TINJAUAN PUSTAKA
B. Definisi
Glaukoma berasal dari kata Yunani ”Glaukos” yang berarti hijau kebiruan yang
memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaukoma. Glaukoma merupakan
penyebab kebutaan pertama yang irreversibel (Ilyas, 2004).Glaukoma adalah suatu keadaan
pada mata yang ditandai dengan kenaikan tekanan intraokuli, penurunan visus, penyempitan
lapang pandang, dan atropi nervus optikus.5,6
Glaukoma merupakan kumpulan beberapa penyakit dengan tanda utama tekanan
intraokuler yang tinggi dengan segala akibatnya yaitu, penggaungan dan atrofi papil saraf
optik serta defek lapang pandang yang khas. Di dalam bola mata (intraokular) terdapat cairan
bola mata atau humor akuos yang setiap saat mengalir dari tempat pembuatannya sampai
berakhir disaluran keluar. Bila dalam pengalirannya mengalami hambatan, maka akan terjadi
peningkatan tekanan bola mata sehingga menganggu saraf penglihatan dan terjadi kerusakan
lapang pandang mulai ringan sampai berat sesuai tinggi dan lamanya tekanan tersebut
mengenai saraf mata. 7
C. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomor dua di Indonesia setelah katarak.
Penyakit mata ini biasanya terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Etnis Afrika dibandingkan etnis
kaukasus pada glaukoma sudut terbuka primer adalah 4:1. Glaukoma berpigmen terutama
pada etnis Kaukasus. Pada orang Asia lebih sering dijumpai glaukoma sudut tertutup 3.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko glaukoma meliputi hipermetropi (glaukoma sudut tertutup), miopi
(glaukoma sudut terbuka), usia > 45 tahun,keturunan (riwayat glaukoma dalam keluarga), dan
ras (Asia lebih berisiko). Faktor risiko lainnya adalah migrain, hipertensi, hipotensi, diabetes
melitus, peredaran darah dan regulasinya (darah yang kurang akan menambah kerusakan),
fenomena autoimun, degenerasi primer sel ganglion, dan pascabedah dengan hifema /
infeksi.4
Hal yang memperberat resiko glaukoma 5:
• Tekanan bola mata, makin tinggi makin berat
• Makin tua makin berat, makin bertambah resiko
• Resiko kulit hitam 7 kali dibanding kulit putih
• Hipertensi, risiko 6 kali lebih sering
• Kerja las, risiko 4 kali lebih sering
• Miopia, risiko 2 kali lebih sering
• Diabetes melitus, risiko 2 kali lebih sering.
E. Etiopatogenesis
Penyebab glaukoma tidak diketahui secara pasti, bisa juga karena trauma/benturan,
ataukarena penyakit mata lain seperti katarak yang sudah pecah (katarak hipermatur), uveitis
dan pengaruh obat-obatan.
Tiga faktor sehingga terjadinya peningkatan tekanan intraokuler yang akhirnya
menyebabkan terjadinya glaukoma adalah :
1. Produksi berlebih humor akuous pada corpus siliaris
2. Adanya resistensi dan aliran akuous pada sistem trabekular maupun kanal Schlemm.
3. Peningkatan tekanan vena episklera.
Bilik anterior dan bilik posterior mata terisi oleh cairan encer yang disebut humor
aqueus. Dalam keadaan normal, cairan ini dihasilkan di dalam bilik posterior, melewati pupil
masuk ke dalam bilik anterior lalu mengalir dari mata melalui suatu saluran.Jika aliran cairan
ini terganggu (biasanya karena penyumbatan yang menghalangi keluarnya cairan dari bilik
anterior), maka akan terjadi peningkatan tekanan sehingga merusak serabut saraf mata. Perlu
diketahui, saraf mata berfungsi meneruskan bayangan yang dilihat ke otak. Diotak, bayangan
tersebut akan bergabung dipusat penglihatan dan membentuk suatu benda (vision).
Peningkatan tekanan intraokuler akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan retina di
bagian belakang mata. Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel
sarafnya mati. Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta
pada lapang pandang mata atau menimbulkan skotoma (kehilangan lapangan pandang). Bila
seluruh serabut saraf rusak dan tidak diobati, glaukoma pada akhirnya akan menimbulkan
kebutaan total.Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti oleh lapang
pandang sentral. Pada penderita glaukoma, yang terjadi adalah kerusakan serabut saraf mata
sehingga menyebabkan blind spot.6
Faktor-faktor penyebab penggaungan dan degenerasi papil saraf optik7:
1. Gangguan pendarahan pada papil yang disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler.
2. Tekanan intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang
merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata.
3. Penggaungan papil yang tidak simetris antara mata kanan dan mata kiri.
Gambar 2.2. Kerusakan Saraf Optikus pada Glaukoma
F. Klasifikasi
Klasifikasi Vaughan untuk glaukoma adalah sebagai berikut6:
1. Glaukoma primer
a. Glaukoma sudut terbuka (simpleks)
Penyebab glaukoma ini belum pasti , mula timbulnya gejala simpleks ini agak lambat
yang kadang tidak disadari oleh penderita sampai akhirnya berlanjut dengan kebutaan.
Umumnya ditemukan pada pasien usia lebih dari 40 tahun. Gambaran patologik utama
pada glaukoma sudut terbuka adalah proses degeneratif di jalinan trabekular, termasuk
pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis
Schelmm. Hal ini berbeda dari proses penuaan normal. Akibatnya adalah penurunan
drainase cairan aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan intraokular.
2. Glaukoma kongenital : primer atau infantile dan disertai kelainan kongenital lainnya.
3. Glaukoma sekunder
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat penyakit mata yang lain
atau penyakit sistemik yang menyertainya, seperti :
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa, glaukoma fakolitik dan
fakotoksik pada katarak, glaukoma kapsularis / sindrom eksfoliasi).
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis iridis)
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea atau limbus yang disertai prolaps
iris)
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva, gagalnya pembentukan bilik mata
depan post-operasi katarak, blok pupil post operasi katarak).
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam jangka waktu yang lama.
4. Glaukoma absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma (sempit/terbuka) dimana
sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut.
Pada glaukoma absolute terlihat kornea keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dengan rasa sakit.
Gambar 2.3. Klasifikasi Glaukoma
G. Patofisiologi Glaukoma Sekunder
terbuka atau sudut tertutup pada glaukoma sekunder, sesuai dengan bentuk kelainan klinis yang
menjadi penyebabnya. Efek peningkatan tekanan intraokuler didalam mata dipengaruhi oleh
Kerusakan saraf optik berupa penggaungan dan degenerasi papil saraf optik diduga
disebabkan oleh :
1. Gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf
2. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik.
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atropi sel ganglion
difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina dan
berkurangnya akson disaraf optikus. Diskus optikus menjadi atropik, disertai pembesaran
Kelainan ini dapat berupa mekanik yaitu lensanya dan kimiawi yaitu fokolitik atau
fokotoksik. Dislokasi lensa dapat berupa subluksasi ke depan atau ke belakang. Trauma tumpul
Subluksasi lensa ke depan dapat menyebabkan glaukoma karena terjadinya hambatan pupil
sehingga aliran aqueous dari bilik mata belakang ke bilik mata depansehingga menyebabkan
penutupan sudut bilik mata depan dan mata depan. Subluksasi ini juga dapat mendorong iris
ke depan sehingga menyebabkan penutupan sudut bilik mata depan dan perlengketan di
Pada subluksasi ke belakang dapat terjadi rangsangan yang menahun pada badan siliar
akibat tarikan-tarikan zonula Zin atau geseran lensa pada badan siliar.Rangsangan ini
Pada luksais ke depan lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini menutup jalur
Dalam keadaan ini lensa terletak langsung dalam bilik mata depan dan ini menutup jalur
Kelainan kimiawi dapat terjadi pada katarak hipermatur dimana protein lensa dan
makrofag menutup sudut bilik mata depan, hal ini disebut glaukoma fakolitik. Protein lensa yang
terlepas dari kapsulnya dapat menyebabkan iridosiklitis, hai ini disebut glaukoma fakotoksik.
Pengobatan
• Operasi pengeluaran lensa merupakan cara untuk menghilangkan penyebab utamanya dan
Badan siliaris berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor akuos) yang
memberi makanan kepada lensa dan kornea. Adanya peradangan diiris dan badan siliaris, maka
timbul hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga
Di sudut KOA, cairan melalui trabekulum masuk ke dalam kanal Schlemn untuk menuju
ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang, maka tekanan
mata masih dalam batas-batas normal 15-20 mmHg. Jika banyak sel radang dan fibrin dapat pula
menyumbat sudut KOA, sehingga aliran cairan KOA keluar terhambat dan menimbulkan
glaukoma sekunder.9
Elemen-elemen radang mengandung fibrin, yang menempel pada pupil, dapat juga
mengalami jaringan organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut
sinekhia posterior. Bila seluruh pinggir iris melekat pada lensa, disebut seklusio pupil, sehingga
cairan dari KOP, tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke KOA, iris terdorong kedepan,
menyebabkan sudut KOA sempit dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-perlekatan iris
pada lensa, menyebabkan pupil bentuknya tak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang
dan fibrin, yang kemudian mengalami jaringan organisasi dan terbentuklah oklusi pupil sehingga
akan menghambat aliran humor akuos dan dapat menyebabkan glaukoma sekunder.
Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan glaukoma sekunder yang dapat terjadi pada stadium
dini dan juga stadium lanjut. Pada stadium dini terjadi peradangan uvea anterior, timbul hiperemi
yang menimbulkan bertambahnya produk humorakuos, juga ikut keluarnya sel-sel radang
dengan fibrinnya akibat gangguan permeabilitas dari pembuluh darah dan menyebabkan
meningginya tekanan intraokuler. Pada stadium lanjut adanya seklusio pupil, oklusi pupil,
sinekhia perifer dapat menimbulkan iris bombe yang menyebabkan sudut iridokornealis sempit
dan menimbulkan gangguan aliran keluar dari humor akuos sehingga tekanan intraokuler
Glaukoma sekunder akibat uveitis anterior itu sendiri dikelompokkan menjadi glaukoma
Pada tahap awal glaukoma sekunder akibat uveitis anterior, banyak berhubungan dengan
glaukoma sudut terbuka seperti yang terlihat pada gambar. Hambatan aliran humor akuos
berhubungan dengan menumpuknya sel-sel inflamasi dan serat fibrin ditrabekulum (T). Pada tahap
lanjut, sinekhia perifer (P) dapat muncul dan sudut iridokornealis akan terbuka kurang dari 50% jika
sudut tertutup oleh sinekhia perifer. Terapi pada glaukoma sudut terbuka ini lebih banyak dengan
medikamentosa.
Pada tahap yang lebih lanjut dari penyakit ini, pada banyak kasus, dapat terjadi glaukoma
sudut tertutup sebagai efek sekunder dari sinekhia perifer atau efek sekunder blok pupil dari
produk hasil inflamasi dipupil. Ini dapat juga karena pada awalnya terjadi sebagai serangan
berulang ringan dari uveitis yang tidak terdeteksi yang menyebabkan sinekhia perifer dan
Gambar menunjukkan keadaan sudut tertutup (A) dengan presentase lebih dari 50%. Pada
uveitis tahap lanjut ini glaukoma sudut tertutup dapat berasal dari sinekhia perifer atau efek
sekunder blok pupil dari produk inflamasi yang ada dipupil (P). Anatomi dari sudut
iridokornealis tidak dapat dilihat dengan jelas pada pemeriksaan gonioskopi disebabkan adanya
sinekhia perifer dari iris dan adanya iris bombe sehingga iris terdorong kedepan oleh cairan
humor akuos pada kamera okuli posterior sehingga menutupi sudut iridokornealis tersebut. Jika
sudut sudah terbuka maka kita dapat mengontrol glaukoma sekunder dan uveitis sehingga dapat
menurunkan tekanan intraokular, pengontrolan ini sulit dilakukan jika kondisi sudah berlangsung
dalam jangka waktu yang cukup lama dan telah ada jaringan fibrotik permanen pada trabekulum,
pada keadaan ini glaukoma sekunder yang terjadi dapat berlangsung permanen selamanya. Pada
kasus yang lain, setelah periode panjang pada uveitis yang tidak diterapi atau dikontrol, sudut
perlahan-lahan akan tertutup oleh sinekhia perifer, pada keadaan ini, tentu saja glaukoma juga
Pada cedera mata dapt terjadi pendarahan ke dalam bilik mata depan (hifema) ataupun
hal lain yang menutupi cairan mata keluar sehingga tekana intraokuler biasanya meningkat
karena tersumbatnya aliran tersebut sehingga terjadi glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder
juga dapat terjadi pad atrauma tumpul mata yang merusak sudut (resesi sudut).Selain itu limbusa
Glaukoma sekunder juga sering terjadi pasca pembedahan mata, hal ini sering disebabkan
oleh pertumbuhan epitel di COA setelah insisi kornea atau sklera sehingga menutup COA yang
dapat menimbulkan glaukoma. Selain itu gagalnya pertumbuhan COA posca operasi karena
adanya kebocoran pada luka operasi juga bisa menimbulkan terjadinya glaukoma.
Pada retinoblastoma mempunyai gejala mata merah, mata merah ini sering berhubungan
dengan glaukoma sekunder yang terjadi akibat retinoblastoma. Apabila sudah terjadi glaukoma
maka dapat diprediksi sudah terjadi invasi ke nervus optikus. Selain glaukoma, penyebab mata
merah ini dapat pula akibat gejala inflamasi okuler atau periokuler yang tampak sebagai selulitis
preseptal atau endoftalmitis. Inflamasi ini disebabkan oleh adanya tumor yang nekrosis. 8
2. Stadium glaukoma
Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat (glaukoma
sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta keruh, pada funduskopi
sukar menentukan besarnya tumor.
3. Stadium ekstraokuler
Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan eksoftalmus
kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga orbita disertai nekrosis di
atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke belakang sepanjang N. II dan masuk ke
ruang tengkorak. Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh darah
untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh.
Penggunaan steroid dalam jangka waktu lama diketahui dapat meningkatkan terjadinya
glaukoma, Oleh karena itu tidak dianjurkan untuk menggunakan steroid dalam jangka waktu
M. Penatalaksanaan
1. Midriatika
Penggunaan midriatika pada pupil untuk mencegah blok pupil dan untuk melepaskan
2. Topikal kortikosteroid
Bentuk kedua dari terapi adalah penggunaan topikal kortikosteroid. Penggunaan ini
juga mempunyai resiko karena dapat meningkatkan tekanan intraokuler pada 20%-
30% individu. Jika hal ini terjadi dapat diganti dengan fluoromethylone atau steroid
yang mirip yang mempunyai resiko lebih rendah menaikkan tekanan intraokuler tapi
Pada pasien yang tidak berespon pada midriatika dan topikal kortikosteroid dapat
Pada pasien yang tetap tidak berespon adekuat terhadap antiinflamasi topikal steroid
dosis awal 120 mg sehari dan memonitor reaksi uvea anterior. Dimaksudkan jika
dengan dosis 120 mg per hari dan sekresi dari uvea anterior menurun, maka dosis akan
5. Cytotoxic
Pada pasien dengan glaukoma sekunder yang menjadi uveitis kronis dimana
misalnya cylosporin atau methotrexate dapat memberikan hasil yang baik dengan
a. Simpatomimetik
b. Beta – blocker
Menurut Luntz jika tekanan berkisar antara 35-40 mmHg dengan nervus
optikus normal, maka diikuti 1-2 bulan untuk memantau keadaan papil nervus
optikus, lapang pandang, peningkatan rasio cupdisc, jika semua ini masih dalam
batas normal sementara uveitis masih aktif dan ophtalmologis yakin masih ada
kemungkinan terapi berhasil maka terapi medikamentosa dapat diteruskan.
Tetapi jika papil nervus optikus sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan dan
defek lapang pandang sudah sangat spesifik glaukoma, maka harus segera
dioperasi. Jika sudah terjadi sinekhia anterior perifer dan kerusakan sudut
iridokornealis sudah muncul, diperlukan trabekulektomi, seklusio pupil dapat
diatasi dengan iridektomi perifer (dengan laser). Iridektomi perifer dan
pembebasan pupil juga perlu dilakukan jika terjadi sinekhia posterior yang
ektensif antara iris dan lensa.dilakukan secara dini sebagai terapi glaukoma.10
Pathway Trabeculotomy
Komplikasi pembedahan antara lain:
Penyempitan bilik anterior pada masa pascaoperasi dini yang beresiko
merusak lensa dan kornea.
Infeksi intraokular
Kemungkinan percepatan perkembangan katarak
Kegagalan mengurangi tekanan intraokular yang adekuat.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa beberapa pengobatan topikal, terutama obat
simpatomimetik, dapat meningkatkan pembentukkan parut konjungtiva dan
menurunkan kemungkinan keberhasilan pembedahan bila saluran drainase yang
baru mengalami parut dan menjadi nonfungsional. Pada pasien yang sangat
rentan terhadap pembentukkan parut, obat antimetabolik (5-fluorourasil dan
mitomisin) dapat digunakan pada saat pembedahan untuk mencegah fibrosis.
M. Komplikasi
Jika pengobatan terlambat akan cepat berlanjut pada tahap akhir glukoma yaitu
gloukoma absolut.
N. Prognosis
Diagnosis yang lebih awal dan penanganan dini pada glaukoma dapat memberikan
hasil yang memuaskan.