Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Ekstrimitas bawah atau kaki adalah organ yang berperan banyak dalam
kehidupan kita sehari-hari dengan kaki kita bergerak, berjalan dan kaki pun
berfungsi untuk menopang tubuh kita. Ekstrimitas bawah atau kaki terdiri dari 4
regio (daerah) berupa regio femoris, regio genu, regio cruris dan regio pedis.
Gangguan yang terjadi pada regio-regio diatas tersebut dapat menyebabkan
gangguan pada fungsi kaki baik ringan maupun berat dan tentunya hal ini akan
mengganggu kita didalam beraktifitas.
Congenital Talipes Equino Varus atau yang dikenal dengan Clubfoot bukan
merupakan suatu embryonic malformation. Kaki yang normal berkembang
menjadi clubfoot saat trimestester kedua selama masa kehamilan. Pada usia
kehamilan di bawah 16 minggu, penyakit ini sulit dideteksi dengan ultrasonografi.
Oleh sebab itu, seperi displasia panggul dan idiopatic scoliosis, clubfoot dapat
digolongkan sebagai developmental deformation
Congenital talipes Equinovarus merupakan suatu kelainan bawaan yang
sering ditemukan pada bayi baru lahir, mudah didiagnosis tapi koreksi
sepenuhnya sulit dilakukan. Sering ditemukan karena ketidaktahuan keluarga
penderita, sehingga kelainan menjadi terbengkalai. Clubfoot adalah istilah umum
yang digunakan untuk menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah
dari posisi normal. Clubfoot sering disebut Congenital Talipes Equino Varus.
CTEV adalah deformitas yang meliputi flexi dari pergelangan kaki, inversi dari
tungkai, adduksi dari kaki depan dan rotasi media dari tibia.
Congenital idiopathic talipesequinovarus (CTEV) merupakan salah satu
defek kongenital yang paling sering terjadi. Hipocrates memperkenalkan kelainan
ini sekitar 300 tahun sebelum masehi. Prevalensi kejadian 1-2 per 1000 kelahiran.
Biasanya anak laki-laki lebih sering terkena dengan ratio 2:1. Pada kasus
unilateral, kaki kanan lebih sering terkena. Di Indonesia belum ada pencatatan
tentang penyakit ini. Penyakit ini terkadang tidak disadari oleh orang tua yang

1
baru melahirkan bayi dan akhirnya seringkali terapi dilakukan terlambat atau
bahkan sampai terbengkalai.
Pengetahuan tentang Congenital Talipes Equino Varus ini penting bagi
seorang dokter terutama dokter umum di daerah. Diagnosis yang tepat dapat
ditegakkan melalui serangkaian anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang
baik. Dengan demikian, terapi yang sesuai dapat segera dilakukan untuk
mengatasi deformitas yang terjadi.
Manipulasi dan immobilisasi serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti
pemasangan gips adalah metode perawatan modern non-operatif. Cara imobilisasi
yang saat ini mungkin paling efektif adalah metode Ponseti; metode ini dapat
mengurangi perlunya operasi.
Tanpa terapi, pasien dengan clubfoot akan berjalan dengan bagian luar kakinya, yang
mungkin menimbulkan nyeri dan atau disabilitas. Meskipun begitu, hal ini masih menjadi
tantangan bagi keterampilah para ahli bedah ortopedik akibat adanya kecenderungan kelainan ini
menjadi relaps, tanpa memperdulikan apakah kelainan tersebut diterapi secara operatif maupun
konservatif. Salah satu alasan terjadinya relaps antara lain adalah kegagalan ahli bedah dalam
mengenali kelainan patoanatomi yang mendasarinya. Clubfoot seringkali secara otomatis
dianggap sebagai deformitas equinovarus, namun ternyata terdapat permutasi dan kombinasi
lainnya, seperti Calcaneovalgus, Equinovalgus dan calcaneovarus yang mungkin saja terjadi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Pedis

Pedis pada manusia terdiri dari 26 tulang, yang dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
7 tulang tarsal
5 tulang metatarsal
14 tulang phalanges
Pedis atau kaki, dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu: kaki belakang
(hindfoot), kaki tengah (midfoot), kaki depan (forefoot). Kaki belakang terdiri
dari 2 tulang dari 7 tulang tarsal yaitu tulang kalkaneus dan talus dan kelima
sisa tulangnya termasuk dalam kaki tengah, dan kaki depan terdiri dari tulang
metatarsal dan phalanges.

Gambar 2.1 Anatomi tulang pedis

2.1.1 Anatomi Tulang Pedis


Tulang tarsal terdiri dari 7 tulang yaitu calcaneus, talus, cuboidea
naviculare dan 3 tulang cuneiforme.

3
2.1.1.1 Tulang calcaneus
Tulang calcaneus adalah tulang yang terbesar yang
terdapat di region pedis, tulang ini berada di daerah tumit dan
berfungsi untuk menopang badan ketika tumit kita menyentuh
permukaan. Tulang ini menjorok keluar pada kaki bagian
belakang, merupakan tempat melekatnya ligament calcaneus.
Tulang ini memiliki 3 dimensi dan berbentuk persegi panjang
dan memiliki 6 permukaan. Tulang calcaneus memiliki 2
artikulasi yaitu dengan tulang cuboid dan talus.
2.1.1.2 Tulang Talus
Talus adalah tulang kedua terbesar pada tulang tarsal dan
berada diatas tulang calcaneus pada bagian belakang kaki.
Tulag ini unik karena 2 dari tiga permukaan tulang ditutupi
oleh artikulasi kartilago dan tulang ini tidak memilki insersio
entah itu dari tendon atau otot. Tulang ini memiliki 5
permukaan sendi semua memiliki fungsi menahan berat badan.
Tulang ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu kepala, leher dan
badan.
2.1.1.3 Tulang cuboid
Tulang cuboid terletak di sisi lateral kaki, didepan dari
tulang calcaneus dan dibelakang tulang ke empat dan kelima
dari metatarsal.
2.1.1.4 Tulang naviculare
Tulang naviculare terletak pada medial pada kaki tengah
diantara talus dan 3 tulang cuneiforme.
2.1.1.5 Tulang Cuneiforme
Tulang cuneiforme terdiri dari 3 tulang yaitu cuneiforme
medial, tengah dan lateral.

4
Gambar 2.2 Tulang pedis dilihat dari sisi medial dan lateral

2.1.1.6 Tulang metatarsal


Tulang metatarsal terdiri dari tulang kesatu sampai kelima
dihitung dari medial ke lateral masing-masing memiliki kepala,
leher dan basis. Karakteristik umum tulang metatarsal; tulang-
tulang metatarsal secara kasar berbentuk silinder. Bentuknya
mengecil dari ujung proksimal ke ujung distal. Tulang ini
melengkung di sumbu panjang, pada permukaan plantar
berbentuk cekung dan permukaan dorsal cembung.
2.1.1.7 Tulang phalanges atau jari-jari kaki
Tulang jari-jari kaki berjumblah sama dengan jari-jari
tangan, bentuknya pun lumayan sama ada jempol dan juga
telunjuk serta 3 jari lainnya meskipun dalam bentuknya
berbeda dari segi ukuran.
2.1.2 Struktur-Struktur pada regio pedis
Struktur yang berjalan melalui retinaculum extensorum(selaput
pembungkus) dari medial kelateral adalah :
Tendon m. tibialis anterior
Tendon m. ekstensor hallucis longus
a. tibialis anterior
n. peroneus profundus

5
Tendon m. ekstensor digitorum longus
m. peroneus tertius
Tendon- tendon diatas dikelilingi oleh selubung synovial. Struktur
yang berjalan dibelakang malleolus medialis dari medial kelateral
adalah:
Tendon m. tibialis posterior
m. flexor digitorum longus
a. tibialis posterior
n. tibialis
m. flexor hallucis longus
n. suralis

2.2 Definisi

CTEV (Congenital Talipes Equino Varus) sering disebut juga clubfoot


adalah deformitas yang meliputi flexi dari pergelangan kaki, inversi dari
tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia. Taliper berasal
dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukan suatu kelainan pada kaki
(foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada pergelangan kakinya.
Sedang Equinovarus berasal dari kata equino (seperti kuda) dan varus
(bengkok ke arah dalam/medial).
Kelainan bawaan ini merupakan gabungan beberapa keadaan, yaitu
kedudukan adduksi, dan supinasi kaki pada sendi tarso-metotarsal, posisi
varus kalkaneus pada sendi subtalar, kedudukan equinos pada sendi
pergelangan kaki, dan deviasi ke arah medial seluruh kaki terhadap lutut.
Deviasi ke medial kaki disebabkan angulasi leher talus dan torsi tibia kea rah
dalam. Tingkatannya dapat ringan, sedang, berat tergantung pada kekakuan
dan tahanannya.
Otot pada bagian posterior, terutama m.gastroknemius dan m.tibialis
posterior pendek dan simpai sendinya menjadi lebih tebal dan memendek
pada sisi konkaf kelainan ini.

6
Kontraktur jaringan lunak berjalan progresif dan menimbulkan
perubahan sekunder. Tidak saja pada tulang yang sedang tumbuh, tetapi juga
pada sendi. Oleh karena itu, koreksi kelainan bawaan ini harus dikoreksi
sedini mungkin.

Gambar 2.3 Clubfoot atau Congenital Talipes Equino Varus


penampilan umum

2.3 Epidemiologi
CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan
merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system
musculoskeletal. Insidensi CTEV beragam pada beberapa Negara, di Amerika
Serikat 2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000 kelahiran; pada ras
Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000 kelahiran; pada
orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000 kelahiran;
pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada orang
Hawaii.
Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1 terhadap perempuan, dimana
50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering
terkena.
Insidensi akan semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat
keluarga yang menderita CTEV. Kemungkinan munculnya CTEV bila ada

7
riwayat keluarga yaitu sekitar 1:35 kasus, dan sekitar 1:3 (33%) bila anak
terlahir kembar identik.

2.4 Etiologi
Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya
merupakan isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang
muncul bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan
kongenital multiple. Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk
menjelaskan etiologi CTEV, yaitu
1. Faktor mekanik in utero
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates.
Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya
kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada
1939 mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya cairan amnion,
seperti oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan rentan terhadap
kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan memicu deformitas
ini.
2. Defek neuromuskuler
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat
dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang
menemukan gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya
jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada
clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang
.Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan
PDGF pada pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam
kasus-kasus resisten.
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan
14 kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan
rotasi ke medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini karena adanya
defek pada primary germ plasma.

8
4. Arrested fetal development
a. Intrauterina
Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa adanya
gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah penyebab
clubfoot kongenital.
b. Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta
asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi
temporary growth arrest pada janin.
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula
(6,5 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika
terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka
kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat.
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari
CTEV, namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah
multifactorial dan proses kelainan telah dimulai sejak limb bud
development.

2.5 Patofisiologi
Banyak Hipotesis dari para pakar tentang patofisiologi penyakit ini,
tetapi sampai sekarang masih di pertentangkan akan kebenarannya, beberapa
hipotesis itu antara lain:
1. Trauma mekanik atau posisional hipotesis
Hoffa(1902) mempromosikan hipotesis ini secara luas tentang penyebab
dari clubfoot adalah karena terjadi retriksi uterin, ia meyakini bahwa
pergerakan kaki didalam uteruslah yang menyebabkan ideopatik CTEV. Ia
mengatakan bahwa idiopatik CTEV timbul dari olygohidramnion, dimana
penurunan cairan ini menjadi penyebabnya. Namun demikian yang
membuat hipotesis ini meragukan adalah bahwa pada kenyataannya bayi
dengan olygohidramnion biasanya disertai kelainan neurologis lain, hal ini

9
berbeda dengan idiopatik ctev. Yang kedua adalah kenyataan bahwa
CTEV dapat didiagnosis pada trimester kedua kehamilan dimana hal ini
jauh sebelum tekanan intrauterine dapat mempengaruhi perkembangan
fetus.
2. Hipotesis tulang atau persendian
Hipotesis ini mengatakan bahwa ketidaknormalan pada tulang itu sendiri
yang menyebabkan kelainan. Hipocrates menyebutkan: Deformitas
melibatkan semua kombinasi tulang dimana kombinasi inilah yang
membentuk tulang kaki. Semua perubahan yang terlihat dalam bagian
yang lunak adalah hal yang sekunder
3. Hipotesis jaringan ikat
Hipotesis ini mengatakan bahwa kelainan primer dari jaringan ikatlah
yang bertanggung jawab atas terjadinya idiopatik ctev. Hipotesis ini
didukung oleh asosiasi ICTEV with joint laxity. Anak-anak yang
menderita penyakit ini ditandai dengan plantar fibrosis, ini ditemukan saat
operasi. Ippolito dan Ponseti pada tahun 1980 mendokumentasikan
peningkatan jaringan fibrosa pada otot, fasia, ligamen dan selubung
tendon. Dari studi yang melibatkan 5 anak clubfoot dan tiga kaki normal,
mereka menyipulkan bahwa jaringan fibrosis yang bersifat retraksi bisa
menjadi faktor dalam terjadinya ICTEV.
4. Hipotesis vaskuler
Atlas et al.(1980) juga mempelajari tentang struktur vaskuler pada
clubfoot. Mereka mendokumentasikan bahwa terdapat kelainan vaskuler
dalam 12 fetus yang mimiliki deformitas pada kaki. Pada tingkat sinus
tarsal ditemukan adanya hambatan pada satu atau dua cabang dari vaskuler
pada kaki. Ini adalah hal 'yang paling mencolok pada periode awal
kehidupan janin, dan berkurang menjadi sebuah simpul sederhana dari
infiltrasi lemak dan jaringan fibrosa pada spesimen yang lebih tua dan
pada bayi yang lahir mati'. Individu yang memiliki kelainan ICTEV
mempunyai otot yang lemah pada bagian ipsilateral, dimana ini

10
berhubungan dengan kurangnya perfusi dari perkembangan arteri tibialis
anterior.
5. Hipotesis neurological
Talipes equinovarus adalah salah satu gejala dari syndrome neurological;
contohnya, kelainan ini sering diasosiasikan dengan kelainan neuronal
yang sekunder terhadap spina bifida. Kelainan neuronal dilaporkan
terdapat pada 18 kasus dari 44 kasus ICTEV, dimana pada 18 kasus itu
didapatkan kelainan pada tingkatan spinal
6. Hipotesis gangguan perkembangan
Pada saat perkembangan akhir dari anggota badan manusia (9-38 minggu),
proses penulangan rawan pada kaki selesai, dimulainya proses osifikasi,
kavitasi sendi dan pembentukan ligamen selsesai dan ekstrimitas distal
berputar medial. Rotasi ini memungkinkan telapak kaki menghadap
ketanah bukannya menghadap sisi abdomen, seperti yang terlihat pada
kaki pada periode embrio akhir. Pronasi terus berlangsung dari kelahiran
sampai pengembangan pascakelahiran. Bohm (1929) meneliti hipotesis
gangguan perkembangan, Hueter dan von Volkmann dalam deskripsi
anatominya dengan hati-hati meneliti kaki selama pengembangan. Dia
membuat model lilin dari kerangka kaki janin di usia kehamilan yang
berbeda. Pengamatannya membuatnya menyimpulkan bahwa clubfoot
yang parah menyerupai kaki embrio pada awal bulan kedua dan
deformitasnya disertai dengan keterbelakangan tulang dan otot.
Temuannya kemudian direplikasi oleh Kawashima & Uhthoff (1990).
Studi ini mendukung pandangan bahwa clubfoot mungkin timbul karena
adanya gangguan pada rotasi medial normal kaki dalam perkembangan
janin akhir. Memang, mungkin saja terjadi ICTEV sebagai akibat dari
gangguan kontrol genetik dari proses rotasi pada janin.

11
2.6 Gejala Klinis
Pada CTEV ( clubfoot ) sudah jelas ditemukan kelainannya sejak baru
lahir. Kedua kakinya berputar dan terplintir ke dalam sehingga alas kakinya
menghadap ke posteromedial. Lebih tepatnya, pergelangan kaki ( ankle )
dalam posisi equinus, telapak kaki inversi dan forefoot dalam keadaan
adduksi dan supinasi. Kadang terdapat kelengkungan yang besar ( cavus ) dan
talus menonjol keluar pada permukaan dorsolateral kaki. Tumit biasanya
kecil dan tinggi, terlihat kurus. Bayi harus selalu diawasi untuk mengetahui
adanya kelainan-kelainan misalnya dislokasi pinggul congenital dan spina
bifida. Tidak ditemukannya lipatan mengindikasikan arthogryposis, lihatlah
apakah ditemukan adanya kelainan sendi yang lain.

Gambar 2.4 Gambaran kaki CTEV

Deformitas ini mudah dikenali dan terlihat nyata pada waktu lahir. Kaki
terputar dan terbelit sehingga telapak kaki menghadap posteromedial. Gejala-
gejala lokalnya adalah sebagai berikut:

12
Inspeksi : betis terlihat kurus, deformitas berupa equinus pada
pergelangan kaki, varus pada hindfoot/tumit dan adduksi dan supinasi
pada forefoot
Palpasi : pemeriksaan palpasi tidak memiliki banyak arti
Saat digerakkan : deformitas terfiksir dan tidak dapat dikoreksi secara
pasif. Meskipun kaki pada bayi normal dapat terlihat dalam posisi
equinovarus, tetapi dapat didorsofleksikan sampai jari jari menyentuh
bagian depan tungkai bawahnya.

2.7 Klasifikasi
Klasifikasi clubfoot:
a. Typical Clubfoot. Merupakan clubfoot klasik yang hanya menderita
clubfoot saja tanpa disertai kelainan lain. Umumnya dapat dikoreksi
setelah lima kali pengegipan dan dengan manajemen ponseti mempunyai
hasil jangka panjang yang baik atau memuaskan.
b. Positional clubfoot sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel dan diduga
akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi dapat dicapai dengan
satu atau dua kali pengegipan.
c. Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih.
d. Recurrent typical clubfoot dapat terjadi baik pada kasus yang awalnya
ditangani dengan metode ponseti maupun dengan metode lain. Relaps
lebih jarang terjadi dengan metode ponseti dan umumnya diakibatkan
pelepasan brace yang terlalu dini. Rekurensi supinasi dan equinus paling
sering terjadi. Awalnya bersifat dinamik namun dengan berjalannya waktu
menjadi fixed.
e. Alternatively treated typical clubfoot termasuk clubfoot yang ditangani
secara operatif atau pengegipan dengan metode non-Ponseti.
f. Atypical clubfoot kategori ini pada biasanya berhubungan dengan penyakit
lain. Mulailah penanganan dengan metode ponseti. Koreksi umumnya
lebih sulit.

13
g. Rigid atau Resistant atypical clubfoot dapat kurus atau gemuk. Kasus
dengan kaki yang gemuk lebih sulit ditangani. Kaki tersebut umumnya
kaku, pendek, gemuk dengan lekukan kulit yang dalam pada telapak kaki
dan dibagian belakang pergelangan kaki, terdapat pemendekan metatarsal
pertama dengan hiperekstensi sendi metatarsophalangeal. Deformitas ini
terjadi pada bayi yang menderita clubfoot saja tanpa disertai kelainan yang
lain.
h. Syndromic clubfoot. Selain clubfoot ditemukan juga kelainan kongenital
lain. Jadi clubfoot merupakan bagian dari suatu sindroma. Metode ponseti
tetap merupakan standar penanganan, tetapi mungkin lebih sulit dengan
hasil kurang dapat diramalkan. Hasil akhir penanganan lebih ditentukan
oleh kondisi yang mendasarinya daripada clubfootnya sendiri
i. Tetralogic clubfoot seperti pada congenital tarsal synchondrosis.
j. Neurogenic clubfoot berhubungan dengan kelainan neurologi seperti
meningomyelocele.
k. Acquired clubfoot -seperti pada Streeter dysplasia.

2.8 Diagnosis Antenatal


Congenital talipes equinovarus dapat didiagnosis pada masa antenatal
dengan menggunakan teknologi ultrasound. Variasi keakuratan cukup luas
dengan menggunakan teknik tersebut. Sebuah studi menemukan bahwa
diagnosis dengan ultrasound memiliki angka prositive prediktif sebesar 83%
dengan false positif sebesar 17%. Studi yang lain menemukan bahwa derajat
deformitas sangat sulit untuk dievallusai sebelum kelahiran. Pada masa
kelahiran, sebanyak 26% ditemukan tanpa membutuhkan terapi bedah
sementara sebanyak 61% membutuhkan adanya terapi pembedahan.
Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling
cepat pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi
yang ditandai dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia.
True clubfoot harus dibedakan dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak
dapat sepenuhnya dikoreksi secara pasif. Postural clubfoot terjadi karena

14
posisi janin saat di dalam uterus. Pada kelainan ini tidak didapatkan
kontraktur yang signifikan, skin creases yang dalam atrofi dan rigiditas
ekstremitas. Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus
yang dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan
memiliki prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang
tinggi. CTEV dengan arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau
Freeman-Sheldon syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal
alcohol syndrome penanganannya hampir pasti meliputi tindakan operatif.
Terkecuali CTEV dengan Down syndrome dan Larsen syndrome, penanganan
seringkali hanya secara nonoperatif.

2.9 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada
tulang tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-
tulang tersebut telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat
dilakukan dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral dengan stress
dorsofleksi (Baruah et al, 2013). Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal
(30-50o) dan talo-metatarsal I (0-10o), sedangkan pada proyeksi lateral
diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan tibiocalcaneal (10-20o). Sudut-sudut
tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV, sehingga dapat
memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan diberikan.

2.10 Diagnosis Banding


Diagnosis banding CTEV antara lain:
a. Postural clubfoot
Terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas kaki ini
dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot memberi respons baik
pada pemasangan gips serial dan jarang relaps.
b. Metatarsus adductus (atau varus)

15
suatu deformitas tulang metatarsal saja. Forefoot mengarah ke garis
tengah tubuh, atau berada pada aposisi adduksi. Abnormalitas ini dapat
dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.

2.11 Penatalaksanaan
A. Terapi Medis
Tujuan Terapi Medis adalah untuk mengoreksi dan mempertahankan
koreksi deformitas yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan
tulang. Secara ATB, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu:
CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, pengecoran, dan
pemasangan gips.
CTEV resisten yang memberikan tanggapan minimal terhadap
penatalaksanaan pemasangan gips, dan dapat relaps dengan cepat
walaupun awalnya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada
kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.
Sistem Scoring Pirani dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat
keparahan dan memantau perkembangan dalam kasus CTEV selama
koreksi dilakukan.
B. Penatalaksanaan Non-operatif
Berupa pemasangan splint yang dimulai pada bayi berusia 2-3 hari.
Urutan koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Adduksi kaki depan (forefoot)
2. Supinasi kaki depan
3. Ekuinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa
koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya
rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan
koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan,
kemudian pertahankan posisi ini dengan menggunakan strapping yang
diganti tiap beberapa hari, atau menggunakan gips yang diganti beberapa
minggu sekali. Cara ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh

16
atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya. Posisi kaki
yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa
bulan.
Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak
kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas
menetap, deformitas berupa rockerbottom foot, atau kembalinya
deformitas segera setelah koreksi dihentikan. Setelah pengawasan selama
6 minggu biasanya dapat diketahui apakah jenis deformitas CTEV mudah
dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfi rmasi menggunakan X-ray dan
dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat
kesuksesan metode ini 11-58%.

Metode Ponseti
Berikut ini teknik Ponseti yang umum digunakan untuk mereduksi
deformitas pada Congenital Talipes EquinoVarus(CTEV):
1. Deformitas utama pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang
kalkaneus ke arah internal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi
subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi
dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal,
tulang kalkaneus harus bias dengan bebas dirotasikan ke bawah talus.
Koreksi dilakukan melalui lengkung normal persendian subtalus,
dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator di
maleolus medialis untuk menstabilkan kaki, kemudian mengangkat
ibu jari dan diletakkan di bagian lateral kepala talus, sementara
melakukan gerakan abduksi pada kaki depan dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila kaki depan berada dalam posisi
pronasi. Apabila ada pes cavus, langkah pertama koreksi kaki adalah
mengangkat metatarsal pertama dengan lembut untuk mengoreksi
cavusnya. Setelah terkoreksi, kaki depan dapat diposisikan abduksi
seperti pada langkah pertama.

17
3. Saat kaki dalam posisi pronasi, dapat menyebabkan tulang kalkaneus
berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, tulang kalkaneus tidak
dapat berotasi dan menetap pada posisi varus, cavus akan meningkat.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya bean-shaped foot. Pada akhir
langkah pertama, kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal,
tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah
kaki dimanipulasi, selanjutnya dipasang long leg cast untuk
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips dipasang dengan
bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan tingtur benzoin
5. Usaha mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles
yang kaku dapat mengakibatkan patahnya kaki tengah (midfoot) dan
berakhir dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot.
Kelengkungan kaki abnormal (cavus) harus diterapi terpisah seperti
pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat
dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya kaki tengah.
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk
mendapatkan abduksi kaki maksimum. Gips diganti tiap minggu.
Koreksi (usaha membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap
adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60 Setelah dapat dicapai
abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutuhkan tenotomi
perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal dianestesi
dengan kombinasi lignokain topikal dan infi ltrasi lidokain lokal
minimal. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka pasca-operasi ditutup
dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorpsi.
Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki berada pada posisi
dorsofl eksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3
minggu

18
Langkah-langkah Pemasangan Gips
Dr. Ponseti merekomendasikan penggunaan bahan gips karena lebih
murah dan molding lebih presisi dibanding dengan fiberglass.
Manipulasi Awal Sebelum gips dipasang, kaki dimanipulasi lebih
dahulu. Tumit tidak disentuh sedikitpun agar calcaneus bisa abduksi
bersama-sama dengan kaki
Memasang padding Pasang padding yang tipis saja untuk
memudahkan molding. Pertahankan kaki dalam posisi koreksi yang
maksimal dengan cara memegang jari-jari dan counter pressure pada
caput talus selama pemasangan gips.
Pemasangan Gips Pasang gips di bawah lutut lebih dulu kemudian
lanjutkan gips sampai paha atas. Mulai dengan tiga atau empat putaran
disekeliling jari-jari kaki kemudian ke proksimal sampai lutut. Pasang
gips dengan cermat. Saat memasang gips diatas tumit, gips
dikencangkan sedikit. Kaki harus dipegang pada jari-jari, gips
dilingkarkan di atas jari-jari pemegang agar tersedia ruang yang
cukup untuk pergerakan jari-jari.

19
Gambar 2.5 Pemasangan gips

6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian


sepatu yang dipasangkan pada lempengan DennisBrown. Kaki yang
bermasalah diposisikan abduksi (rotasi ekstrem) hingga 70, kaki
sehat diabduksi 45. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama
3 tahun.
7. Pada 10-30% kasus, tendon tibialis anterior dapat berpindah ke
bagian lateral kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat
koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi metatarsal
dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-2,5
tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum operasi,
pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

20
C. Penatalaksanaan Bedah
Beberapa pilihan insisi, antara lain:
Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial
(persendian navikularkuneiformis) kaki sampai ke sisi
anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan
ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial: insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya di sudut vertikal dan
medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator
memilih beberapa jalan, antara lain:
-Tiga insisi terpisah insisi posterior arah vertikal, medial, dan
lateral
- Dua insisi terpisah curvilinear medial dan posterolateral.
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua
kuadran, antara lain:
Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis,fleksor digitorum
brevis, ligamen plantaris panjang dan pendek
Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan
talonavikular dan subtalar, tibialis posterior, FHL (fleksor halucis
longus), dan pemanjangan FDL (fl eksor digitorum longus)
Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama
pelepasan ligamen talofi bular posterior dan tibiofi bular, serta
ligamen kalkaneofi bular
Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, persendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan
subtalar
Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang
adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau
diregangkan adalah:
Tendon Achilles
Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar

21
Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
Ligamen tibiofi bular inferior
Ligamen fibulokalkaneal
Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20 dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau
keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka pasca
operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau nantinya dapat dilakukan cangkok
(graft) kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien :
1. Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang
tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian
kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang
kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis. Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah
3-6 minggu. Satelah itu, tetap diperlukan perban yang dipasangkan
dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.

2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada keadaan deformitas ini adalah
sebagai berikut.
a. Infeksi (jarang)
b. Kekakuan dan keterbatasan gerak: kekakuan yang muncul pada awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.

22
c. Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus
muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
d. Overkoreksi yang mungkin karena pelepasan ligamen interoseum dari
persendian subtalus
e. Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral.
f. Adanya perpanjangan tendon.

2.13 Prognosis
Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa
tindakan operatif. Teknik Ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles)
dilaporkan memiliki tingkat kesuksesan sebesar 89%. Peneliti lain
melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus
melaporkan tingkat kepuasan 75-90%, baik dari segi penampilan maupun
fungsi kaki. Tiga puluh delapan persen pasien CTEV membutuhkan tindakan
operatif lebih lanjut (hampir dua pertiganya adalah prosedur pembentukan
ulang tulang). Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan
rentang 10-50%. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi
pada usia lebih dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).

23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama Pasien : An. A
Umur : 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Mayjen Haryono 24 RT Jati
Agama : Islam
Suku : Jawa
No. Rekam Medik : 215798
Tanggal Periksa Poli : 22-08-2017
3.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Kaki kanan bengkok sejak lahir
b. Riwayat Penyakit sekarang
Ibu pasien mengatakan kaki kanan anaknya bengkok sejak lahir, 2
minggu setelah lahir pasien dibawa ke alternatif untuk dipijet. Setelah
ada perbaikan, pada saat usia 5 bulan yaitu pada 11 Juli 2017 ibu
pasien memutuskan membawa pasien untuk periksa ke dokter Sp. OT.
Kemudian dokter memutuskan untuk memasang gips yang pertama,
pasien diharuskan kontrol setiap minggu untuk pemasangan gips
selama 10-12 kali, anak rewel (-), demam (-), gerak aktif (+)
minum susu formula (+), sudah makan bubur (+) BAB/BAK lancar
c. Riwayat penyakit dahulu :
Kejang demam (-), sesak (-), MRS (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa
e. Riwayat Alergi dan Obat-obatan :
Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat-obatan.
f. Riwayat Imunisasi
Campak (-)

24
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan ibu
Ibu pasien mengatakan pada saat awal kehamilan sering sakit pada
perut bagian bawah, pada saat hamil ibu rajin kontrol ke Poli
kandungan untuk USG tetapi dokter tidak mengatakan ada kelainan
tulang pada bayi, pada saat kontrol terakhir dokter Sp. OG
mengatakan ada pengapuran plasenta dan air ketuban keruh untuk itu
dilakukan SC pada usia kehamilan 38-39 minggu, berat badan lahir 3
kg.
h. Riwayat kebiasaan orang tua
Orangtua pasien memelihara kucing sebanyak 13 ekor dan anjing, ibu
pasien suka mengkonsumsi daging bakar (sate) 4x dalam seminggu,
ayah pasien seorang perokok aktif.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran Umum : Cukup
Kesadaran : Composmentis
GCS : 4 (mata)-5(verbal)-6(motoric)
A. Primary Survey :
Jalan Nafas (A)
- Paten
Pernafasan (B)
- Gerakan dada simetris, pernafasan normal
Sirkulasi (C)
- Nadi radialis 120 kali per menit, nadi regular, amplitudo
kuat, capillary refill time.
B. Tanda Vital
T : -
N : 120 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36,70C

25
C. Status Generalis
Kepala : Normocephali
Mata : Pupil bulat isokor +/+, konjungtiva tidak anemins, sklera
tidak ikterik
Hidung : sekret (-)
Leher : KGB tidak ada pembesaran
Thorax :
- Paru : Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris
Palpasi : vocal fremitus +/+
Perkusi : Sonor dextra = sinistra
Auskultasi : Vesikuler dextra = sinistra
- Jantung: Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : S1 dan S2 reguler, tunggal, tidak ada
murmur dan gallop
- Abdomen : Inspeksi : Jejas (-), datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Defans muskuler (-) hepar dan lien
tidak teraba
Perkusi : Timpani
- Extremitas Atas : oedem -/-, akral hangat, CRT < 2
detik
- Extremitas bawah : oedem -/-, akral hangat, CRT < 2
detik

26
D. Status Lokalis
Regio Pedis Dextra:
Look : deformitas (+), fleksi pada pergelangan kaki kanan,
adduksi kaki depan kanan, rotasi media tibia, inversi
tungkai kanan
Feel : capillary refill (<2 detik)
Move : ROM (+), deformitas terfiksir

Gambar 3.1 Foto kaki pasien

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

3.5 RESUME
Anamnesa
- kaki bengkok sejak lahir
Pemeriksaan Fisik

27
- Pada inspeksi didapatkan deformitas (+), fleksi pada pergelangan kaki
kanan, adduksi kaki depan kanan, rotasi media tibia, inversi tungkai
kanan
- Pada saat digerakkan deformitas terfiksir

3.6 DIAGNOSA
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV)

3.7 PENATALAKSANAAN
Terapi non operatif:
- Pemasangan gips 4-7 kali
- Tenotomi perkutaneus tendon Achilles secara aseptis
- Pemakain sepatu Dennis Brown

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari anamnesis yang dilakukan didapatkan keluhan kaki kanan bengkok sejak
lahir, hal tersebut sudah membuktikan bahwa penyakit pasien adalah CTEV,
karena CTEV atau Congenital talipes Equinovarus merupakan suatu kelainan
bawaan yang sering ditemukan pada bayi baru lahir yang disebut masyarakat
umum sebagai kaki bengkok dan CTEV sangat mudah didiagnosis.
Selain itu didukung dengan pemeriksaan fisik pada pasien dimana pada
inspeksi di dapatkan deformitas (+), fleksi pada pergelangan kaki kanan, adduksi
kaki depan kanan, rotasi media tibia, inversi tungkai kanan. CTEV pada pasien
bersifat unilateral dan terdpat pada kaki kanan, hal ini sesuai dengan teori CTEV
pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena.
Dari anamnesis yang dilakukan pasien tidak memiliki keluarga yang mengalami
hal serupa, karena itu CTEV pada pasien diduga disebabkan oleh asap rokok dan
infeksi pada kehamilan ibu. Diduga pada saat hamil ibu pasien menderita infeksi
TORCH karena ibu pasien senang memelihara kucing bahkan sampai 13 ekor
serta sering memakan daging bakar. Hal ini merupakan faktor resiko terjadinya
infeksi TORCH pada kehamilan. Selain itu ayah pasien merupakan perokok aktif
yang mana agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta asap rokok memiliki
peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi temporary growth arrest pada janin.
Dokter tidak melakukan pemeriksaan penunjang (pemeriksaan radiologi) pada
pasien karena pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan
pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang
tarsal, calcaneus, dan metatarsal.
Pada kasus ini kesalahan ibu pasien adalah tidak langsung membawa pasien
ke dokter Sp. OT, yang seharusnya dilakukan sejak bayi lahir malah membawa
pasien ke alternatif selama 4 bulan. Hal tersebut akan mempengaruhi tingkat
kesembuhan pada pasien.
Penatalaksanaan yang diberikan oleh dokter adalah dilakukan pemasangan
gips untuk mendapatkan abduksi kaki maksimum. Gips diganti tiap minggu.

29
Koreksi (usaha membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila
aksis paha dankaki sebesar 60.
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutuhkan tenotomi perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal
dianestesi dengan kombinasi lignokain topikal dan infi ltrasi lidokain local
minimal. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggunakan pisau
Beaver (ujung bulat). Luka pasca-operasi ditutup dengan jahitan tunggal
menggunakan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan
dengan kaki berada pada posisi dorsofl eksi maksimum, kemudian gips
dipertahankan hingga 2-3 minggu.
Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang
dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan
abduksi (rotasi ekstrem) hingga 70, kaki sehat diabduksi 45. Sepatu ini juga
memiliki bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu
digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan
malam selama 3 tahun.
Dari 5x kunjungan sebelumnya kaki pasien sudah menunjukkan sedikit
perbaikan yang bisa dilihat pada foto di bawah ini

30
Foto pertama yaitu foto sebelum kunjungan ke poli, dan foto kedua setelah
pemasangan gips pertama, foto ketiga foto setelah pemasangan gips kedua dan
foto ke empat adalah foto setelah pemakaian gips ke empat. Tampak terjadi
sedikit perbaikan pada foto keempat jika dibandingkan dengan foto pertama.
Dengan demikian penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan
prosedur penataaksanaan pada CTEV. Penatalaksanaan CTEV meliputi dua aspek,
yaitu non operatif dan operatif. Para ahli setuju bahwa terapi non operatif haruslah
menjadi pilihan utama terapi. Metode Ponseti dan French method telah banyak
digunakan di berbagai belahan dunia dan memiliki hasil akhir yang memuaskan.
Tindakan operatif diperlukan hanya bila terapi non operatif gagal, hal ini dikarenakan
komplikasi jangka panjang yang lebih buruk dibandingkan terapi non operatif

31
BAB V
KESIMPULAN

Congenital Talipes Equino Varus atau yang dikenal dengan Clubfoot bukan
merupakan suatu embryonic malformation. Kaki yang normal berkembang
menjadi clubfoot saat trimestester kedua selama masa kehamilan. Pada usia
kehamilan di bawah 16 minggu, penyakit ini sulit dideteksi dengan ultrasonografi.
Oleh sebab itu, seperi displasia panggul dan idiopatic scoliosis, clubfoot dapat
digolongkan sebagai developmental deformation. Pengetahuan tentang Congenital
Talipes Equino Varus ini penting bagi seorang dokter terutama dokter umum di
daerah. Diagnosis yang tepat dapat ditegakkan melalui serangkaian anamnesa,
pemeriksaan fisik dan penunjang yang baik. Dengan demikian, terapi yang sesuai
dapat segera dilakukan untuk mengatasi deformitas yang terjadi.
Manipulasi dan immobilisasi serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti
pemasangan gips adalah metode perawatan modern non-operatif. Cara imobilisasi
yang saat ini mungkin paling efektif adalah metode Ponseti; metode ini dapat
mengurangi perlunya operasi. Walaupun demikian, masih banyak kasus yang
membutuhkan terapi operatif. Penatalaksanaan dengan operasi harus
mempertimbangkan usia pasien Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi
dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan lunak Untuk anak lebih dari 5
tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi
dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau
osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus). Apabila anak berusia lebih
dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau arthrodesis. Prognosis
bergantung pada berat ringannya kasus, umumnya 50% dapat diatasi dengan
metode nonoperatif.
Congenital Talipes Equino Varus pada pasien disebabkan oleh pengaruh
lingkungan saat anak masih di dalam kandungan tetapi terdapat kelalaian dan
ketidaktahuan orang tua dalam menangani anaknya yaitu anak tidak langsung dibawa
ke dokter.

32
Penanganan yang dilakukan oleh dokter sudah sesuai prosedur dalam
penatalaksanaan CTEV yang mana terapi non operatif menjadi pilihan utama terapi.
Metode Ponseti dan French method telah banyak digunakan di berbagai belahan
dunia dan memiliki hasil akhir yang memuaskan. Tindakan operatif diperlukan hanya
bila terapi non operatif gagal, hal ini dikarenakan komplikasi jangka panjang yang
lebih buruk dibandingkan terapi non operatif.
Pasien sampai saat ini rajin kontrol ke poli untuk pasang gips dan sudah
menunjukkan perbaikan dari awal pemakain gips sampai sekarang, hal tersebut
merupakan hal yang diharapkan orangtua dan dokter untuk kesembuhan pasien.
Setelah terapi pemakaian gips berhasil akan dilakukan tenotomi perkutaneus tendon
Achilles secara aseptis kemudian pemasangan sepatu Dennis Brown.

33
DAFTAR PUSTAKA

Alvin et all. Newborn Foot. Am Fam Physician. 2004 Feb15;69(4):865-872

Barker S, MacNicol M .2001. Seasonal distribution of idiopathic congenital


talipes equinovarus in Scotland.J.Pediatr Orthop. 10(15)

Cahyono, B.Y. 2012. Congenital Talipes Equinovarus (CTEV). CDK-191. 39 (3).

Corwin J. Elizabeth.2009. Buku Patofisiologi. Sistem Muskuloskletal. Displasia


perkembangan panggul dan clubfoot. Jakarta. Penerbit: Buku Kedokteran
EGC

Faulks, S., Richard, B. 2009. clubfoot treatmen: ponseti and french fungtional
methods are equally effective. www . the journal of bone and join surgery
.org.
Miedzybrodzka, Zosia. .2003. Review: Congenital talipes equinovarus (clubfoot):
a disorder of the foot but not the hand. J.Anat 21. Department of Medicine &
Therapeutics, University of Aberdeen, Foresterhill, Aberdeen, UK

Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3, 2009. Jakarta : PT.
Yarsif Watampone

Siapkara and Duncan. Congenital talipes equinovarus : A Review Of Current


Management. 8(8)

Sjamsuhidajat, De Jong, W. ed. Buku JAar Ilmu Bedah. Ed.2. Jakarta: EGC;
2004. p.835-7

Snell S. Richard; Anatomi Klinik Bagian 2. Edisi 3. Jakarta: EGC. 2007

Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2005.

34

Anda mungkin juga menyukai