Anda di halaman 1dari 7

CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS (CAPD)

A. KONSEP DASAR CAPD


A. DEFINISI CAPD
CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis) adalah metode pencucian darah
dengan menggunakan peritoneum (selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut). Selaput ini memiliki area permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-
zat dari darah dapat dengan mudah tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut.
Cairan dimasukkan melalui sebuah selang kecil yang menembus dinding perut ke dalam
rongga perut. Cairan harus dibiarkan selama waktu tertentu sehingga limbah metabolic dari
aliran darah secara perlahan masuk ke dalam cairan tersebut, kemudian cairan dikeluarkan,
dibuang, dan diganti dengan cairan yang baru (Surya Husada, 2008).
Pada dialysis peritoneal, permukaan peritoneum yang luasnya sekitar 22.000 cm2
berfungsi sebagai permukaan difusi. Cairan dialisat yang tepat dan steril dimasukkan ke
dalam cavum peritoneal menggunakan kateter abdomen dengan interval. Ureum dan
creatinin yang keduanya merupakan produk akhir metabolism yang diekskresikan oleh
ginjal dikeluarkan (dibersihkan) dari darah melalui difusi dan osmosis ketika produk limbah
mengalir dari daerah dengan konsentrasi tinggi (suplai darah peritoneum) ke daerah dengan
konsentrasi rendah (cavum peritoneal) melalui membrane semipermeable (membrane
peritoneum). Ureum dibersihkan dengan kecepatan 15 hingga 20 ml/menit, sedangkan
creatinin dikeluarkan lebih lambat.
B. TUJUAN CAPD
Tujuan terapi CAPD ini adalah untuk mengeluarkan zat-zat toksik serta limbah
metabolic, mengembalikan keseimbangan cairan yang normal dengan mengeluarkan cairan
yang berlebihan dan memulihkan keseimbangan elektrolit.

C. INDIKASI CAPD
- Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat
(hemodinamik yang tidak stabil)
- Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat penyakit diabetes
- Pasien yang berisiko mengalami efek samping pemberian heparin secara sistemik
- Pasien dengan akses vascular yang jelek (lansia)
- Adanya penyakit kardiovaskuler yang berat
- Hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive
terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal.
D. KONTRAINDIKASI CAPD
- Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
- Adhesi abdominal
- Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainan pada discus
intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialisis dalam
abdomen yang kontinyu
- Pasien dengan imunosupresi

E. CARA KERJA CAPD


1. Pemasangan Kateter untuk Dialisis Peritoneal
Sebelum melakukan Dialisis peritoneal, perlu dibuat akses sebagai tempat keluar
masuknya cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) dari dan ke dalam rongga perut
(peritoneum). Akses ini berupa kateter yang “ditanam” di dalam rongga perut dengan
pembedahan. Posisi kateter yaitu sedikit di bawah pusar. Lokasi dimana sebagian
kateter muncul dari dalam perut disebut “exit site”.
Mula-mula, alat perangkat harus disiapkan. Ini terdiri dari alat baxter “dineal”R61L”
yang besar dengan tetes rangkap dimana diikatkan dua kantong cairan dialysis 1 L. Dari
pipa umum, alat tetes rangkap ada suatu pipa tambahan yang menuju ke belakang, ini
untuk meng“syphon off” cairan dari peritoneum. Seluruh pipa harus terisi dengan cairan
yang dipakai. Sebuah kantong pengumpulan steril yang besar (paling sedikit volume 2
L) diikatkan pada pipa keluar.
Kemudian, anastesi local (lignocain 1-2%) disuntikkan ke linea alba antara pusar
atau umbilicus dan symphisis pubis, biasanya kira-kira 2/3 bagian dari pubis. Bekas luka
pada dinding abdominal harus dihindari dan kateter dapat dimasukkan sebelah lateral
dari selaput otot rectus abdominus. Anastesi local yang diberikan cukup banyak (10-15
ml) dan yang paling penting untuk meraba peritoneum dan mengetahui bahwa telah
diinfiltrasi, bila penderita gemuk, sebuah jarum panjang (seperti jarum cardiac atau
pungsi lumbal) diperlukan untuk menganastesi peritoneum.
Suatu insisi kecil (sedikit lebih pendek dari garis tengah kanula) dibuat di kulit
dengan pisau nomor 11. Kateter peritoneal kemudian didorong masuk ke ruang
peritoneal dengan gerakan memutar (seperti sekrup). Sewaktu sudah masuk, pisau
ditarik 1 inci dan kateter diarahkan ke pelvis. Kdang-kadang dinding atau selaput
peritoneum terasa sebagai dua lapis yang dapat dibedakan, keduanya harus ditembus
sebelum menarik pisau dan mengarahkan kateter. Pada waktu ini, harus segera
dijalankan atau dialirkan 2 L cairan dan diperhatikan reaksi penderita, minimalkan rasa
tidak nyaman. Segera setelah cairan ini masuk, harus di “syphon off” untuk melihat
bahwa system tersebut mengalir lancar, sesuaikan posisi kateter untuk menjamin bahwa
aliran cukup baik. Beberapa inci dari kateter akan menonjol dari abdomen dan ini dapat
dirapikan bila perlu. Namun paling sedikit 1 atau 2 inci harus menonjol dari dinding
perut. Hal ini kemudian dikuatkan ditempat dengan elastoplas. Dengan tiap trokat ada
suatu pipa penyambung yang pendek yang menghubungkan kateter ke alat perangkat.

2. Pemasukan Cairan Dialisat


Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk
dialisis) ke dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam.
Ketika dialisat berada di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan
dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat.
Sekitar 2 L dialisat dihangatkan sesuai dengan suhu tubuh kemudian disambungkan
dengan kateter peritoneal melalui selang.dialisat steril dibiarkan mengalir secepat
mungkin kedalam rongga peritoneum. Dialisat steril 2 L dihabiskan dalam waktu 10
menit. Kemudian klem selang ditutup. Osmosis cairan yang maksimal dan difusi –
solut/butiran ke dalam dialisat mungkin terjadi dalam 20-30 menit. Pada akhir dwell-
time (waktu yang diperlukan dialisat menetap di dalam peritoneum), klem selang dibuka
dan cairan dibiarkan mengalir karena gravitasi dari rongga peritoneum ke luar (ada
kantong khusus). Cairan ini harus mengalir dengan lancar. Waktu drainase (waktu yang
diperlukan untuk mengeluarkan semua dialisat dari rongga peritoneum) adalah 10-15
menit. Drainase yang pertama mungkin berwarna merah muda karena trauma yang
terjadi waktu memasang kateter peritoneal. Pada siklus ke-2 atau ke-3, drainase sudah
jernih dan tidak boleh ada lagi drainase yang bercampur dengan darah. Setelah cairan
dikeluarkan dari rongga peritoneum, siklus yang selanjutnya harus segera dimulai. Pada
pasien yang sudah dipasang kateter peritoneal, sebelum memasukkan dialisat kulit diberi
obat bakterisida. Setelah dialisis selesai, kateter dicuci lagi dan ujungnya ditutup dengan
penutup yang steril.
Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan pindah ke dalam cairan dialisat
melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang berfungsi sebagai “alat
penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi.

3. Proses Penggantian Cairan Dialisat


Proses ini tidak menimbulkan rasa sakit dan hanya membutuhkan waktu singkat (± 30
menit). Terdiri dari 3 langkah:
 Pengeluaran Cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan air akan
dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan dialisis yang baru. Proses
pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar 20 menit.
 Memasukkan Cairan
2 L cairan dialirkan pada kira-kira setiap 45-60 menit, biasanya hanya memakan
waktu 5 menit untuk mengalirkan. Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut
melalui kateter.
 Waktu Tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga perut selama 4-6
jam, tergantung dari anjuran dokter. Atau cairan ditinggal dalam ruang peritoneum
untuk kira-kira 20 menit dan kemudian 20 menit dibiarkan untuk pengeluaran.
Setelah itu, 2 L cairan lagi dialirkan. Hal ini diulang tiap jam untuk 36 jam atau lebih
lama bila perlu. Suatu catatan, keseimbangan kumulatif dari cairan yang mengalir ke
dalam dan keluar harus dilakukan dengan dasar tiap 24 jam. Suatu kateter
“Tenchoff” yang fleksibel dapat dipakai juga dapat ditinggal secara permanen untuk
CAPD dari penderita yang mengalami gagal ginjal tahap akhir. Proses penggantian
cairan di atas umumnya diulang setiap 4 atau 6 jam (4 kali sehari), 7 hari dalam
seminggu.

F. PRINSIP-PRINSIP CAPD
CAPD bekerja berdasrkan prinsip-prinsip yang sama seperti pada bentuk dialisis
lainnya, yaitu: difusi dan osmosis. Namun, karena CAPD merupakan terapi dialisis yang
kontinyu, kadar produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil.
Nilainya tergantung pada fungsi ginjal yang masih tersisa, volume dialisa setiap hari, dan
kecepatan produk limbah tesebut diproduksi. Fluktuasi hasil-hasil laboritorium ini pada
CAPD tidak bergitu ekstrim jika dibandingkan dengan dialysis peritoneal intermiten karena
proses dialysis berlangsung secara konstan. Kadar eletrilit biasanya tetap berada dalam
kisaran normal.
Semakin lama waktu retensi, kliren molekul yang berukuran sedang semakin baik.
Diperkirakan molekul-molekul ini merupakan toksik uremik yang signifikan. Dengan CAPD
kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah, seperti ureum, akan
berdifusi lebih cepat dalam proses dialysis daripada molekul berukuran sedang, meskipun
pengeluarannya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisa. Pengeluaran
cairan yang berlebihan pada saat dialysis peritonial dicapai dengan menggunakan larutan
dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga tercipta gradient
osmotic. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan bebepara ukuran
volume, yaitu mulai dari 500 ml hingga 3000 ml sehingga memungkinkan pemulihan
dialisat yang sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien.
Semakin tinggi konsentrasi glukosa, semakin besar gradient osmotic dan semakin banyak
cairan yang dikeluarkan. Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat
berdasarkan asupan makanannya.
Pertukaran biasanya dilakukan empat kali sehari. Teknik ini berlangsung secara
kontinyu selama 24 jam sehari, dan dilakukan 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan
pertukaran dengan interval yang didistribusikan sepanjang hari (misalnya, pada pukul 08.00
pagi, 12.00 siang hari, 05.00 sore dan 10.00 malam). Dan dapat tidur pada malam harinya.
Setipa pertukaran biasanya memerlukan waktu 30-60 menit atau lebih; lamanya proses ini
tergantung pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran
terdiri atas lima atau 10 menit periode infus (pemasukan cairan dialisat), 20 menit periode
drainase (pengeluaran ciiran dialisat) dan waktu rentensi selama 10 menit, 30 menit atau
lebih.

G. EFEKTIFITAS, KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN


1. Efektifitas CAPD
Selain bisa dikerjakan sendiri, proses penggantian cairan dengan cara CAPD lebih hemat
waktu dan biaya, tak menimbulkan rasa sakit, dan fungsi ginjal yang masih tersisa dapat
dipertahankan lebih lama (Wurjanto, 2010). Menurut Wurjanto, CAPD adalah cara
penanganan penderita gagal ginjal, yakni dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritoneum (rongga perut) di mana yang berfungsi sebagai filter adalah
selaput/membran. Cara kerjanya, diawali dengan memasukkan cairan dialisis ke dalam
rongga perut melalui selang kateter yang telah ditanam dalam rongga perut. Teknik ini
memanfaatkan selaput rongga perut untuk menyaring dan membersihkan darah. Ketika
cairan dialisis berada dalam rongga perut, zat-zat di dalam darah akan dibersihkan, juga
kelebihan air akan ditarik. Cara CAPD antara lain hanya butuh 30 menit, dilakukan di
rumah oleh pasien bersangkutan, tidak ada tusukan jarum yang menyakitkan, fungsi
ginjal yang tersisa bisa lebih lama, dialisis dapat dilakukan setiap saa, dan pasiennya
lebih bebas atau dapat bekerja seperti biasa (Wurjanto, 2010).

2. Keuntungan CAPD dibanding HD


Terdapat tiga keuntungan utama dari penggunaan dialisis peritoneal:
 Bisa mengawetkan fungsi ginjal yang masih tersisa. Seperti diketahui sebenarnya
saat mencapai GGT, fungsi ginjal itu masih tersisa sedikit. Di samping untuk
membersihkan kotoran, fungsi ginjal (keseluruhan) yang penting lainnya adalah
mengeluarkan eritropoetin (zat yang bisa meningkatkan HB) dan pelbagai hormon
seks. Berbeda dengan dialisis yang lain, dialisis peritoneal tidak mematikan fungsi-
fungsi tersebut.
 Angka bertahan hidup sama atau relatif lebih tinggi dibandingkan hemodialisis pada
tahun-tahun pertama pengobatan Meskipun pada akhirnya, semua mempunyai usia
juga, tetapi diketahui bahwa pada tahun-tahun pertama penggunaan dialisis
peritoneal menyatakan angka bertahan hidup bisa sama atau relatif lebih tinggi.
 Harganya lebih murah pada kebanyakan negara karena biaya untuk tenaga/fasilitas
kesehatan lebih rendah (Tapan, 2004).
Keuntungan tambahan yang lain yaitu:
 Dapat dilakukan sendiri di rumah atau tempat kerja
 Pasien menjadi mandiri (independen), meningkatkan percaya diri
 Simpel, dapat dilatih dalam periode 1-2 minggu.
 Jadwal fleksibel, tidak tergantung penjadwalan rumah sakit sebagaimana HD
 Pembuangan cairan dan racun lebih stabil
 Diit dan intake cairan sedikit lebih bebas
 Cocok bagi pasien yang mengalami gangguan jantung
 Pemeliharaan residual renal function lebih baik pada 2-3 tahun pertama.
3. Kelemahan CAPD
 Resiko infeksi. Peritonitis merupakan komplikasi yang sering. Juga dapat terjadi
infeksi paru karena goncangan diafragma
 Pengobatan yang tidak nayman dan penderita sebagian tidak boleh bergerak di
tempat tidur. Kateter harus diganti setiap 4-5 hari
 Pengeluaran protein dari dialisat, sampai pada 40 gram/24 jam. Baik subnutrisi
(pengeluaran asam amino) maupun hipovolemia (pengeluaran albumin) dapat terjadi.
 BB naik karena glukosa, pada cairan CAPD diabsorbsi (Iqbal et al, 2005).

Tabel Perbandingan hemodialisis dengan dialisis mandiri


Kategori Hemodialisa (HD) Dialisis Mandiri
(CAPD)
Segi kepraktisan Harus dilakukan di Rumah Sakit, lamanya Dapat dilakukan di
proses 4-5 jam rumah/tempat kerja, lamanya
proses 30 menit

Biaya Sekali cuci darah Rp. 500 ribu-1 juta, Satu kantong dialisat (cairan
seminggu bisa 2-3 kali. Total biaya per pencuci darah) Rp. 40 ribu
bulannya akan mencapai akan mencapai sehari penggantian dialisat.
Rp. 4-5 juta Biaya per bulannya mencapai
Rp. 5,5 juta.

Pantangan Pantang beragam makanan terutama yang Tidak perlu diet ketat
tinggi protein
Resiko Fungsi ginjal dan jantung dapat menurun Fungsi ginjal, jantung, dan
komplikasi karena dipaksa bekerja lebih keras selama darah relatif aman karena
proses pencucian darah. Dengan tidak terganggu. Kadar Hb
pengeluaran darah, darah tidak cukup relativ lebih tinggi
aman dari resiko kontaminasi. Butuh dibandingkan dengan
terapi hormon eritropoetin untuk hemodialis, sehingga
mengimbangi penurunan kadar Hb dibutuhkan lebih sedikit
eritroprotein. Namun, CAPD
rawan infeksi sehingga
pasien perlu dilatih untuk
menjaga kebersihan
badannya

Anda mungkin juga menyukai