Anda di halaman 1dari 16

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Diabetesberasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau
mengalihkan” (siphon). Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna
manis atau madu. Penyakit diabetes melitus dapat diartikan individu yang
mengalirkan volume urine yang banyak dengan kadar glukosa tinggi.
Diabetes melitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan
ketidakadaan absolute insulin atau penurunan relative insensitivitas sel
terhadap insulin (Corwin, 2009).

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang


ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
(Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada


seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula
(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Arjatmo, 2002).
B. Penyebab
a. Diabetes tipe I:
 Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
 Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi
terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai
jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans
dan insulin endogen.
 Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.

b. Diabetes Tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui.
Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi
insulin.
 Faktor-faktor resiko :
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65
th)
b. Obesitas
c. Riwayat keluarga

C. Manifestasi klinis
a. Diabetes Tipe I
 hiperglikemia berpuasa
 glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
 keletihan dan kelemahan
 ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi,
nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran, koma, kematian)

b. Diabetes Tipe II
 lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
 gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi
vaginal, penglihatan kabur
 komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular
perifer)

D. Anatomi fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15
cm, lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata –
rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di
belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam
tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan (kepala) kelenjar
pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian
pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari
organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau
terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar
pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang
membentuk usus.

Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :


1) Asini, sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans yang tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari
pankreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari
berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar
masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil
adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang
besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas
diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
1) Sel – sel A (alpha), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi
glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang
mempunyai “ anti insulin like activity “.
2) Sel – sel B (betha), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
3) Sel – sel D (delta), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat
somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur
dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini
nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah
kapiler. Pada penderita DM, sel betha sering ada tetapi berbeda
dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan
reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.

Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk


insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida
yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan
oleh dua jembatan (perangkai), yang terdiri dari disulfida. Rantai A
terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3.
Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein
reseptor yang besar di dalam membrana sel.

Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan


dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi.
Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar
glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat
diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila
kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.

Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam
lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam
derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk
meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke
jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.

E. Patofisiologi
Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe satu terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh
proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produkasi glukosa
yang tidak terukur oleh hati. Di samping itu glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam
darah dan menimbulkan hiperglikemia posprandial (sesudah makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa
tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan
di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik.
Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak


yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami
peningkatan selera makan (polifagia), akibat menurunnya simpanan
kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan
normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari dari
asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi
insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut
menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan
produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang
menggangu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan.
Ketoasidosis yang diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan
gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau
aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran,
koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit
sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik
tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta ketoasidosis. Diet dan
latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan
komponen terapi yang penting.

Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan resptor tersebut,
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.
Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi
intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk
menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya


glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang
disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini
terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun
demikian, jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang
merupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan
jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya. Karena itu ketoasidosis diabetik tidak
terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun demikian, diabetes tipe II yang
tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan
sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketoik (HHNK).

Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang berusia
lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang
berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan
diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami
pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup
kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsi, luka pada kulit yang lama
sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadra
glukosanya sangat tinggi).

F. Patway
Sumber : Syafuddin, H.

G. Pemeriksaan penunjang
a. Glukosa darah sewaktu
b. Kadar glukosa darah puasa
c. Tes toleransi glukosa

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan
aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi
komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe
diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.
Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :
1. Diet
2. Latihan
3. Pemantauan
4. Terapi (jika diperlukan)
5. Pendidikan

I. Fokus pengkajian keperawatan


a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien masuk ke RS dengan keluhan utama gatal-gatal pada
kulit yang disertai bisul/lalu tidak sembuh-sembuh, kesemutan/rasa
berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping itu klien juga mengeluh
poli urea, polidipsi, anorexia, mual dan muntah, BB menurun, diare
kadang-kadang disertai nyeri perut, kramotot, gangguan tidur/istirahat,
haus-haus, pusing-pusing/sakit kepala, kesulitan orgasme pada wanita
dan masalah impoten pada pria
b. Riwayat kesehatan dahulu
 Riwayat hipertensi/infark miocard akut dan diabetes gestasional
 Riwayat ISK berulang
 Penggunaan obat-obat seperti steroid, dimetik (tiazid), dilantin dan
penoborbital.
 Riwayat mengkonsumsi glukosa/karbohidrat berlebihan
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
 Adanya riwayat anggota keluarga yang menderita DM.
d. Pemeriksaan Fisik
 Neuro sensori
Disorientasi, mengantuk, stupor/koma, gangguan memori, kekacauan
mental, reflek tendon menurun, aktifitas kejang
 Kardiovaskuler
Takikardia / nadi menurun atau tidak ada, perubahan TD postural,
hipertensi dysritmia, krekel, DVJ (GJK)
e. Pernafasan
Takipnoe pada keadaan istirahat/dengan aktifitas, sesak nafas, batuk
dengan tanpa sputum purulent dan tergantung ada/tidaknya infeksi,
panastesia/paralise otot pernafasan (jika kadar kalium menurun tajam),
RR > 24 x/menit, nafas berbau aseton
f. Gastro intestinal
Muntah, penurunan BB, kekakuan/distensi abdomen, aseitas, wajah
meringis pada palpitasi, bising usus lemah/menurun
g. Eliminasi
Urine encer, pucat, kuning, poliuria, urine berkabut, bau busuk, diare
(bising usus hiper aktif).
h. Reproduksi/sexualitas
Rabbas vagina (jika terjadi infeksi), keputihan, impotensi pada pria, dan
sulit orgasme pada wanita
i. Muskulo skeletal
Tonus otot menurun, penurunan kekuatan otot, ulkus pada kaki, reflek
tendon menurun kesemuatan/rasa berat pada tungkai
j. Integumen
Kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung, turgor jelek,
pembesaran tiroid, demam, diaforesis (keringat banyak), kulit rusak,
lesi/ulserasi/ulkus
k. Aspek psikososial
 Stress, anxientas, depresi
 Peka rangsangan
l. Tergantung pada orang lain Pemeriksaan diagnostikGula darah
meningkat > 200 mg/dl
 Aseton plasma (aseton) : positif secara mencolok
 Osmolaritas serum : meningkat tapi < 330 m osm/lt
 Gas darah arteri pH rendah dan penurunan HCO3 (asidosis
metabolik)
 Alkalosis respiratorik
 Trombosit darah : mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis,
hemokonsentrasi, menunjukkan respon terhadap stress/infeksi
 Ureum/kreatinin : mungkin meningkat/normal lochidrasi/penurunan
fungsi ginjal
 Amilase darah : mungkin meningkat > pankacatitis akut
 Insulin darah : mungkin menurun sampai tidak ada (pada tipe I),
normal sampai meningkat pada tipe II yang mengindikasikan
insufisiensi insulin
 Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin
 Urine : gula dan aseton positif, BJ dan osmolaritas mungkin
meningkat
 Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran
kemih, infeksi pada luka.

2. Diagnosa
a. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
c. Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif,
Kegagalan mekanisme pengaturan
J. Fokus intervensi keperawatan

NO DIAGNOSA NOC NIC

1 Nyeri akut NOC: Manajemen nyeri :


berhubungan Tingkat nyeri 3. Lakukan pegkajian
dengan agen injuri 2. Nyeri terkontrol nyeri secara
biologis (penurunan Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk
perfusi jaringan Setelah dilakukan asuhan lokasi, karakteristik,
perifer) keperawatan selama 3 x 24 durasi, frekuensi,
jam, klien dapat : kualitas dan ontro
1. Mengontrol nyeri, dengan presipitasi.
indikator : 4. Observasi reaksi

Mengenal faktor-faktor nonverbal dari

penyebab ketidaknyamanan.

2. Mengenal onset nyeri 5. Gunakan teknik

Tindakan pertolongan non komunikasi terapeutik

farmakologi untuk mengetahui


pengalaman nyeri klien
Menggunakan analgetik
sebelumnya.
Melaporkan gejala-gejala
6. Kontrol ontro
nyeri kepada tim kesehatan.
lingkungan yang
Nyeri terkontrol
mempengaruhi nyeri
2. Menunjukkan tingkat nyeri,
seperti suhu ruangan,
dengan indikator:
pencahayaan,
Melaporkan nyeri
kebisingan.
Frekuensi nyeri
7. Kurangi ontro
Lamanya episode nyeri
presipitasi nyeri.
Ekspresi nyeri; wajah 8. Pilih dan lakukan
Perubahan respirasi rate penanganan nyeri
Perubahan tekanan darah (farmakologis/non
Kehilangan nafsu makan farmakologis).
. 9. Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri.
10. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
11. Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/ontrol
nyeri.
12. Kolaborasi dengan
dokter bila ada
komplain tentang
pemberian analgetik
tidak berhasil.
13. Monitor penerimaan
klien tentang
manajemen nyeri.

Administrasi analgetik :.
1. Cek program pemberian
analogetik; jenis, dosis,
dan frekuensi.
2. Cek riwayat alergi.
3. Tentukan analgetik
pilihan, rute pemberian
dan dosis optimal.
4. Monitor TTV sebelum
dan sesudah pemberian
analgetik.
5. Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat
nyeri muncul.
6. Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan
gejala efek samping.
2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food Nutrition Management
nutrisi kurang dari and Fluid Intake 1. Monitor intake makanan
kebutuhan tubuh Intake makanan peroral dan minuman yang
b.d. yang adekuat dikonsumsi klien setiap
ketidakmampuan Intake NGT adekuat hari
menggunakan Intake cairan peroral 2. Tentukan berapa jumlah
glukose (tipe 1) adekuat kalori dan tipe zat gizi

Intake cairan yang yang dibutuhkan

adekuat dengan berkolaborasi


dengan ahli gizi
Intake TPN adekuat
3. Dorong peningkatan
intake kalori, zat besi,
protein dan vitamin C
4. Beri makanan lewat
oral,bila memungkinkan
5. Kaji kebutuhan klien
akan pemasangan NGT
6. Lepas NGT bila klien
sudah bisa makan lewat
oral

3 Defisit Volume NOC: NIC :


Cairan b.d Fluid balance Fluid management
Kehilangan volume Hydration 1. Timbang
cairan secara aktif, Nutritional Status : Food popok/pembalut jika
Kegagalan and Fluid Intake diperlukan
mekanisme Kriteria Hasil : 2. Pertahankan catatan
pengaturan Mempertahankan urine intake dan output yang

output sesuai dengan usia akurat

dan BB, BJ urine normal, HT 3. Monitor status hidrasi (


normal kelembaban membran
Tekanan darah, nadi, mukosa, nadi adekuat,
suhu tubuh dalam batas tekanan darah ortostatik
normal ), jika diperlukan
Tidak ada tanda tanda 4. Monitor vital sign
dehidrasi, Elastisitas turgor 5. Monitor masukan
kulit baik, membran mukosa makanan / cairan dan
lembab, tidak ada rasa haus hitung intake kalori
yang berlebihan harian
6. Kolaborasikan
pemberian cairan IV
7. Monitor status nutrisi
8. Berikan cairan IV pada
suhu ruangan
9. Dorong masukan oral
10. Berikan penggantian
nesogatrik sesuai output
11. Dorong keluarga untuk
membantu pasien
makan
12. Tawarkan snack ( jus
buah, buah segar )
13. Kolaborasi dokter jika
tanda cairan berlebih
muncul meburuk
14. Atur kemungkinan
tranfusi
15. Persiapan untuk tranfusi
K. Daftar pustaka
Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002

Soegondo S, dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu,


cetakan keenam. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Sudoyo, W Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : EGC

Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai