Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Anak yang terlahir dengan profil ideal, dan dapat tumbuh berkembang

dengan sempurna adalah harapan dari setiap orangtua, sehingga mereka memiliki

kebanggaan serta tuntutan yang sesuai dengan harapannya di masa depan. Namun

pada kenyataan hidup, adakalanya harapan-harapan itu tidak terwujud. Dan setiap

orang akan memiliki sikap yang dapat mereka tampilkan bila menyadari sesuatu

yang tidak diharapkan terjadi pada diri mereka. Sehingga berbagai sikap dapat

terjadi pada setiap orang tua yang menyadari bahwa anak tercintanya menyandang

“Autisme” . Banyak cara penerimaan yang ditunjukkan. Dalam keadaan ini

biasanya yang dikehendaki adalah anak akan dapat tumbuh dan kembali normal

sama seperti anak lainnya. Semakin besar penolakan pada kondisi yang ada,

semakin lama proses ini dapat diatasi oleh orang tua. Bagaimanapun juga peran

orang tua sangatlah penting bagi anak-anak dengan gangguan autisme.

Dalam waktu terakhir ini kasus penderita autisme tampaknya semakin

meningkat pesat. Autisme tampak menjadi seperti epidemik ke berbagai belahan

dunia. Dilaporkan terdapat kenaikan angka kejadian penderita Autisme yang

cukup tajam di beberapa Negara. Keadaan tersebut diatas cukup mencemaskan

mengingat sampai saat ini penyebab Autisme adalah multifaktorial, dan sampai

saat ini penyebab autis masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara

para ahli dan dokter di dunia.


Persepsi keliru atau stigma yang berkembang di masyarakat mengenai individu dengan

spektrum autisma atau orang awam biasa menyebutnya sebagai anak autis, membawa

dampak buruk bagi anak autis juga keluarga, terutama orangtuanya. Pemulihan anak

autis menjadi terkendala karena banyak orang yang tidak mengerti dan menerima

keberadaan anak autis ini.

Meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh terkait keberadaan anak autis, rupanya

pengertian dan penerimaan terhadap anak autis masih rendah. Kesadaran tentang

keberadaan anak autis sudah tumbuh, namun masyarakat belum mengerti dan menerima

anak autis yang memang sangat membingungkan dari proses berpikir dan perilakunya.

Stigma ini terus berkembang dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah

dimana tempat para anak-anak autis belajar. Penerimaan anak autis punya peran penting

terhadap keberhasilan pemulihan anak autis yang unik. Tanpa penerimaan dari

lingkungannya, anak autis tidak memiliki kepercayaan diri dan akan terus menjadi

korban bullying serta masih mungkin mengalami diskriminasi terutama di sekolah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian

Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang ditandai

dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku,

komunikasi dan interaksi sosial. Autism hingga saat ini masih belum jelas penyebabnya.

Dari berbagai penelitian klinis hingga saat ini masih belum terungkap dengan pasti

penyebab autisme. Secara ilmiah telah dibuktikan bahwa Autisme adalah suatu penyakit

yang disebabkan oleh muktifaktorial dengan banyak ditemukan kelainan pada tubuh

penderita. Beberapa ahli menyebutkan autisme disebabkan karena terdapat gangguan

biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa.

Terdapat juga pendapat seorang ahli bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi

makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang

mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah

laku dan fisik termasuk autisme.

Tetapi beberapa penelitian menunjukkan keluhan autism dipengaruhi dan

diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi alergi. Renzoni A dkk

tahun 1995 melaporkan autism berkaitan erat dengan alergi. Menage P tahun 1992

mengemukakan bahwa didapatkan kaitan IgE dengan penderita Autism.

Obanion dkk 1987 melaporkan setelah melakukan eliminasi makanan beberapa

gfejala autisme tampak membaik secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam

beberapa penelitian yang menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autism yang

menderita alergi, setelah dilakukan penanganan elimnasi diet alergi. Beberapa laporan

lain mengatakan bahwa gejala autism semakin buruk bila manifestasi alergi itu timbul.
a. Menurut Pendapat Lain Autisme Berasal Dari Kata Auto Yang Berarti Sendiri.

1) Autisme diartikan oleh Lei Kanner dalam penelitiannya pada tahun 1943 adalah

suatu gangguan metabolisme tubuh yang dapat menyebabkan kelainan pada

seseorang sehingga secara tidak langsung individu tersebut dapat dikatakan “

hidup dalam dalam dunianya sendiri” (Dr. Melly Budhiman, 2002)

2) Autisme infatil adalah salah satu kelainan psikosis (istilah umu yang dipakai untuk

menjelasakan suatu perilaku aneh dan tak dapat diprediksi berlanjut) yang berarti

penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain yang terjadi

pada masa usia anak-anak (M.Sacharin, 1993).

3) Autisme adalah ketidakmampuan anak untuk mengerti perilaku, apa yang mereka

lihat, dengan yang mengakibatkan masalah yang cukup berat dalam hubungan

sosialnya.

4) Autisme merupakan istilah untuk sekumpulan gejal / masalah gangguan

perkembangan pervasif pada 3 tahun pertama kehidupan karena adanya

abnormalitas pada pusat otak, sehingga terjadi gangguan dalam interaksi

sosialgangguan komunikasi dan gangguan perilaku.

5) Autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif yang

ditandai dengan gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, komunikasi dan

adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku minatdan

kegiatan yang terjadi pada anak sebelum umur 3 tahun.

6) Autisme bukanlah penyakit menular namun suatu gangguan perkembangan yang

luas yang ada pada anak. Bahkan ada seorang ahli yang mengatakan bahwa

autisme merupakan dasar dari manusia yang berkepribadian ganda (scizhophren).

b. Jenis Kelainan Autisme :


1) Childhood autisme yaitu kelainan pertumbuhan anak sejak lahir sampai usia 3

tahun.

2) Atypical autisme yaitu kelainan pertumbuhan pada anak sesudah usia 3 tahun.

3) Reff’s syndrom yang umumnya pada anak perempuan.

4) Overach disorder associated with Mental Retardation and Stereotyped Movement.

5) Childhood Disintegrative Disorders.

6) Asperges Syndrom.

Other persasive development Disorder.

Epidemiologi dan Statistik

Jumlah anak yang terkena autisme makin betambah. Di Canada dan Jepang

pertambahan ini mencapai 40% sejak tahun 1980. Di California pada tahun 2002

disimpulkan terdapat 9 kasus autis per-harinya.

Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini 1,5 juta anak di Indonesia yang

mengalami autis. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar

50.000 anak
yang mengenyam pendidikan.

Diperkirakan 75-80% penyandang autis ini mempunyai retardasi

mental, sedangkan 20% dari mereka mempunyai kemampuan yang cukup

tinggi untuk bidang-bidang tertentu.

Estimasi prevalensi (peluang terjadinya) autisme antara 4-5

pasien/10.000 individu. Berdasarkan penelitian akhir-akhir ini

diperkirakan prevalensi meningkat menjadi 10-12/10.000 individu. Di AS

tahun 1980-an, dari hanya 4-5 anak yang autis per 10.000 kelahiran naik

menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pda tahun 1990-an. Pada tahun 2000-

an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Dari prevalensi ini sudah

sangat diketahui bahwa jumlah penderita laki-laki 4x lebih banyak

dibanding perempuan. Atau 80%nya adalah laki-laki. Belum ada data

prevalensi autisme di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang

sehat di Negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar si

Indonesia, fenomenanya diyakini mirip AS.

II. ETIOLOGI

1. Faktor Genetika
Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa factor genetika

memegang peranan penting pada terjadinya autistik. Lebih kurang 20%

dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik

yang paling sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis

(17-58%) dan sindrom fragile X (20-34%). Bayi kembar satu telur akan

mengalami gangguan autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Juga

ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga

besarnya mengalami gangguan yang sama.

· Aberasi Kromosom

Kelainan kromosom seperti delesi, translokasi, fragile site pada

autosom dan kromosom seks sering berkaitan dengan autisme infantile.

Hampir semua penelitian menemukan frekuensi kelainan kromosam pada

autisme antara 5-12%. Yang paling sering adalah kelainan struktur

kromosom 15 (15q11-q13).

Gillberg melaporkan enam penderita autisme dengan inverse duplikasi pada

kromosom 15 dan empat kasus tersebut kelainannya berasal dari ibunya. Bentuk

kelainan kromosam autosom lainnya yang dilaporkan pada penderita autistic

adalah fragile 16q23

(rapuh lengan panjang kromosom 16) dan kelainan struktur kromosom

17p11.
Dan akhir-akhir ini dilaporkan juga bahwa Sindrom Turner, wanita

yang hanya memunyai 1 kromosom X menunjukkan gejala-gejala autisme.

Diantara penderita sindrom Turner yang membawa pewarisan kromosom

X dari ibu (maternal) ternyata mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk

menderita autisme disbanding mereka yang mewarisi kromosom X dari

bapak (paternal). Tampaknya krpmosom X berperanan dalam

perkembangan otak dan kecerdasan.

· Kelainan Genetik Biokimiawi

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pada keluarga dengan anak

yang autistik ada ketidak-seimbangan neurotransmitter yang mengganggu

pertumbuhan otak bayi pada masa-masa awal kehamilan. Bahan-bahan

kimiawi monoamine, 5HT (5 hdroxytryptamine/serotonine) dan

cathecolamine (adrenalin atau epinephrine, dopamine, dan

noradrenaline) telah banyak diteliti secara luas pada autisme karena

keterlibatannya dalam menimbulkan gangguan tingkah laku dan efek dari

dari antagonis dopamine yang mengurangi gejala-gejala atau tingkah laku

pada autisme.

· Kelainan Gen Tunggal


Patofisiologi penyakit akhir-akhir ini telah dibuktikan berbasis

perubahan struktur asam nukleat (mutasi) yang diwariskan maupun akibat

tekanan lingkungan seperti infeksi virus.

2. Komplikasi Obstetrik

Virus seperti Rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk,

perdarahan, keracunan makanan, dsb pada kehamilan dapat menghambat

pertumbuhan sel otak yang dpat menyebabkan fungsi otak bayi yang

dikandung terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan

interaksi.

3. Gangguan Pencernaan

Akhir-akhir ini dari penelitian terungkap juga hubungan antara gangguan

pencernaan dan gejala autistik. Ternyata lebih dari 60% penyandang

autistik ini mempunyai sistem pencernaan yang kurang sempurna.

Makanan tersebut berupa susu sapi (casein) dan tepung terigu (gluten)

yang tidak tercerna dengan sempurna. Protein dari kedua makanan ini

tidak semua berubah menjadi asam amino yang seharusnya dibuang lewat

urine 3. Vaksinasi
Perdebatan yang terjadi akhir-akhir ini berkisar pada kemungkinan

penyebab autisme yang disebabkan oleh vaksinasi anak, terutama

vaksinasi MMR ( Measles, Mumps, Rubella).

Juga Thimerosal yang digunakan sebagai pengawet vaksin diduga

dapat menyebabkan autisme. Yakni bahan yang digunakan pada vaksin

untuk mencegah perkembangbiakan jamur atau bakteri selama proses

manufacturing (pembuatan, pengemasan, pengiriman, penyimpanan,

penggunaan). Terutama pada vaksin multidosis yang telah dibuka. Dan

sampai sekarang Thimerosal masih dianggap paling efektif membunuh

virus, jamur atau bakteri pada vaksin.

Pernah dilaporkan kasus meningoensefalitis pada minggu ke3-4

setelah imunisasi di Inggris dan beberapa tempat lainnya. Reaksi klinis

yang pernah dilaporkan meliputi kekakuan leher, iritabilitas hebat, kejang,

gangguan kesadaran, serangan ketakutan yang tidak beralasan dan tidak

dapat dijelaskan, deficit motorik/sensorik, gangguan penglihatan, defisit

visual atau bicara yang serupa dengan gejala pada autisme.

Namun teori ini telah dibantah oleh berbagai pihak. Dan telah disimpulkan

bahwa imunisasi MMR tidak mengakibatkan Autisme, bila anak sehat dan

tidak berbakat autisme. Tetapi teori, penelitian atau pendapat beberapa

kasus yang mendukung keterkaitan autisme dengan imnisasi, tidak boleh

diabaikan begitu saja. Walaupun adanya beberapa bukti yang

menyingkirkan pendapat adanya hubungan autisme dengan MMR, tetapi


diduga imunisasi dapat memicu memperberat timbulnya gangguan

perilaku pada anak yang sudah mempunyai bakat autisme secara genetik

sejak lahir. Sangatlah bijaksana untuk lebih waspada bila anak sudah

mulai tampak ditemukan penyimpangan perkembangan atau perilaku sejak

dini, memang sebaiknya untuk mendapatkan imunisasi MMR harus

berkonsultasi dahulu dengan dokter anak. Bila anak sudah dicurigai

ditemukan bakat kelainan Autisme sejak dini atau beresiko untuk menjadi

autisme, mungkin bisa saja menunda dahulu imunisasi MMR sebelum

dipastikan diagnosis Autisme dapat disingkirkan. Meskipun sebenarnya

pemicu atau faktor yang memperberat Autisme bukan hanya imunisasi.

Kekhawatiran terhadap imunisasi tanpa didasari pemahaman yang baik

dan pemikiran yang jernih akan menimbulkan permasalahan kesehatan

yang baru pada anak. Dengan menghindari imunisasi maka akan timbul

permasalahan baru yang lebih berbahaya dan dapat mengancam jiwa

terutama bila anak terkena infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi..

WHO (World Health Organisation), pada bulan Januari 2001

menyatakan mendukung sepenuhnya penggunaan imunisasi MMR dengan

didasarkan kajian tentang keamanan dan efikasinya. Untuk Thimerosal

sendiri, WHO masih mengakui sebagai zat yang aman.

Stigma

Pendidikan adalah hak semua warga negara sehingga semua warga negara harus

mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan tanpa kecuali. Anak dengan

ASD juga memiliki hak dan derajat yang sama dengan anak lainnya, mereka juga
mempunyai bakat dan potensi. Potensi tersebut masih terpendam dan menunggu

untuk dikeluarkan agar dapat diasah secara optimal sehingga mereka dapat

mandiri melakukan kewajiban terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat

luas.

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki oleh

seseorang tidak terkecuali bagi anak autis. Sebagai sebuah hak yang

hakiki, pengaturan mengenai hak atas pendidikan diatur dalam Alinea

Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam

Pembukaan Alinea Keempat Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa

tujuan negara Indonesia adalah:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah


Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonedia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial....”

Berdasarkan hal tersebut, ditegaskan bahwa salah satu tujuan

pembentukan negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa.

Kecerdasan kehidupan berbangsa dan bernegara akan tercapai melalui

pelayanan pendidikan yang terintegrasi dan disesuaikan dengan

kebutuhan setiap warga negara.

Selain itu, hak atas pendidikan juga diatur dalam pasal 31 UUD

1945. Dalam ayat (1) Setiap warga negara berhak mendapat

pendidikan. 4
Pasal ini bermakna bahwa negara berkewajiban memenuhi hak atas

pendidikan bagi setiap warga negaranya tanpa terkecuali tanpa

membedakan suku, ras, agama atau bahkan keadaan sosial dan

ekonominya. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus seperti

tunanetra, tunagrahita, tunalaras dan anak-anak berkesulitan belajar

juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan.

Hal inilah yang menjadi dasar bahwa anak autis juga memiliki hak

yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak dan berhak untuk

mengembangkan potensi diri secara maksimal.

Hal ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5: ayat 1 “setiap warga

negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu “, ayat 2 “warga negara yang mempunyai kelainan fisik,

emosional, mental, intelektual, dan/ atau sosial berhak memperoleh

pendidikan khusus”. Sehingga meskipun memiliki kebutuhan khusus

yang menyebabkan mereka membutuhkan perhatian yang khusus,

anak-anak penyandang autisme juga membutuhkan dan berhak untuk

mendapatkan pendidikan.

Sebagian anak penyandang autisme sebenarnya mampu untuk

bersekolah di sekolah umum, sementara sebagian lainnya memerlukan

pendidikan di jalur khusus. Apabila anak mampu untuk duduk diam di

kelas selama jangka waktu yang cukup lama, dapat mengikuti aturan,

dapat memahami instruksi orang lain, dan dapat mengendalikan


emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi, maka anak

tersebut dapat disekolahkan di sekolah umum. 5 Tidak jarang anak

autis juga memiliki intelegensi tinggi yang sama dengan anak umum

lainnya, bahkan tak sedikit mereka yang telah mengikuti terapi bisa

berprestasi di sekolah

umum.6

Dengan pesatnya peningkatan jumlah penyandang autis, sayangnya

jumlah profesional yang mendalami bidang ini tidak sebanding dengan

jumlahnya. Sehingga anak-anak dengan ASD yang mendapatkan

layanan terapi dan pendidikan masih sedikit. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor: Pertama, kurangnya perhatian pemerintah. Kedua,

stigma negatif masyarakat terhadap anak autis merupakan penyakit

keturunan dan harus dihindari sehingga mengabaikan potensi anak

autis tersebut. Ketiga, biaya pendidikan bagi anak autis banyak

dikelola oleh pihak swasta, dengan biaya yang cukup tinggi, sehingga

tidak semua orang tua mampu mendidik anaknya dilembaga

pendidikan guna mengembangkan potensi yang ada.

Oleh karena itu pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama

dalam rangka memenuhi hak-hak anak autis dengan terus

meningkatkan dan memajukan program pelayanan pendidikan yang

layak bagi anak-anak dengan ASD. Mengingat anak-anak sebagai aset

dan generasi penerus bangsa.


Peningkatan kasus autis dari tahun ke tahun menjadi

permasalahan yang menuntut peran aktif pemerintah dan juga

dukungan masyarakat. Karena saat ini masih minimnya lembaga

pelayanan pendidikan/terapi milik pemerintah dan sangat diperlukan

sosialisasi dan edukasi tentang pengertian autisme itu sendiri.

Sehingga dapat mengurangi stigma negatif yang berkembang

dimasyarakat. Disamping itu pengetahuan masyarakat atau secara

khusus orang tua yang memiliki anak usia balita tentang deteksi awal

terhadap autisme masih sangat minim, terutama di pedesaan bahkan

banyak yang terlambat mengetahui ketika usia anak sudah melewati

usia 5 tahun, sehingga intervensi dini tidak bisa segera dilaksanakan.

Lembaga-lembaga pelayanan pendidikan autis selama ini yang

sudah tersedia di Indonesia banyak di dominasi oleh lembaga milik

swasta/individu dengan biaya terapi yang cukup besar, sedangkan

kasus autis tidak hanya terjadi pada masyarakat menengah ke atas saja

tapi juga dari keluarga pra sejahtera.

Gangguan autistik merupakan suatu spektrum yang luas. Setiap

anak autistik adalah unik, masing-masing memiliki simtom-simtom

dalam kuantitas dan kualitas yang ber-beda. Menurut Gilberg (2000),

autisme bukanlah penyakit tetapi adalah varian dari spektrum autis.

Karena itulah beberapa tahun terakhir ini muncul istilah ASD (Autistic

Spectrum Disorder).
Anak autisme perlu penanganan dini yang terpadu yang

melibatkan orangtua dan profesional di bidang medis, psikologis, dan

pendidikan. Pemberian penanganan secara terpadu, intensif, dan

dimulai sejak usia dini akan memberikan hasil yang positif, yaitu

membantu anak dengan autisme beradaptasi dengan lingkungannya

dan belajar berbagai kemampuan kognitif. Namun sayangnya layanan

terapi yang diberikan pun belum terpadu berada di satu tempat,

sehingga orang tua harus berpindah dari satu tempat terapi ke tempat

terapi yang lain untuk memenuhi kebutuhan terapi anaknya.

Menurut Melly Budhiman Ketua Yayasan Autisme Indonesia (YAI),

salah satu penghambat proses penyembuhan anak autis, karena faktor

mahalnya biaya terapi, termasuk pendidikan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus ini. Senada dengan hal tersebut, menurut Data

Autism Care Indonesia, peningkatan jumlah penderita autis di

Indonesia tidak serta merta dibarengi dengan banyaknya tenaga terapis

yang profesional dengan kualifikasi dan kompetensi yang baik dalam

membimbing dan mengajar anak-anak autis itu. Kenyataan tersebut

yang lantas membuat mahalnya biaya pengobatan dan terapi bagi

anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Untuk 90 menit hingga

120 menit pertemuan dengan tenaga terapis, masyarakat harus

merogoh kocek antara 100 ribu hingga 150 ribu rupiah.

Hal tersebut tentu saja sangat mahal dikarenakan dalam satu

hari, idealnya mereka bertemu terapis tiga sampai empat kali


pertemuan. Jika dihitung 100 ribu rupiah misalnya, maka dalam satu

hari, dibutuhkan 300 sampai 400 ribu rupiah. Dan jika dihitung satu

bulan dengan frekuensi pertemuan hampir tiap hari, maka orang tua

yang anaknya mengidap autis harus membayar sekitar 9 juta rupiah

tiap bulan. Sedangkan realitasnya anak-anak autis ini berasal dari

semua kalangan, bukan hanya dari keluarga mampu namun juga

dengan latar belakang ekonomi menengah ke bawah. Bisa kita

bayangkan bagi anak-anak autis dari keluarga kurang mampu, akan

sangat sulit mendapat penanganan intervensi sedini mungkin, dengan

kisaran biaya yang cukup besar.

Berdasarkan data dan fakta tentang meningkatnya penyandang autis serta

perundangan tentang kesetaraan dalam pendidikan, untuk memberikan hak-hak

dan fasilitas pelayanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus. Pemerintah

melalui Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus

Pendidikan Dasar dimulai pada tahun 2012 telah membangun Pusat Layanan

Autis (PLA) di 28 Provinsi seluruh Indonesia, salah satunya PLA Kota Malang.
BAB III

PENUTUP

Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat

kompleks pada anak, yang gejalanya sudah timbul sebelum anak

itu mencapai usia tiga tahun.

Penyebab autisme adalah gangguan neurobiologis yang

mempengaruhi fungsi otak sedemikian rupa sehingga anak tidak

mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara

efektif. Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang

cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang‐ orang di

sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta

seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga

mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi

secara verbal.

Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan

warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang.

Tidak semua individu ASD/GSA memiliki IQ yang rendah.

Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan

tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di

bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).

DAFTAR PUSTAKA
Handojo. 2003. Auits. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.

Soetjiningsih.1995. Tumbuh Kembang Anak..Jakarta : EGC

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1998. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :

Infomedika.

Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity.

J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.

Anda mungkin juga menyukai