan judul Pengaruh Permainan Jual Beli Menggunakan Uang
Terhadap Hasil Belajar Matematika Anak Tunagrahita Ringan Kelas IV SLB
Cindekia Kabuh Jombang. Dari penelitian tersebut dapat diperoleh kesimpulan
bahwa permainan jual beli mata uang memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap hasil belajar matematika anak tunagrahita ringan kelas IV SLB
Cindekia Kabuh Jombang. Hasil tersebut dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil
pre test dan post test pengaruh permainan jual beli mata uang terhadap hasil
belajar matematika anak tunagrahita ringan sebelum diberi perlakuan adalah
46,67 sedangkan sesudah diberi perlakuan adalah 72,5. Ke lima, penelitian ini
dilakukan oleh Irsyadi dan Nugroho (2015) Mahasiswi Fakultas Komunikasi
dan Informatika, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dengan judul
penelitian Game Edukasi Pengenalan Anggota Tubuh dan Pengenalan Angka
Untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunagrahita Berbasis Kinect. Dari
penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa game edukasi ini menarik dan
membuat anak tunagrahita antusias untuk memainkannya, penggunaan
perangkat kinect pada game ini menjadikan game ini cukup interaktif,
pengenalan anggota tubuh dan angka pada anak tunagrahita sangat dengan
game ini. Ke enam, penelitian yang dilakukan oleh I Ketut Yarta dengan judul
penelitian Peningkatan Kemampuan Belajar Matematika Melalui Permainan
Memancing Pada Anak Tunagrahita Sedang (C1) Kelas Dasar V di SLB/C
Kemala Bhayangkari Tabanan Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil
pengembangan dan uji coba perangkat pembelajaran dengan permainan
memancing dengan standar kompetensi membilang bilangan 1-10, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan permainan memancing mampu
meningkatkan hasil belajar matematika, dan menarik minat siswa dalam
belajar.

Metode Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang di teliti yaitu pembelajaran
matematika pada tunagrahita maka peneliti memilih jenis penelitian library
research (penelitian pustaka). Penelitian pustaka adalah penelitian yang
berdasarkan karya tulis, termasuk di dalamnya hasil penelitian baik yang
belum maupun telah di publikasikan secara cetak atau dalam bentuk digital.
(Nadhiroh 2016) Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan kualitatif berupa uraian kata-kata yang bersifat deskriptif.
Sumber data yang digunakan adalah buku-buku dan hasil penelitian yang
berhubungan dengan pembelajaran matematika pada anak tunagrahita. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara mengoleksi data,
maksudnya mengumpulkan dan mengkaji buku-buku dan hasil penelitian
tentang pembelajaran matematika pada anak tunagrahita. Sedangkan teknik

analisis data merupakan tahap pengolahan terhadap data yang terdiri dari
penelaahan, pengelompokan, sistematisasi, dan penafsiran data yang telah
dikumpulkan. (Nadhiroh 2016) Penelitian ini akan di analisis dengan analisis
isi yang bersifat kualitatif. Kualitatif merupakan penelitian yang digunakan
untuk mendapatkan data yang mendalam mengenai data yang sebenarnya.
(Sugiyono 2009, 9)

Hasil Penelitian
Dari data di atas di peroleh bahwasanya pembelajaran matematika
pada anak tunagrahita hanya dapat di ajarkan kepada anak tunagrahita ringan
dan anak tunagrahita sedang. Pada anak tunagrahita ringan mereka masih
mampu di didik dalam berhitung sederhana seperti menghitung jumlah benda
yang ada di sekitarnya, menghitung jumlah uang yang mereka miliki,
melakukan operasi terhadap bilangan (seperti melakukan transaksi jual beli),
bahkan menghitung dalam bentuk abstrak (seperti melakukan operasi
penjumlahan, pengurangan, perkalian, maupun pembagian). Pada anak
tunagrahita sedang juga masih mampu diberikan pembelajaran matematika,
karena mereka mampu mengenal angka. Misalnya membilang angka 1 sampai
dengan 10. Sedangkan pada anak tunagrahita berat dan sangat berat sudah
tidak mungkin lagi untuk belajar matematika, karena di dalam kegiatan yang
di lakukan oleh anak tunagrahita berat dan sangat berat selalu membutuhkan
pertolongan dari orang lain. Jangankan belajar matematika, mengurus diri
mereka sendiri (seperti: mandi, ke WC, makan, memakai baju, dan kegiatan
pribadi lainnya) masih membutuhkan orang lain.
Dari beberapa hasil penelitian terhadap pembelajaran anak tunagrahita
di peroleh bahwa
1.

Kegiatan belajar siswa tunagrahita sudah baik karena siswa selalu


berpartisipasi secara aktif dalam segala tahapan pembelajaran, seperti;
aktif dalam menjawab pertanyaan saat pemberian apersepsi,
memperhatikan penjelasan guru pengajar meskipun tidak dengan
maksimal, dapat menyelesaikan contoh dan soal latihan yang di berikan
guru pengajar walaupun selalu dengan bimbingan guru pendamping.
Selain itu, kegiatan belajar mengajar siswa tunagrahita di dalam kelas
tidak pernah lepas dari perilaku yang membuat suasana kelas kurang
nyaman, seperti: berjalan-jalan di kelas, mengganggu temannya,
mengejek dan atau bertengkar dengan teman. Namun, tingkah laku
mereka tersebut masih bisa di kendalikan oleh guru pendamping.

2.

Perencanaan pembelajaran yang di terapkan untuk siswa berkebutuhan


khusus berupa RPP berkarakter beserta silabusnya yang di sesuaikan
menjadi program pembelajaran individual (PPI). Selain itu, Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) selalu di lakukan oleh guru, tetapi

ketika proses pembelajaran berlangsung tidak sesuai dengan yang di


rencanakan.
3.

Pelaksanaan pembelajaran yang berlangsung kurang sesuai dengan yang


di rencanakan.

4. Metode yang di gunakan saat pembelajaran adalah metode ceramah, tanya


jawab dan latihan. Agar siswa lebih antusias dalam belajar matematika,
guru juga bisa menggunakan demonstrasi seperti melakukan permainan
jual beli dan memancing.
5.

Pendekatan yang diterapkan adalah pendekatan individual

6. Media yang digunakan yaitu berupa buku teks, gambar-gambar atau


poster. Namun media pembelajaran yang lain kurang di sediakan oleh
sekolah. Untuk menarik perhatian siswa dan agar pembelajaran
matematika lebih menyenangkan bisa menggunakan media game edukasi.
7. Evaluasi yang di lakukan guru dengan memberikan evaluasi materi
dengan beberapa soal latihan. Namun evaluasi yang di berikan terkadang
kurang baik, karena siswa kurang menguasai materi yang telah di ajarkan.

Pembahasan
Ada lima asas pengajaran yang sering di terapkan pada sekolah anak
luar biasa bagian tunagrahita yang telah di sebutkan di atas. Agar
pembelajaran matematika dapat dipahami dan di ingat oleh anak tunagrahita
setidaknya seorang guru yang mengajar menerapkan asas-asas tersebut di
dalam pembelajarannya.
1. Asas keperagaan pada pembelajaran matematika.
Alat peraga sangat penting dalam memahamkan suatu materi kepada
siswa. Pada siswa normal saja mereka sangat membutuhkan alat peraga,
apalagi untuk anak tunagrahita dalam belajar matematika. Karena matematika
itu abstrak sehingga sangat sulit untuk di bayangkan, dengan bantuan alat
peraga di harapkan siswa lebih mudah untuk memahami suatu pelajaran yang
telah di berikan. Contoh dalam mengenalkan unsur-unsur kubus kepada siswa,
guru menggunakan alat peraga kubus pelangi yang mana kubus ini
mempunyai banyak warna dan dapat di lihat unsur-unsur kubus yang ada di
dalamnya seperti titik sudut, rusuk, sisi,diagonal bidang, diagonal ruang dan
lain-lain. Selain dapat menarik minat siswa dalam belajar juga dapat
membantu proses berpikir siswa.
2. Asas kehidupan konkret dalam pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya untuk mengenalkan angka kepada siswa, guru menggunakan benda-

benda yang di miliki oleh siswa seperti tas, polpen, dan buku. Seperti
mengenalkan angka satu, lalu guru mengambil satu buah buku. Mengenalkan
angka dua, guru mengmbil dua buah polpen, begitu seterusnya. Sehingga
siswa merasakan bahwa pembelajaran matematika sangan berguna dalam
kehidupannya.
3. Asas sosialisasi dalam pembelajaran matematika
Pembelajaran matematika dapat di terapkan langsung dalam kehidupan
beramasyarakat. Misalnya dalam mengajarkan operasi penjumlahan dan
pengurangan terhadap bilangan bulat, guru membawa siswa-siswa ke pasar
untuk melakukan transaksi jual beli. Ketika harga yang harus di bayar itu
kurang maka siswa harus menambahkan uang yang mereka miliki, begitu juga
apabila uang yang mereka miliki itu lebih maka mereka meminta kembalian
dari uang tersebut.
4. Asas skala perkembangan mental pada pembelajaran matematika
Kemampuan siswa terhadap pembelajaran matematika ada yang
berbeda, ada yang hampir sama, bahkan ada yang sama. Semua itu dapat di
lihat dari hasil latihan yang di berikan oleh seorang guru kepada siswanya.
Untuk mempermudah guru dalam mengajarkan pembelajaran matematika
tersebut maka siswa sebaiknya di kelompokkan berdasarkan kemampuan yang
di milikinya. Misalnya siswa yang hanya bisa melakukan operasi penjumlahan
bilangan dan kesulitan dalam pengurangan bilangan di kelompokan dengan
siswa yang hanya bisa melakukan operasi penjumlahan. Begitu juga dengan
siswa yang tidak bisa melakukan operasi pembagian, namun bisa melakukan
operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian bilangan di kelompokkan
dengan siswa yang memiliki kemampuan sama.
5. Asas individual pada pembelajaran matematika
Ketika sudah dikelompokan berdasarkan kemampuan yang dimilki
oleh siswa tersebut, namun masih ada siswa yang tertinggal dari kemampuan
teman sekelompoknya maka guru harus memberikan bantuan secara individual
kepada siswa tersebut. Sehingga siswa yang tertinggal tadi dapat mengejar
ketertinggalan dari teman sekelompoknya.
Agar pembelajaran matematika pada anak tunagrahita dapat terlaksana
dengan baik, maka komponen-komponen pembelajaran yang berada di
dalamnya juga harus terlaksana dengan baik.
1. Tujuan pembelajaran matematika pada tunagrahita yaitu siswa mampu
berhitung sederhana, sehingga siswa mampu meningkatkan
pengetahuannya dalam berhitung, mampu mengontrol emosi yang di
milikinya (seperti tidak cepat menyerah apabila belum bisa mengerjakan),
dan mampu menerapkan perhitungan sederhana tersebut di dalam
kehidupan sehari-hari (seperti transaksi jual beli).

2. Materi pembelajaran yang di gunakan hanyalah berkisar antara pelajaran


yang berada di sekolah dasar. Karena pada usia 16 tahun atau lebih mereka
hanya mampu mempelajari materi yang tingkat kesukarannya sama dengan
kelas 3 dan kelas 5 SD. Kecuali siswa tersebut sudah sangat menguasai
materi yang telah di ajarkan oleh guru tersebut. Misalnya materi bilangan
bulat, dan operasi bilangan bulat.
3. Kegiatan pembelajaran terdiri dari kegiatan pembuka, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup. Kegiatan pembuka haruslah menarik perhatian siswa
sehingga mereka termotivasi untuk memulai belajar. Begitu juga dengan
kegiatan inti, guru harus mampu membuat siswa aktif dalam pembelajaran,
seperti menggunakan alat peraga, metode pelajaran yang menyenangkan,
dan lain sebagainya. Terakhir kegiatan penutup, agar siswa selalu
bersemangat maka guru setidaknya memberikan hadiah kepada siswa yang
berhasil menjawab pertanyaan guru dengan baik, atau memberikan pujian
kepada mereka.
4. Metode pembelajaran yang di gunakan biasanya ceramah, tanya jawab,
dan latihan. Agar pembelajaran lebih menarik guru bisa juga menggunakan
metode yang lainnya seperti menggunakan metode demonstrasi, picture
and picture, dan sebagainya. Pada metode demonstrasi guru
mencontohkan kepada siswa suatu kegiatan, lalu siswa di perintahkan
mengulangi kegiatan tersebut. Contoh: guru berperan sebagai penjual kue
sedangkan salah satu siswa berperan sebagai pembelinya yang mana
mereka melakukan transaksi jual beli, sehingga terjadi pelajaran operasi
bilangan bulat di sana. Setelah guru selesai mencontohkan maka siswa
yang di perintahkan untuk melakukan kegiatan tersebut. Begitu juga
dengan metode picture and picture sangat membantu siswa dalam belajar
matematika, karena dalam metode ini siswa akan aktif dalam menyusun
gambar-gambar yang sesuai dengan yang di perintahkan oleh guru.
Contoh: guru meminta siswa untuk mengambil gambar yang berisi gambar
tiga buah mangga. Begitu seterusnya kepada siswa lainnya dengan
pertanyaan yang berbeda.
5. Media pembelajaran yang biasa digunakan yaitu berupa buku teks,
gambar-gambar atau poster. Namun media pembelajaran yang lain kurang
di sediakan oleh sekolah. Sehingga di perlukan adanya media lain sebagai
penunjang dalam berlangsungnya pelajaran, seperti menggunakan media
kartu untuk melakukan operasi terhadap bilangan bulat.
6. Sumber pelajaran yang digunakan harus sesuai dengan kemampuan yang
di butuhkan oleh siswa dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Seperti
materi operasi bilangan bulat.
7.

Evaluasi pembelajaran yang di laksanakan seharusnya mampu mengukur


kemampuan siswa, tidak hanya dari segi nilai tapi juga dari perkembangan
kemampuan yang di miliki oleh siswa tersebut.

Simpulan
Dari data-data di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pembelajaran
matematika pada anak tunagrahita hanya mampu di ajarkan pada anak
tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang. Pembelajaran matematika pada
anak tunagrahita akan efektif apabila komponen-komponen dalam
pembelajaran matematika terlaksana dengan baik, seperti: tujuan pembelajaran
dapat tercapai, materi pembelajaran dapat dipahami, kegiatan pembelajaran
berjalan sesuai dengan yang direncanakan, metode pembelajaran yang
digunakan bervariasi, menggunakan media pembelajaran jika diperlukan,
memiliki beberapa sumber belajar, dan evaluasi terhadap pembelajaran
dilaksanakan.

Rekomendasi
Kepada guru di harapkan untuk lebih bervariasi lagi dalam
menggunakan metode pembelajaran, karena sangat berpengaruh terhadap
minat siswa dalam belajar matematika. Kepada sekolah di harapkan juga
menyediakan media pelajaran yang mendukung proses pembelajaran
matematika yang berlangsung, karena dengan adanya media pembelajaran
dapat membantu memahamkan anak tunagrahita dalam memahami materi
pelajaran yang abstrak menjadi lebih konkrit.

Daftar Pustaka
Anggraini, Rima Rizki. 2013. Persepsi Orang Tua terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus (Deskriptif kuantitatif di SDLB N.20 Nan
Balimo Kota Solok). Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu (31 Mei 2016).
Arifah, Ifa. 2014. Pelaksanaan Pembelajaran Bagi Siswa Tunagrahita di
Kelas 5 SD Gunungdani, Pengasih, Kulon Progo. Skripsi. Universitas
Negeri Yogyakarta. http://eprints.uny.ac.id/14328/ (10 Juni 2016).
Ariyani, Nur Indah. Meningkatkan Kemampuan Menjumlah bagi Anak
Tunagrahita Ringan di SDLB-C Demak Melalui Media Game Edukasi
Matematika. Universitas Dian Nuswantoro.
http://eprints.dinus.ac.id/12261/ (15 Juli 2016).
Aromawati, Nurfitria. 2014. Pengaruh Permainan Jual Beli Menggunakan
Uang Terhadap Hasil Belajar Matematika Anak Tunagrahita Ringan
Kelas IV SLB Cindekia Kabuh Jombang. Skripsi. Universitas Negeri

Surabaya. http://ejournal.unesa.ac.id/article/10249/15/article.pdf (15


Juli 2016).
Astuti, Widya. 2015. Pembelajaran Matematika Anak Berkebutuhan Khusus
dalam Pendidikan Inklusif SDN Benua Anyar 4 Banjarmasin Tahun
Pelajaran 2014/2015. Skripsi. IAIN Antasari.
Aliah, Nur Fathurrahmatul. 2013. Pelaksanaan Pembelajaran PAI Jurusan
Tunagrahita di SDLB Dharma Wanita Persatuan Banjarmasin. Skripsi.
IAIN Antasari.
Baiti, Noor. 2016. Pembelajaran Menulis Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus
di MIN Anjir Muara Kota Tengah Kabupaten Barito Kuala. Skripsi.
IAIN Antasari.
Chamidah, Atien Nur.Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Pelatihan
Layanan Komprehensif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah
Inklusif. http://staff.uny.ac.id (22 April 2016).
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2002. Undang-undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. http://www.dpr.go.id/jdih/uu1945
(17 Juli 2016)
Dewi, Septiana Candra. 2012. Peningkatan Keterampilan Bercerita Melalui
Media Boneka Tangan Bagi Siswa Kelas VI SLB C Setya Darma
Surakarta Tahun Ajaran 2011/2012. Skripsi, Universitas Sebelas
Maret. https://dglib.uns.ac.id (10 Juni 2016).
Djamarah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Fitria, Analisa. 2013. Mengenalkan dan Membelajarkan Matematika pada
Anak Usia Dini. Muadalah-Jurnal Studi Gender dan Anak (JuliDesember): 2.
Irsyadi, Fatah Yasin Al, dan Yusuf Sulistyo Nugroho. 2015. Game Edukasi
Pengenalan Anggota Tubuh dan Pengenalan Angka Untuk Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunagrahita Berbasis Kinect.
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://jurnal.umk.ac.id/index.php/SNA/article/viewFile/296/314 (15
Juli 2016).
Nadhiroh, Wardhatun. 2016. Penelitian Pustaka. Di sampaikan pada
Workshop Penelitian Mahasiswa IAIN Antasari, Banjarmasin.
Rachmayana, Dadan. 2013. Di antara Pendidikan Luar Biasa Menuju Anak
Masa Depan yang Inklusif. Jakarta: Luxima Metro Media.
Rahmah, Elly. 2014. Pembelajaran Matematika Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) dalam Pendidikan Inklusif di Kelas IV SDN Benua Anyar 8

Banjarmasin (Penyelenggara Pendidikan Inklusi) Tahun Pelajaran


2013/2014. Skripsi. IAIN Antasari.
Sarkila. 2015. Strategi Pembelajaran PAI Pada Siswa Tunagrahita di Sekolah
Dasar Luar Biasa Negeri Marabahan Kabupaten Barito Kuala.
Skripsi. IAIN Antasari.
Susanto, Ahmad. 2013. Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS & Peraturan
Pemerintah R.I. Tahun 2013 Tentang Standar Nasional Pendidikan
Serta Wajib Belajar. 2014. Bandung: Citra Umbara.
Yarta, I Ketut. 2011. Peningkatan Kemampuan Belajar Matematika Melalui
Permainan Memancing Pada Anak Tunagrahita Sedang (C1) Kelas
Dasar V di SLB/C Kemala Bhayangkari Tabanan Tahun Pelajaran
2010/2011. Jurnal Penelitian Pasca Sarjana UNDIKSHA.
pasca.undiksha.ac.id (17 Juli 2016).

Anda mungkin juga menyukai