Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Refluks gastroesophageal atau gastroesophageal reflux (GER) adalah
suatu keadaan kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa
regurgitasi dan muntah. GER merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi,
anak-anak dan orang dewasa sehat. GER bisa terjadi beberapa kali dalam
sehari, dengan episode terbanyak kurang dari 3 menit, dan muncul setelah
makan dengan sedikit atau tanpa gejala. Berbeda dengan GER, jika refluks
isi lambung menyebabkan gangguan atau komplikasi, inilah yang di sebut
dengan GERD.1
Pada bayi, gejala berupa muntah yang berlebih yang terjadi pada 85%
pasien selama seminggu pertama kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru
timbul dalam waktu 6 minggu. Tanpa pengobatan gejala akan menghilang
pada 60% pasien sebelum umur 2 tahun pada posisi anak sudah lebih tegak
dan makan makanan padat, tetapi sisanya mungkin terus menerus mempunyai
gejala sampai sekurang-kurangnya berumur 4 tahun.2
Sebuah penelitian di Inggris pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak
dengan diagnosis GERD, dengan angka kejadian sekitar 0,84 per 1000 anak
per tahun. Insiden rendah pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat
kejadiannya hingga berumur 16-17 tahun.3
Suatu studi prevalensi terbaru di Jepang menunjukkan rerata prevalensi
sebesar 11,5% dengan GERD. Syam, dkk. melaporkan bahwa prevalensi
GERD di rumah sakit Cipto Mangunkusumo meningkat dari 5,7% pada tahun
1997 menjadi 25,18% pada tahun 2002. Dari eksplorasi statistik prevalensi
GERD di Indonesia diprediksi 7.153.588 pasien dari 238.452.952 populasi.
Peningkatan prevalensi GERD di Indonesia seiring dengan peningkatan
prevalensi GERD di Asia dan United State of America (USA).1
Pada bayi dan balita, tidak ada gejala kompleks yang dapat menegakan
diagnosis GERD atau memprediksi respon terhadap terapi. Pada anak yang

1
lebih besar dan remaja, seperti pada pasien dewasa, anamnesa dan
pemeriksaan fisik mungkin cukup untuk mendiagnosis GERD, jika terdapat
gejala yang khas. Gejala dapat berupa mual, muntah, regurgitasi, sakit uluhati,
gangguan pada saluran pernafasan dan gejala-gejala lain.1 Sedangkan
komplikasi pada GERD dapat berupa perdarahan, striktur, Barret esophagus
yang dapat berkembang menjadi adenokarsinoma esophagus, dimana semua
komplikasi tersebut dapat menggangu pertumbuhan maupun perkembangan
anak.4
Dalam makalah ini, penulis bermaksud menjelaskan lebih lanjut mengenai
GER dan GERD pada bayi dan anak serta berbagai hal yang kiranya
berhubungan dengan masalah itu sendiri sehingga didapatkan hasil terapi
yang efektif.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
diantaranya sebagai berikut :
a. Apa definisi dari GER dan GERD pada bayi dan anak
b. Bagaimana etiologi GER dan GERD pada bayi dan anak
c. Bagaimana patofisiologi GER dan GERD pada bayi dan anak
d. Apa saja gejala klinis GER dan GERD pada bayi dan anak
e. Bagaimana cara menegakkan diagnosis GER dan GERD pada bayi dan
anak
f. Apa saja diagnosis banding GER dan GERD pada bayi dan anak
g. Bagaimana penatalaksanaan GER dan GERD pada bayi dan anak
h. Apa saja komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat GER dan GERD pada
bayi dan anak

2
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Dalam penulisan makalah ini penulis bermaksud untuk
menjelaskan lebih lanjut mengenai GER dan GERD khususnya pada
bayi dan anak-anak.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dari GER dan GERD pada bayi dan anak
b. Untuk mengetahui etiologi GER dan GERD pada bayi dan anak
c. Untuk mengetahui patofisiologi GER dan GERD pada bayi dan anak
d. Untuk mengetahui gejala klinis GER dan GERD pada bayi dan anak
e. Untuk mengetahui cara menegakkan diagnosis GER dan GERD pada
bayi dan anak
f. Untuk mengetahui diagnosis banding GER dan GERD pada bayi dan
anak
g. Untuk mengetahui penatalaksanaan GER dan GERD pada bayi dan
anak
h. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat GER
dan GERD pada bayi dan anak
3. Manfaat
Dengan disusunnya makalah ini penulis mengharapkan agar makalah
ini dapat menambah pengetahuan penulis sendiri mengenai diagnosis,
terapi GER dan GERD pada bayi dan anak juga sebagai informasi
tambahan yang dapat diimplementasikan dalam praktek sehari-hari

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gastroesofageal reflux (GER) atau Refluks Gastroesofageal (RGE)
adalah suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian
bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah GER yang dihubungkan
dengan gejala patologis yang mengakibatkan komplikasi dan gangguan
kualitas hidup.5

2.2 Epidemiologi
Masih sedikit data yang ditemukan mengenai prevalensi dan insidensi
GERD pada anak. Di USA, dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien
berusia 3-17 tahun melalui kuesioner sebuah study. Sebuah studi di UK pada
tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD. Dan
angka kejadiannya adalah sekitar 0,84 per 1000 anak per tahun. Insiden ini
menurun pada anak umur 1-12 tahun dan meningkat kejadiannya hingga
berumur 16-17 tahun.3
Prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan
di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun
2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia
Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi
puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami
fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia
insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001),
sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia.3

4
GERD terdapat hampir lebih dari 75 % pada anak dengan kelainan
neurologi. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara
peristaltik esophagus dan peningkatan tekanan intraabdominal yang berasal
dari hipertonus otot yang dihubungkan dengan spastisitas.

Gambar 1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

Data prevalensi GER di Eropa berkisar 5-27%, sedangkan prevalensi


keluhan adanya heartburn dan regurgitasi asam dilaporkan antara 42-45%.
berbeda dengan Asia dimana dilaporkan prevalensi GER dan komplikasinya
relatif lebih rendah. Di Indonesia sendiri insidens GER sampai saat ini belum
diketahui, tetapi menurut beberapa ahli, GER terjadi pada 50% bayi baru lahir
dan merupakan suatu keadaan yang normal.5
Penelitian di India didapatkan 30% bayi dan 85% anak usia 12-24 bulan
dengan regurgitasi memperlihatkan gejala klinis yang diduga suatu GERD.
Penelitian di Children Hospital Houston, Texas dijumpai nyeri dada 55%, nyeri

5
epigastrium dan perut 75%, regurgitasi 45%, mual dan muntah 50%,
sedangkan nyeri menelan 15%-20% (disfagia).5
Insiden GERD dilaporkan lebih rendah pada bayi ASI dari pada bayi yang
diberi susu formula. Sejalan dengan sejarah alam regurgitasi, GERD pada bayi
dianggap memiliki insiden puncak sekitar 50% pada usia 4 bulan dan
kemudian menurun mempengaruhi hanya 5% sampai 10% bayi di usia 12
bulan.15

2.3 Anatomi Fisiologi


Pada bagian bawah esofagus, sekitar 2 sampai 5 cm di atas perbatasannya
dengan lambung, terdapat otot sirkular esofagus yang berfungsi sebagai
sfingter esofageal. Secara anatomis sfingter ini tidak berbeda dari bagian
esofagus lainnya. Akan tetapi, secara fisiologis, sfinger ini tetap menutup
secara tonik berbeda dengan bagian tengah esofagus yang dalam keadaan
normal tetap berelaksasi sempurna. Akan tetapi bila gelombang peristaltik
berjalan menuruni esofagus, “relaksasi reseptif” yang disebabkan oleh isyarat
nervus mienterikus merelaksasi sfingter esofageal bawah sebelum gelombang
peristaltik, dan memungkinkan makanan yang ditelan didorong dengan
mudah masuk ke lambung6

6
Gambar 2. Anatomi fisiologi

Fungsi utama sfingter esofageal bawah adalah untuk mencegah refluks


isis lambung ke bagian atas esofagus. Isi lambung sangat asam dan
mengandung banyak enzim proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada 1/8
bagian bawah esofagus, tidak mampu menahan kerja pencernaan sekret
lambung dalam waktu yang lama.6
Fungsi motorik lambung ada tiga, yaitu menyimpan makanan dalam
jumlah besar sampai makanan tersebut dapat ditampung pada bagia bawah
saluan pencernaan, mencampur makanan tersebut dengan sekret lambung
sampai makanan tersebut membentuk suatu campuran setengah padat yag
disebut dengan kimus, mengeluarkan makanan perlahan-lahan dari lambung
masuk ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan
absorpsi oleh usus halus.6

7
2.4 Etiologi 10

A. Tekanan lambung lebih tinggi dari pada tekanan esofagus.


1) Obstruksi
a) Stenosis Pilorus
b) Tumor Abdomen
c) Makan terlalu banyak
2) Peningkatan Peristaltik
 Gastroenteritis/ diare
3) Peningkatan tekanan abdomen
a) Obesitas
b) Memakai pakaian terlalu ketat
c) Pemanjangan waktu pengosongan lambung
B. Tekanan lambung sama dengan tekanan esofagus.
1) Gangguan Faal
 SEB longgar
a) Chalasia
b) Adult-ringed esophagus
c) Obat-obat asma
d) Merokok
e) Pemakaian pipa nasogastrik
2) Hiatal Hernia
Sebagian isi lambung memasuki rongga dada dan menyebabkan posisi
lambung tidak normal.
C. Faktor–faktor lain yang mempengaruhi
1) Penyakit gastrointestinal lain ( penyakit Crohn )
2) Eradikasi Helicobacter pylori
3) Faktor genetik
4) Reaksi respon imun berlebihan
5) Obat–obat yang mempengaruhi asam lambung; NSAIDs, calcium
channel blockers, dan lain–lain.

8
2.5 Patofisiologi 9,10,13
Esofagus merupakan saluran makanan berbentuk pipa yang terdiri dari
otot dengan panjang saluran lebih kurang 9.5 inci dan dilapisi epitel picak.
Batas saluran esopagus ini dimulai dari pangkal faring di bagian atas hingga
pada lambung di bagian bawah dengan satu sfingter yang tertutup rapat.
Fungsi utamanya adalah untuk membawa makanan yang ditelan dari mulut
hingga lambung, melalui sfingter pada bagian vestibula esofagus yang
terletak di antara ampula esofagus dan kardia lambung, dihubungkan oleh
membran freniko-esofagus di bawah diafragma. Sfingter tersebut harus sering
membuka dan menutup setiap harinya untuk memasukkan makanan ke
lambung, untuk mengeluarkan udara dan memungkinkan terjadinya
regurgitasi bahan-bahan dari lambung yang tidak diperlukan. Pada orang
dewasa, episode terjadinya refluks cukup jelas dan timbul hampir lima kali
dalam jam pertama setelah makan, dan frekuensinya berkurang hingga nol
kali pada masa satu sampai dua jam setelah makan. Berdasarkan laporan
terdahulu dikatakan bahwa pada bayi GER asimtomatik terjadi kira-kira 24
kali dalam satu hari satu malam. Refluks seperti ini pada bayi masih dianggap
fisiologis. Dikatakan Gastroesophageal reflux disease (GERD) jika kejadian
refluks meningkat baik dari frekuensi dan lamanya, jika terjadi regurgitasi
bahan-bahan refluks dan kehilangan kalori, atau bahan-bahan refluks merusak
mukosa esofagus dan menyebabkan esofagitis
Refleks esofageal pada dasarnya dapat terjadi karena ketidakseimbangan
antara faktor ofensif dan faktor defensif dari bahan refluksat. Adapun yang
termasuk faktor defensif adalah pemisah antirefluks dan ketahanan epitel
esofagus. Dalam keadaan normal, pemisah antirefluks terdiri dari SEB atau
sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), dan konfigurasi
anatomi gastroesophageal junction. Bentuk anatomik LES yang melipat
berbentuk sudut, dan kekuatan menutup dari sfingter, menjadikan LES
berperan penting dalam mekanisme antirefluks. Sementara yang menjadi
faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung, beberapa
kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan

9
pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying.
Terdapat dua kondisi yang harus ada untuk episode refluks yaitu isi
lambung siap untuk proses refluks dan mekanisme antirefluks pada LES
mengalami gangguan. Refluks terjadi jika tekanan LES menghilang atau
rendah (≤ 3 mm Hg). Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan tekanan
dalam lambung atau penurunan sementara tonus sfingter.penurunan tonus
sfingter dapat disebabkan oleh kelemahan otot atau gangguan relaksasi
sfingter yang difasilitasi oleh saraf. Penyebab sekunder kelemahan LES
antara lain kehamilan, merokok, obat relaksan otot kecil seperti beta
adrenergik, aminofilin, nitrat, kalsium antagonis dan kerusakan sfingter
karena operasi.

Gambar 3. Patofisiologi terjadinya GER9

2.6 Gejala Klinis


Terdapat pedoman yang membedakan manifestasi dari GERD pada bayi
cukup bulan (lebih muda dari 1 tahun) dan pada anak yang lebih dari 1 tahun
dan remaja.15

10
A. Gejala Klinis GERD pada bayi
Gejala umum GERD pada bayi meliputi regurgitasi atau muntah yang
berhubungan dengan bayi rewel, anoreksia atau menolak minum ASI,
penurunan berat badan, disfagia, mungkin nyeri menelan, sering muntah,
gangguan tidur, gejala respiratorik. GERD pada bayi juga dapat dikaitkan
dengan gejala extraesophageal batuk, tersedak, mengi, atau gejala pernapasan
atas.
B. Gejala Klinis GERD pada anak
Gejala umum pada anak dna remaja antara lain: sakir perut/ heartburn,
sering muntah, disfagia, asma, pneumonia berulang, gejala saluran napas
atas (batuk kronis, suara serak). Gejala GERD pada anak yang lebih tua dan
remaja dapat berupa mulas, nyeri epigastrium, nyeri dada, nyeri nokturnal,
disfagia, dan bersendawa asam,batuk malam hari, asma, pneumonia berulang,
sakit tenggorokan, suara serak, sinusitis kronis, radang tenggorokan, atau erosi
gigi.
C. Perbedaan gejala klinis GER dan GERD
Perbedaan gejala klinis GER dan GERD bisa dilihat pada tabel di bawah
ini:

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis GER dan GERD pada bayi dan anak10

Penyakit GER memiliki spektrum gejala klinis yang luas dan berbeda
untuk setiap kelompok umurnya. Regurgitasi, nausea dan muntah merupakan

11
gejala spesifik yang paling sering terlihat pada bayi, sedangkan pada anak
yang lebih besar didapatkan keluhan disfagia, heartburn, dan nyeri
epigastrium. Pada esofagitis berat dapat terjadi hematemesis dan melena.14

Tabel 2. Gejala klinis Esofagitis Reflux berdasarkan tingkat umur14

Simptom khas GERD adalah heartburn, yaitu rasa terbakar di dada


disertai nyeri dan regurgitasi (rasa asam pahit dari lambung terasa di lidah).
Salah satu dari keduanya cukup untuk mendiagnosis GERD secara klinis.
Selain kedua gejala tersebut, GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau
rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bawah, disfagia (kesulitan
menelan makanan), odinofagia (rasa sakit waktu menelan), mual dan rasa
pahit di lidah. Keluhan ekstraesofageal yang juga dapat ditimbulkan oleh
GERD adalah nyeri dada non kardiak, suara serak, laringitis, erosi gigi, batuk
kronis, bronkiektasis, dan asma.9

12
Gambar 4. Gejala Klinis Heartburn9

Gejala klinis nyeri, pada umumnya timbul akibat paparan asam


berlebihan atau telah berlangsung lama. Bayi akan menjadi rewel, cengeng,
dan kadang-kadang menjerit. Bayi juga sering memperlihatkan posisi
hiperekstensi pada tulang belakang pada saat atau setelah makan (back
arching). Pada esofagitis berat dijumpai darah pada isi muntahan, nyeri atau
gangguan menelan, dan darah pada tinjanya. Refluks gastroesofagus
patologik yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi apabila jumlah masukan kalori lebih
sedikit dibanding jumlah yang keluar. Makin lama regurgitasi berlangsung,
makin banyak orangtua menyatakan bahwa GER merupakan masalah.12
Isi lambung yang masuk ke dalam esofagus tidak hanya
makanan/minuman yang baru saja dikonsumsi, tetapi dapat pula disertai
asam, pepsin, atau empedu yang bersifat korosif sehingga dapat merusak
mukosa esofagus (esofagitis). Kerusakan mukosa esofagus diperlihatkan
secara klinis oleh anak dengan keluhan nyeri perut terutama ulu hati, mual,
muntah, dan menolak makan karena sakit menelan. Pada anak yang lebih
besar mengeluh nyeri di daerah dada.4 Paparan asam lambung yang
berlangsung kronis dapat menyebabkan perubahan epitel esofagus dari

13
stratified squamous menjadi epitel simple collumnar (Barret’s esophagus).
Esofagitis yang berat dapat menyebabkan komplikasi perdarahan dan struktur
esofagus.12

2.7 Diagnosis
Diagnosis GERD ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Akan tetapi, anak berusia di bawah 8-12 tahun tidak dapat
mengungkapkan apa yang dirasakan secara objektif. Disamping itu, tidak ada
gejala spesifik yang dapat digunakan untuk mendiagnosis atau memprediksi
respon terapi. Maka untuk menegakkan diagnosis GERD, pemeriksaan
penunjang diperlukan apabila anak memperlihatkan frekuensi dan durasi
refluks yang berlebihan, esofagitis, atau adanya hubungan yang nyata antara
gejala dan tanda dengan kejadian refluks pada keadaan tidak ada
kemungkinan diagnosis lain11
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis GERD berdasarkan
konsensus Montreal di tahun 2006 adalah pemantauan pH esophagus selama
24 jam. Namun pemeriksaan ini tidak mudah dilakukan di banyak pusat
kesehatan, karena memerlukan alat dan keahlian khusus. Di Indonesia sendiri,
konsensus nasional penatalaksanaan GERD (2004) menetapkan endoskopi
SCBA sebagai standar baku untuk menegakkan diagnosis PRGE. Pada
endoskopi SCBA akan didapatkan mucosal breaks diesophagus, dan pada
biopsinya ditemukan esofagitis.9
Pemeriksaan penunjang dapat berupa:11
a. Pemantauan pH esofagus
Pemeriksaan pH esofagus (pH-metri) dapat mengukur jumlah paparan
asam lambung dalam esofagus, walaupun tidak dapat mengukur tingkat
keparahannya. Tingkat keparahan refluks tidak berkorelasi dengan gejala
klinis yang diperlihatkan atau komplikasi yang terjadi. Pemantauan pH
esofagus bermanfaat untuk menilai efiksasi terapi anti-sekresi. Sensitivitas,
spesifisitas, dan kepentingan klinis dari pH-metri untuk mendiagnosis dan
mengobati komplikasi ekstra-esofagus belum disepakati. Penggunaan pH

14
metri yang dikombinasikan dengan ‘Impedansi Intraluminal Multiple’
(MII) dapat mendeteksi episode refluks asam maupun non asam.
Penggunaan kombinasi lebih akurat dibanding hanya pH-metri dalam
menilai hubungan gejala klinis dengan kejadian GER.
b. Manometri
Manometri esofagus kurang sensitif dan spesifik untuk mengkonfirmasi
diagnosis GERD meskipun hasilnya abnormal. Demikian pula, untuk
menilai respons terapi medikamentosa atau bedah. Pemeriksaan manometri
mungkin bermanfaat untuk mendiagnosis gangguan motilitas pada pasien
yang tidak respon terhadap terapi anti-sekresi sedangkan gambaran
endoskopi normal
c. Endoskopi
Kerusakan mukosa esofagus distal yang terlihat pada endoskopi
merupakan bukti yang akurat untuk refluks esofagitis. Biopsi jaringan
mukosa esofagus merupakan prosedur penting untuk mengidentifikasi atau
menyingkirkan penyebab lain esofagitis, serta untuk mendiagnosis dan
memantau Barrett esofagus (BE) serta komplikasinya. Walaupun
demikian, tidak ada perubahan gambaran histologis tidak menyingkirkan
kemungkinan GERD.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna atas merupakan alat diagnostik
pilihan untuk membuktikan adanya esofagitis yang dilanjutkan dengan
pemeriksaan biopsi jaringan mukosa. Kriteria Los Angeles digunakan oleh
pusat pendidikan dan pelayanan kesehatan anak di berbagai negara untuk
mendiagnosis esofagitis berdasarkan pemeriksaan endoskopi. Sebagai
langkah awal, kami ingin melaporkan kejadian esofagitis berdasarkan
pemeriksaan endoskopi menurut kriteria Los Angeles untuk memberikan
gambaran awal mengenai derajat kerusakan mukosa esofagus pada anak
yang secara klinis diduga mengalami esofagitis/ penyakit RGE.12

15
Tabel 3. Klasifikasi kerusakan mukosa esofagus berdasarkan kriteria
Los Angeles12
d. Barium kontras
Pemeriksaan barium kontras tidak bermanfaat untuk mendiagnosis GERD,
tetapi berguna untuk konfirmasi atau menyingkirkan kelainan anatomi
saluran cerna atas yang juga menyebabkan gejala klinis menyerupai
GERD.
e. Skintigrafi dan ultrasonografi
Skintigrafi tidak dianjurkan digunakan secara rutin sebagai pemeriksaan
penunjang untuk mengevaluasi kecurigaan GERD. Begitu pula,
ultrasonografi esofagus dan lambung tidak dianjurkan untuk dilakukan
secara rutin untuk menilai GER. Sampai saat ini belum ada ‘controlled
study’ yang membuktikan bahwa GER sebagai satu satunya penyebab
keluhan pada telinga dan paru. Begitu pula dengan keberadaan pepsin pada
telinga tengah atau aspirasi paru sebagai penyebab kelainan pada telinga,
sinus, atau paru. Tidak ada bukti untuk mendukung pemberian obat supresi
asam secara empiris sebagai uji diagnostik pada bayi karena gejala klinis
GERD tidak spesifik.

16
2.8 Dignosis Banding
Beberapa diagnosis banding GERD, antara lain :
a. Hiatus hernia7
Hernia hiatus adalah suatu kelainan anatomi dimana terdapat bagian
dari lambung menonjol melalui diafragma masuk ke rongga
thoraks. Pada keadaan normal, esofagus atau tabung makanan lewat turun
melalui dada, dan memasuki rongga abdomen melalui lubang di
diafragma disebut hiatus eshopagus. Tepat di bawah diafragma, esofagus
bergabung dengan lambung

Pada individu denganhernia hiatus, pembukaan hiatus esofagus lebih


besar dari biasanya, dan sebagian lambung bagian atas masuk melalui
hiatus ke rongga thoraks. Diperkirakan penyebab dari hiatus hernia
adalah karena hiatus esofagus yang lebih besar dari normal, sebagai
akibat dari pembukaan besar tersebut, bagian dari lambung
masuk ke rongga thoraks. Faktor yang berpotensi menyebabkan
terjadinya hernia hiatus adalah:

1) Suatu pemendekan permanen pada esofagus (yang mungkin


disebabkan karena inflamasi atau jaringan parut akibat refluks atau
regurgitasi asam lambung) yang menyebabkan lambung tertarik
keatas.
2) Perlekatan yang abnormal (longgar) dari esofagus ke diafragma
sehingga esofagus dan lambung naik keatas.

17
Gambar 5. Hernia hiatus12

c. Akhalasia
Merupakan suatu keadaan dimana tidak adanya relaksasi esophagus
terminal. Spasme esophagus dapat menimbulkan sumbatan partial pada
daerah perbatasan gaster-esophagus, dimana dengan Ba kontras, tampak
adanya konstriksi esophagus bagian terminal dan bagian atasnya melebar.
Keadaan ini sering ditemukan pada anak lebih besar , jarang pada bayi.
Pengobatannya dengan melebarkan bagian yang mengalami konstriksi
dan perlu tindakan berulang.5
d. Stenosis pylorus hipertrofi kongenital

Pada penderita dengan stenosis pylorus terdapat muntah yang


projektil terjadi pada umur lebih dari 1 minggu. Pada permulaan gejala
muntah tidak mencolok tetapi pada usia lebih dari 1 minggu, muntah
lebih sering dan lebih jelas. Gejalanya makin berat, berat badan tidak

18
naik. Penyebabnya tidak jelas, diduga ada tendensi familier karena 1%
dari penderita ternyata orang tuanya juga menderita kelainan yang sama.
Beberapa peneliti menduga adanya hipertrofi otot pilorus akibat adanya
spasme otot. Pendapat sarjana lain adalah respon terhadap rangsangan
atau iritasi terhadap n. vagus.5
e. Obstruksi / atresia duodenum
Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada
masa embrional disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang
sering terjadi adalah muntah-muntah yang mengandung empedu. Bila
atresia di bawah ampula vateri, muntahnya berupa gumpalan susu atau
muntahnya keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam
waktu lebih dari 24 jam. Pada penderita atresia duodenum, distensi
abdomen terjadi pada bagian atas. Bila penderita habis minum, tampak
gerakan peristaltik melintasi garis tengah, dari kiri ke kanan. Dengan foto
abdomen polos, tampak adanya gambaran “Double buble” yaitu tidak
adanya gambaran udara di usus halus. Pengobatan definitif adalah
operasi.5
f. Mekonium ileus
Sering terjadi pada bayi dengan penyakit kista fibrosis yang dasar
penyakitnya adalah perubahan pada jaringan pankreas, asini atropi dan
inaktif, sehingga produksi enzim pankreas sangat berkurang. Juga
disertai perubahan pada kelenjer yang memproduksi lendir dari saluran
pencernaan dan saluran pernafasan. Penyumbatan usus oleh mekonium
memberikan gejala mekonium tidak keluar lebih dari 24 jam, perut
gembung dan muntah-muntah yang makin lama makin sering dan makin
kental sehingga bayi akan mengalami dehidrasi. Pada pemeriksaan
dengan Ba kontras menunjukkan gambaran kolon dibawah sumbatan
mengecil. Pengobatan yang dikerjakan pada dasarnya simptomatik
dengan pemberian enzim pankreas dan mengatasi masalah metabolik
yang terjadi. Dapat dilakukan irigasi usus dengan gastroprafin untuk

19
melunakkan mekoneum yang kental. Bila pengobatan tersebut gagal,
maka dilakukan operasi.5

2.9 Penatalaksanaan10
Penatalaksanaan GERD antara lain:
A. Merubah gaya hidup dan kebiasaan.
Pada penderita penyakit RGE dianjurkan untuk merubah beberapa
kebiasaan yang berhubungan dengan gejala RGE. Yang sering dianjurkan
terutama pada anak besar dan remaja adalah untuk berhenti merokok,
minum alkohol,minum kopi dan menurunkan berat badan pada obesitas,
jangan langsung tidur setelah makan dan mengurangiporsi makanan.
Gravitasi juga berpengaruh terhadap kejadian gastroesofagial refluks
terutama pada bayi. sehingga memosisikan bayi dengan benar dapat
mencegah GERD seperti meninggikan posisi kepala sewaktu tidur, posisi
tidur. Pemberian formula makanan yang lebih padat juga dianjurkan
seperti thickening milk, dan tidak memakaikan pakaian ketat. Pada
penderita asma sebaiknya dihindarkan pemakaian obat–obatan yang
dapat menurunkan tekanan SEB terutama dari golongan agonis B2 dan
mengurangi pemakaian steroid oral. Tapi belum banyak bukti yang
mendukung keberhasilan dengan hanya merubah kebiasaan dan gaya
hidup saja, karena biasanya gejala GER selalu diatasi segera dengan
pemakaian obat–obatan juga.
B. Terapi Farmakologi
Obat supresi asam harus digunakan secara seimbang dengan
mempertimbangkan antara manfaat yang diberikan dan potensi efek
samping yang ditimbulkan, seperti infeksi saluran cerna. Antagonis
reseptor histamin-2 (H2RAs) memiliki onset kerja yang cepat. Preparat
H2RAs dapat digunakan sebagai terapi on-demand. Untuk penyembuhan
esofagitis erosif dan menghilangkan gejala GERD. Proton Pump
Inhibitor (PPI)lebih unggul dibandingkan H2RAs. Pemberian obat
supresi asam jangka panjang tanpa diagnosis pasti tidak dianjurkan.

20
Apabila terindikasi, maka harus diberikan dengan dosis efektif terkecil.
Sebagian besar pasien cukup diberikan PPI dengan dosis sekali sehari;
sedangkan pemberian dosis dua kali sehari secara rutin tidak terindikasi.
Preparat PPI tidak dianjurkan untuk digunakan pada bayi berusia kurang
dari 12 bulan.Saat ini, dampak negatif pemberian prokinetik lebih
dikhawatirkan dibanding potensi manfaatnya untuk terapi GERD. Tidak
cukup bukti secara klinis untuk menganjurkan pemberian
metoclopramide, eritromisin, bethanechol, cisapride, atau domperidone
secara rutin untuk GERD. Obat yang mengandung buffer dan sodium
alginate tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam jangka panjang,
karena beberapa diantaranya memiliki komponen yang dapat
menimbulkan kerugian pada penggunaan jangka panjang8

1) Antasida

Tujuan pemberian antasida yang dapat menetralisir asam lambung


adalah untukmengurangi paparan asam diesofagus, mengurangi gejala
nyeri ulu hati dan memperingan esofagitis. Pengalaman pemakaian
antasid apada bayi dan anak belum banyak sehingga tidak
direkomendasikan. Pemakaian antasida terbatas hanya untuk jangka
pendek saja.

2) Antagonis reseptor H2

Cara kerja golongan obat ini adalah menekan sekresi asam


dengan menghambat reseptor H2pada sel parietal lambung. Ranitidin
merupakan jenisyang paling sering digunakan. Obat ini efektif untuk
mengurangigejalaesofagitis ringan. Tetapi efeknya terhadap esofagitis
berat belum banyak dilaporkan.

3) Prokinetik

Obat–obat prokinetik meningkatkan motilitas esofagus dan


lambung sehingga membantu mempercepat waktu pengosongan

21
lambung serta dapat meningkatkan tekanan SEB (septum esofagus
bawah). Peran prokinetik untuk mengurangi episode refluks belum
terbukti. Untuk mengurang gejalamuntah dan regurgitasi, golongan
prokinetik dapat diandalkan. Jenis obat yang sering dipakai adalah
cisaprid, metoklopramid dan betanekol. Dilaporkan dari berbagai
penelitian bahwa cisaprid relatif aman walaupun kadang–kadang
memberikan efeksamping berupa diare dan kolik yang bersifat
sementara. Efek cisapridterhadap jantung (memperpanjang interval
QT) juga pernah dilaporkan.

4) Proton pump Inhibitor

Golongan obat ini mensupresi produksi asam lambung dengan


menghambat molekul dikelenjar lambung yang bertanggung jawab
mensekresiasam lambung, biasa disebut pompa asam lambung (gastric
acid pump). Omeprazol terbukti effektif pada esofagitis berat yang
refrakter terhadap antagonis reseptor H2. Namun demikian
pengalaman pemakaian omeprazol pada bayi dan anak masih belum
banyak dilaporkan.

Tabel 4. Obat yang Digunakan pada Kasus GERD untuk Bayi dan
Anak8

22
C. Operasi

Tindakan operasi diindikasikan pada kasus–kasus berat yang tidak


respon terhadap pengobatan. Operasi tidak menjadi bagian dari
tatalaksana rutin GER. Sebelum dilakukan operasi semua prosedur
diagnostik harus dilakukan. Jenis operasi yang biasa dilakukan adalah
fundoflikasi dan fundoflikasi laparoskopi.
Indikasi operasi adalah jika RGE menyebabkan :
1) Muntah persisten dengan gagal tumbuh
2) Esofagitis atau adanya striktur esofagus
3) Penyakit paru kronis atau apneic spell yang tidak respon dengan
pengobatan selama 2–3 bulan
4) Anak berusia > 18 bulan, dengan hiatus hernia yang besar
5) Anak dengan gangguan neurologis yang tidak respon dengan obat-
obatan

2.10 Komplikasi16
Komplikasi yang terjadi pada GER dan GERD pada bayi dan anak antara
lain:
A. Esofagitis, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau
makan, nyeri pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan
jarang terjadi hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis
yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan pembentukan
striktura, yang biasanya berlokasi di distal esophagus, yang
menhasilkan disfagia, dan membutuhkan dilatasi esophagus yang
berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang berlangsung lama juga bisa
menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel skuamosa yang disebut
dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk terjadinya
adenocarcinoma esophagus.

23
B. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal
tumbuh karena deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral
(nasogastrik atau nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal)
atau pemberian melalui parenteral terkadang dibutuhkan untuk
mengatasi deficit tersebut.
C. Extra esophagus
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung
terhadap refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi
atau mikroaspirasi).Aspirasi yang terus menerus yang terjadi pada
GER merupakan presisposisi terjadinya pneumonia berulang pada bayi
dan anak dengan GERD.

24
BAB III
KESIMPULAN

Refluks gastroesofagial merupakan keadaan fisiologis yang dapat terjadi bada


bayi dan dan anak normal. Namun GER yang terjadi secara terus menerus hingga
menimbulkan komplikasi dan menjadi GERD merupakan salah satu masalah
saluran cerna pada bayi dan anak yang perlu mendapat perhatian serius. Refluks
gastroesofagus patologik yang berlangsung terus menerus dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi apabila jumlah masukan kalori
lebih sedikit dibanding jumlah yang keluar. Pemahaman gejala klinis, pemilihan
pemeriksaan penunjang, dan pemberian terapi yang adekuat sangat diperlukan
untuk memberikan kualitas hidup anak yang optimal.

Karena gejala GERD tidak begitu spesifik sehingga pmeriksaan penunjang


yang tepat sangat berguna daam penegakan diagnostik. Pemeriksaan penunjang
penegak diagnosis yang akurat dilakukan adalah pemantauan pH esofagus dalam
24 jam selain itu endoskopi esofagus dapat digunakan untuk menilai derajat
kerusakan esofagus.

Penatalaksanaan GER dan GERD dapat dilakukan dengan mengubah


gaya hidup pada bayi dan anak seperti pola makan, kebiasaan posisi tidur dan
asupan makanan yang diberikan oleh orang tua. Pemberian obat-obatan pada
kasus ini perlu dipertimbangkan antara efek samping obat yang diberikan dan
seberapa besar manfaat obat-obatan tersebut. Operasi dilakukan pada kasus-kasus
yang sangat berat dan tidak respon terhadap terapi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines.


Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4,
October 2009
2. Sunoto. Esofagus. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Editor : AH
Markum ; Ismail S, Alatas H, et al. Jakarta : FKUI, 2002
3. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in primary
care. Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010
4. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of
pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders ; 2004
5. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007
6. Guyton. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. Jakarta:
EGC. 1995
7. Jay W. Marks, MD. Hiatal Hernia.
http://www.medicinenet.com/hiatal_hernia/article.htm
8. Syarifudin, M. 2014. Using The proton-pump inhibitors (PPI) for Children
with Case Gastroesophageal Reflux Disease (GERD. Farmasains. 2 (4):
196-201
9. Ndraha, S. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Medicinus. 27 (1): 5-7
10. Supriatmo. 2003. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Gejala Refluks
Gastroesofagus pada Anak Usia Sekolah Dasar. Bagian Ilmu Kesehatan
Anak. Universitas Sumatera Utara. Sumatera Utara
11. Prayitno, A., Hegar, B., Wulandari, H.F., Oswari, H., Satari, H.I.,
Karyanti, M.R., Kadim, M., Setiabudy, R., Dwipoerwantoro, O.G.,
Sastiono., Hadinegoro, S.R., Tambunan, T., Prawitasari,T. 2012. Update
Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorder.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM: Jakarta

26
12. Hasibuan, B., Hegar, B., Kadim, M. 2012. Derajat Kerusakan Mukosa
Esofagus pada Anak dengan Penyakit Refluks Gastroesofagus. Sari
Pediatri. 14(1): 19-23
13. Siregar J.I.M. 2010. Hubungan Antara Asma Bronkial dengan Refluks
Gastroesofageal di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Skripsi. Universitas
Sebelas Maret. Solo
14. Hegar, B., Mulyani, L. 2006. Esofagitis Refluks pada Anak. Sari Pediatri.
8(1): 43-53
15. Lightdale, J.R. dan Gremse,D.A. 2013. Gastroesophageal Reflux:
Management Guidance for the Pediatrician. PEDIATRICS. 131(5): 1684-
1695
16. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus.
Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. 2004. Nelson Textbook
of pediatrics.edisi ke-17. Philadelphia : Sounders

27

Anda mungkin juga menyukai