Anda di halaman 1dari 24

REFERAT DESEMBER 2017

“ MENINGITIS TB ”

NAMA : Imelda Friska Ta’uro

STAMBUK : N 111 17 032

PEMBIMBING : dr. Amsyar Praja Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2017
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat terjadi di beberapa tempat. Bagian
SSP yang sering terinfeksi adalah otak sistem saraf pusat sebenarnya tidak hanya
karena adanya mikroorganisme, tetapi lebih diakibatkan oleh proses inflamasi sebagai
respon adanya mikroorganisme tersebut. Penyakit meningitis dapat terjadi pada
semua tingkat usia,namun kalangan usia muda lebih rentan terserang penyakit ini.4
Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus
meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus
tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang lain yang
menghirup udara tersebut. Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada
meningens yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (TB). 1
Meningitis tuberkulosis adalah proses inflamasi di meningens (khususnya
arakhnoid dan piamater) akibat infeksi Mycobacterium tuberculosis. . Pada jaringan
tubuh kuman ini berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5 µm, dapat juga terlihat
seperti berbiji-biji. Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis
ekstrapulmonal kelima yang paling sering ditemui sekaligus yang paling berbahaya,
dan kejadian terbanyak ditemukan pada anak-anak. Bila tidak diobati dengan tepat
akan menyebabkan gejala sisa neurologis yang permanen, bahkan dapat
menyebabkan kematian.2
Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri
obligat aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh
perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan
menyebar.3
Faktor risiko utama meningitis adalah kurangnya imunitas terhadap patogen
spesifik yang terkait dengan usia muda. Risiko tambahan termasuk kolonisasi baru-
baru ini dengan bakteri patogen, kontak langsung (rumah tangga, tempat penitipan
anak, asrama perguruan tinggi,barak militer) dengan orang-orang yang memiliki

2
penyakit invasif yang disebabkan oleh N. meningitidis dan H. influenza tipe b,
kelompok, ras hitam atau ras amerika asli dan jenis kelamin laki-laki. Cara penularan
mungkin kontak orang ke orang melalui sekresi saluran pernapasan atau tetesan.
Risiko meningitis meningkat di antara bayi dan anak kecil dengan bakteriemia. 11
Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering
ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota
New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya
menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada
negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003,
WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan
70.000 diantaranya meningitis TB.2

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
a. Anatomi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, melindungi struktur halus yang membawa pembuluh darah
dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan
atau getaran. Meningen terdiri dari 3 lapisan, yaitu durameter,
arakhnoid, dan piameter. 2

Gambar 2.2 Lapisan otak

 Durameter
Lapisan paling luar, menutup otak dan medula spinalis.
Sifat dari durameter yaitu tebal, tidak elastis, berupa serabut,
dan berwarna abu-abu. Bagian pemisah dura : falx serebri
yang memisahkan kedua hemisfer dibagian longitudinal dan
tentorium yang merupakan lipatan dari dura yang membentuk

4
jaring- jaring membran yang kuat. Jaring ini mendukung
hemisfer dan memisahkan hemisfer dengan bagian bawah otak
(fossa posterir). 2
 Arakhnoid
Merupakan membran bagian tengah, yaitu membran
yang bersifat tipis dan lembut yang menyerupai sarang laba-
laba, oleh karena itu disebut arakhnoid. Membran ini berwarna
putih karena tidak dialiri darah. Pada dinding arakhnoid
terdapat flexus khoroid yang bertanggung jawab memproduksi
cairan serebrospinal (CSS). Membran ini mempunyai bentuk
seperti jari tangan yang disebut arakhnoid vili, yang
mengabsorbsi CSS. Pada usia dewasa normal CSS diproduksi
500 cc dan diabsorbsi oleh vili 150 cc. 2
 Piameter
Merupakan membran yang paling dalam, berupa
dinding yang tipis, transparan, yang menutupi otak dan meluas
ke setiap lapisan daerah otak. Piameter berhubungan dengan
arakhnoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut trabekel.
Piameter merupakn selaput tipis yang melekat pada permukaan
otak yang mengikuti setiap lekukan-lekukan pada sulkus-
sulkus dan fisura- fisura, juga melekat pada permukaan batang
otak dan medula spinalis, terus ke kaudal sampai ke ujung
medula spinalis setinggi korpus vertebra. 2

b. Meningitis Tuberkulosis
Meningitis tuberkulosis merupakan manifestasi tuberkulosis yang
paling ditakuti, dan merupakan infeksi sistem saraf pusat (SSP) yang
umum terjadi khususnya di negara-negara berkembang seperti Indonesia di

5
mana tuberkulosis masih cukup endemis. Insidensi sesuai dengan
tuberkulosis paru yang mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang
tinggi.3
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat
komplikasi tuberkulosis primer. Secara histologi meningitis tuberkulosis
merupakan meningoensefalitis (tuberkulosis) dengan invasi ke selaput dan
jaringan susunan saraf pusat.3

2.2 Epidemiologi
Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2003. Sekitar 1,3 juta anak
terinfeksi tuberkulosis setiap tahunnya di negara- negara berkembang dan
40.000 diantaranya meninggal dunia. Meningitis tuberkulosis terjadi pada satu
dari setiap 300 infeksi tuberkulosis pada anak yang tidak diobati atau sekitar 0,3
%. Meningitis tuberkulosis menyerang semua usia, namun insidens tertinggi
pada usia 6 bulan-5 tahun. Hampir tidak ada kasus yang ditemukan pada bayi <
3 bulan karena perjalanan penyakit ini membutuhkan waktu beberapa bulan
sampai menimbulkan gejala. Insidens antara laki-laki dan perempuan tidak
berbeda pada anak-anak dibawah 20 tahun. Tingkat mortalitas adalah 10-20 %
sementara morbiditas berupa gejala sisa neurologik permanen mencapai 82 %. 4
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak
menyebabkan kematian atau kecacatan, dibanding dengan meningitis
bakterialis akut, perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan
perubahan atau kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu hebat.4

2.3 Etiologi
M.tuberkulosis adalah basil gram positif, hidup secara obligat aerob, tidak
berspora, dan tidak bergerak. Panjangnya 2-4 um. Memiliki dinding sel kaya
lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan antibodi dan komplemen.
Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk mengisolasi bakteri dari

6
spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen. Uji sensitivitas obat membutuhkan 4
minggu tambahan. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam, yaitu kemampuan
membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila diwarnai dengan pewarna
arilmetan dan mempertahankan warnanya walau dicuci dengan etanol. 5

Gambar 2.2 Mycobacterium tuberculosis secara mikroskopis

2.4 Patofisiologi
Perkembangan meningitis tuberkulosis terdiri dari dua tahap. Tahap
pertama, basil Mycobacterium tuberculosismasuk ke tubuh pejamu melalui
inhalasi droplet, dimulai dengan infeksi di sel makrofag alveolus paru-paru.
Infeksi meluas ke dalam paru-paru bersama dengan penyebaran ke limfonodus
regional membentuk kompleks primer. Pada tahap ini terjadi bakteremia
singkat tapi signifikan dapat menyebarkan basil tuberkel ke organ lain di dalam
tubuh.Pada penderita yang mengalami meningitis tuberkulosis basil menyebar
ke meninges atau parenkim otak, membentuk fokus subpial atau sub-ependimal
kecil. Yang disebut fokus Rich. Pada sekitar 10% kasus, terutama pada anak-
anak, kompleks primer tidak sembuh tetapi menjadi progresif. Pneumonia
tuberkulosis berkembang lebih berat dan terjadi bakteremia tuberkulosis yang
lebih lama. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada
tuberkulosis milier.6

7
Tahap kedua perkembangan meningitis tuberkulosis yaitu pecahnya
fokus Rich ke ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan meningitis yang jika
tidak diobati, akan terjadi kerusakan otak yang parah dan irreversible. Pada
75% anak-anak,onset meningitis tuberkulosis terjadi kurang dari 12 bulan
setelah infeksi primer .5,6

Keadaan patologi terjadi melalui tiga proses : pembentukan adhesi,


vaskulitis, dan encefalitis. Adhesi terjadi karena eksudat meningeal di basal
otak yang kental yang terjadi karena inokulasi basil ke dalam ruang
subarakhnoid. Eksudat berisi limfosit, sel plasma, dan makrofag, serta fibrin
yang banyak. Adhesi yang terjadi pada sisterna basalis menyebabkan obstruksi
saluran CSS dan hidrosefalus. Adhesi di sekitar fossa interpendicular dan
struktur di sekitarnya dapat menyebabkan kelainan nervus kranial, terutama
nervus kranial II, IV, dan VI, dan arteri karotis interna. Vaskulitis pada
pembuluh darah yang besar dan kecil sehingga menyebabkan infark dan
sindrom stroke. Biasanya terjadi di daerah karotis interna, arteri serebri media
proksimal dan permbuluh darah yang menuju ke ganglia basalis. Peningkatan
proses inflamasi di basal dapat meluas ke parenkim otak menyebabkan
ensefalitis. Edema terjadi sebagai konsekuensi dari ensefalitis yang dapat
terjadi pada kedua hemisfer. Ini akan menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial dan defisit neurologi global.4

2.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinis meningitis tuberculosis bervariasi dan tidak spesifik.
Selama dua sampai delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia,
demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan nervus kranial (II,III,IV,VI,VII,VIII) dan
hemiparese.7
Perjalanan klinis meningitis tuberkulosa dapat dibagi dalam tiga
tahapan, sebagaimana didefinisikan oleh British Medical Research Council.

8
Tahap pertama, merefleksikan inflamasi meningeal, terdiri dari perubahan
kepribadian, iritabilitas, anoreksi, lesu, dan demam. Gejala non-spesifik ini
dapat dianggap disebabkan oleh meningitis tuberkulosis hanyapada penelitian
retrospektif. Setelah 1-2 minggu, penyakit memasuki tahap kedua. Di sini,
tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan serebral
muncul, termasuk mengantuk, kaku kuduk, kelumpuhan nervus kranial
(terutama nervus kranial III, VI, dan VII), anisokor, muntah, dan kejang fokal
atau umum. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa, sakit kepala dan
muntah merupakan gejala utama tahap kedua, dan sakit kepala pada pasien
dengan tuberkulosis milier sangatberhubungan dengan keterlibatan meningeal.
Kadang-kadang makrosefali dapat diamati pada bayi. Sebanyak 10% pasien
tidak mengalami demam.8

Tahap ketiga dari meningitis tuberkulosis ditandai dengan defisit


neurologi yang berat, termasuk koma, instabilitas otonom, dan demam yang
meningkat. Hemiplegia dapat terjadi selama onset penyakit atau pada tahap
selanjutnya, tapi biasanya berhubungan dengan infark di daerah arteri
serebrimedia. Monoplegia, bukan gejala yang umum terjadi, terjadi akibat lesi
vaskuler pada tahap awal dari penyakit. Quadriplegia disebabkan oleh infark
bilateral atau edema yang hebat, terjadi hanya pada kasus yang lebih lanjut.9

Terjadinya meningitis tuberkulosa pada anak seringkali bertahap, terjadi


selama 1-3 minggu, dan tampaknya di beberapa kasus dipicu oleh infeksi virus,
jatuh, atau benturan di kepala. Kadang timbulnya gejala tiba-tiba dan ditandai
dengan kejang atau perkembangan defisit neurologi yang cepat.7

9
Berikut adalah tabel ciri-ciri klinis meningitis tuberkulosis pada anak-
anak dan orang dewasa.

Tabel 1 Ciri-Ciri Klinis Meningitis Tuberkulosis pada

Anak-Anak dan Orang Dewasa

Frekuensi
Gejala
Sakit Kepala 50 – 80 %
Demam 60 – 95 %
Muntah 30 – 60%
Fotofobia 5 – 10 %
Anoreksia / Penurunan Berat 60 – 80%
Badan

Tanda Klinis 40 – 80%


Kaku Kuduk 10 – 30%
Kebingungan 30 – 60%
Koma 30 – 50%
Kelumpuhan Nervus Kranial 30 – 40 %
VI 5 – 15%
III 10 – 20%
VII 10 – 20%
Hemiparesis 5 – 10%
Paraparesis
Kejang 50%
Anak-Anak 5%
Dewasa

10
Cairan Serebrospinal 80 – 90%
Kejernihan 50%
Tekanan > 25 cm H2O 5 – 1000
Hitung Leukosit (x 103/ml) 10 – 70%
Netrofil 30 – 90%
Limfosit 0,45 – 3,0*
Protein (g/l) 5,0 – 10,0
Laktat (mmol/l) 95%
Glukosa CSS ; Glukosa darah <
0,5

2.6 Diagnosa
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang. 6
Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus
meningitis tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak
dengan meningitis tuberkulosis memiliki nilai hitung darah lengkap yang
normal, sementara anemia lebih umum, leukopenia dan trombositopenia
jarang dengan tidak adanya penyebaran menigitis tuberkulosis.6
Tes Tuberkulin
Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana
dan rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulit dilakukan pada
anak-anak. Tes ini dinilai setelah 48-72 jam penempelan dengan pengukuran
dan pencatatan jumlah indurasi (bukaneritma). Jumlah indurasi dianggap
sebagai tes kulit positif tergantung pada risiko infeksi tuberkulosis dan risiko
infeksi tuberkulosis berkembang menjadi penyakit tuberkulosis.Secara umum,

11
indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap positif untuk orang dengan tanda
klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit tuberkulosis.6
Pemeriksaan Cairan Serebrospinalis
Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan
peningkatan opening pressuredan jernih, sertatidak berwarna.Kebanyakan
pasien memiliki tingkat pleositosis moderat, biasanya kurang dari 500
sel/mm3. Leukosit CSS lebih besar dari 1000 sel/mm3 jarang pada meningitis
tuberkulosis. Walaupun sel PMN lebih banyak pada awal perjalanan penyakit.
Namun pada saat dilakukan pungsi lumbal tampak limfositosis.8
Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500
mg/dl, protein meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat
bila terjadi obstruksi CSS, kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl
sehingga kadar glukosa yang rendah ini dapat membedakan meningitis
tuberkulosis dengan penyebab lain, kecuali penyebab bakteri.10

Pemeriksaan Radiologi
Pada penelitian oleh Etlik Ö et al(2004). Pada 16 pasien meningitis
tuberkulosis menemukan bahwa hanya ditemukan 2 pasien (12,5%) yang
memiliki kelainan pada rontgen toraks seperti TBC milier, limfadenopati,
konsolidasi pada paru-paru sebelah kanan.3
CT scan dan MRI tidak dapat menegakkan diagnosis mikobakterium
tuberkulosis tetapi dapat membantu menyingkirkan gangguan SSP dan dapat
memberi petunjuk mengenai tuberkulosis SSP .3
Sebagian besar pasien yang diperiksa dengan MRI ditemukan hasil radiologi
abnormal yang sesuai dengan meningitis tuberkulosis termasuk hidrosefalus
(25%), enhancement sisterna basalis (18%), dan infark bilateral pada ganglia
basalis (43%). Sebaliknya, sebagian besar pasien yang diperiksa dengan CT
scan tidak ditemukan hasil radiologi yang abnormal kecuali hidrosefalus. Pada

12
pemeriksaan CT scan sering ditemukan ventrikel melebar, eksudat, dan
meninges yang menebal terutama di daerah basilar otak.3

Gambar 2.3. CT Scan kepala

2.7 Differential Diagnosis


Ada beberapa yang dapat menjadi differential diagnosis dari
meningitis tuberkulosis antara lain: 12
- Infeksi bakteri disebabkan oleh meningitis yang tidak diobati atau
diobati secara setengah-setengah, abses otak (brain abscess),
leptospirosis, brucellosis.
- Infeksi virus disebabkan oleh herpes simplex, mumps.
- Infeksi jamur disebabkan oleh cryptococcosis, histoplasmosis.
- Infeksi protozoa disebabkan oleh toxoplasmosis.
- Vascular disebabkan oleh emboli, infeksi endokarditis, sinus
thrombosis, stroke, systemic vasculitis syndromes.

13
2.8 Terapi
Saat ini telah tersedia berbagai macam tuberkulostatika, pada
umumnya tuberkulostatika diberikan dalam bentuk kombinasi, dikenal
sebagai triple drugs, ialah kombinasi antara INH dengan dua jenis
tuberkulostatika lainnya. Kita harus kritis untuk menilai efektivitas masing-
masing obat terutama dalam hal timbulnya resistensi.2
Berikut ini adalah beberapa contoh tuberkulostatika yang dapat
diperoleh di Indonesia.10
1. Isoniazid (INH), diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB/hari pada
anak) dan pada orang dewasa dengan dosis 400 mg/hari. Efek samping
berupa neuropati, gejala-gejala psikis.
2. Rifampisin, diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB/hari dengan
dosis tunggal. Efek samping sering ditemukan pada anak di bawah 5
tahun dapat menyebabkan neuritis optika, muntah, kelainan darah
perifer, gangguan hepar, dan flu-like-symptom.
3. Etambutol, diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari – 150 mg/hari.
Efek samping dapat menimbulkan neuritis optika.
4. PAS diberikan dengan dosis 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
dapat diberikan sampai 12 g/hari. Efek samping dapat menyebabkan
gangguan nafsu makan.
5. Streptomisin, diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan.
Dosisnya adalah 30 – 50 mg/kgBB/hari. Oleh karena bersifat ototoksik
maka harus diberikan dengan hati-hati. Bila perlu pemberian
streptomisin dapat diteruskan 2 kali seminggu selama 2 – 3 bulan
sampai CSS menjadi normal.
6. Kotikosteroid, biasanya dipergunakan prednisone dengan dosis 2 – 5
mg/kgBB/hari (dosis normal) 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis selama
2 – 4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari

14
selama 1 – 2 minggu. Pemberian kortikosteroid seluruhnya adalah
lebih kurang 3 bulan, apabila diberi deksametason maka obat ini
diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg setiap 4 – 6 jam.
Pemberian deksametason ini terutama bila ada edema otak. Apabila
keadaan membaik maka dosis dapat diturunkan secara bertahap
sampai 4 mg setiap 6 jam secara intravena.
Pemberian kortikosteroid efektif untuk mengurangi inflamasi, terutama
di ruang subarakhnoid, mengurangi edema otak dan tekanan intrakranial, dan
mengurangi inflamasi pembuluh darah kecil dengan demikian mengurangi
kerusakan aliran darah sampai jaringan otak. Namun, kortikosteroid dapat
juga menyebabkanpenekanan sistem imun. Yaitu menekan gejala infeksi
tuberkulosis juga meningkatkan pertumbuhan bakteri,mengurangi inflamasi
meninges yang akan mengurangi kemampuan obat sampai ke ruang
subarakhnoid, dan menyebabkan hemoragi gastrointestinal,
ketidakseimbangan elektrolit, hiperglikemia, dan infeksi jamur.2

Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.11

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun

15
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan
yang berarti, OAT tetap dihentikan.11
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan
TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama)
dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali
pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan.11
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT
disediakan dalam bentuk paket. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu
masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu
Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H).11
Dosis
- INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
- Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
- Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
- Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
- Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan
yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan
dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination =
FDC). Tablet KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:11
- Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.

16
- Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan
H (Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan.
Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan anak
dan komposisi dari tablet KDT tersebut.11
Tabel berikut ini adalah contoh dari dosis KDT yang komposisi tablet
RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg dan komposisi tablet RH
adalah R = 75 mg dan H = 50 mg. 11

Tabel 14. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak

BERAT BADAN 2 BULAN TIAP 4 BULAN TIAP


(KG) HARI HARI
RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Keterangan:
 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

17
JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32
OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak Anak.
Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 15a. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak


Tabel 15b. Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak

18
JENIS BB<10 BB 10-20 KG BB 20-32
OBAT KG (KOMBIPAK) KG

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti


TB milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:11
Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin). Pada tahap lanjutan diberikan
INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB
milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB dan
peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg
BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2–4
minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–6
minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan.11

2.9 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin
lanjut stadiumnya prognosanya makin jelek.8

Beberapa indikator prognosis yang buruk seperti – usia yang terlalu


tua, stadium lanjut penyakit, TB ekstrameningeal yang terjadi bersamaan, dan
peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian menunjukkan bahwa variabel
yang signifikan untuk memprediksi hasil meningitis tuberkulosis adalah usia,
stadium penyakit, kelemahan fokal, kelumpuhan nervus kranial, dan
hidrosefalus.8

19
Prognosis meningitis tuberkulosis secara langsung berhubungan
dengan derajat penyakit yang muncul dan awal pengobatan. Sebagian besar
pasien yang diterapi pada derajat I memiliki hasil luaran (outcome) yang baik.
Sebaliknya, sebagian besar pasien yang didiagnosis pada derajat III akan
meninggal atau cacat. Beberapa pasien yang didiagnosis pada derajat II
memiliki hasil yang baik, sedangkan yang lain memiliki defisit neurologi yang
persisten. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis dengan terapi yang
adekuat adalah 10 – 20% di negara maju, tapi dapat lebih tinggi sebesar 30 –
40% di negara berkembang. Secara umum prognosis yang buruk terjadi pada
bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien dengan penyakit yang menular
atau dengan peningkatan tekanan intrakranial.2
Kerusakan penglihatan dan pendengaran merupakan perjalanan yang
secara umum lambat. Kerusakan penglihatan biasanya karena tekanan edema
pada nervus optik atau kiasma, tapi kadang secara sekunder akibat
peningkatan tekanan intrakranial. Kehilangan pendengaran dihasilkan dari
kerusakan nervus yang disebabkan oleh eksudat basalis.2
Defisit motorik setelah meningitis tuberkulosis lebih umum terjadi
pada anak-anak dari pada orang dewasa, telah dilaporkan pada 10 – 25%
orang yang selamat hidup. Endokrinopati dapat menjadi jelas setelah beberapa
bulan atau tahun membaik dari meningitis tuberkulosis.2

2.10 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang akan terjadi pada meningitis tuberkulosis
dijelaskan pada tabel di bawah ini.8

Tabel 3.Frekuensi komplikasi pada 104 pasien meningitis tuberkulosis


N (%)
Hyponatraemia 51 49
Hydrocephalus 44 42

20
Stroke 34 33
Cranial nerve palsies 30 29
Epileptic seizures 29 28
Diabetes insipidus 6 6
Tuberculoma 3 3
Myeloradiculopathy 3 3
Hypothalamic syndrome 3 3
Addison’s disease 1 1
Syringomyelia 1 1
Cavernous sinus syndrome 1 1
Acute tubular necrosis 1 1
Severe metabolic acidosis

21
BAB III
KESIMPULAN

Faktor risiko utama meningitis adalah kurangnya imunitas terhadap patogen


spesifik yang terkait dengan usia muda. Risiko tambahan termasuk kolonisasi baru-
baru ini dengan bakteri patogen, kontak langsung (rumah tangga, tempat penitipan
anak, asrama perguruan tinggi,barak militer) dengan orang-orang yang memiliki
penyakit invasif yang disebabkan oleh N. meningitidis dan H. influenza tipe b,
kelompok, ras hitam atau ras amerika asli dan jenis kelamin laki-laki. Cara penularan
mungkin kontak orang ke orang melalui sekresi saluran pernapasan atau tetesan.
Risiko meningitis meningkat di antara bayi dan anak kecil dengan bakteriemia.11
Meningitis tuberkululosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang
memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Selain itu memiliki insidensi
yang tinggi terutama di negara-negara berkembang.12
Meningitis tuberkulosis juga merupakan penyakit sekunder dari tuberkulosis
paru,sehingga diagnosis tuberkulosis paru perlu didiagnosis lebih dini terutama pada
anak. Dengan demikian terapi dapat diberikan segera dan meningitis tuberkulosis
dapat dicegah. Jika kemudian terjadi meningitis tuberkulosis perlu didiagnosis sedini
mungkin dan diberikan terapi yang tepat. Hal ini dilakukan untuk menghindari
komplikasi dan prognosis yang lebih buruk.12
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut
stadiumnya prognosanya makin jelek.8

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Anderson NE. Neurological and systemic complications of tuberculous


meningitisand its treatment at Auckland City Hospital, New Zealand.in : Journal
of Clinical Neuroscience. Elsevier, 2010. Pp. 1018 – 1022.
2. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak,Infeksi System Saraf Sentral edisi 15, EGC, Jakarta
2014.
3. Etlik Ö et al. Radiologic and Clinical Findings in Tuberculous Meningitis. Eur. in
: J. Gen. Med, 2004. Pp. 19 – 24.
4. Frida M. Meningitis Tuberkulosis. dalam : Infeksi pada Sistem Saraf Kelompok
Studi Neuro Infeksi. hal. 13 – 19. Airlangga University Press, Surabaya, 2011.
5. Pasco PW. Diagnostic Features of Tuberculous Meningitis : a Cross-Sectional
Study. Pasco BMC Research Notes, 5:49, 2012.
6. Prasad K, Singh MB. Corticosteroid for Managing Tuberculosis Meningitis,
2009.
7. Starke RJ. Mycobacterial Infections. in : Handbook of Clinical Neurology, Vol 96
(3rd series) Bacterial infections. Elsevier B.V., 2010. Pp. 159 – 177.
8. Pudjiaji. H. A., dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009.
9. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/ 232915-overview. Accessed August 10th
2017
10. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3546/1/anatomi-mega2.pdf.
Accessed August 10th, 2017.
11. Anggraini A. Meningitis Bakteri. Buku Ajar Neurologi, Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta, 2010
12. Alam A. Kejadian Meningitis Bakterial pada Anak usia 6-18 bulan yang
Menderita Kejang Demam Pertama. Sari Pediatri, Vol. 13 No.4 Desember, 2011.

23
24

Anda mungkin juga menyukai