Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain kaya akan sumber
daya alamnya, masyarakat Indonesia juga bersifat ramah-tamah. Negara lain menjadi memiliki
keinginan untuk menguasai Indonesia karena keadaan Indonesia yang seperti itu, sehingga
terjadinya kolonialisme.
Era kolonial di Indonesia ditandai dengan masuknya Barat (Eropa) ke Indonesia untuk
mengeksploitasi bangsa Indonesia, baik aspek sumber daya alamnya maupun sumber daya
manusianya. Dalam sejarahnya, usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori
oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Selain keduanya,
pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal berlabuh di Banten. Mereka
mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan (Sudirman,
2014:217). Keberadaan Belanda di Indonesia memang cukup lama, tak heran jika banyak
kebijakan dan peristiwa penting yang melibatkan interaksi rakyat nusantara dengan pemerintahan
Belanda. Kebijakan-kebijakan yang bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia memberikan
dampak yang tidak bagus untuk bangsa Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut bangsa
Indonesia mengalami kelaparan, kemiskinan bahkan penderitaan yang sangat dalam. Salah satu
peristiwa yang tak mungkin dilupakan adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan
sistem tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat sengsara dengan adanya kebijakan tersebut, karena
rakyat Indonesia harus bekerja tanpa diberi upah. Oleh sebab itu, maka dibuatnya makalah ini
agar dapat menambah pengetahuan tentang sistem tanam paksa di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana sejarah kedatangan Belanda ke Indonesia?
b. Bagaimana latar belakang adanya sistem tanam paksa di Indonesia?
c. Bagaimana dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia?

1.3 Tujuan
a. Untuk menjelaskan sejarah kedatangan Belanda ke Indonesia
b. Untuk menjelaskan latar belakang adanya sistem tanam paksa di Indonesia
c. Untuk menjelaskan dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kedatangan Belanda


Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelius de
Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya
untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat,
maka mereka diusir dari Banten. Kemudian, pada tahun 1598 pedagang Belanda datang kembali
ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van
Heemkerck datang di Banten dan diterima oleh Sultan Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak
itulah, terjadi hubungan perdagangan dengan pihak Belanda sehingga berkembang pesat
perdagangan Belanda di Indonesia. Namun, tujuan dagang tersebut berubah. Belanda ingin
berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan sewenag-wenang, melakukan monopoli perdagangan,
imperialisme ekonomi dan perluasan kekuasaan (Sudirman, 2014:217).

2.2 Latar Belakang


Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan
keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk
membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda
dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir
dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan
Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam
menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden. Usaha untuk
menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van
der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang
Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang
ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang
dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui
kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi
pertanian tropis di dunia. Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai
rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada
tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang
kelak disebut culturstelsel. Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang
menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi
pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat
bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah
sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman
dan penyerahan secara paksa hasil bumi (forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji
usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai
Gubernur Jenderal yang baru (Zulkarnain, 2010:3). Kebijakan cultuur stelsel ini berdasarkan
pada asumsi bahwa desa di Jawa berutang kepada pemerintah. Utang itu diukur senilai 40% dari
hasil panen desa yang bersangkutan. Tanaman itu antara lain nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan
kakao (Sudirman, 2014:267).
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam
paksa dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong,
Gubernur Jendral Van den Bosch membuat peraturan yang mewajibkan rakyat untuk
menyerahkan landrento (Wahyudin, 2015). Sebenarnya pada masa tersebut sebutan tanam paksa
tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan
Belanda menyebut sistem yang diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan Cultuurstelsel
atau bisa juga disebut dengan sistem kultivasi dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan
Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk
kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi atas dasar
paksaan.
Pada tahun 1854, dikeuarkan Regerings Regelment (RR). Salah satu pasalnya
menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan
ditetapkan ordonansi. Kelompok liberal yang berperan sebagai pengusaha dan pemilik modal
berada di belakang keluarnya undang-undang tersebut. Tujuannya agar pemerintah memberikan
pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom).
Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya penjualan tanah dan penyewaannya karena tanah
adat dan kas desa tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan. Selain tujuan tersebut, pemerintah
memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang
dan murah (Sudirman, 2014:267).
2.3 Ketentuan Pokok Sistem Tanam Paksa
Sudirman (2014:267-268) menjelaskan ketentuan Sistem Tanam Paksa yang terdapat dalam
Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1843 No. 22, antara lain isinya sebagai berikut:
a. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk.
b. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi seperlima
bagian.
c. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam
padi.
d. Tanah yang digunakan menanam tanaman wajib tidak melebihi luas lahan menanam padi.
e. Tanaman wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang diperoleh
lebih dari yang ditaksir, lebihnya diserahkan kepada penduduk.
f. Gagal panen ditanggung oleh pemeritah asal penyebabnya bukan karena kurang rajinnya
penduduk.
g. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala desa, sedangkan
pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan baik dan
tepat pada waktunya.
Jika diamati dari segi isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam Paksa tidak begitu
memberatkan pada penduduk. Dampaknya cukup destruktif menjadikan rakyat miskin dan tidak
teratur hidupnya. Fenomena ini diakibatkan oleh adanya penyimpangan ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk
lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor,
sehinga tidak dapat mengerjakan sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat
mengerjakan sawahnya sama sekali (Hermawati, 2013:66).
Penguasa memberlakukan Cultuur Procenten yaitu hadiah panen bagi para pejabat yang
dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Reaksi terhadap Sistem Tanam Paksa inilah
yang melatarbelakangi pemerintah mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria)
pada tahun 1870. Dalam Agrarische Wet terdapat pernyataan bahwa “Semua tanah yang tidak
terbukti memeiliki bukti hak milik (eigendom) adalah menjadi domain negara atau milik negara”.
Jadi inti pokok kebijakan cultuur stelsel adalah:
a. Rakyat wajib menyediakan seperlima lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib (tanaman
berkualitas ekspor).
b. Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
c. Hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Kelebihan hasil panen dibayarkan kembali
kepada rakyat.
d. Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga
dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e. Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di perkebunan milik
pemerintah.
f. Penggarapan tanaman wajib di bawah pengawasan langsung penguasa pribumi. Pegawai-
pegawai Belanda mengawasi jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Kartodirdjo (1987:366) menjelaskan gambaran tentang derajat intensitas
penyelenggaraan sistem tanam paksa menurut catatan tahun 1833 sebagai berikut.

1. Gula: 32.722 bau


2. Indigo: 23.141 bau

3. Teh: 324 bau

4. Tembakau: 286 bau

5. Kayu manis: 30 bau

6. Katun: 5 bau

Ditambah dengan luas tanah yang ditanami lada, nopal dan murbai seluruh areal yang
dipergunakan sistem tanam paksa ada kira-kira 50.000 bau. Pada 1861 dari tanah rakyat yang
dipergunakan sistem tanam paksa ada 53.159 bau.

2.4 Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Bangsa Indonesia


Dampak negatif dari pelaksanaan tanam paksa:
a. Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu
kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan
penanaman padi.
b. Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat besar sehingga
memberatkan petani.
c. Budidaya tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani yan baik dan bernilai
paling tinggi.
d. Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak
hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju
pabrik atau pelabuhan.
e. Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian
meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di
daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan
jumlah penduduk menurun drastis. Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar
(hongorudim) dimana-mana (Sondarika, 2015:64).
Dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a. Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
b. Meningkatkan jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi
tumbuhnya perdagangan.
c. Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan
dan pepabrikan di pedesaan.
d. Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan,
penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan gudang untuk hasil budidayanya (Sondarika,
2015:65).
Namun dampak positif dari adanya sistem tanam paksa tidaklah seberapa jika
dibandingkan dengan penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia. Kemiskinan, kesengsaraan
dan kelaparan harus mereka tanggung. Ditambah lagi dengan beban pajak yang berat, panen
yang gagal, dan kerja rodi yang semena-mena yang membawa penduduk bekerja di lahan-lahan
Belanda semakin menambah penderitaan kaum pribumi. Banyak tanah pertanian yang terlantar
karena tenaga penggarap harus bekerja di lahan-lahan milik Belanda, akibatnya gagal panen dan
terjadi paceklik, kelaparan pun terjadi dimana-mana.
Dengan penyelenggaraan sistem tanam paksa, maka nyatalah usurpasi kekuasaan kolonial
sampai di pedesaan dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat, karena tekanan
dari atas maka milik kurang berarti dan tergeser menjadi hak guna. Dampak sistem tanam paksa
pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh untuk jangka panjang pada struktur sosial
ekonominya ialah bahwa sistem tanam paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem
produksi pre kapitalis sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang
baik yang melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem
tanam paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta usaha
industri pertanian yang padat modal pada pihak pengusaha Eropa atau asing (Kartodirdjo,
1987:373). Apabila dilihat dari perjelasan tersebut, sistem tanam paksa membuat diskriminasi
antara golongan penjajah dan yang dijajah.

2.5 Tokoh dalam Sistem Tanam Paksa


Dalam perkembangan politik Nederland pada kira-kira pertengahan abad ke-19 kaum
borjuis memegang peranan penting, terutama dalam memberikan dasar hukum bagi suatu
pemerintahan daerah jajahan. Perubahan perundang-undangan dasar pada 1848 membawa
konsekuensi bahwa untuk pemerintahan Hindia Belanda persoalan pengawasan keuangannya
perlu diatur menurut perundang-undangan. Sistem tanam paksa dijalankan berdasarkan
Regerings Reglement dari van den bosch (1836) masih ada di bawah otoritas gubernur jenderal
yang telah mendapat mandat dari Raja Belanda. Kecaman-kecaman yang tajam dari oposisi
kolonial, yang dipelopori oleh Van Hoevell terhadap sistem tanam paksa dengan segala
penyimpangan dan penyalahgunaannya, kemudian disusul oleh Douwes Dekker dengan Max
Havelaar-nya mempercepat proses penghapusan sistem tanam paksa. Pembukaan tabir sistem
tanam paksa tidak hanya dimaksud untuk mengungkapkan eksploitasi pribumi, baik tanah
maupun tenaganya, tetapi juga agar tanah dan tenaga itu dibebaskan dan dengan demikian
pengusaha swasta dapat menggunakannya (Kartodirdjo, 1987:376). Douwes Dekker,
membentangkan kekejaman-kekejaman sistem tanam paksa dalam bukunya sedangkan Van
Hovell membela kepentingan penduduk pribumi tanpa mencela sistem eksploitasi di daerah-
daerah jajahan untuk kepentingan negeri induk. Dua tokoh ini berjasa sekali di dalam menarik
perhatian umum terhadap persoalan-persoalan kolonial. Tulisan populer mereka memang
meratakan jalan, tetapi kemenangan harus diperjuangkan melalui saluran parlementer.
Perjuangan yang terus-menerus inilah yang berlangsung selama masa sepuluh tahun berikutnya
(Kartodirdjo, 1990:16).
2.6 Penyebab Runtuhnya Hindia Belanda
Pada tanggal 7 Desember 1941 tentara Jepang secara mendadak mengadakan serangan
terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam setelah peristiwa
itu, pemerintah Hindia Beanda mengumumkan perang kepada Jepang. Guna mengantisipasi
serangan Jepang, negara-negara sekutu di Asia Tenggara membentuk komando gabungan dengan
nama Abdacom (American, British, Dutch, Australian, Command). Markas besar Abdacom
berada di Lembang (Jawa Barat), sedangkan markas besar Angkatan Lautnya di Surabaya.
Dalam serangannya terhadap sekutu di Laut Cina Selatan, kapal Inggris Prince of Wales
dan Repulse berhasil ditenggelamkan oleh 50 pengebom berani mati Jepang. Akhirnya, setelah
peristiwa itu Abdacom berantakan. Komandan tertinggi, Sir Archibald Wavell, akhirnya terpaksa
meninggalkan Indonesia karena sudah tidak bisa dipertahankan lagi, sehingga menyingkir ke
India utuk mempertahanka India. Dalam serangannya ke Indonesia, tentara Jepang memperoleh
kemajuan yang sangat cepat (Sudirman, 2014:276).
Sudirman (2014:277) menjelaskan faktor utama menjadi penyebab runtuhnya Hindia Belanda
adalah:
a. Perundingan yang gagal
Sebelum serbuan Jepang pada bulan Februari 1940, Duta Besar Jepang di Den Haag
mengajukan sebuah tuntutan kepada pihak Belanda. Permintaan itu meliputi perdagangan Jepang
dan Hindia Belanda harus ditingkatkan. Selain itu, Jepang menghendaki minyak mentak dan
bauksit lebih banyak lagi. Sebab, Jepang belum membuat kesepakatan dengan perusahan
eksplorasi tambang sebelumnya, sehingga tuntutan Jepang lainnya ditolak. Namun, Jepang tidak
menyerah. Perundingan itu berlangsung selama berbulan-bulan.
b. Perang Hindia Belanda dan Jepang
Sasaran utama serbuan Jepang di Hindia Belanda adalah pengeboran minyak di Tarakan,
Balikpapan, dan Palembang. Gerakan maju itu dimungkinkan setelah pertahanan Hindia Belanda
di utara Pulau Sulawesi berhasil dilumpuhkan pada tanggal 26 Desember 1941. Kehancuran
instansi pengeboran minyak di Tarakan menjadi masalah besar bagi Jepang. Untuk memastikan
agar tindakan itu tidak terjadi, dua orang perwira Belanda dikirim ke Balikpapan dengan pesan
peringatan bahwa seluruh prajurit dan kalangan sipil akan dibunuh jika Jepang tidak memperoleh
instansi pertambangan di kota itu dalam keadaan utuh. Sasaran selanjutnya adalah Palembang,
sumber minyak mentah yang menghasilkan setengah produksi seluruh Hindia Belanda. Jepang
berusaha mencegah sabotase dengan cara melancarkan serangn mendadak pasukan komando.
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sistem Tanam Paksa merupakan sistem yang dilakukan bangsa Belanda terhadap
Indonesia yang bertujuan untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong. Sebenarnya
pada masa tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini
dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang diterapkan di
wilayah Indonesia dengan sebutan dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan Indonesia
menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk kebijakan yang
diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi atas dasar paksaan. Sehingga
menyebabkan masyarakat pribumi sengsara, kelaparan serta kemiskinan.

3.2 Saran
Masyarakat Indonesia harus berhati-hati terhadap masyarakat Internasional. Masyarakat
harus pandai-pandai menyaring apa yang baik dan apa yang buruk bagi bangsa Indonesia.
Terutama pemuda-pemudi Indonesia harus selalu menjaga dan mempertahankan Indonesia
jangan sampai Indonesia terjajah lagi oleh negara lain, apalagi sampai mengalami hal yang
serupa (sistem tanam paksa) serta perlunya pemerintah untuk menjaga bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai