Dosen pengampu :
Kelompok 7
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Tujuan dari pembuatan malakah ini guna memberikan tambahan
wawasan tentang terapi modalitas keperawatan jiwa.
2. Tujuan khusus
a. Agar mahasiswa mengetahui tentang terapi modalitas.
b. Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan keperawatan jiawa
dengan psikofarmaka.
c. Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan keperawatan jiwa
dengan restraint.
d. Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan keperawatan jiwa
dengan ECT.
C. Manfaat Penulisan
Dengan dibuatnya makalah tentang terapi modalitas dan
penatalaksanaanya diharapkan mahasiswa mampu menerapkan saat melakukan
atau berada pada lingkungan perawatan jiwa serta menambah wawasan bagi
mahasiswa dalam melakukan intervensi pada orang dengan gangguan jiwa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TERAPI MODALITAS
Terapi modalitas adalah berbagai macam alternative terapi yang dapat
diberikan pada pasien gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk
penyimpangan perilaku dengan penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya,
diperlukan pengkajian secara mendalam untuk mendapatkan factor pencetus dan
pemicu terjadinya gangguan jiwa. Selain itu, masalah kepribadian awal, kondisi
fisik pasien, situasi keluarga, dan masyarakat juga memengaruhi terjadinya
gangguan jiwa. Maramis mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari
masalah fisik, kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan).
Apabila gangguan jiwa disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan
keseimbangan neurotransmitter yang mengendalikan perilaku manusia, maka
pilihan pengobatan pada farmakologi. Apabila penyebab gangguan jiwa karena
masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara psikologis. Apabila penyebab
gangguan karena masalah lingkungan sosial, maka pilihan terapi difokuskan pada
manipulasi lingkungan. Dengan demikian, berbagai macam terapi dalam
keperawatan kesehatan jiwa dapat berupa somatoterapi, psikoterapi, dan terapi
lingkungan (Maramis, 2008).
Jenis Terapi Modalitas ada beberapa jenis terapi modalitas, antara lain:
Terapi individual
Terapi lingkungan (milleu therapy)
Terapi biologis atau terapi somatic
Terapi kognitif
Terapi keluarga
Terapi kelompok
Terapi perilaku
Terapi bermain
TERAPI MODALITAS
MANUSIA
Pembedahan genetik
Intervensi keluarga
Psiko farmakologi Mencegah dan
menangani perilaku Fungsi keluarga
Peran perawat
agresif Intervensi non
Farmako kinetik
Teori tentang agresi klinis
Anti ansietas Terapi sistem
Intervensi
Anti depresan keperawatan keluarga
Anti psikotik Teknik manajemen Terapi keluarga
Somato terapi kritis struktural
ECT Terapi perilaku Terapi keluarga
Foto terapi Pengondisian klasik strategis
Terapi kurang tidur Pengondisian operant
Terapi milleu
(terapi
Strategi perawatan lingkungan)
Peran perawat okupasi dan
Terapi kelompok rehabilitasitas
Komponen kelompok
kecil
Perkembangan
kelompok
Perawat sebagai
pemimpin kelompok
Pemilihan terapi yang akan dilaksanakan bergantung pada kondisi pasien
dengan berbagai macam latarbelakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi
dapat dikombinasikan dengan terapi lain. Jarang sekali untuk pasien gangguan jiwa
dapat diselesaikan dengan satu (single) terapi.
a. Terapi Individual
Terapi individual adalah penanganan klien gangguan jiwa dengan
pendekatan hubungan individual antara seorang terapis dengan seorang
klien. Suatu hubungan yang terstruktur yang terjalin antara perawat dan
klien untuk mengubah perilaku klien. Hubungan yang dijalin adalah
hubungan yang disengaja dengan tujuan terapi, dilakukan dengan tahapan
sistematis (terstruktur) sehingga melalui hubungan ini terjadi perubahan
tingkah laku klien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di awal hubungan.
Hubungan terstruktur dalam terapi individual bertujuan agar klien
mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya. Selain itu klien juga
diharapkan mampu meredakan penderitaan (distress) emosional, serta
mengembangkan cara yang sesuai dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Tahapan hubungan dalam terapi individual meliputi:
Tahapan orientasi
Tahapan kerja
Tahapan terminasi
b. Terapi Lingkungan
c. Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau terapi somatic didasarkan pada model
medical di mana gangguan jiwa dipandang sebagai penyakit. Ini berbeda
dengan model konsep yang lain yang memandang bahwa gangguan jiwa
murni adalah gangguan pada jiwa semata, tidak mempertimbangkan adanya
kelaianan patofisiologis. Tekanan model medical adalah pengkajian spesifik
dan pengelompokkasn gejala dalam sindroma spesifik. Perilaku abnormal
dipercaya akibat adanya perubahan biokimiawi tertentu.
Ada beberapa jenis terapi somatic gangguan jiwa meliputi:
pemberian obat (medikasi psikofarmaka), intervensi nutrisi,electro
convulsive therapy (ECT), foto terapi, dan bedah otak. Beberapa terapi yang
sampai sekarang tetap diterapkan dalam pelayanan kesehatan jiwa meliputi
medikasi psikoaktif dan ECT.
d. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi memodifikasi keyakinan dan sikap
yang mempengaruhi perasaan dan perilaku klien. Proses yang diterapkan
adalah membantu mempertimbangkan stressor dan kemudian dilanjutkan
dengan mengidentifikasi pola berfikir dan keyakinan yang tidak akurat
tentang stressor tersebut. Gangguan perilaku terjadi akibat klien mengalami
pola keyakinan dan berfikir yang tidak akurat. Untuk itu salah satu
memodifikasi perilaku adalah dengan mengubah pola berfikir dan
keyakinan tersebut. Fokus auhan adalah membantu klien untuk reevaluasi
ide, nilai yang diyakini, harapan-harapan, dan kemudian dilanjutkan dengan
menyusun perubahan kognitif.
Ada tiga tujuan terapi kognitif meliputi :
Mengembangkan pola berfikir yang rasional. Mengubah
pola berfikir tak rasional yang sering mengakibatkan
gangguan perilaku menjadi pola berfikir rasional
berdasarkan fakta dan informasi yang actual.
Membiasakan diri selalu menggunakan pengetesan realita
dalam menanggapi setiap stimulus sehingga terhindar dari
distorsi pikiran.
Membentuk perilaku dengan pesan internal. Perilaku
dimodifikasi dengan terlebih dahulu mengubah pola
berfikir.
e. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi yang diberikan kepada seluruh
anggota keluarga sebagai unit penanganan (treatment unit). Tujuan terapi
keluarga adalah agar keluarga mampu melaksanakan fungsinya. Untuk itu
sasaran utama terapi jenis ini adalah keluarga yang mengalami disfungsi;
tidak bisa melaksanakan fungsi-fungsi yang dituntut oleh anggotanya.
Dalam terapi keluarga semua masalah keluarga yang dirasakan
diidentifikasi dan kontribusi dari masing-masing anggota keluarga terhadap
munculnya masalah tersebut digali. Dengan demikian terleih dahulu
masing-masing anggota keluarga mawas diri; apa masalah yang terjadi di
keluarga, apa kontribusi masing-masing terhadap timbulnya masalah, untuk
kemudian mencari solusi untuk mempertahankan keutuhan keluarga dan
meningkatkan atau mengembalikan fungsi keluarga seperti yang
seharusnya.
Proses terapi keluarga meliputi tiga tahapan yaitu fase 1
(perjanjian), fase 2 (kerja), fase 3 (terminasi). Di fase pertama perawat dan
klien mengembangkan hubungan saling percaya, isu-isu keluarga
diidentifikasi, dan tujuan terapi ditetapkan bersama. Kegiatan di fase kedua
atau fase kerja adalah keluarga dengan dibantu oleh perawat sebagai terapis
berusaha mengubah pola interaksi di antara anggota keluarga,
meningkatkan kompetensi masingmasing individual anggota keluarga,
eksplorasi batasan-batasan dalam keluarga, peraturanperaturan yang selama
ini ada. Terapi keluarga diakhiri di fase terminasi di mana keluarga akan
melihat lagi proses yang selama ini dijalani untuk mencapai tujuan terapi,
dan cara-cara mengatasi isu yang timbul. Keluarga juga diharapkan dapat
mempertahankan perawatan yang berkesinambungan.
f. Terapi Kelompok
Terapi kelompok adalah bentuk terapi kepada klien yang dibentuk
dalam kelompok, suatu pendekatan perubahan perilaku melalui media
kelompok. Dalam terapi kelompok perawat berinteraksi dengan
sekelompok klien secara teratur. Tujuannya adalah meningkatkan kesadaran
diri klien, meningkatkan hubungan interpersonal, dan mengubah perilaku
maladaptive. Tahapannya meliputi: tahap permulaan, fase kerja, diakhiri
tahap terminasi.
Terapi kelompok dimulai fase permulaan atau sering juga disebut
sebagai fase orientasi. Dalam fase ini klien diorientasikan kepada apa yang
diperlukan dalam interaksi, kegiatan yang akan dilaksanakan, dan untuk apa
aktivitas tersebut dilaksanakan. Peran terapis dalam fase ini adalah sebagai
model peran dengan cara mengusulkan struktur kelompok, meredakan
ansietas yang biasa terjadi di awal pembentukan kelompok, dan
memfasilitasi interaksi di antara anggota kelompok. Fase permulaan
dilanjutkan dengan fase kerja.
Di fase kerja terapis membantu klien untuk mengeksplorasi isu
dengan berfokus pada keadaan here and now. Dukungan diberikan agar
masing-masing anggota kelompok melakukan kegiatan yang disepakati di
fase permulaan untuk mencapai tujuan terapi. Fase kerja adalah inti dari
terapi kelompok di mana klien bersama kelompoknya melakukan kegiatan
untuk mencapai target perubahan perilaku dengan saling mendukung di
antara satu sama lain anggota kelompok. Setelah target tercapai sesuai
tujuan yang telah ditetapkan maka diakhiri dengan fase terminasi.
Fase terminasi dilaksanakan jika kelompok telah difasilitasi dan
dilibatkan dalam hubungan interpersonal antar anggota. Peran perawat
adalah mendorong anggota kelompok untuk saling memberi umpan balik,
dukungan, serta bertoleransi terhadap setiap perbedaan yang ada. Akhir dari
terapi kelompok adalah mendorong agar anggota kelompok berani dan
mampu menyelesaikan masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang.
g. Terapi Perilaku
Anggapan dasar dari terapi perilaku adalah kenyataan bahwa
perilaku timbul akibat proses pembelajaran. Perilaku sehat oleh karenanya
dapat dipelajari dan disubstitusi dari perilaku yang tidak sehat.
Teknik dasar yang digunakan dalam terapi jenis ini adalah :
Role model
Kondisioning operan
Desensitisasi sistematis
Pengendalian diri
Terapi aversi atau releks kondisi
C. PSIKOFARMAKA
1. Definisi Psikofarmaka
Psikofarmaka adalah berbagai jenis-jenis obat yang bekerja pada susunan
saraf pusat. Efek utamnya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya
digunakan untuk pengobatan gangguan jiwa. Terdapat banyak jeis obat
psikofarmaka dengan farmakokinetik khusu unruk mengontrol dan mengendalikan
perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis psikofarmaka perlu diketahui
perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka,
mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta mamasukan
dengan berbagai altenatif terapi lainnya.
Berdasarkan efek klinik, obat psikotropika dibagi menjadi golongan
antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik.
1. Antipsikotik
Obat ini disebut neuroleptika atau major trsnaquellizer. Indikasi utama
obat golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik.
Klasifikasinya antara lain :
a. Derivat fenotiazin
1) Rantau samping alifatik contoh : Chlorpromazine (largatil,
ethibernal), Levomepromazine ( nozinan )
2) Rantai samping piperazine contoh : Trifluoperazin (Stelazine),
perfenazin ( Trilafon ), Flufenazin ( anatensol ).
3) Rantai samping piperidin conton : Thoiridazin (Melleril ).
b. Derivat butirofenon
c. Berivat thioxanten
d. Deribat dibenzoxasepin
e. Derivat benzamide
Efek utama obat antipsikotik adalah menypresi gejala psikotik seperti
gangguan proses berfikir ( waham ), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas
psikomotor yang berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek
samping ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat bervariasi dan bersifat
individual.
Efek samping yang terjadi antara lain :
a. Gangguan neurologik
1) Gejala ekstrapiramidal
a) Akatisia
Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun
tak enak.
b) Distonia akut
Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot
leher tertarik ke satu sisi), opisototonus ( otot punggung tertarik ke
belakang), dan okulogirikrisis ( mata seperti tertarik ke atas).
c) Sindrome parkinson
Terdapat rigiditas atau fenomena roda bergerigi, tremor kasar, muka
topeng, hipersalivasi, disatria.
d) Diskinesua tardif
Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagain
tubuh/ kelompok otot tertentu yang biasanya timbul setelah
pemakaian antipsikotik jangka lama.
2) Sindrome neorolepatika maligna
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi,
kejang-kejang, denyut nadi meningkat, keringat berlenihan, dan
penurunan kesadaran. Sering terjadi pada pemakain kombinasi
antipsikotik golongan butirofenon dengan garam lithium.
3) Peurunan ambang kejang
Biasanya pada penderita epilepsi yang mendapat obat antipsikotik.
b. Gangguan otomom
1) Hipotensi ortastik/postural
Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya dari
keadaan berbaring kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat
terjatuh atau syok atau penurunan kesadaran.
2) Gangguan sistem gastrointestinal
Ditandai dengan mulut kering, obtipasi, hipersalivasi, dan diare.
3) Gangguan sistem urogenital
Inkontinensia urine
4) Gangguan pada mata
Kesulitaan dalam berakomodsi, penglihatan kabur, fotofobia karena
terjadi mydriasis.
5) Gangguan pada penciuman
Terjadinya edema pada selaput lendir hidung bagian tengah,
sehingga kesulitan dalam bernafas.
c. Gangguan hormonal
1) Hiperprolaktinemia
2) Galactorrhoea
3) Amenorrhoea
4) Gynecomastia pada laki-laki
2. Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi
atau menghilangkan gejala depresif.
Klasifikasi antidepresan :
a. Golongan trisiklik ( Imipramin, Amitriptilin, Clomipramin .)
b. Golongan tetrasiklik (Maprotilin)
c. Golongan monoaminoksidase (Aurorik)
d. Golongan serotinin selestive reuptake inhibitorAntiansietas
Untuk gangguan depresi berat debgab kecenderungan bunuh diri, perlu
dipertimbangkan penggunaan ECT sebagaoi pendamping pemberian antidepresan.
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain:
a. Gangguan pada sistem kardiovaskuler
1) Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut
2) Hipertensi, sering terjadi pada penggunaan antidepresan jenis MOAI
yang klasik.
3) Perubahanpada gambaran EKG, pada jenis golongan antidepresan
trisiklik.
b. Mual, muntah, sakit kepala.
4. Antimanik
Merupakan kelompok obay yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif
bipolar terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah
kekmbuhannya. Obat yang termasuk kelompok ini adalah :
a. Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
b. Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
c. Asam Valproat.
Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberin obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasam. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif
antara 0,8-1,2 meq/dl. Hal ini perlu dimonitor karena obat ini bersifat toksik
terutama untuk organ ginjal.
Efek samping antimatik :
a. Tremor halus
b. Vertigo dan rasa lelah
c. Diare dan muntah-muntah
d. Oliguria dan anuria
e. Konvulsi
f. Edema
g. Ataksia dan tremor kasar
D. ECT
1. Sejarah ECT (Electro convulsive Therapy)
ECT pertama kali dilakukan di Roma pada tahun 1938. Seperti peristiwa-
peristiwa lain dalam sains, Pada tahun 1946, Scribonius Largus menggambarkan
penerapan listrik pada ikan torpedo kepala sebagai pengobatan untuk sakit kepala.
Pada tahun 1470, seorang Jesuit misionaris Ethiopia menerapkan lele listrik kepada
orang-orang (situs anatomi tidak diketahui) sebagai sarana untuk mengusir setan.
Di tahun 18 ke belut listrik abad diaplikasikan ke kepala (kondisi diperlakukan
tidak diketahui). Namun, tidak ada sejarah yang jelas penerapan listrik ke kepala
untuk pengobatan gangguan mental sebelum 1938. Kejang-kejang telah diinduksi
untuk tujuan medis pada waktu yang berbeda atas berabad-abad. Paracelsus (1490-
1541) dikelola kamper melalui mulut untuk mendorong kejang-kejang dalam
pengobatan gangguan mental. Rekening pada 1785 muncul di London Medical
Journal of Kamper disebabkan kejang-kejang untuk perawatan psikosis. ECT
muncul pada waktu yang menarik. Hingga awal tahun 1920-an kecil dapat
ditawarkan untuk orang dengan kelainan mental serius selain perawatan
manusiawi.
Akibatnya popularitas ECT terus menurun dan mencapai titik terendah pada
era tahun 1970-an. Pada tahun 1980 tercatat hanya 30.000 pemakaian ECT di
seluruh Inggris, angka ini jauh dibandingkan catatan tahun 1972 yang masih
mencapai 60.000.Ditemukannya obat antidepresan trisiklik pada tahun 1950-an
turut menggeser popularitas ECT. Terlebih ketika antidepresan yang jauh lebih
aman, selektif serotonin reuptake inhibitors (SSRI) diperkenalkan tak lama
kemudian.
Namun baru-baru ini, peneliti dari Columbia University merancang
prosedur ECT terbaru yang diklaim mampu mengurangi efek samping. Jika pada
ECT konvensional arus listrik dialirkan selama 1,5 milidetik, maka pada prosedur
terbaru dipersingkat menjadi 0,3 milidetik.Prosedur baru ini bisa mengurangi risiko
kehilangan ingatan, serta memberikan waktu pemulihan 2 kali lebih cepat. Hasil
pengujian sementara menunjukkan keberhasilan terapi meningkat hingga 73 persen
dibandingkan prosedur konvensional. (Anonim, 2010).
Terapi ini lebih manusiawi dari pada ECT konvensional,karena pada terapi
ini di berikan obat-obatan anastesi yang bisa menekan timbulnya kejang yang
terjadi pada pasien.
Salah satu teori yang berkaitan dengan hal ini adalah teori
neurofisiologi.Teori ini mempelajari aliran darah serebral, suplai glukosa dan
oksigen, serta permeabilitas sawar otak akan meningkat. Setelah kejang, aliran
darah dan metabolisme glukosa menurun. Hal ini paling jelas dilihat pada lobus
frontalis. Beberapa penelitian mengatakan bahwa derajat penurunan metabolisme
serebral berhubungan dengan respon terapeutik. Teori lain adalah teori
neurokimiawi yang memusatkan perhatian pada perubahan neurotrasmiter dan
second messenger .Hampir semua pada sistem neurotrasmiter dipengaruhi oleh
ECT. Akhir-akhir ini mulai berkembang neuroplastisitas yang berhubungan dengan
stimulasi kejang listrik.Pada percobaan hewan,di jumpai plastisitas sinaps,
dihipotalamus,yakni pertumbuhan serabut saraf, peningkatan konektifitas jaras
saraf, dan terjadinya neurogenesis
6. Hipertensi berat
7. Hiperpireksia
8. Diatesa Haemoragic karena adanya kelainan perdarahan sehingga menyebabkan
perdarahan yang hebat.
9. Epilepsi
3. Kebingungan.
6. Risiko anestesi pada ECT, atropin mernperburuk glaukom sudut sempit, kerja
Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan
hipotonia.
Tidak ada kejelasan mengapa ECT bisa menghasilkan sikap yang negatif.
Salah satu faktor mungkin karena sikap fanatik kita, yaitu sikap jijik untuk
melakukan tindakan biologis tertentu. Kejang –kejang, seperti muntah adalah bukan
sesuatu suka kita tonton. Mungkin ada faktor evaluasi. Kejang-kejang dan muntah,
dapat mengindikasikan sebagai penyakit yang mungkin dapat menular. Masyarakat
secara genetis diprogramkan untuk takut dan menghindari situasi seperti itu. Kita
menghindari berdiskusi topik kejang-kejang karena beberapa orang yang
menderita epilepsy kurang setuju dengan terapi ECT.
ECT sebagai alat terapi orang yang mengalami gangguan jiwa karena
banyak efek samping yang ditimbulkan seperti yang Patah tulang vertebra,
Kehilangan memori dan kekacaun mental sememtara, Dislokalisasi sendi rahang,
Amnesia, Nyeri kepala, bahkan samapi kematian. Risiko yang ditimbulkan juga
cukup berbahaya seperti kerusakan otak, kematian dan kehilangan memori
permanen. Dari segi etik juga tidak etis memperlakukan manusia seperti hewan
percobaan walaupun dibilang cukup efektif untuk terapi gangguan kejiwaan tapi
sangat kurang etis, apalagi untuk budaya kita.
(http://www.ect.org/effects/testimony.html).
a) Pemberian ECT secara blok 2-4 hari berturut-turut 1-2 kali sehari.
b) Dua sampai tiga kali seminggu.
c) Pasien dengan gangguan depresi berat di berikan antara 5-10 kali.
d) Untuk pasien yang mengalami gangguan dipolar,mania,dengan gangguan
skizofrenia ,pasien baru mendapat respon yang maksimum setelah 20-25 kali
tindakan ECT.
a) Persiapan alat :
1. Konvulsator set (diatur inensitas dan timer)
2. Tounge spatel atau karet mentah di bungkus kain.
3. Kain kasa.
4. Cairan NaCL secukupnya.
5. Spuit disposibel.
6. Obat S A injeksi 1 ampul.
7. Tensimeter .
8. Stetoskop .
9. Slim suiger.
10. Set konvulsator.
b) Persiapa klien:
1. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur
tindakan yang akan dilakukan.
2. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi
adanya kelainan yang merupakan kontraindikasi ECT.
3. Siapkan surat persetujuan.
4. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT.
5. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang
mungkin di pakai klien.
6. Klien diminta untuk menggosongkan kandung kemih dan defekasi.
7. Klien jika ada tanda ansietas, berikan 5 mg diazepam IM 1-2 jam
sebelum ECT.
8. Jika klien menggunakan obat antidepresan, antipsikotik, sedatif-
hipnotik, dan antikonvulsan harus di hentikan sehari sebelumnya.
Litium biasanya di hentikan beberapa hari sebelumnya karena
berisiko organik.
9. Premidikasi dengan injeksi SA (sulfa atropin) 0,6-1,2 mg setengah
jam sebelum ECT. Pemberian antikolinergik ini mengembalikan
aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
1. Pelaksanaan ECT
a) Setelah alat sudah di siapkan, pindahkan klien ke tempat dengan
permukaan rata dan cukup keras.posisikan hiperektensi punggung tanpa
batal. Pakaian di kendorkan, seluruh badan di tutup dengan selimut,
kecuali bagian kepala.
b) Berikan natrium metoheksital (40-100 mg IV). Anestetik barbiturat ini di
pakai untuk menghasilkan koma ringan.
c) Berikan pelemas otot suksinikolin atau anictine (30-80 mg IV) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum.
d) Kepala bagian temporal (pelipis) dibersihkan dengan alkohol untuk tempat
elektrode menempel.
e) Kedua pelipis tempat elektrode menempel dilapisi dengan kasa yang
dibasahi cairan NaCL.
f) Klien diminta untuk membuka mulut dan memasang spatel/karet yang
dibungkus kain dimasukkan dan klien diminta untuk menggigit.
g) Rahang bawah (dagu), ditahan supaya tidak membuka lebar saat kejang
dengan dilapisi kain.
h) Persendian (bahu, siku, pinggang, lutut) di tahan selama kejang dengan
mengikuti gerak kejang.
i) Pasang elektroda di pelipis kain kasa basah kemudian tekan tombol sampai
timer berhenti dan di lepas.
j) Menahan gerakan kejang sampai selesai kejang dengan mengikuti gerakan
kejang (menahan tidak boleh dengan kuat).
k) Bila berhenti nafas berikan bantuan nafas dengan rangsangan menekan
diafragma.
l) Bila banyak lendir, dibersihkan dengan slim siger.
m) Kepala di miringkan.
n) Observasi sampai klien sadar.
o) Dokumentasikan hasil di kartu ECT dan catatan keperawatan.
2. Post-ECT :
a) Observasi dan awasi tanda vital sampai kondisi klien stabil.
b) Jaga keamanan.
c) Bila klien sudah sadar bantu mengembalikan orientasi klien sesuai
kebutuhan,biasanya timbul kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
DAPUS