Kepemiluan Selama
Masa Transisi
Tantangan dan Peluang
INTERNATIONAL IDEA
PolicyPaper
International Institute for Democracy and Electoral Assistance
SE–103 34 Stockholm
Swedia
Tel +46 8 698 37 00
Fax +46 8 20 24 22
E-mail info@idea.int
Agustus 2012
Pengelolaan pemilu selama masa transisi dari rezim
otoritarian ke arah rezim demokrasi dipenuhi dengan tantangan.
Pada saat yang bersamaan, masa transisi memberikan kesempatan
kepada para pengambil keputusan dan penyelenggara pemilu
untuk memperkuat lembaga penyelenggara pemilu sebagai
lembaga yang mandiri, tidak memihak, dapat dipercaya dan
profesional. Menyadari pentingnya pilihan-pilihan kebijakan
yang diambil selama masa transisi demokrasi, makalah ini akan
membahas beberapa isu utama yang harus dipertimbangkan
dan menyarankan beberapa rekomendasi untuk mendukung
para pembuat kebijakan dan praktisi di bidang ini.
Sekilas International IDEA
Apakah International IDEA?
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA)
adalah sebuah organisasi antarpemerintah dengan misi mendukung demokrasi
yang berkelanjutan di seluruh dunia.
Tujuan lembaga ini adalah memberikan dukungan bagi penguatan lembaga-lembaga
dan proses-proses demokrasi, serta demi demokrasi yang lebih berkelanjutan, efektif
dan mendapatkan legitimasi.
International IDEA merupakan satu-satunya organisasi antarpemerintah yang
mendunia dengan amanah tunggal untuk mendukung demokrasi; visi IDEA adalah
menjadi pelaku utama global dalam berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam
mendukung demokrasi.
Karya IDEA bersifat non-preskriptif (tidak menentukan) dan IDEA mengambil
pendekatan impartial dan kolaboratif terhadap kerjasama demokrasi.
Publikasi International IDEA terbebas dari kepentingan nasional atau politik tertentu. Pandangan-pandangan dalam publikasi
ini tidak mewakili pandangan International IDEA, Pimpinan dan Anggota Dewannya.
Permohonan izin untuk memperbanyak atau menerjemahkan seluruh atau sebagian dari publikasi ini agar ditujukan kepada:
International IDEA
SE–103 34 Stockholm
Swedia
Daftar Isi
Rekomendasi Kunci................................................................................................ 4
Ringkasan Eksekutif............................................................................................... 5
Pendahuluan............................................................................................................. 7
I. Pertimbangan-Pertimbangan Penting.......................................................... 8
Model Lembaga Penyelenggara Pemilu dan Kemandirian........................... 8
Kerangka Hukum................................................................................................. 10
Kewenangan dan Fungsi................................................................................... 12
Keanggotaan dan Kepegawaian...................................................................... 15
Kepercayaan........................................................................................................ 20
Lembaga-Lembaga Lain..................................................................................... 22
3
Rekomendasi Kunci
1
Memberikan kemandirian politik lembaga penyelenggara pemilu dalam kerangka
hukum. Lembaga penyelenggara pemilu dan kemandiriannya dalam bertindak
harus diakui dalam tatanan peraturan perundang-undangan tertinggi. Bahkan
ketika pengaturan perundang-undangan yang bersifat sementara dibuat,
komitmen terhadap kemandirian tindakan lembaga penyelenggara pemilu harus
dijamin.
Ringkasan Eksekutif
P
emilu merupakan peristiwa penting dalam masa transisi dari rezim otoritarian
menjadi demokratis. Lembaga penyelenggara pemilu yang mensupervisi,
mengadministrasikan dan mengelola pemilu yang jujur dan adil menumbuhkan
kepercayaan dalam proses pemilu dan meningkatkan prospek konsolidasi demokrasi.
Naskah kebijakan ini menguraikan permasalahan yang dapat dijadikan pertimbangan
untuk mendukung lembaga penyelenggara pemilu selama masa transisi dalam
melaksanakan perannya.
Makalah ini menunjukkan bahwa model pengelolaan kepemiluan yang mandiri
mungkin adalah yang paling cocok bagi sebagian besar konteks transisional,
sedangkan lembaga penyelenggara pemilu yang didasarkan pada model lainnya
(pemerintahan atau campuran) mungkin akan lebih sulit membangun suatu persepsi
publik akan diri mereka sebagai penengah yang imparsial dalam suatu pertarungan
pemilu. Pada saat yang sama jelaslah bahwa model mandiri itu sendiri bukanlah
suatu jaminan kemandirian lembaga penyelenggara pemilu secara aktual, yang masih
perlu ditunjukkan dalam tindakan. Yang penting, sekali otonomi kelembagaan
lembaga penyelenggara pemilu telah terbentuk, ia cenderung mempertahankan
kemungkinan adanya kemunduran-kemunduran yang menghambat perkembangan
demokrasi.
Direkomendasikan bahwa kemandirian lembaga penyelenggara pemilu harus
dinyatakan pada tingkat konstitusi. Kerangka hukum itu harus membahas seluruh
masalah penting yang memungkinkan lembaga penyelenggara pemilu melaksanakan
fungsi-fungsinya secara profesional dan berintegritas Perundang-undangan terkait
pemilu, termasuk perubahan kewenangan dan tugas lembaga penyelenggara pemilu,
harus mensyaratkan tindakan-tindakan khusus konsensus dan konsultasi. Seluruh
hal penting yang berkaitan dengan pemilu harus dipertimbangkan dengan saksama
dalam proses negosiasi dan konsensus politik transisional, dan dinyatakan di dalam
kerangka hukum yang cukup jelas. Status lembaga penyelenggara pemilu juga akan
diperkuat jika seluruh peserta dalam negosiasi seperti itu telah memiliki pemahaman
yang sama mengenai kewenangan dan fungsi lembaga penyelenggara yang diperlukan
untuk menghasilkan pemilu yang kredibel pada masa transisi.
Sebelum lembaga peradilan diberikan peran pengawasan atau pelaksanaan dalam
pemilu-pemilu di masa transisi, suatu penilaian yang independen harus dilaksanakan
untuk menentukan apakah ia memiliki kapabilitas dan kemandiriannya diakui
secara luas diperlukan untuk memenuhi fungsi kepemiluan. Keputusan-keputusan
mengenai peran lembaga peradilan dalam pemilu di masa transisi tidak boleh
dilakukan tanpa suatu penilaian yang kredibel dan pertimbangan persepsi publik
terhadap lembaga peradilan dan kemandiriannya secara nyata.
Setiap keputusan terhadap kewenangan-kewenangan dan fungsi yang akan diberikan
kepada lembaga penyelenggara pemilu harus mempertimbangkan keadaan-keadaan
transisional dan latar belakang historis, serta persyaratan-persyaratan teknis.
Perpaduan kewenangan dan fungsi adalah lebih penting daripada kuantitasnya.
Untuk setiap kewenangan atau fungsi, derajat sejauh mana lembaga penyelenggara
pemilu dalam melakukan supervisi, administrasi atau melaksanakan suatu proses
harus dipertimbangkan. Lembaga penyelenggara pemilu harus memiliki otoritas
5
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
6
International IDEA
Pendahuluan
D
alam masa transisi1 dari rejim otoritarian ke demokratis, pembaharuan
lembaga penyelenggara pemilu memiliki makna khusus. Transisi menuju
demokrasi menganggap kekuasaan politik yang terakhir diberikan oleh
kehendak rakyat melalui proses pemilu yang jujur dan kompetitif. Sekalipun
para praktisi pendukung demokrasi dikritisi karena menaksir terlalu tinggi Terdapat kesepakatan
peran pemilu dalam konsolidasi demokrasi (Carothers 2002), sangat sukar yang luas bahwa
untuk membayangkan kemajuan menuju demokrasi tanpa kehadiran proses demokrasi seharusnya
pemilu yang bebas dan adil. Terdapat kesepakatan yang luas bahwa demokrasi
lebih dari sekedar
pemilu yang bebas dan
seharusnya lebih dari sekedar pemilu yang bebas dan adil, namun tidak boleh
adil, namun tidak boleh
kurang dari itu. kurang dari itu.
Karena administrasi kepemiluan dijuluki “variabel yang hilang” dalam penelitian
terhadap sebab dan akibat demokrasi lebih dari satu dekade yang lalu (Pastor
1999: 2), perhatian yang semakin bertambah diberikan pada penelitian-penelitian
mengenai managemen kepemiluan.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International
IDEA) telah memberikan sumbangan pada upaya ini melalui buku pedomannya
yang komprehensif mengenai disain manajemen kepemiluan (International
IDEA 2006).
Administrasi kepemiluan selama masa transisi dipenuhi dengan tantangan,
termasuk efisiensi administratif, netralitas politik dan akuntabilitas publik Masa transisi
(Mozafar dan Schedler 2002: 7-10). Pada saat yang sama masa transisi menawarkan pada
menawarkan kepada pembuat kebijakan dan pengelola pemilu, berupa peluang- pembuat kebijakan
peluang untuk membentuk lembaga manajemen kepemiluan. Pilihan-pilihan dan pengelola pemilu
yang dibuat oleh para pelaku ini dalam suatu periode transisi tentu saja peluang-peluang untuk
mempengaruhi perkembangan lembaga penyelenggara pemilu sebagai suatu membentuk lembaga-
lembaga yang imparsial, kredibel dan profesional. Menyadari pentingnya lembaga manajemen
pilihan-pilihan ini, makalah ini membahas beberapa isu pokok yang harus kepemiluan.
dipertimbangkan oleh para pembaharu dan lembaga penyelenggara pemilu itu
sendiri selama masa transisi dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk
mendukung para pembuat kebijakan dan praktisi di bidang ini. Hal ini mengacu
pada pengetahuan komparatif global IDEA dengan memasukkan tiga studi kasus
yang spesifik mengenai masa transisi demokrasi – di Chili, Ghana dan Indonesia.
Studi kasus dari tiga wilayah dunia yang berbeda ini meneliti administrasi
kepemiluan dalam konteks transisi, dan berusaha menekankan tantangan-
tantangan, tanggapan-tanggapan serta menawarkan wawasan-wawasan yang
berharga ke dalam pembaharuan lembaga penyelenggara pemilu.
1 M
asa transisi politik dapat didefiniskan sebagai sebuah interval antara satu rejim politik dan
yang lainnya. Istilah ‘transisi’ di sini merujuk pada periode kesempatan bagi munculnya
atau konsolidasi demokrasi.
7
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Pertimbangan-Pertimbangan
Penting
8
International IDEA
Model Model
Campuran
Mandiri Pemerintahan
9
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
2002; Aparicio dan Ley 2008). Para ahli pemilu juga telah mengajukan uji empiris
mengenai kemandirian, seperti pengelolaan tiga pemilihan umum berturut-turut
yang diterima sebagai bebas dan jujur oleh mayoritas pemangku kepentingan
dan para pemantau pemilu mandiri.2
Penelitian terhadap kemandirian kelembagaan penyelenggara pemilu juga
menyarankan bahwa, sekali kemandirian semacam itu telah berakar, ia cenderung
berulang dari waktu ke waktu dan bahkan bertahan dari serangan-serangan para
penguasa otoritarian (Gazibo 2006: 629). Hal ini digambarkan oleh studi kasus
di Ghana, dan hingga batas tertentu di Chili. ‘Ketahanan kelembagaan’ ini dapat
menjadi inspirasi bagi para arsitek pembaharu masa transisi untuk memanfaatkan
sepenuhnya peluang-peluang yang ada untuk memperkuat landasan kemandirian
kelembagaan penyelenggara pemilu.
Pertimbangan-pertimbangan yang disajikan dalam makalah ini secara luas dapat
diterapkan baik lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat tetap maupun
sementara. Akan tetapi, jika komisi pemilihan transisi sementara yang dimaksud,
Keputusan-keputusan harus dipertimbangkan bagaimana pengalaman mereka akan dipertahankan
terhadap peran badan untuk penyelenggaraan pemilu berikutnya. Manfaat memelihara sebuah lembaga
peradilan dalam pemilu yang bersifat tetap harus ditekankan terhadap manfaat yang dirasakan dari
transisional seharusnya lembaga yang bersifat sementara.
tidak diambil tanpa
penilaian yang kredibel Keberlangsungan operasional, memori kelembagaan dan keefektifan biaya adalah
dan pertimbangan argumen substansial dalam rangka mempertahankan suatu lembaga penyelengga
persepsi publik pemilu yang bersifat tetap setidaknya di tingkat nasional.
mengenai badan
peradilan serta
kemandiriannya yang
sebenarnya. Kerangka Hukum
Dasar kemandirian sebuah lembaga penyelenggara pemilu pada umumnya
ditetapkan ke dalam kerangka hukum negara. Konstitusi pada umumnya
memberikan kewenangan terkuat dan perlindungan hukum bagi kelembagaan
penyelenggara pemilu. Pada kasus-kasus yang dipelajari pada buku ini seperti:
Ghana, Indonesia dan Chili— setiap lembaga penyelenggara pemilu dinyatakan
mandiri di dalam konstitusi. Ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam
konstitusi hampir selalu mengakar lebih dalam dari pada peraturan perundang-
Seluruh hal penting undangan yang ada sebelumnya, sebagai contoh, untuk mengubah konstitusi perlu
berkaitan dengan ada syarat dukungan dari legislatif atau terlebih dahulu melakukan referendum
pemilu seharusnya untuk menyepakati diubah atau tidaknya konstitusi tersebut. Adanya kejelasan
dipertimbangkan kewenangan yang ditegaskan dalam konstitusi dapat membantu kepercayaan
secara saksama dalam pemangku kepentingan terhadap proses penyelenggaraan pemilu.
hal negosiasi politik
dan pembangunan Dalam kerangka rezim otoritarian yang tidak memiliki sejarah demokrasi,
kesepakatan, dan lembaga penyelenggara pemilu seringkali dikenal tidak mandiri. Kadang-kadang
dilengkapi eengan
kejelasan yang cukup 2 C
arl Dundas pada Jaringan Praktisi ACE: http://aceproject.org/electoral-advice/archive/
dalam kerangka hukum questions/replies/469670784#815906622, diakses 24 Mei 2012.
10
International IDEA
11
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
12
International IDEA
13
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
3 U
ntuk informasi yang lebih banyak mengenai pembiayaan Lembaga Penyelenggara Pemilu
lihat Bab 7 International IDEA, Electoral Management Design: The International IDEA
Handbook (Stockholm: International IDEA, 2006).
14
International IDEA
4 U
ntuk informasi yang lebih banyak mengenai model dan prinsip penyelesaian sengketa
pemilu lihat International IDEA, Electoral Justice: he International IDEA Handbook
(Stockholm: International IDEA, 2010).
15
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
keahlian di satu pihak, dengan kedudukan moral dan kredibilitas anggota lembaga
penyelenggara pemilu di lain pihak. Salah satu contoh yang sangat terkenal
mengenai pembangunan kepercayaan adalah komposisi lembaga penyelenggara
pemilu transisional di Afrika Selatan, di mana pemerintah menunjuk anggota
internasional, termasuk para ahli dari Kanada, Zimbabwe dan Eritrea (Goodwin-
Gill 2006:122).
Pada saat yang sama, birokrat dari rezim sebelumnya mungkin menjadi satu-
satunya orang yang memiliki pengalaman organisasi dan administrasi yang
diperlukan untuk berkoordinasi dan mengelola operasi-operasi logistik rumit
yang terlibat dalam pemilu. Sebagaimana ditunjukkan dalam studi di Chili
Jika kepemimpinan dan Indonesia, para pimpinan yang sangat dipercaya dalam administrasi
lembaga penyelenggara kepemiluan dapat berasal dari pejabat-pejabat dalam rezim sebelumnya. Karakter
pemilu dipilih oleh
perseorangan dapat mengatasi hubungan-hubungan di masa lalu dan memastikan
anggotanya sendiri, hal
ini dapat menunjukkan bahwa keterampilan-keterampilan yang penting harus dipertahankan bagi
tanda perubahan yang sebuah lembaga penyelenggara pemilu. Pengalaman Indonesia juga menekankan
penting dan mendorong bagaimana perwakilan-perwakilan yang terlibat dalam perancangan perubahan
kepercayaan tambahan undang-undang pemilu dapat menjadi calon kuat anggota lembaga penyelenggara
dalam kemandirian pemilu, karena mereka terlibat secara erat dalam proses dan memahami tidak
kelembagaan hanya secara harfiah namun semangat atau maksud di balik undang-undang
penyelenggara pemilu. tersebut. Salah satu dari pilihan-pilihan yang dibuat dalam menentukan
komposisi sebuah lembaga penyelenggara pemilu adalah apakah komposisi itu
harus melibatkan calon-calon dari partai politik atau para ahli yang non-partisan
atau keduanya.
Lembaga penyelenggara pemilu multipartai terdiri atas gabungan calon partai
politik. Kerangka hukum dapat memberikan hak pada semua partai politik
yang menjadi peserta pemilu untuk memberikan wakilnya dalam lembaga
penyelenggara pemilu, atau hanya melibatkan partai-partai politik yang lolos
ambang batas untuk mengirim perwakilannya. Penunjukan berdasarkan partai
politik berarti bahwa anggota lembaga penyelenggara pemilu bertindak sebagai
perwakilan atau agen partai. Akan tetapi, sekalipun masing-masing anggota
mungkin saja terlihat dari luar sebagai partisan, masing-masing anggota juga
harus memastikan bahwa yang lainnya tidak mengambil keuntungan sebagai
partisan, sehingga lembaga penyelenggara pemilu masih dapat dipercaya sebagai
suatu badan yang imparsial. Jumlah perwakilan kemudian menjadi jaminan
imparsialitas.
Lembaga penyelenggara pemilu berbasis ahli, terdiri dari perseorangan yang
ditunjuk berdasarkan integritas dan kedudukan profesional. Mereka mungkin
saja dicalonkan oleh partai politik atau masyarakat sipil namun tidak dapat
bertindak secara partisan. Persyaratan keanggotaan lembaga penyelenggara
pemilu berbasis ahli seringkali mengharuskan imparsialitas (ditentukan,
misalnya, dengan tidak menjadi anggota dalam struktur kepengurusan partai
politik), usia minimum, kualifikasi profesional dan pengetahuan kepemiluan.
Anggota lembaga penyelenggara pemilu berbasis ahli seringkali adalah tokoh
16
International IDEA
publik terkemuka yang dikenal karena netralitas politiknya dan ahli di bidang-
bidang seperti hukum, administrasi publik, ilmu politik atau media.5
Sejumlah negara yang telah mengalami masa transisi dari pemerintahan
otoritarian ke demokrasi multipartai, termasuk negara-negara Eropa Tengah
dan Timur telah memilih lembaga penyelenggara pemilu berbasis multipartai
selama masa transisi. Banyak analis pemilu meyakini bahwa perwakilan partai
politik di lembaga penyelenggara pemilu menghasilkan konsensus di antara para
pelaku dalam kontes pemilu dan berperan untuk meningkatkan transparansi,
yang berdampak pada tingka kepercayaan lebih besar dalam proses pemilu
(International IDEA 2006: 88–89; Goodwin-Gill 2006: 122). Penelitian di
Amerika Latin telah menunjukkan bahwa lembaga penyelenggara pemilu
multipartai telah menghasilkan pemilu-pemilu yang sukses di negara-negara
demokrasi baru dan menikmati kepercayaan yang diperlukannya (Hartlyn et al.
2008: 89–90). Membina kepercayaan yang lebih besar khususnya relevan bagi
tahap-tahap awal transisi demokrasi. Ketika kepercayaan dalam proses pemilu
bertumbuh, depolitisasi lembaga penyelenggara pemilu mungkin tepat. Hal ini
digambarkan dengan baik dalam studi kasus Indonesia.
Keanekaragaman dan lebih khusus lagi etnisitas merupakan faktor penting
dalam pengorganisasian pemilu multipartai di banyak negara demokrasi baru.
Di beberapa negara hal ini telah memiliki pengaruh pada harapan publik
mengenai lembaga penyelenggara pemilu. Jika seleksi dan pengangkatan anggota
dan staf seniornya mencerminkan keseimbangan etnis, wilayah, bahasa dan
karakteristik sosial-demografi lainnya, sebuah lembaga penyelenggara pemilu
dapat menyampaikan suatu sinyal positif mengenai inklusivitas manajemennya.
Pendekatan ini lebih mungkin untuk mendapatkan kepercayaan dan dukungan
seluruh etnis dan kelompok demografis lainnya bagi kredibilitas dan keadilan Di banyak negara
lembaga penyelenggara pemilu dan secara positif mempengaruhi pada penerimaan perlindungan masa
hasil pemilu di akhirnya. jabatan anggota
lembaga penyelenggara
Pertimbangan yang sama pentingnya berlaku pada kesetaraan gender. Memastikan pemilu dalam undang-
kesetaraan gender di seluruh tingkatan personil dan setiap proses kegiatannya, undang pemilu adalah
baik diharuskan maupun tidak oleh undang-undang pemilu atau oleh kebijakan sama dengan pejabat
pemerintah, dapat meningkatkan kredibilitas lembaga penyelenggara pemilu yudisial senior.
dan memungkinkan sepenuhnya memanfaatkan sumber daya yang tersedia bagi
kebutuhan anggota dan pegawainya. Adalah penting untuk memastikan bahwa
perempuan juga diwakili sepenuhnya di semua tingkatan sekretariat lembaga
penyelenggara pemilu dan petugas pemilu sementara. Lembaga penyelenggara
pemilu harus menjadi teladan terhadap isu-isu kesetaraan gender dalam seluruh
kegiatannya. Pertimbangan-pertimbangan yang penting termasuk memastikan
kesetaraan gender di antara para undangan dan peserta lokakarya dan seminar
yang dikelola oleh lembaga penyelenggara pemilu, dan pencantuman isu-isu
berbasis gender dalam materi pelatihan dan pendidikan pemilih serta program-
5 U
ntuk perbandingan yang mendetail mengenai keuntungan lembaga penyelenggara
pemilu berbasis multipartai dan ahli lihat Bab 4 International IDEA, Electoral Manage-
ment Design
17
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
18
International IDEA
19
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Kepercayaan
Membangun kepercayaan publik dan kepercayaan diri dalam sebuah lembaga
penyelenggara pemilu merupakan kepentingan yang utama. Secara khusus, selama
20
International IDEA
suatu masa transisi politik yang di mana lembaga penyelenggara pemilu secara
historis dikendalikan, menentukan kembali citra kelembagaan adalah penting.
Di mana lembaga penyelenggara pemilu telah beralih rupa melalui negosiasi
di antara para elit, proses negosiasi itu sendiri dapat mencapai hal ini. Melalui
keterlibatan dalam negosiasi, oposisi mungkin telah mendapatkan suatu ukuran
kepercayaan dan kepemilikan yang wajar dalam proses yang akan terjadi. Akan
tetapi, sekalipun telah terjadi negosiasi di antara para elit untuk menyelenggarakan
pemilu masa peralihan, kepercayaan akan kemandirian lembaga penyelenggara
pemilu masih harus dikomunikasikan kepada para pemilih. Karena suara dari
pemilihlah yang akhirnya dihitung, bukan suara para pimpinan partai politik.
Kepercayaan di antara para pemilih secara kuat ditentukan oleh dua faktor yang
saling berhubungan: masuknya partai politik kepada pemilih; dan upaya-upaya
khusus (seperti pendidikan kewarganegaraan dan hubungan dengan masyarakat Lembaga penyelenggara
sipil). yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk menegaskan pemilu yang mandiri
dan menunjukkan kemandiriannya. Di mana partai politik dan masyarakat sipil secara politik
terorganisir dan mampu mempengaruhi sebagian besar pemilih, kepercayaan elit seharusnya tidak
terhadap lembaga penyelenggara pemilu dapat disalurkan melalui struktur ini. diasingkan dari
Ketika partai dan asosiasi lemah, atau banyak pemilih tidak berpartisipasi dalam partai politik, namun
politik melalui saluran-saluran yang terstruktur, upaya-upaya yang dilakukan lebih dipisahkan
oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk menegaskan kemandiriannya dengan dari kepentingan-
demikian menjadi lebih penting. kepentingan yang
partisan.
Dalam menentukan kembali dirinya sebagai suatu entitas yang mandiri
secara politik, suatu lembaga penyelenggara pemilu harus memiliki kapasitas
penjangkauan yang kuat. Studi kasus di Ghana memberikan ilustrasi yang jelas
mengenai upaya-upaya dan manfaat kegiatan Komisi Pemilihan Umum untuk
membentuk Komite Penasihat Antar-Partai (Inter-Party Advisory Committee)
sebagai suatu forum konsultasi dan interaksi dengan partai politik.
Forum ini secara langsung mengikutsertakan partai politik dan mengirimkan
sinyal yang jelas kepada pemilih, baik yang memiliki afiliasi politik maupun tidak,
bahwa otoritas kepemiluan bertindak dengan cara yang berbeda dari pengaturan
sebelumnya. Terlibat dengan para aktor politik dalam suatu cara yang transparan
merupakan upaya membangun kepercayaan yang penting, dan menekankan
bahwa lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri secara politik seharusnya
tidak diasingkan dari partai politik, namun lebih dipisahkan dari kepentingan-
kepentingan yang partisan. Tindakan Komisi Pemilihan Umum Ghana yang
secara langsung menanggapi kritik dari pemilu sebelumnya mendukung suatu
strategi yang efektif –menentukan dirinya dengan mengakui pola-pola kecurangan
lama yang faktual maupun yang dianggap dapat memecahkan masalah tersebut
dengan cara-cara yang seakan-akan terlihat konsultatif.
Selama proses pemilu dilaksanakan, publik memiliki dua kesempatan besar
untuk terlibat langsung tanpa perantara dengan otoritas kepemiluan –
pendaftaran pemilih dan pemungutan suara aktual. Upaya yang dilakukan oleh
lembaga penyelenggara pemilu di masing-masing ketiga studi kasus menekankan
21
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
pentingnya mengatasi kekurangan baik yang riil maupun yang dirasakan dalam
daftar pemilih, yang seringkali menjadi alat manipulasi oleh rezim otoritarian.
Upaya yang sangat nyata oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk mengatasi
kekurangan dalam daftar pemilih tidak hanya menjadi persyaratan teknis bagi
pemilu yang kredibel namun juga peluang yang berharga bagi keterlibatan
langsung dengan para pemilih. Peluang ini dapat digunakan untuk menentukan
citra dan pandangan lembaga penyelenggara pemilu dengan memberikan
kesempatan kepada warga negara untuk membuat penilaian mereka sendiri
mengenai transparansi, profesionalisme, kompetensi dan kemandirian politik
lembaga penyelenggara pemilu. Bahkan sekalipun waktunya yang terbatas –
biasanya terjadi pada masa transisi – pelaksanaan pemutakhiran data pemilih
sepenuhnya ataupun sebagian dapat menjadi alat yang penting untuk membangun
kepercayaan.
Pengembangan suatu strategi komunikasi dapat membantu memelihara
kepercayaan pemilih. Yang penting, strategi ini mencakup yang tradisional
maupun sosial media yang baru. Lembaga penyelenggara pemilu harus sangat
memperhatikan dan belajar menggunakan secara efektif saluran-saluran media
sosial, yang baru-baru ini memainkan peranan penting dalam memobilisasi
protes terhadap rezim otoritarian di sejumlah negara termasuk Mesir dan Tunisia.
Lembaga-Lembaga Lain
Konsolidasi lembaga-lembaga kepemiluan cenderung memparalelkan
perkembangan kinerja lembaga kunci demokrasi lainnya. Mengembangkan
kualitas pemilu di negara demokrasi baru memerlukan generasi ‘lingkaran suci’
melintasi lembaga-lembaga negara, pelaku masyarakat sipil, aturan hukum
dan penerimaan aturan main oleh partai politik (Hartlyn et al. 2008: 93).
Transformasi demokratis sebuah lembaga penyelenggara pemilu dapat ditegakkan
atau diperlemah oleh perilaku lembaga lainnya.
Sebagai sebuah lembaga dengan akuntabilitas horizontal (O’Donnell 1994),
lembaga penyelenggara pemilu dapat didorong dengan pertunjukan kemandirian
lembaga-lembaga sejenis seperti mahkamah konstitusi, ombudsmen dan bank
central. Sebagai contoh, putusan-putusan Peradilan Konstitusi di Chili memiliki
implikasi penting bagi referendum 1988 termasuk pembentukan kembali otoritas
pengawasan dari lembaga pemilu konstitusional yang terbengkalai hingga kini
(Tribunal Calificador de Elecciones or Electoral Court, TRICEL).
Studi-studi kasus yang menggambarkan bahwa, karena peran angkatan bersenjata
adalah integral dalam suatu rezim otoriarian, posisi mereka dalam masa transisi,
termasuk berhadap-hadapan dengan proses pemilu di masa depan, adalah
penting baik bagi tingkat elit maupun bawah. Terdapat indikasi bahwa angkatan
bersenjata, atau unsur kunci dalam angkatan ini secara diam-diam mendukung
masa transisi di ketiga studi kasus, dengan menarik diri dari arena politik. Sebuah
22
International IDEA
unsur penting penarikan ini dalam kasus Indonesia dengan maksud bahwa para
pemimpin militer senior bebas untuk berkompetisi dalam pemilu yang akan
datang. Dalam rangka menghindari malapetaka terhadap prospek pemilu oleh
para anggotanya, angkatan bersenjata memiliki insentif untuk mendukung
pemilu yang adil yang diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum yang
imparsial dan mandiri.
Lembaga lain yang sangat penting adalah media dan masyarakat sipil. Media yang
bebas dan mandiri merupakan saluran penting untuk lembaga penyelenggara Upaya yang sangat
pemilu berkomunikasi dengan pemilih dan para aktor politik. Media sosial juga nyata oleh lembaga
telah menjadi penyebar informasi yang berpengaruh. Lembaga penyelenggara penyelenggara pemilu
pemilu dapat memanfaatkan seluruh media ini untuk menjangkau publik melalui untuk mengatasi
kampanye pendidikan kewarganegaraan dan pemilih. Lembaga penyelenggara kekurangan dalam
pemilu juga harus memiliki kapasitas untuk bereaksi terhadap kritik dan daftar pemilih tidak
tantangan terhadap kemandiriannya setiap saat.
hanya merupakan
persyaratan teknis bagi
Dialog dengan organisasi masyarakat sipil merupakan jalan lainnya untuk pemilu yang kredibel,
berkomunikasi dengan pemilih. Beberapa lembaga penyelenggara pemilu namun juga peluang
menyelenggarakan rapat rutin dengan organisasi masyarakat sipil sebagai suatu yang berharga bagi
platform untuk membangun kepercayaan dan meningkatkan transparansi. keterlibatan langsung
Organisasi masyarakat sipil dapat membantu lembaga penyelenggara pemilu dengan para pemilih.
dalam kampanye pendidikan pemilih. Banyak juga yang menyebarkan pemantau
domestik untuk mengamati proses pemilu dan memberikan pendapat mengenai
kualitas dan kredibilitasnya.
23
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
24
International IDEA
S
tudi kasus berikut memberikan suatu gambaran sejarah, sinopsis transisi
rezim dan lembaga penyelenggara pemilu juga analisis setiap kasus. Dampak
transisi rezim dan pemilu yang kredibel di bidang lain dalam setiap studi
digambarkan dalam potret statistik yang mengikut dalam lampiran, di mana
perubahan dalam karakteristik politik di negara-negara studi kasus dapat dengan
jelas dihubungkan dengan konsolidasi pemilu yang progresif.
INDONESIA
Ikhtisar Sejarah
Setelah memperoleh kemerdekaan pada akhir Perang Dunia II Indonesia
mengalami periode penguasa otoriter yang diperpanjang di bawah kepresidenan
yang berturut-turut Sukarno (1945-67) dan Suharto (1967–98). Konstitusi
Indonesia merdeka yang pertama, dirancang di masa Sukarno dan disahkan
pada tahun 1945, mengabadikan lima prinsip pancasila, yang singkatnya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa; humanitarianisme; nasionalisme yang dinyatakan
dalam persatuan Indonesia; demokrasi konsultatif; dan keadilan sosial. Prinsip
ini menentukan suatu budaya politik Indonesia sebagai suatu dasar bagi bangsa
yang baru merdeka, namun di masa Sukarno, ‘demokrasi konsultatif ’ Pancasila
dipandang pembangkangan politik dan sosial sebagai perilaku menyimpang.
Selama 32 tahun masa kekuasaannya, Presiden Suharto melandaskan dasar
Pancasila untuk menciptakan ‘Orde Baru’, membentuk pemerintahan yang
sangat terpusat dan didominasi militer. Periode ini dicirikan oleh pertumbuhan
ekonomi yang signifikan dan industrialisasi (Miguel et al. 2005), namun juga
oleh korupsi dan tekanan terhadap oposisi politik, yang dipandang sebagai
pengganggu terhadap kesatuan dan stabilitas Indonesia. Keanggotaan Golkar
(tangan politik elit penguasa dan digambarkan sendiri sebagai ‘kelompok
fungsional’ dan bukan partai politik) adalah wajib bagi pegawai negeri sipil,
untuk memastikan kekuasaan Golkar. Pemilu yang berhasil dimenangkan dan
di sapu bersih oleh Golkar tahun 1971 berakibat pada sejumlah partai politik
oposisi ‘disederhanakan’ oleh kesepakatan pada tahun 1973. Hal ini diresmikan
dalam Undang-Undang Partai Politik 1975 yang memaksa partai-partai menjadi
koalisi. Partai-partai Muslim yang utama disatukan menjadi satu kedalam Partai
Persatuan Pembangunan, PPP, sedangkan partai-partai Kristen dan sekular
menjadi Partai Demokrasi Indonesia, PDI. Golkar (misi yang dinyatakan adalah
‘terlibat dalam politik untuk menekan politik’), PPP dan PDI dinyatakan sebagai
‘tiga pilar’ demokrasi Pancasila.
Sebagai peserta pemilu yang legal, PPP, PDI dan Golkar ditempatkan di bawah
otoritas Kementerian Dalam Negeri, sementara bentuk kegiatan politik lainnya
dinyatakan illegal. Pemilu diselenggarakan sebagai ‘pesta demokrasi’ setiap
25
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Masa Transisi
Dampak yang parah dari krisis finansial Asia 1997 terhadap perekonomian
Indonesia mengakibatkan pengunduran diri Suharto pada Mei 1998, di tengah
tekanan publik yang kuat dan terkait kerusuhan sipil, meskipun beliau baru terpilih
kembali dua bulan sebelumnya. Kekuasaan dialihkan kepada Wakil Presiden
Habibie pada bulan yang sama dan pemilu legislatif baru dijadwalkan pada bulan
Juni 1999. Pemilu diselenggarakan untuk menentukan 462 perwakilan terpilih
dari 500 kursi Dewan Perwakilan Rakyat, DPR. Sisa 38 kursi dicadangkan untuk
militer dan polisi yang diangkat secara langsung oleh presiden. Pemilu untuk
dewan perwakilan rakyat provinsi dan kabupaten/kota juga dijadwalkan, dari
135 perwakilan, 65 perwakilan berasal dari kalangan fungsional (berdasarkan
konstituensi pekerjaan, etnis, agama dan identitas gender) yang secara kolektif
membentuk 700 kursi Majelis Permusyawaratan Rakyat, MPR. Undang-Undang
Politik dan Pemilu yang diubah secara cepat dirancang dan diberlakukan pada
Januari 1999 untuk memberikan kerangka kerja bagi penyelenggaraan pemilu.
Perubahan dalam undang-undang pemilu berakibat pada kemunculan 150
partai politik. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan setelah tahun 1967
yang telah melarang anggota Partai Komunis Indonesia memberikan suara
dalam pemilu diangkat dalam rangka memenuhi persyaratan hak pilih universal.
Berdasarkan aturan-aturan yang disusun untuk pemilu 1999, 48 partai dianggap
memenuhi syarat untuk berkompetisi. Perubahan-perubahan juga diberlakukan
pada aturan-aturan pegawai negeri sipil, dengan menghapus ketatnya dukungan
wajib bagi Golkar dan mengharuskan netralitas politik dalam melaksanakan
tugas pegawai negeri sipil yang profesional. Ketentuan-ketentuan yang mengatur
‘politik uang’, yang menjadi perhatian terus menerus bahkan pada rezim Orde
Baru, juga diperkenalkan, membatasi sumbangan perseorangan dan badan
usaha dan mengharuskan partai untuk menyampaikan laporan Keuangan, baik
sebelum maupun setelah pemilu.
Untuk menyelenggarakan pemilu 1999 Komisi Pemilihan Umum, KPU
dibentuk pada 10 Maret 1999. Hal ini dimaksudkan ‘untuk menunjukkan
suatu pelepasan dari sistem pemilu lama yang telah memanipulasi proses pemilu
dan memungkinkan kecurangan pemilu secara masif di masa lalu’ (Balais-
Serrano dan Ito 1999: 10). KPU yang baru dibentuk terdiri dari perwakilan 48
parpol peserta pemilu dan lima pejabat yang diangkat oleh pemerintah (juga
terdapat upaya yang intens untuk memasukan perwakilan militer tetapi tidak
berhasil). Mungkin karena digambarkan sebagai komisi multipartai-pemerintah,
prosedurnya memberikan bobot pada suara anggotanya. Setiap perwakilan partai
memiliki satu suara (jumlahnya 48) sementara suara setiap pejabat yang diangkat
26
International IDEA
27
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
28
International IDEA
Analisis
Masa transisi Indonesia dari suatu rezim otoritarian ke demokrasi kepemiluan
merupakan titik puncak dari banyak faktor, yang memberikan konteks pada
penerimaan lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri secara politik. Krisis
finansial yang mendorong pengunduran diri Suharto pada tahun 1998 sebagian
digerakkan oleh kelas menengah baru yang muncul dan telah berkembang berkat
kemakmuran ekonomi yang dicapai di bawah pemerintahan Orde Baru. Trauma
krisis finansial Asia secara efektif meluruhkan perjanjian yang tersirat bahwa
standar kehidupan akan ditingkatkan dan stabilitas terjamin sebagai pengganti
kemenangan Golkar.
Transisi otoritas kepemiluan dari lembaga pemerintahan yang dikendalikan
dengan ketat menjadi lembaga campuran partai-pemerintah kemudian menjadi
model yang mandiri secara politik merupakan suatu kepentingan khusus. Masa
transisi terjadi di tengah ledakan jumlah partai politik, yang telah haus akan
kesempatan mengungkapkan pandangan mereka di bawah pemerintahan Orde
Baru. Lembaga yang semula partisan dapat dikatakan penting dalam rangka
mencapai konsensus dan mengurangi ketidakpercayaan pada suatu masa ketika
Golkar masih bercokol dalam pelayanan sipil. Akan tetapi, banyaknya jumlah
perwakilan partai di komisi, ditambah dengan jadwal yang mendesak untuk
menyelenggarakan pemilu transisi, mengungkapkan adanya kebutuhan agar
KPU dapat memberlakukan proses pengambilan keputusan yang efektif agar
memenuhi persyaratan dalam proses pemilu.
29
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Pertukaran antara pengambilan keputusan yang efisien dan tepat waktu dan
keterwakilan yang inklusif merupakan masalah yang biasa bagi lembaga
penyelenggara pemilu multipartai. Terhadap kondisi sosial dan politik pada saat
masa transisi Indonesia pada tahun 1999, inklusivitas dapat dikatakan jauh lebih
baik daripada efisiensi. Akan tetapi, fenomena anggota KPU yang berkampanye
untuk pemilu pada saat yang sama dengan tanggung jawab mereka untuk
menyelenggarakan pemilu, dan hancurnya kesatuan dalam lingkungan pasca-
pemilu, memberikan alasan diterimanya model lembaga penyelenggara pemilu
yang lebih profesional dan mandiri dibandingkan dengan lembaga campuran
yang berasal dari partai politik.
Meskipun mengalami tekanan atas kegiatan politik yang lama, Golkar, PPP
dan PDI dengan cepat menyesuaikan diri untuk memenuhi tuntutan kompetisi
politik, dan menjadi partai-partai kuat pada pemilu transisi 1999. Demikian pula,
ledakan partai-partai yang lebih kecil yang muncul dari berbagai perkumpulan
dan kecepatan mereka termobilisasi secara politik menunjukkan bahwa, sekalipun
mengalami bertahun-tahun ketidakaktifan politik, keterampilan politik yang
dapat dialihkan telah siap tersedia untuk mendukung suatu kompetisi yang
pluralistik. Partisipasi yang terorganisir dengan cepat digerakkan baik oleh partai
yang baru muncul maupun yang telah mapan, dan partisipasi mereka dalam
KPU yang terdiri dari perwakilan partai, mencontohkan pandangan bahwa partai
politik merupakan prasyarat penting untuk menimbulkan kepercayaan dalam
lembaga penyelenggara pemilu. Bahwa kepercayaan ini hancur setelah pemilu
– karena tekanan-tekanan antar partai atas hasil pemilu – sama-sama membuka
jalan bagi publik menerima gagasan model penyelenggara pemilu yang mandiri.
Sangat penting bagi proses Pemilu 1999 dan perubahan konstitusi selanjutnya
adalah munculnya tokoh-tokoh kunci. Untuk pemilu pada masa transisi,
pengalaman sebelumnya Ketua KPU Rudini pada pemilu 1992 dan penerimaan
yang luas yang dinikmatinya di antara para pemangku kepentingan politik adalah
penting bagi keberhasilan pemilu 1999, sekalipun terjadi kekacauan pasca-
pemilu atas hasilnya. Pengaruh Jakob Tobing, sebagian karena pengalamannya
sebagai Ketua PPI pada tahun 1999 dan kepemimpinan selanjutnya pada
Panitia Konstitusi PAH I, tampaknya telah menentukan dalam mengamankan
pengaturan bagi lembaga penyelenggara pemilu mandiri yang muncul tahun
2003. Demikian pula, keikutsertaan empat dari sembilan anggota KPU di masa
depan dalam pengembangan Undang-Undang Pemilu 2002 memungkinkan
pengenalan yang akrab tidak hanya dengan bahasa undang-undang yang baru,
namun dengan semangat konsensus yang mendukung ketentuan-ketentuan yang
diberlakukan.7
Sikap yang diterima oleh militer Indonesia juga merupakan kunci penentu dalam
masa transisi ini, konsolidasi selanjutnya dan proses pemilu. Penarikan angkatan
bersenjata dari arena politik tidak dapat dipaksakan. Akan tetapi, terdapat suatu
tradisi konstitusionalisme dan komitmen yang kuat terhadap stabilitas dan
7 Ibid.
30
International IDEA
kesatuan dalam negeri. Pelepasan awal militer tidak terjadi tanpa kesukaran
ketika ia berupaya memiliki perwakilan dalam KPU masa peralihan. Namun
‘untuk kekuatan’ selanjutnya dalam mendukung pemakzulan Presiden Wahid
dan penerimaan selanjutnya atas hilangnya kursi di Majelis, mencerminkan
suatu kehendak untuk menyerahkan peran formalnya dalam dewan-dewan
pemerintahan Indonesia dan untuk menarik diri dari ranah politik.
Juga layak dicatat dalam masa transisi adalah fenomena khusus Indonesia
bahwa pejabat militer senior, yang telah pensiun dari angkatan bersenjata, dapat
berkompetisi dengan sukses dalam pemilu. Dengan jalan yang jelas terbuka
bagi mereka, terdapat insentif yang berkurang untuk ikut campur dalam proses
pemilu. Seandainya angkatan bersenjata dianggap telah mencampuri urusan
politik melalui saluran ini, mereka akan menghancurkan prospek kepemiluan
anggotanya di masa depan. Oleh karena itu, angkatan bersenjata memiliki suatu
insentif untuk mendukung pemilu yang adil yang diselenggarakan oleh sebuah
komisi pemilihan umum yang imparsial dan mandiri.
GHANA
Ikhtisar Sejarah
Ghana mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1957 melalui proses transisi
yang ditentukan oleh peristiwa pemilu. Setelah pemilihan umum pada tahun 1951
dan 1954, dan di tengah aktivisme sipil dan politik yang terpadu, Pemerintah
Inggris menyetujui tanggal yang pasti untuk kemerdekaan jika jumlah mayoritas
yang cukup untuk mendukung kemerdekaan terpilih dalam pemilu Legislatif
pada tahun 1956. Pendukung utama kemerdekaan, Partai Konvensi Rakyat
(the Convention People’s Party/CPP), memenangkan 71 dari 104 kursi. Inggris
menghormati perjanjiannya dan Ghana menjadi negara yang merdeka pada
tahun berikutnya. Pada tahun 1960, konstitusi yang baru mengubah Ghana dari
sistem parlementer menjadi sistem republik yang dipimpin oleh presiden yang
berkuasa. Akan tetapi, referendum konstitusi pada tahun 1964, menyebabkan
negara tersebut menjadi negara satu partai. Pada bulan Februari 1966, rezim
itu digulingkan dalam suatu kudeta. Periode selanjutnya dicirikan oleh hasil
pemungutan suara yang bergantian pada penguasaan sipil dan kudeta berikutnya.
Terlepas dari peristiwa ini, sistem kepartaian dan tradisi kompetisi pemilu
bertahan: ‘pemilu dan partai politik yang didirikan adalah sebanyak warisan
Ghana sekarang ini sebagai kudeta militer’ (Lyons 1999: 159). Ghana juga
memiliki sejarah penyelenggara pemilu yang mandiri. Tak lama sebelum
kemerdekaan, tanggung jawab untuk mengelola pemilu dialihkan dari
Kementerian Pemerintahan Daerah kepada suatu entitas mandiri yang diawasi
oleh seorang komisioner pemilu. Pemilu yang diselenggarakan oleh seorang
31
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
komisioner ini dipandang kredibel. Oleh karena itu, terdapat suatu tradisi yang
mapan secara historis mengenai lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri
dan harapan pemilih mengenai pemilu yang jujur (Debrah et al. 2010: 1).
Pada tahun 1981, J.J. Rawlings berkuasa di Ghana melalui kudeta lainnya.
Yang kemudian diikuti dengan periode represif. Para aktivis diculik atau hilang
dan negara mengalami ‘budaya diam’ untuk sementara yang sepanjang waktu
itu hanya ada sedikit kritikan terhadap kebijakan atau tindakan pemerintah.
Akan tetapi, Rawlings sendiri menggagas pengenduran sistem politik pada akhir
1980-an. Karena menghadapi tekanan di dalam negeri dari masyarakat sipil
dan tuntutan internasional untuk liberalisasi politik dalam rangka menjamin
pendanaan, Rawlings setuju untuk memulai suatu proses reformasi politik. Pada
tahun 1988 ia menyusun sebuah program yang akan mengembalikan negara pada
aturan konstitusi,yang tunduk pada konstitusi baru, pemilu dan pembentukan
Republik Keempat.
Masa Transisi
Sebagai langkah pertama dalam masa transisi, sebuah referendum konstitusional
diselenggarakan oleh Interim National Electoral Commission (INEC). Karena
sidang dilakukan secara tergesa-gesa, INEC pada umumnya kekurangan
kepercayaan baik dari oposisi politik maupun masyarakat sipil. Konstitusi yang
baru membentuk lembaga penyelenggara pemilu yang mandiri secara formal,
yaitu Electoral Commission (EC). Berdasarkan rencana masa peralihan, EC
dimandatkan untuk menyelenggarakan pemilu presiden dan parlemen pada
bulan November dan Desember 1992.
Para komisioner EC dicalonkan oleh presiden dan disetujui oleh Dewan Negara
(Council of State). Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berhubungan,
para komisioner tersebut tidak dapat diganti kecuali atas dasar sakit jiwa atau
ketidakmampuan, yang harus dinyatakan oleh seorang dokter profesional.
Sekali diangkat, para komisioner menjabat sampai usia 70 tahun, berdasarkan
syarat yang sama dengan hakim Pengadilan Tinggi. EC diberikan kewenangan
untuk menangani pengaduan-pengaduan yang timbul dari pendaftaran dan
pemungutan suara, sementara seluruh sengketa pasca-pemilu yang berkenaan
dengan hasil ditangani oleh peradilan. Kewenangan kunci EC lainnya adalah
kewenangan untuk membuat sendiri peraturannya yang berhubungan dengan
proses pemilu, yang menjadikannya memiliki otonomi konstitusional dan
operasional yang signifikan. (International IDEA 2006: 62; Debrah et al. 2010:
11–12).
EC sepertinya dapat menikmati kekuasaan ini, namun waktu yang tersedia
untuk mempersiapkan pemilu presiden pada November 1992 tidak lebih dari
enam bulan. Seperti yang ditunjukkan oleh Lyons, ‘Sebagaimana diakui oleh
banyak pemantau, arena pertandingan jauh dari standar. Pemilu presiden itu
dirusak oleh daftar pemilih yang disusun terburu-buru dan jelas membengkak,
32
International IDEA
komisi pemilihan yang ditunjuk oleh Rawlings dianggap oleh oposisi sebagai
partisan, dan proses pemilu terbuka untuk dimanipulasi’ (Lyons 1999: 162). Di
lain pihak, sejumlah laporan pemantau setelah pemilu, termasuk yang berasal
dari Sekretariat Persemakmuran dan Carter Center, menyimpulkan bahwa
undang-undang ini mungkin tidak berpengaruh besar kepada hasil (Lyons 1999:
162). Rawlings memiliki dukungan pedesaan yang signifikan dan mungkin saja
memenangkan pemilu secara jujur.
Pandangan bahwa referendum telah dicurangi oleh INEC dan kurangnya
kepercayaan kepada EC selama pemilu presiden menjadikan oposisi memboikot
pemilu parlemen 1992.
Mereka menyusun suatu daftar panjang pengaduan pemilu dalam sebuah
dokumen yang disebarkan secara luas, “Putusan yang Tercuri” (The Stolen
Verdict). EC memperhatikan pengaduan-pengaduan ini dengan serius dalam
persiapan Pemilu 1996. Selama periode 1992-1996, lembaga lainnya, seperti
Mahkamah Agung, juga “menunjukkan kemandirian yang bertambah dari partai
yang berkuasa” (Lyons 1999: 163).
Yang paling penting, EC mengambil dua langkah untuk menegaskan kredibilitas
dan imparsialitasnya selama periode ini. Pertama, EC membentuk Komite
Penasihat Antar Partai (Inter-Party Advisory Committee/IPAC) pada 1994, dua
tahun sebelum pemilu berikutnya diselenggarakan. IPAC dibentuk atas inisiatif
EC sendiri berdasarkan penilaiannya terhadap ketidakpercayaan oposisi. Hal ini
sebagian dikompensasi pada kenyataan bahwa para komisioner pemilu masih
mereka yang diangkat oleh Rawlings. IPAC dirancang untuk membangun
kepercayaan dalam proses pemilu dengan melibatkan patai dalam pembicaran
mengenai prosedur pemilu, dan di dalamnya EC menunjukkan suatu tingkat
kehati-hatian yang tinggi. ‘Sekalipun beberapa tuntutan dalam The Stolen Verdict
kekurangan kredibilitas, Komisi Pemilihan Umum memberlakukan mereka
semua dengan serius dan melakukan berbagai upaya untuk meyakinkan kembali
oposisi bahwa setiap usaha melakukan kecurangan pada hari pemungutan suara
akan dapat terdeteksi (Lyons 1999: 163-4).
Langkah kedua yang penting adalah sepenuhnya memperbaiki daftar pemilih.
Daftar yang baru disiapkan di bawah pengawasan informal IPAC. Jaminan yang
baru meliputi kenyataan bahwa pemilih didaftarkan pada tempat di mana mereka
akan memberikan suara, proses diawasi oleh perwakilan partai politik, dan
daftar pemilih sementara diumumkan agar memungkinkan pemilih memeriksa
dan mengoreksinya (berakibat pada partisipasi 73% pemilih). Daftar diberikan
kepada partai politik dan kartu identitas berfoto diterbitkan untuk para pemilih.
Akibatnya, ‘pada saat hari pemungutan suara, oposisi pada umumnya menerima
akurasi daftar pemilih, menghilangkan kontroversi besar yang telah merusak
legitimasi pemilu 1992’ (Lyons 1999: 164).
Sejumlah kemajuan teknis, seperti penggunaan kotak suara transparan, layar
penghitungan suara dan tinta yang sukar dihapus juga dikenalkan untuk
Pemilu 1996 (Debrah et al. 2010: 16). Komunitas internasional menyediakan
33
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
banyak dana yang diperlukan untuk pengembangan ini demikian juga tekanan
diplomatic yang bijak untuk meyakinkan partai-partai skeptis yang berada di
IPAC (Debrah et al. 2010: 13, Lyons 1999: 164).
Sebagai akibatnya, oposisi mengakhiri boikotnya dan menerima hasil pemilu
1996, meskipun kembali dimenangkan oleh Rawlings. Pada pemilu 2000, yang
diselenggarakan oleh EC yang saat itu telah mendapatkan kredibilitas yang
signifikan, sebagai partai berkuasa dikalahkan dan menerima kekalahan itu.
Analisis
EC Ghana membangun kemandiriannya dalam periode waktu yang relatif
pendek. Konstitusi 1992 telah memberikan persyaratan formal mengenai
otonomi dan kemandirian. Jadwal dan kondisi-kondisi yang dihadapi dengan
tenggat pemilu Presiden November 1992 menyebabkan kecilnya peluang
untuk mengembangkan karakter dan proses operasionalnya sendiri atau untuk
menentang pandangan bahwa ia tidak kredibel. Kritik terhadap pemilu presiden
dan boikot oposisi dalam pemilu parlemen menunjukkan lemahnya dasar
kemandirian politiknya, namun tindakan yang diambil EC untuk memperkuat
dasar ini setelah pemilu 1992 dilakukan secara saksama dan fokus. Salah satu faktor
yang paling penting adalah penentuan sikapnya sendiri yang dinyatakan melalui
keputusan-keputusan berani yang diambil untuk menegaskan kemandiriannya
dengan dukungan partai politik, masyarakat sipil, hingga dalam batasan tertentu
seperti komunitas internasional. EC menggunakan seluruh kewenangan yang
diberikan kepadanya untuk menunjukkan kemandirian politiknya. Pelaksanaan
kewenangan ini memungkinkannya membentuk IPAC, juga aturan-aturan
khusus yang mengatur proses pendaftaran pemilih pada tahun 1995. Adanya
penggunaan kewenangan ‘menggerakkan mesin untuk penyelenggaraan pemilu
yang kredibel’ (Debrah et al. 2010: 11–12).
Tekad suatu lembaga penyelenggara pemilu untuk menggunakan kewenangannya
dengan cara yang mungkin menyebabkan penolakan oleh kekuasaan petahana
memerlukan derajat kepemimpinan yang luar biasa, bahkan kadang-kadang
keberanian pribadi. Dalam banyak hal, kepemimpinan ini merupakan bahan
dasar bagi ‘kemandirian yang tak gentar’ sebagaimana diharapkan dari lembaga
penyelenggara pemilu yang independen. Dalam kasus Ghana, tindakan khusus
komisioner memainkan peranan penting: ‘Kwadwo Afari-Gyan, ketua Electoral
Commission, dengan cakap menenangkan ketakutan partai politik dan aktivis
terkait dengan prosedur pemilu’ (Lyons 1999: 163).
IPAC melaksanakan tiga fungsi penting dalam masa transisi EC: pembangunan
kepercayaan dan konsensus dengan elit politik; pengembangan teknis dalam
administrasi pemilu; dan menyebarkan pesan bahwa EC bertekad dalam
membangun kredibilitas dan kemandiriannya. IPAC mampu mencapai ketiganya
karena sistem multipartai Ghana yang ada merupakan vektor yang efektif untuk
mengkomunikasikan kepercayaan berkenaan dengan ketulusan EC. Sebagaimana
34
International IDEA
dicatat oleh beberapa pemantau, ‘sistem politik yang muncul pasca-1992 secara
luas dipandang cocok bagi penyelenggaraan pemilu yang kredibel karena para
elit memiliki konsensus mengenai sistem demokratis dan mendukung pemilu
dan politik multipartai’ (Debrah et al 2010: 2).
IPAC juga menjadi sebuah forum yang di dalamnya pengaduan pemilu dapat
disampaikan, menyediakan saluran yang menghalangi pengaduan-pengaduan
yang sembarangan, sementara pada saat yang sama menegakkan kepercayaan.
Hal ini mendukung dua tujuan kunci. Pertama, EC tidak mengisolasi diri dari
partai politik, namun disekat dari setiap tekanan dominan. Kedua, ketika tidak
ada persyaratan formal untuk menjadi forum konsultatif, EC menunjukkan
komitmen yang jelas untuk menjadikan pengambilan keputusannya transparan
dan inklusif.
Sementara IPAC menyediakan suatu cara memelihara dan mendalami konsensus
elite, pendaftaran pemilih baik dalam keperluan teknis maupun pelaksanaan
hubungan publik bagi pemilih yang lebih luas. Beroperasi bersama, mereka
membentuk lingkaran suci yang memberikan EC akses kepada pemilih di dua
tingkat: melalui saluran yang dibangun dari partai yang ada (melalui IPAC); dan
dengan pengalaman langsung melalui partisipasi dalam pelaksanaan pendaftaran
pemilih 1995. Upaya EC untuk memperbaiki daftar pemilih memungkinkan
adanya hubungan langsung dengan para pemilih. Angka partisipasi yang tinggi
(73 persen) dalam proses pertunjukan dan sengketa berpengaruh hingga tingkat
pendidikan dan keterlibatan pemilih. Dampak pertunjukan seperti ini mungkin
menjadi sumber kebangkitan kembali kepentingan masyarakat sipil dalam
pemilu. Pada tahun 1992, misalnya, terdapat 200 pemantau lokal; pada tahun
1996 menjadi 4,200 (Gyimah- Boadi 1999: 173).
Pembagian tanggung jawab antara EC dan badan peradilan terhadap pengaduan
dan tuntutan pemilu memiliki pengaruh langsung terhadap sifat dan jenis
tekanan yang dikenakan kepada lembaga penyelenggara pemilu. Sebuah lembaga
penyelenggara pemilu dengan kewenangan yang mencakup seluruhnya untuk
memutuskan pengaduan-pengaduan pemilu memiliki derajat kontrol yang
tinggi, namun pengaturan seperti itu juga menempatkan institusi ini pada
tekanan politik tingkat tinggi. Membagi tanggung jawab dengan lembaga
peradilan melepaskan sebagian tekanan lembaga penyelenggara pemilu, namun
menjadikan salah satu komponen yang sangat penting dari proses pemilu tunduk
pada pengaruh lembaga lainnya. Di Ghana, EC telah membangun suatu reputasi
yang efisien dan kredibel tetapi proses peradilannya dipandang ‘bertele-tele dan
lamban’ (Debrah et al. 2010: 6). Terlepas dari kritik-kritik ini, pengaturan ini
nampaknya telah menguntungkan EC, dengan menyediakan suatu jalan keluar
bagi beberapa tekanan yang mungkin meningkat. Selain itu, upaya efektif EC
untuk mengelola citra kelembagaannya sendiri telah meyakinkan bahwa pemilih
telah dengan benar menetapkan tanggung jawab bagi keputusan-keputusan yang
penting.
35
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
CHILI
Ikhtisar Sejarah
Pada tahun 1973, sebuah kudeta yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet
dan pimpinan Angkatan Bersenjata Chili lainnya memecat presiden terpilih,
Salvador Allende. Pada tahun 1978 rezim militer, yang secara nama dipimpin
oleh Pinochet, menyelenggarakan sebuah referendum untuk melegitimasi
penguasa militer. Pertanyaan yang diajukan kepada pemilih adalah memilih ‘ya’
atau ‘tidak’ terhadap otoritas rezim untuk menciptakan tatanan institusional dan
politik yang baru. Referendum itu didasarkan pada pada pandangan Pinochet
bahwa perlu menentukan kembali legitimasinya melalui kotak suara daripada
hanya bergantung pada persetujuan junta militer yang telah digunakannya
untuk merebut kekuasaan (Drake dan Jaksić 1991: 38). Hal ini juga merupakan
sebuah taktik dalam perjuangan kekuasaan internal dalam rezim militer. Jabatan
presiden seharusnya berputar di antara kementerian, namun angkatan bersenjata,
dan dalam hal ini Pinochet, berupaya untuk mempertahankannya.
Referendum 1978 menghasilkan 75% suara ‘ya’, yang mengkonsolidasikan
kedudukan Pinochet. Akan tetapi, hal itu sangat dikendalikan, dengan
pembatasan-pembatasan yang ketat yang dikenakan terhadap kampanye oposisi.
“Kejujuran dalam proses pemilu sukar dinilai, meskipun tampaknya tidak ada
kecurangan yang masif. Namun tidak ada daftar pemilih dan surat suara dihitung
oleh pejabat-pejabat pemerintah, sehingga potensi untuk memanipulasi hasil
adalah besar (Drake dan Jaksić 1991: 54).
Setelah referendum Pinochet bergerak cepat untuk membentuk ‘tatanan
kelembagaan’ yang baru. Hal ini mengambil bentuk rancangan konstitusi
36
International IDEA
Masa Transisi
Upaya pertama yang diambil oleh rezim untuk membangun legitimasi
referendum 1988 yang tertunda adalah membentuk Peradilan Konstitusi, yang
37
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
38
International IDEA
Analisis
Terdapat beberapa titik balik dalam masa transisi Chili yang berakibat pada suatu
hasil pada tahun 1988 yang banyak dianggap tidak mungkin delapan tahun
sebelumnya. Yang pertama adalah pembentukan Peradilan Konstitusi, yang
kemudian menciptakan sebuah kerangka hukum otonom pembentukan SERVEL
dan pengaktifan kembali TRICEL. Sekali kerangka kerja normatif diberlakukan,
rezim hanya memiliki sedikit pilihan yaitu menghormatinya. Hal ini khususnya
benar mengingat bahwa junta juga mencari legitimasi internasional, dan proses
liberalisasi politik yang diinisiasi diawasi dengan ketat dari luar.
Dalam banyak kasus, rezim memulai liberalisasi dengan harapan bahwa
liberalisasi dapat dikendalikan tanpa kehilangan kekuasaan politik. Perhitungan
ini hampir selalu didasarkan pada pengabaian kekuatan oposisi, atau kemampuan
oposisi yang terpecah untuk bersatu jika hanya untuk mengalahkan partai yang
berkuasa. Dengan kata lain, dalam satu atau lain cara, selalu didasarkan pada
terlalu percaya dirinya partai yang berkuasa atas popularitasnya sendiri.
Di Chili, dikatakan bahwa Pinochet telah ‘membesar-besarkan ketakutan
warga Chili terhadap ancaman komunis, dan meremehkan sisi demokratisnya’
(Constable dan Valenzuela 1991: 310). Partai yang berkuasa meyakini bahwa
masa transisi yang telah diinisiasinya cukup bertahap baginya sehingga dapat
diantisipasi dan bereaksi terhadap tantangan yang menentukan. Seperti dicatat
oleh Barros berkenaan dengan putusan-putusan Peradilan Konstitusi: ‘Para
penguasa ini, bahkan ketika mereka berbalik melawan junta, adalah dapat
dimengerti karena penerapan sistem pemilu sedikit demi sedikit berarti bahwa
pertempuran tidak pernah tampak benar-benar kalah’ (Barros 2001: 21).
Namun akibatnya secara kumulatif adalah untuk membuktikan bahwa junta
39
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
40
International IDEA
Penjangkaran institusional dan kekuatan yang telah ada sebelumnya dari ‘sistem
informal’ negara memungkinkan pengaturan lembaga penyelenggara pemilu
untuk memainkan peranan penting dalam masa transisi politik. Bahwa SERVEL
dan TRICEL memiliki kredibilitas warisan berarti bahwa, sekali mereka
dihidupkan kembali oleh putusan Peradilan Konstitusi, mereka dapat segera
memainkan peran pembangunan kepercayaan, memberikan kepada oposisi
alasan persuasif untuk menjadi peserta pemilu, bahkan pada saat penguasa de
facto mengakui legitimasi konstitusi 1980.
Kasus Chili menyoroti dua hipotesis yang bersaing dalam suatu masa transisi
dari suatu rejim militer, yang juga dapat diterapkan pada lembaga penyelenggara
pemilu transisi. Teori Afred Stepan ‘modus transisi’ menyatakan bahwa
militer yang menegosiasikan pengunduran diri mereka dari politik masih
dapat mengendalikan aturan permainan sedemikian rupa sehingga mereka
mempertahankan hak istimewa mereka bahkan dalam suatu sistem yang
demokratis. Dalam kasus Chili, pemerintah sipil pada awalnya tidak memiliki
kekuasaan untuk mengganti pimpinan militer. Prosedur pemilu untuk Senat
juga memastikan bahwa sejumlah besar kursi masih berada di tangan militer.
Sebuah hipotesis yang bersaing, yaitu ‘dinamika kepemiluan’, membuat klaim
balasan bahwa sekali demokrasi dibangun, partai politik akan memiliki setiap
insentif untuk memperluas pengaruh mereka sendiri dalam rangka memuaskan
para konstituen mereka. Oleh karena itu, mereka akan secara bertahap merebut
kekuasaan dari militer, sekalipun pengaturan pada mulanya dinegosiasikan untuk
melindungi kekuasaan militer. Stanley menulis bahwa agar dampak ‘dinamika
kepemiluan’ terjadi, ‘pencapaian-pencapaian sipil dalam membatasi kekuasaan
militer harus sedemikian rupa disampaikan kepada pemilih’. Dengan kata lain,
hipotesis dinamika kepemiluan tidak berarti ‘jika pemilih tidak menyadari
pencapaian-pencapaian politisi sipil dalam menantang militer’ (Stanley 2001:
72).
Masa transisi di Chili paling menonjol di antara kasus-kasus yang dipelajari
dalam hal terdapat suatu masa transisi politik tanpa suatu transisi lembaga
penyelenggara pemilu yang nyata. Lembaga penyelenggara pemilu di Chili,
Direktorat Pendaftaran Pemilih, secara historis telah dipandang mandiri,
sekalipun merupakan sebuah kantor dalam Kementerian Dalam Negeri. Akan
tetapi, lembaga penyelenggara pemilu menghilang selama tahun-tahun awal
rejim Pinochet. Ia baru dihidupkan kembali dalam upaya Pinochet melegitimasi
kekuasaannya melalui kotak suara pada tahun 1989, yang merupakan sebuah
contoh kesalahan perhitungan rezim mengenai tingkat dukungan pemilih.
Kemandirian dan pencapaian lembaga penyelenggara pemilu (khususnya
sebagai Model Campuran) mencerminkan tradisi ‘sistem informal’ yang kuat
dalam sejarah demokrasi Chili, yang dibangkitkan kembali ketika sistem formal
mendukung dan mengizinkan keberadaan mereka.
41
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Bagan: 1.1
10
8
Tahun
TahunPemilu
Pemilu
Nilai Pemerintah
Nilai Pemerintahan
Hambatan dari
60 Tekanan Eksekutif
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
pemerintah
eksekutif
-24
-42
42
International IDEA
Bagan: 1.2
10
8
Tahun
Tahun Pemilu
Pemilu
Nilai Pemerintah
Nilai Pemerintahan
Hambatan dari
6
pemerintah
Tekanan Eksekutif
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Constraint
-2 eksekutif
-4
Bagan: 1.3
10
8
Tahun
TahunPemilu
Pemilu
Nilai Pemerintah
Nilai Pemerintahan
Hambatan dari
6
pemerintah
Tekanan Eksekutif
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
-2 eksekutif
-4
43
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Korelasi antara (a) peningkatan dalam hak-hak politik dan kebebasan sipil dan
(b) pemilu-pemilu kredibel dapat diperdebatkan dan berkontribusi pada siklus
untuk memperkuat diri. Pemungutan suara merupakan suatu pelaksanaan
hak politik yang besar. Ketika pemilu meningkat dalam kualitas demikian pula
kemampuan untuk melaksanakan hak-hak tersebut. Demikian pula, partai politik
yang memperluas pengaruh mereka dan harus bersaing secara periodic yang memiliki
kepentingan dalam memastikan bahwa kebebasan sipil ditegakkan dan diperluas.
Penguatan hak-hak dan kebebasan ini sebagai akibatnya akan memperkuat ‘sistem
informal’ yang mempengaruhi harapan mengenai kinerja lembaga penyelenggara
pemilu, seperti transparansi, efisiensi dan kemandirian politik. Oleh karena itu,
ketika hak-hak politik dan kebebasan sipil meningkat, mereka secara inheren
meningkatkan kemandirian lembaga penyelenggara pemilu.
Bagan: 2.1
Indonesia: Freedom House
12
10
6
Tahun Pemilu
Tahun Pemilu
Hak-hak Politik
Hak-hak Politik
Kebebasan Sipil
4 KebebasanSipil
0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Bagan: 2.2
10
6 Tahun Pemilu
Gov. Change
Hak-hak Politik
Political Rights
Kebebasan Sipil
Civil Liberties
4
0
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
44
International IDEA
Bagan: 2.3
10
6 Tahun Pemilu
Election Year
Hak-hak Politik
Political Rights
Kebebasan Sipil
Civil Liberties
4
0
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
45
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
46
International IDEA
Bunce, Valerie J. dan Wolchik, Sharon L., ‘Favorable Conditions and Electoral
Revolutions’ (Kondisi yang Menguntungkan dan Revolusi Pemilu), Journal of
Democracy, 7/14 (Oktober 2006)
Carothers, Thomas, ‘The End of the Transition Paradigm’ (Akhir dari Paradigma
Peralihan), Journal of Democracy, 13 (2002)
Caviedes, Cesar, Elections in Chile: The Road Towards Redemocratization [Pemilu di
Chili: Jalan Menuju Demokratisasi Kembali], (Boulder, Colo.: Lynne Rienner,
1991)
Collier, Simon dan Sater, William F., A History of Chile, 1808–1994 [Sejarah
Chili, 1808-1994], (Cambridge: Cambridge University Press, 1996)
Constable, Pamela dan Valenzuela, Arturo, A Nation of Enemies: Chile under
Pinochet [Sebuah Bangsa Musuh: Chili di Bawah Pinochet], (New York: W. W.
Norton, 1991)
Debrah, Emmanuel, Pumpuni, Asante, E. Kojo dan Gyimah-Boadi, Emmanuel,
‘A Study of Ghana’s Electoral Commission’ (Studi Mengenai Komisi Pemilihan
Umum Ghana), CODESRIA Research Reports, Dakar, 2010
Diamond, Larry, Developing Democracy: Towards Consolidation [Membangun
Demokrasi: Menuju Konsolidasi], (Baltimore, Md.: Johns Hopkins University
Press, 1999)
Diamond, Larry, Linz, Juan J. dan Lipset, Seymour Martin (eds), Politics in
Developing Countries: Comparing Experiences with Democracy [Politik di
Negara-Negara Berkembang: Pengalaman dengan Demokrasi], (Boulder, Colo.:
Lynne Rienner, 1995)
Drake, Paul W. dan Jaksić, Iván (ed.), The Struggle for Democracy in Chile,
1982–1990 [Perjuangan Bagi Demokrasi di Chili, 1982-1990], (Lincoln and
London: University of Nebraska Press, 1991)
Dundas, Carl W., Election Management Bodies: Constitutive Instruments [Badan
Penyelenggara Pemilu: Perangkat Konstitusi], (London: Commonwealth
Secretariat, 1999)
Electoral Commission of Ghana, Elections 2004: Ghana’s Parliamentary and
Presidential Election [Pemilu 2004: Pemilu Parlementer dan Presiden Ghana],
(Accra: Friedrich Ebert Stiftung, 2005)
Elklit, Jorgen and Reynolds, Andrew, ‘The Impact of Election Administration on
the Legitimacy of Emerging Democracies: A New Research Agenda’ (Dampak
Penyelenggaraan Pemilu terhadap Legitimasi Negara-Negara Demokrasi Baru:
Sebuah Agenda Penelitian Baru), 96th Annual Meeting, American Political
Science Association (APSA), Washington, DC, 31 August–3 September 2000
Elster, Jon, Ulysses Unbound [Ulysses Tak Terikat] (Cambridge: Cambridge
University Press, 2000)
47
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
48
International IDEA
49
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
Sumber Elektronik
ACE Electoral Knowledge Network, available at <http://www.aceproject.org>
Building Resources in Democracy, Governance and Elections, available at
<http://www.bridge-project.org>
Economist Intelligence Unit, Democracy Index 2010: Democracy in Retreat,
available at <http://graphics.eiu.com/PDF/Democracy_Index_2010_web.
pdf>
Freedom House, Freedom in the World rankings, available at <http://www.
freedomhouse. org/report/freedom-world/freedom-world-2012>
International IDEA, Unified Database: Community-supported democracy and
election data, available at <http://www.idea.int/uid/>
Marshall, M. and Cole, B., State Fragility Index and Matrix 2010 (Polity IV),
Center for Systemic Peace, available at <http://www.systemicpeace.org/
SFImatrix2010c.pdf>
Transparency International, Corruption Perceptions Index 2010, available at
<http://www. transparency.org/policy_research/surveys_indices/cpi/2010>
United Nations, Oice of the High Commissioner for Human Rights, ‘General
Comment No. 25: The Right to Participate in Public Afairs, Voting Rights and
the Right of Equal Access to Public Service’, 7 December 1996, available at
50
International IDEA
<http://www.unhchr.ch/tbs/ doc.nsf/(symbol)/d0b7f023e8d6d9898025651
e004bc0eb?Opendocument>
UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 25: Article
25 (Participation in Public Afairs and the Right to Vote), The Right to Participate
in Public Afairs, Voting Rights and the Right of Equal Access to Public Service,
12 July 1996, CCPR/C/21/Rev.1/Add.7, available at: http://www.unhcr.org/
refworld/ docid/453883fc22.html [accessed 24 May 2012]
United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Online
Statistical Databases, available at <http://unctadstat.unctad.org/ReportFolders/
reportFolders. aspx?sCS_referer=&sCS_ChosenLang=en>
51
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
52
International IDEA
53
Manajemen Kepemiluan Selama Masa Transisi
54
Pengelolaan pemilu selama masa transisi dari rezim
otoritarian ke arah rezim demokrasi dipenuhi dengan tantangan.
Pada saat yang bersamaan, masa transisi memberikan kesempatan
kepada para pengambil keputusan dan penyelenggara pemilu
untuk memperkuat lembaga penyelenggara pemilu sebagai
lembaga yang mandiri, tidak memihak, dapat dipercaya dan
profesional. Menyadari pentingnya pilihan-pilihan kebijakan
yang diambil selama masa transisi demokrasi, makalah ini akan
membahas beberapa isu utama yang harus dipertimbangkan
dan menyarankan beberapa rekomendasi untuk mendukung
para pembuat kebijakan dan praktisi di bidang ini.
Manajemen
Kepemiluan Selama
Masa Transisi
Tantangan dan Peluang
INTERNATIONAL IDEA
PolicyPaper
International Institute for Democracy and Electoral Assistance
SE–103 34 Stockholm
Swedia
Tel +46 8 698 37 00
Fax +46 8 20 24 22
E-mail info@idea.int
Agustus 2012