Anda di halaman 1dari 26

PAGE \* MERGEFORMAT 1

MAKALAH KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN


CTEV ( Congenintal Talipes Equinovarus )

Disusun oleh Kelompok 2 :

Nurul badriah

Vina

Serlince

Vera

I gede

Iis herawati

Istiqomah

Zahra

Rismalia

Indah

Prodi S1 Alih jenjang Keperawatan

STIKes Abdi Nusantara Jakarta


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga
kelompok dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak
Dengan Diagnosa Medis Congenintal Talipes Equinovarusni (CTEV)

Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai pengantar dan pedoman dalam
pembuatan Makalah mata kuliah Keperawatan anak di STIKES ABDI NUSANTARA .
Selain itu, tujuan lain dari pembuatan Makalah ini adalah tercapainya tugas keperawatan
anak yang sudah diberikan oleh dosen keperawatan anak.. Dalam pembuatan makalah ini
kelompok tentu mengalami kesulitan. Namun berkat dorongan, dukungan dan semangat
dari anggota kelompok serta orang terdekat kami sehingga kelompok mampu
menyelesaikannya dengan baik.

Kelompok menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kelompok mengharapkan kiranya kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak dan nantinya akan digunakan untuk perbaikan dimasa
mendatang.

Bekasi, 14 Desember 2023

PAGE \* MERGEFORMAT ii
DAFTAR ISI

PAGE \* MERGEFORMAT ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh yang lengkap
dan sempurna merupakan harapan dari seorang ibu dan seluruh keluarga. Namun terk
adang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi yang lahir kurang sempurna kare
na mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu kelainan bawaan pada kaki
yang sering dijumpi pada bayi yaitu kaki bengkok atau CTEV (Congenital Talipes Eq
uino Varus). CTEV adalah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama didesk
ripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).

CTEV atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum untuk men
ggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari keadaan
atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk deformitas ank
le disebut dengan talipes yang berasal dari kata talus (yang artinya ankle) d
an pes (yang berarti kaki). Deformitas kaki dan ankle dipiilah tergantung d
ari posisi kelainan ankle dan kaki.

Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi da


n angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe Talipes Equino Varus (TE
V) dimana kaki posisinya melengkung ke bawah dan ke dalam dengan ber
bagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi dibanding
kan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang berhubungan den
gan sindroma lain seperti aberasi kromosomal, antrogriposis (imobilitas u
mum dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida.
Frekuensi clubfoot dari populasi umum adalah 1:700 sampai 1:1000 kelah
airan hidup dimana anak lakilaki dua kali lebih sering daripada perempuan
.
Berdasarkan data, 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3% pada
kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika. Insidens
i pada laki-laki 65% kasus, sedangkan pada perempuan 30-40% kasus. Pad
a pasien pengambilan cairan amnion, deformitas ekstremitas bawah kira-
kira mencapai 1-1,4% kasus. Sedangkan pada ibu yang mengalami pecah k
etuban kira-kira terdapat 15% kasus. Epidemiologi CTEV terbanyak pada
kasus-kasus amniotik.
Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh
yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang
Ibu dan seluruh keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan t
ertentu didapati bayi yang lahir kurang sempurna karena
mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu kelainan adalah
kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi
yaitu kaki bengkok atau CTEV(Congenital Talipes Equino Varus). C
TEV adalah salah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama di
deskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka,2002)

Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubu
h yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang
Ibu dan seluruh keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan
Tertentu didapati bayi yang lahir kurang sempurna karena
mengalami kelainan bentuk anggota tubuh. Salah satu kelainan adalah
kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi yaitu kaki be
ngkok atau CTEV(Congenital Talipes Equino Varus). CTEV adalah s
alah satu anomali ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan o
leh Hippocrats pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka,2002

2. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini yakni untuk memenuhi tugas da
ri mata kuliah Keperawatan Anak.

3. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa kepera
watan dapat lebih memahami secara mendalam mengenai :
1. Bagaimana Anatomi Fisiologi sistem muskuloskeletal?
2. Apa definisi CTEV?
3. Apa etiologi dari CTEV?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari CTEV?
5. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari CTEV?
6. Apa saja komplikasi yang dapat ditemui pada pasien anak dengan C
TEV?
7. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada pasien
dengan CTEV?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada pasien anak dengan CTEV?
9. Prognosis seperti apakah yang dapat diperkirakan dari kasus CTEV?
10. Bagaimanakah asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien
anak CTEV?

4. Manfaat Penulisan

PAGE \* MERGEFORMAT 3
Manfaat dari penulisan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan da
n tumbuh kembang anak dengan CTEV” ini adalah agar mahasiswa kepera
watan dapat lebih memahami secara mendalam mengenai tumbuh kemban
g anak dengan kelainan kongenital sistem muskuloskeletal CTEV, kemudi
an dapat dengan mudah melakukan asuhan keperawatan terhadap pasien a
nak yang mengalami gangguan tersebut.

PAGE \* MERGEFORMAT 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TEORI KONSEP DASAR


2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal
Menurut Suratun, dkk (2008), sistem muskuloskeletal terdiri dari tula
ng,
sendi, otot, dan struktur pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia, dan bu
rsae). Pertumbuhan dan perkembangan struktur ini terjadi selama masa ka
nak-kanak dan remaja.
2.1.2 Struktur Tulang
Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat b
adan dan otot menyusun kurang lebih 50%. (Suratun, dkk, 2008)
Pembagian skeletal yaitu :
1. Axial skeleton, terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher, tengkorak,
kolumna vertebrae, tulang iga, tulang hioid sternum.
2. Apendikular skeleton, terdiri dari:
a. Kerangka tulang lengan dan kaki
b. Ekstremitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna, radial) dan tan
gan (karpal, metakarpal, falang)
c. Ekstremitas bawah (tulang pelvik, femur, patela, tibia, fibula) dan
kaki (tarsal, metatarsal, falang)
2.1.3 Anatomi Kaki
Kaki adalah suatu kesatuan unit yang kompleks dan terdiri dari 26 bu
ah tulang yang dapat menyangga berat badan secara penuh saat berdiri dan
mampu memindahkan tubuh pada semua keadaan tempat berpijak. Ke-26 t
ulang itu terdiri dari: 14 falang, 5 metatarsal dan 7 tarsal. Kaki dapat dibag
i menjadi 3 segmen fungsional.
a. Hindfoot (segmen posterior)
Bagian ini terletak langsung dibawah os tibia dan berfungsi sebagai pe
nyangganya. Terdiri dari:
o Talus yang terletak di apeks kaki dan merupakan bagian dari sendi
pergelangan kaki
o Calcaneus yang terletak dibagian belakang dan kontak dengan tana
h
b. Midfoot (segmen tengah)
Terdiri dari 5 tulang tarsal yaitu:
 Cuneiforme: medial, intermedium dan lateral
 Cuboid
 Navikulare ke-5 tulang tersebut membentuk persegi empat ireguler
dengan dasar medial dan apeks lateral. 3 cuneiforme dan bagian ant
erior cuboid serta naviculare dan bagian belakang
tulang cuboid membentuk suatu garis.
c. Forefoot (segmen anterior)
Bagian ini terdiri dari:
 5 metatarsal: I, II, III, IV, V
 14 falang. Dimana ibu jari kaki mempunyai 2 falang sedangkan set
iap jari lainnya 3 falang.

Struktur Persendian dan Ligamen tulang-tulang tersebut diatas membe


ntuk persendian-persendian sebagai berikut:
a. Artikulatio talocrurali
Merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea talus. Sen
di ibdistabilkan oleh ligamen-ligamen:
 Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
 Lig. Tibionavikularis, Lig. Calcaneotibialis, Lig. talotibialis
anterior dan posterior
- Sisi Lateral:
 Lig. talofibularis anterior dan posterior, Lig. Calcaneofibula
ris
 Gerak sendi ini:
Plantar fleksi, dorsofleksi, sedikit abduksi dan adduksi perg
elangan kaki
b. Artikulatio talotarsalis
Terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi
keduanya merupakan 1kesatuan, yaitu:
 Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar. Liga
men yang memperkuat adalah: Lig. Talocalcanearis anterio
r, posterior, medial dan lateral.
 Bagian depan: artikulatio talocalcaneonaviculari. Ligamen
yang memperkuat adalah: Lig. Tibionavikularis, Lig. Calca
neonaviculare plantaris, Lig. bifurcatum: pars calcaneonavi
cularis (medial) dan pars calcaneocuboid (lateral) berbentuk
huruf V.
 Gerak sendi ini:
 Inversi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki
c. Articulatio tarsotransversa (CHOPART)
Disebut juga sendi midtarsal atau ‘surgeon’s tarsal joint’ yang serin
g menjadi tempat amputasi kaki. Terdiri dari 2 sendi, yaitu:

PAGE \* MERGEFORMAT 3
o Articulatio talonavicularis
o Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
 Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
 Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
 Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
 Gerak sendi ini:
Rotasi kaki sekeliling aksis, memperluas inversi dan eversi
art. Talotarsalisd.Artikulatio tarsometatarsal (Lisfranc)
Adalah sendi diantara basis os metatarsal IV dengan permu
kaan sendi distasl pada oscuneiformis I-III.
Rongga sendi ada 3 buah, yaitu:
 Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
 Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneifor
mis II dan III
 Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
 Ligamentum pengikatnya adalah:
 Lig. Tarsi plantaris, Lig. Tarsi dorsalis, Ligg. Ba
sium os metatarsal dorsalis, interosea dan planta
ris.

d. Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah lig. collateralia pada kedua sisi tiap
Sendi
 Gerak sendi ini:
Fleksi-ekstensi sendi metacarpal, abduksi-adduksi sendi me
tacarpal
e. Artculatio interfalangea
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
 Gerak sendi ini:
Fleksi-ekstensi interfalang, abduksi-adduksi interfalang
2.1.4 Definisi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)
Congenintal Talipes Equinovarus (CTEV) atau Clubfoot me
rupakan suatu kondisi kelainan kongenital pada pergelangan kaki d
engan manifestasi pergelangan kaki yang menjadi hiperekstensi se
hingga memungkinkan terjadinya perubahan struktur muskuloskele
tal apabila tidak segera dilakukan koreksi (Helmi, 2012).

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau club foot berasal


dari bahasa latin “talipes” yaitu tulang talus, dan “pes” yaitu kaki,
serta equinovarus yang berarti fleksi dan inversi. Kelainan ini dapa

PAGE \* MERGEFORMAT 3
t terjadi pada satu atau kedua kaki, ditandai dengan fleksi plantar/
equinus pada angkle (pergelangan kaki), inversi/ varus pada sendi s
ubtalar (tungkai) dan adduksi pada kaki depan (Koswal & Nataraja
m, 2005).
Sedangkan menurut Cahyono (2008), CTEV adalah kelainan
kongenital tulang sehingga terjadi fiksasi kaki pada posisi adduksi,
supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrota
si ke arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi
serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang m
etatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.

2.1.5 Klasifikasi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Beberapa jenis klasifikasi yang dapat ditemukan antara lain :
1. Typical Clubfoot
Ini merupakan jenis Clubfoot yang klasik hanya menderita kaki pe
ngkor saja yang sering ditemukan. Umumnya dapat dikoreksi deng
an lima casting dan manajemen dari Ponseti mengatakan hasil jang
ka panjangnya baik dan sempurna. Yang dimasukkan jenis clubfoo
t ini diantaranya:
a. Positional Clubfoot Sangat jarang ditemukan, sangat fleksibel
dan diduga akibat jepitan intrauterin. Pada umumnya koreksi d
apat dicapai dengan satu atau dua kali pengegipan.

b. Delayed treated clubfoot ditemukan pada anak berusia 6 bulan


atau lebih.

c. Recurrent typical clubfoot dapat terjadi baik pada kasus yang a


walnya ditangani dengan metode Ponseti maupun dengan met
ode lain. Relaps lebih jarang terjadi dengan metode Ponseti da
n umumnya diakibatkan pelepasan brace yang terlalu dini. Rek
urensi supinasi dan equinus paling sering terjadi. Awalnya ber
sifat dinamik namun dengan berjalannya waktu menjadi fixed.

d. Alternatively treated typical clubfoot termasuk kaki pengkor y


ang ditangani secara operatif atau pengegipan dengan metode
non-Ponseti.
2.1.6 Etiologi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. Pa
da beberapa kelainan adanya perkembangan defek fetal dimana terjadi keti
dakseimbangan ototinvertor dan evertor. akan tetapi banyak teori mengena
i etiologi CTEV.

PAGE \* MERGEFORMAT 3
Menurut Patel (2007), teori mengenai etiologi CTEV antara lain :
a. Faktor mekanik intra uteri
adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatak
an bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi
eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakan bahwa
adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari lua
r karena keterbatasan gerak fetus.

b. Herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya mutasi gen
c.Enterovirus (infeksi TORCH).
d. Gangguan perkembangan fetus
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur k
asus-kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus
tarsalis. Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muskulus yang ti
dak berfungsi (muscle wasting) pada bagian ipsilateral, dimana hal ini
kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi arteri tibialis anterior
selama masa perkembangan
e. defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan
CTEV dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher
dari talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial d
an plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut dikar
enakan defek dari plasma sel primer.

E.Patofisiologi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara l
ain (Patel M., 2007):
a) Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b) Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c) Faktor neurogenik telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada k
elompok otot peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adany
a perubahan inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke. T
eori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan spina
bifida.
d) Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan l
igamen. Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan k
olagen yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struk
tur tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringa
n kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk, menemuka
n adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan mikroskop elektron. Mer

PAGE \* MERGEFORMAT 3
eka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban kontraktur
medial.
e) Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada
insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikar
enakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak ter
lihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f) Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden
epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang ser
upa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupak
an keadaan sequele dari prenatal poliolike condition. Teori ini didukung oleh
adanya perubahan motor neuron pada spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.

F.Pemeriksaan Diagnostik CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


1. Foto polos
Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto polos. Pem
eriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena stress yang terlibat dap
at terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan berat dapat disimulasikan dengan
pemberian stress dorsal flexy. Gambaran standar yang digunakan adalah gambara
n dorsoplantar (DP) dan lateral. Untuk gambaran dorsoplantar, sinar diarahkan de
ngan sudut 15o terhadap tumit untuk mencegah overlap dengan struktur tungkai ba
wah. Gambaran lateral harus mencakup pergelangan kaki, dan bukan kaki, untuk
penggambaran yang lebih tepat dari talus.
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien terhadap radias
i. Ditambah lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan sulit dilakukan. Pemosisi
an yang tidak tepat dapat menghasilkan gambaran seperti deformitas sehingga ada
kemungkinan adanya kesalahan diagnosa. Lebih jauh lagi, karena CTEV adalah k
ondisi kongenital, kurangnya osifikasi pada beberapa tulang yang terlibat merupak
an salah satu keterbatasan lainnya. Pada neonates, hanya talus dan calcaneus yang
terosifikasi. Navikular tidak terosifikasi sampai anak berusia 2-3 tahun.
Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat menstimulasi
kan varus kaki belakang. Bila gambaran lateral hanya meliputi salah satu kaki dan
tidak termasuk pergelangan kaki, maka akan terlihat gambaran palsu dari lengkun
gan talus yang mendatar.
Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus anterior (mirip
kuku kuda) dimana sudut antara axis panjang tibia dan axis panjang calcaneus (su
dut tibiocalcaneal) lebih besar dari 90o.
Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara relatif terhad
ap tibia. Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi varus (ke arah garis ten
gah). Pada gambaran lateral, sudut antara axis panjang talus dan axis panjang calc

PAGE \* MERGEFORMAT 3
aneus (sudut talocalcaneal) kurang dari 25o, dan kedua tulang tersebut lebih parale
l dibandingkan kondisi normal.
Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15 derajat, dan dua tul
ang terlihat lebih tumpang tindih daripada pada kaki normal. Selain itu, aksis long
itudinal yang melalui pertengahan talus (garis midtalar) melintas secara lateral ke
arah dasar metatarsal pertama, karena garis depan terdeviasi secara medial.
Varus kaki depan dan supinasi meningkatkan konvergensi dari basis metat
arsal pada gambaran DP, jika dibandingkan dengan sedikit konvergensi pada kaki
normal
2. CT-Scan
Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi 3 dimensi
, johnston et al menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang dapat memantau tu
lang pada CTEV bisa diterapkan dan aksis inersia dapat ditentukan di sekitar pusa
t massa dengan 3 bidang perpendikuler untuk setiap tulang yng terlibat.
Kawat ini dapat dirotasi secara manual untuk mengurai deformitas dan kel
ainan susunan tulang yang tidak jelas karena overlapping pada foto polos. Hubung
an antara tulang kaki belakang dan pergelangan kaki dapat dinilai dengan cara ini.
Begitu pula dengan aksis vertical dari talus dan lubang kalkaneus dapat dibanding
kan dengan acuan perpendicular terhadap dasar pada rekostruksi koronal dari tumi
t.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik talus maupu
n kalkaneus relatif terotasi secara medial terhadap garis perpendicular pada lubang
di bidang transversal, namun rotasi di kalkaneus sangat kecil. Perbedaan ini meru
pakan divergensi normal dari aksis panjang 2 tulang. Pada CTEV, talus terotasi se
cara lateral dan kalkaneus terotasi lebih medial daripada kaki normal.
Pemakaian CT Scan juga memiliki bebrapa kerugian, yaitu risiko ionisasi,
kurangnya osifikasi pada tulang tarsal, suseptibilitas dari artifak gambar dan gerak
an, dan membutuhkan peralatan mahal dan aplikasi software untuk rekonstruksi m
ultiplanar.
3. MRI
Saat ini MRI tidak banyak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi CTEV k
arena berbagai kerugiannya, diantaranya dibutuhkan alat khusus dan sedasi pasien
, besarnya pengeluaran untuk software yang digunakan, hilangnya sinyal yang dis
ebabkan oleh efek feromagnetik dari alat fiksasi, dan waktu tambahan yang dibutu
hkan untuk transfer data dan postprocessing. Namun, di sisi lain, keuntungan peng
gunaan MRI jika dibandingkan dengan foto polos dan CT scan adalah kapabilitas
imaging multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus osifikasi,
kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
Dengan menggunakan resonansi magnetic rekonstruksi multiplanar menun
jukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan patoanatomi kompl
eks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan gambaran T2-weighted spin-

PAGE \* MERGEFORMAT 3
echo dapat menggambarkan secara jelas anlage (primordium) kartilago dan permu
kaan articular secara berurutan. Ketika akusisi gradient-echo 3 dimensi digunakan
untuk membentuk rekonstruksi multiplanar, pusat dari massa dan axis utama dari i
nersia tiap tulang atau struktur kartilago dapat ditentukan. Axis ini dapat dibandin
gkan satu sama lain atau dapat dirumuskan standar referensi mengenai pengukura
n objektif dari deformitas ini yang dapat digunakan secara menyeluruh
4. Ultrasonografi (USG)
Penelitian menunjukkan bahwa gambarn reproducible dan penilaian objekt
if dari beberapa hubungan antartulang (interosseous) pada kaki normal dan pada C
TEV dapat dilakukan dengan USG. Untuk selanjutnya, USG mungkin dapat digun
akan dalam operasi tertuntun dan terapi konservatif untuk CETV dalam menilai h
asilnya.
Gambaran dinamis/dynamic imaging yang bisa dilakukan dengan USG da
pat melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas dari kaki. Sehingga, US
G ini dapat membantu memilah pasien yang harus dilakukan operasi dan tidak bis
a dengan terapi konservatif saja.
Kekurangan dari USG adalah ketidakmampuan gelombang suara untuk me
nembus seluruh tulang, terutama jika terdapat bekas luka post operasi. Keuntunga
n ultrasonografi termasuk tidak ada/kurangnya radiasi pengion, tidak membutuhka
n obat sedative, kemampuannya untuk menggambarkan bagian tulang yang tidak t
erosifikasi, dan kapasitasnya dalam hal imaging dynamics.
Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan pemeriksaan
fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang tarsal,
calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut telah
cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi film
anteroposterior dan lateral dengan stress dorsofleksi (Baruah et al, 2013).
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan talo-metatarsal I (0-10o),
sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan
tibiocalcaneal (10-20o).
Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV, sehingga dapat
memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi yang akan diberikan (Nordin,
2001).

G.Penatalaksanaan CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

PAGE \* MERGEFORMAT 3
1. Terapi
a. Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada dan
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumb
uhan tulang.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr. Shafiq
Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The Pirani
Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat mengidentifik
asi tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu kasus CTEV sela
ma koreksi dilakukan. Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 da
ri hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan
posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel (E
H), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedang
kan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/
curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (
MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral head of
the talus.
b. Penatalaksanaan non operatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint d
imulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut :
1. Adduksi dari forefoot
2. Supinasi forefoot
3. Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa kore
ksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerb
ottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Te
mpatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahan
kan posisi ini dengan cara menggunakan “strapping” yang diganti tiap beb
erapa hari sekali, atau dipertahankan menggunakan gips yang diganti bebe
rapa minggu sekali. Hal ini dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi pen
uh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan sela
ma beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin s
aat nampak adanya kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai
dengan deformitas yang menetap, deformitas berupa rockerbottom foot ata
u kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan. Setelah penga
wasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CTEV,
apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini dik
onfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghi

PAGE \* MERGEFORMAT 3
tungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan
dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.
c. Metode Ponseti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas
Iowa. Langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada se
ndi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi
dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kas
us CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan k
ebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari persendi
an subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunju
k operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian
mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, se
mentara kita melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan arah supi
nasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi k
aki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut,
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dap
at diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyeba
bkan tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, ma
ka tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus.
Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat
menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama,
maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak perna
h pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah k
aki dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg
cast untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus di
pasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langk
ah selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk mel
ekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk me
masang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki, agar
aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang dipas
ang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus t
ransversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gi
ps panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit
sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara men

PAGE \* MERGEFORMAT 3
ggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi du
a dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk men
getahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat diguna
kan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui koreksi yang telah dic
apai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan ten
don Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan bera
khir dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengk
ungan kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti
yang digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya ha
rus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk menda
patkan abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu.
Koreksi yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduk
si) dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°.
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles.
Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal menggun
akan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan menggu
nakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian ditutup d
engan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorbsi. Pem
asangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada pada posisi do
rsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepat
u yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasa
lah diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffecte
d foot set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tum
it untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam
sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam sela
ma 3 tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat b
erpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal in
i membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi m
etatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-
2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operas
i tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non operatif merupakan
pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun setuju semakin awal

PAGE \* MERGEFORMAT 3
terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga mencegah terapi operatif
lanjutan (Herring, 2014).

H. Prognosis CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi
tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89%
dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles).
Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian
besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%, baik dari segi
penampilan maupun fungsi kaki.

Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor
utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan
kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang
talus. 38% dari pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih
lanjut (hampir 2/3 nya adalah prosedur pembentukan ulang tulang). Rerata
tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-50%.
Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3
bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).

Terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar selalu dapat diperbaiki,
walaupun demikian keadaan ini tidak dapat sembuh, sempurna dan sering
kambuh, terutama bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata disertai penyakit
neuromuskular (Apley & Louis, 2012).

I. Komplikasi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

a) Infeksi (jarang)

b) Kekakuan dan keterbatasan gerak: keka-kuan yang muncul awal berhubungan


dengan hasil yang kurang baik.

c) Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% ke-jadian nekrosis avaskular talus


muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.

d) Overkoreksi yang mungkin karena pelepasan ligamen interoseum dari


persendian subtalus.

PAGE \* MERGEFORMAT 3
DIAGNOSIS

Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling cepat pada
trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai dengan
adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia. True clubfoot harus dibedakan
dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat sepenuhnya dikoreksi secara pasif
(Hoosseinzaideh, 2014).
Postural clubfoot terjadi karena posisi janin saat di dalam uterus. Pada
kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan, skin creases yang dalam
atrofi dan rigiditas ekstremitas (Herring, 2014).
Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang
dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki
prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. CTEV dengan
arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon syndrome, spina
bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome penanganannya hampir
pasti meliputi tindakan operatif. Terkecuali CTEV dengan Down syndrome dan
Larsen syndrome, penanganan seringkali hanya secara nonoperatif (Herring, 2014).

Konsep Keperawatan

Pengkajian
A. Biodata klien :
Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur,agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan alamat. bayilaki-laki dua kali
lebih banyak menderita kaki bengkok daripada perempuan.
Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survei membuktikan dari 4orang
kasus Club foot, maka hanya satu saja seorang perempuan. Itu berarti perbandingan
penderita perempuan dengan penderita laki-laki adalah 1:3 dan 35%terjadi pada
kembar monozigot dan hanya 3% pada kembar dizigot.B.

 Keluhan Utama :Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit karena
adanya keadaanyang abnormal pada kaki anak yaitu adanya berbagai
kekakuan kaki, atrofi betiskanan, hipoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang
kaki ringan.

 Riwayat Penyakit Sekarang Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit
atau pada saat pengkajianseperti Klien tidak mengalami keluhan apa-apa
selain adanya keadaan yangabnormal pada kakinya.

PAGE \* MERGEFORMAT 3
 Riwayat penyakit keluargacDapat dikaji melalui genogram dan dari genogram
tersebut dapatdiidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular
yang terdapat dalamkeluarga

 Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal

1. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan
antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang
pernah diminum serat kebiasaan selama hamil.
2. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong,cara
persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section secariadan
gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan
congenital.Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah
lahir, masakehamilan (cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak
menangis spontanatau tidak.

• Postnatal
Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungandengan
gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warnakulit,pola
eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji
adanyaashyksia, trauma dan infeksi.

• Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar
dadaterakhir.Tingkat perkembangan anak yang telah dicapai motorik
kasar, halus,social, dan bahasa.

• Riwayat Kesehatan Keluarga sosial


perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumahtangga yan
harmonis dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat istiaadat,
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan eksternal
yangdapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan
sertaketrampilan anak. Disamping itu juga berhubungan dengan
persediaan dan pengadaan bahan pangan, sandang dan papan.

• Riwayat Imunisasi

PAGE \* MERGEFORMAT 3
Riwayat imunisasi anak sangat penting, dengan kelengkapanimunisasi
pada anak mencegah terjadinya penyakit yang mungkintimbul.Meliputi
imunisai BCG, DPT, Polio, campak dan hepatitis.
. Pola Fungsi Kesehatan

1) Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI. pada umur
anaktertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan jenis, takaran dan frekuensi)
pemberiaannya serta makanan tambahan yang diberikan.Adakah makanan
yandisukai, alergi atau masalah makanan yang lainnya).

2) Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada anak perlu dikaji BABatau
BAK (Konsistensi, warna, frkuensi dan jumlah serta bau). Bagaimanatingkat toileting
trining sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

3) Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai anak pada
usiasekelompoknya mengalami kemunduran atau percepatan.

4) Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah gangguan tidur, hal-hal
yangmengganggu tidur dan yang mempercepat tidur.

5) Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak apakah sudah mandiriatau
masih ketergantuangan sekunder pada orang lain atau orang tua.

Pemeriksaan Fisik

1. Pantau status kardiovaskuler


2. Pantau nadi perifer
3. Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk memastikan sirkulasi
yangadekuat pada ekstremitas tersebut
4. Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi jari diantara
kulitekstremitasdengan gips setelah gips kering
5. Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:
a) Nyeri
b) Bengkak
c) Rasa dingin
d) Sianosis atau pucat

6. Kaji sensasi jari kaki


a) Minta anak untuk menggerakkan jari kaki

PAGE \* MERGEFORMAT 3
b) Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu berespon
terhadap perintah
c) Laporkan dengan segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakansirkulasi
d) Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau kesemutan

7. Periksa suhu (gips plester)


a) Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan panas
b) Evaporasi air, yang menyebabkan kehilangan panas

8. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan


9.Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda yang terkadangdimasukkan
oleh anak yang masih kecil

10. Observasi ada tanda-tanda infeksi


a) Periksa adanya drainase
b) Cium gips untuk adanya bau menyengat
c)
Periksa gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan infeksi
dibawah gips
d) Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi dan ketidaknyamanan

11. Observasi kerusakan pernapasan (gips spika)


a) Kaji ekspansi dada anak
b) Observasi frekuensi pernafasan
c) Observasi warna dan perilaku

12. Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka):a) Batasi area
perdarahan

13. Kaji kebutuhan terhadap nyeri

Diagnosa Keperawatan
1 Resiko cidera berhubungan dengan adanya gips, pembengkakan
jaringan,kemungkinan kerusakan saraf

PAGE \* MERGEFORMAT 3
2. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan cidera fisik3. Resiko kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan gips

INTERVENSI

Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang dilakukan


berdasarkan dari rencana atau intervensi yang telah dibuat, tujuan melakukan
tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan agar kriteria hasil

PAGE \* MERGEFORMAT 3
dapat tercapai.

Evaluasi Keperawatan

Evaluasi keperawatan adalah suatu proses menilai hasil dari tindakan keperawatan
yang sudah dilakukan sudah teratasi atau belum teratasi. Melalui kegiatan
evaluasi, perawat dapat menilai pencapaian tujuan dari tindakan keperawatan.

PAGE \* MERGEFORMAT 3
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Congenital talipes equinovarus (CTEV) atau yang biasa disebut
clubfoot merupakan kondisi kelainan kongenital pada pergelangan kaki
yang menjadi hiperekstensi yg memungkinkan terjadinya perubahan
struktur muskuloskeletal apabila tidak segera dilakukan koreksi yang
ditandai dengan fleksi plantar/equinus pada ankle atau pergelangan kaki
inversi/ varus pada sendi subtalar (tungkai) dan adduksi pada kaki depan.

Terdapat 2 klasifikasi CTEV yaitu typical clubfoot jenis yang


diantaranya positional clubfoot, delayed treated clubfoot, recurrent typical
clubfoot, alternatively trated typical clubfoot dan yang kedua atypical
clubfoot yang terdiri dari rigid atau resistant atypical clubfoot, syndromic
clubfoot, tetralogic clubfoot, neurogenic clubfoot, dan acquired clubfoot.

Penyebab dari CTEV meliputi faktor mekanik intra uteri yang


ditandai dengan kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena
kompresi eksterna uterus, kemudian faktor herediter, enterovirus,
gangguab perkembangan fetus, defek plasma sel primer.

Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada kasus CTEV antara lain
yaitu Pergelangan kaki jinjit, telapak kaki dan bagian depan kaki
menghadap ke arah dalam, Tumit kecil, teraba kosong dan lunak, Colum
tulang talus mudah diraba, Mata kaki bagian dalam sulit diraba, Bagian
pangkal kaki berputar ke dalam, lengkung kaki tinggi (cavus), Tulang
kering seringkali mengalami perputaran kearah dalam. Komplikasi yang
dapat ditimbulkan dari CTEV yaitu diantaranya infeksi namun jarang
terjadi, Kekakuan dan keterbatasan gerak: keka-kuan yang muncul awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik, Nekrosis avaskular talus:
sekitar 40% ke-jadian nekrosis avaskular talus muncul pada teknik
kombinasi pelepasan medial dan lateral, Overkoreksi yang mungkin
karena pelepasan ligamen interoseum dari persendian subtalus.
3.2 SARAN
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan kepada orang tua, jiak
mempunyai bayi baru lahir sebaiknya memperhatikan kondisi bayinya,
bila orang tua melihat ketidaksesuaian bentuk dari kedua bayi segeralah
meminta konfirmasi pada petugas medis tentang keaadan kaki bayi. Bila
ternyata ada kelainan berobat ke dokter spesialis orthopedi untuk
mendapatkan pengobatan CTEV ini secara bertahap dan berkelanjutan
sehingga harus sabar dan rutin kontrol serta mematuhi anjuran dokter agar
recapai hasil yang optimal.

PAGE \* MERGEFORMAT 3

Anda mungkin juga menyukai