PENDAHULUAN
Congenital Talipes Equino varus (CTEV) atau yang dikenal juga sebagai
clubfoot, merupakan salah satu defek kongenital yang paling sering terjadi. Hipocrates
memperkenalkan kelainan ini sekitar 300 tahun sebelum masehi. Prevalensi kejadian
1-2 per 1000 kelahiran. Biasanya anak laki-laki lebih sering terkena dengan ratio 2:1.
Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena. Penyebabnya sampai saat ini
belum diketahui secara pasti, namun banyak teori yang diajukan oleh beberapa peneliti.
Clubfoot dapat dengan jelas terlihat saat bayi lahir, ditandai dengan empat komponen,
yaitu equinus, midfoot cavus, forefoot adduction dan hindfoot varus (Chandra, 2012).
non-operatif dan operatif. Secara historis orang pertama yang menulis penatalaksanaan
CTEV adalah Hippocrates dengan cara manipulasi berulang diikuti pembebatan. Pada
dimana era bedah aseptik dan anastesi local sudah dikenal, koreksi CTEV dikerjakan
dengan bedah radikal. Namun tahun 1930, Hiram Kite seorang ahli orthopedi
deformitas tapi tidak dapat mencegah recurrent, hasil akhir operasi seringkali kaki
1
Penanganan clubfoot sebaiknya dimulai sesegera mungkin, di hari-hari awal
usia anak untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Terapi non operatif lebih
operatif. Tindakan operatif memiliki hasil jangka pendek yang baik, namun untuk
popular adalah metode dari Ponseti, koreksi dilakukan dengan manipulasi dan
pemakaian serial cast. Namun sekitar 50% kasus dengan terapi non operatif
2
BAB 2
2.1 Definisi
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV), bisa disebut juga dengan clubfoot,
merupakan suatu kombinasi deformitas yang terdiri dari supinasi dan aduksi forefoot
pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan
deviasi pedis ke medial terhadap lutut. Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi
leher dan kepala talus dan sebagian internal tibial torsion (Manhoob, 2004).
Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes
(foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti
Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar,
aduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang
diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot
2.2. Epidemiologi
kelahiran bayi di dunia dan merupakan salah satu defek saat lahir yang paling sering
3
kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000
kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,8 :1000
kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada
50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena
Keturunan tingkat pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah: 2%, 0,6%.,
dan 0,2%. Bila hanya satu orangtua yang menderita maka peluang anak sebesar 2-4 %,
jika kedua orangtua menderita maka peluang meningkat menjadi 15% (Turco, 2001,
Minoo, 2007).
Congenital Talipes Equino Varus dapat terjadi secara unilateral atau bilateral.
Chung, Kite dan Palmer melaporkan bila CTEV terjadi unilateral seringkali mengenai
sisi kanan yaitu sebesar 53,76%. Turco mendapatkan CTEV bilateral lebih cenderung
2.3. Etiologi
4
muncul bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital
Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi CTEV,
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates.
Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya
kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada 1939
2008).
2. Defek neuromuskuler
pada otot, fascia, ligamen dan tendon sheath pada clubfoot, hal ini
jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada
5
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan 14
kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan rotasi ke
medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini karena adanya defek pada
• Intrauterina
• Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta asap
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula
(6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika
6
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,
namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifaktorial dan
proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development. (Ellen, 2008).
Kaki tersusun dari 26 tulang dan 34 sendi. Secara umum kaki dibagi
menjadi forefoot, midfoot, dan hind food. Forefoot terdiri dari 5 metatarsal dan
dan 5 bersendi dengan tulang cuboid. Pada keadaan normal caput metatarsal
yang cendrung bersifat statis antara satu dengan yang lain. Gabungan tulang ini
berfungsi sebagai penghubung antara forefoot dan hindfoot. Selain itu midfoot
7
Gambar 2.1. Tulang dan segmen kaki (Staheli, 2009)
adalah tulang terbesar kaki dan membentuk tumit kaki. Posisi tulang calcaneus
terhadap tulang talus sering dipakai untuk evaluasi CTEV secara radiologi.
Pada CTEV tulang calcaneus dalam posisi equinus (plantar fleksi) dan varus
Talus adalah tulang terbesar kedua dari tulang tarsal dan dibagi menjadi
3 bagian, yaitu; caput, collum, dan corpus. Collum menghubungkan corpus dan
caput tali. Arah collum tali adalah anterior, plantar dan medial dari orpus.
Sulcus tali adalah suatu cekungan dalam dari bagian permukaan bawah collum
calcanei, sulcus tali membentuk sinus tarsi. Pada CTEV terjadi perkembangan
8
Sendi pergelangan kaki (ankle joint) dibentuk dari corpus talus yang
berartikulasi dengan distal tibia dan distal fibula yang sering disebut dengan
“ankle mortise”. Bagian dalam dari ankle mortise dibatasi oleh tulang rawan
1. Syndesmotic ligamen
Terletak disisi lateral menghubungkan distal fibula dan talus, terdiri dari
Lapisan luar, lapisan ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: bagian anterior
9
semua komplek ligamen deltoid. Ligamen deltoid mencegah valgus
tilting dari tulang talus, selain itu juga mencegah translasi lateral dan
deltoid ini
kelompok otot intrinsik dan kelompok otot ekstrinsik. Otot intrinsik berarti
origo dan insersio otot terletak di dalam area kaki, sedangkan otot ekstrinsik
origo berasal dari tungkai bawah dan berinsersi masuk kedalam kaki (Tonetta,
2010).
dorsum pedis dan plantar pedis. Kelompok otot ekstrinsik berdasarkan letak
dan IP ibu jari kaki. Pada CTEV terjadi medially displace dari tendon ketiga
10
Kelompok lateral terdiri dari m. Peroneus Longus (PL), dan
superfisial. PL berfungsi sebagai evertor kaki dan juga plantar fleksor ankle.
superfisial dan profundus. Kelompok superfisial terdiri dari otot Soleus dan
Pada CTEV ditemukan tendon Achilles yang rigid karena jaringan fibrosis
Sendi pergelangan kaki dibentuk oleh 3 tulang; tibia distal, talus, dan
fibula distal. Tulang tibia menyalurkan berat badan dari lutut ke talus,
sedangkan tulang fibula tidak untuk weight bearing sebab bagian proksimal
tidak mencapai sendi lutut. Bagian distal tibia membentuk maleolus medial,
rendah dan lebih posterior dibanding maleolus medial. Tulang talus bersendi
dengan tibial distal dan fibula distal membentuk persendian ankle mortise.
talus dan 1/3 medial berartikulasi dengan tibia, sedangkan permukaan lateral
berartikulasi dengan fibula. Tipe persendian ankle mortise adalah hinge joint
11
dengan lingkup gerak sendi 200 dorsofleksi dan 500 plantarfleksi (Neumann
dan calcaneus. Aksis sendi ini terletak dari medial ke lateral membentuk sudut
secara sinergis akan terjadi gerakan supinasi dan pronasi kaki. Jadi supinasi
12
Ponseti memakai dasar biomekanik dari gerakan sendi ankle dan subtalar ini
calcaneocuboid adalah abduksi 100 dan adduksi 200. Sendi talocalcaneal dan
sendi midtarsal disebut sendi subtalar, bila ketiga sendi ini dimatikan disebut
13
Gambar 2.4. Gerakan sendi calcaneocuboid (Staheli 2009)
lateral dan berakhir pada batas lateral kaki yang leper. Lengkung longitudinal
14
2.5. Patoanatomi CTEV
Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck talar yang
pendek disertai medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan
inferior talus, faset medial dan anterior belum berkembang. Calcaneus ditemukan
lebih kecil dari kaki normal, dan sustentaculum belum berkembang (Turco, 2001).
pada head talar dan cuboid pada calcaneus, dimana hal ini terjadi secara berurutan.
Herzenberg menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar
Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle mortise.
Adanya internal tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial (Turco, 2001).
15
Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas CTEV.
Dobbs melaporkan bahwa otot flexor digitorum accesorius longus terlihat pada
anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6% dan ditemukan lebih
banyak lagi pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%).
kadaver dewasa normal. Otot Anomalous soleus juga telah dijelaskan dan dilaporkan
Studi pada suplai darah juga menunjukkan terjadinya abnormalitas atau tidak
adanya arteri tibialis anterior sekitar 90% dari CTEV. Tidak adanya arteri tibialis
anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko
komplikasi vaskuler, jika salah satu arteri dominan terkena saat dilakukan perbaikan
secara menyeluruh pada jaringan lunak atau saat dilakukan tindakan tenotomi
2.6. Diagnosis
pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai
dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia (Haris 2002).
posisional dan CTEV rigid atau “true CTEV”. CTEV postural bukan
masa tumbuh kembang bayi. CTEV postural terjadi karena posisi janin saat di
16
dalam uterus. Pada kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan,
lipatan kulit yang dalam, atrofi dan rigiditas dari otot-otot ekstremitas (Haris, 2002).
CTEV rigid dibagi menjadi dua yaitu: CTEV rigid fleksibel dan rigid
resisten. Jenis rigid fleksibel lebih mudah dikoreksi atau dapat dikoreksi
tindakan operasi. Dikenal juga istilah CTEV idiopatik yang merujuk pada
(Haris, 2002).
dan memiliki tingkat recurrent yang tinggi dibandingkan dengan kasus idiopatik.
syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome
deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya
17
menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi (Tajhdijan,
Mihron, 1997).
Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai negara,
namun sistem klasifikasi dari Pirani, dan Ponseti yang paling banyak digunakan.
yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable
dapat memiliki nilai nol, setengah, dan satu poin (Staheli, 2009).
18
Faktor penilaian MS (midfoot score) terdiri dari curved lateral border, medial
crase, dan uncovering lateral head of the talus. Sementara faktor penilaian HS
(hindfoot score) adalah posterior crase, degree of dorsoflexion, dan emptiness of the
heel. Berdasarkan pengamatan klinis, maka setiap faktor MS dan HS diberikan nilai:
0, 0,5, dan 1. Total skor MS dan HS terendah adalah 0 (CTEV fleksibel), dan skor
Klasifikasi yang dilakukan oleh ponseti lebih mengarah kepada jenis CTEV.
Ponseti mengelompokan CTEV kedalan 5 jenis, yaitu seperti yang tersebut pada table
19
Table 2.2. Klasifikasi CTEV Ponseti (Ponseti, 2002)
1. Untreated CTEV CTEV yang tidak diterapi pada anak usia kurang
dari 8 tahun.
kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi
anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi kearah plantar sebesar 300. Posisi
lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º (Greenspan,2004).
Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan
plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan
kalkaneus dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP
digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta
melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya
20
adalah antara 25-40°. Bila sudut kurang dari 20°, dikatakan abnormal (Greenspan,
2004).
dengan terapi, baik dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke
arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian
akan terbentuk sudut talokalkaneus yang adekuat. Garis lateral digambar melalui titik
tengah antara kepala dan badan tulang talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus.
Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan
metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral ditambahkan untuk menghitung
indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari
40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi
maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis
Metode radiogi lain untuk menilai CTEV adalah dengan USG dan MRI, namun
cara ini tidak rutin dilakukan. CTEV pada janin intrauteri jarang tampak dengan USG
21
BAB 3
Penanganan CTEV (clubfoot) ini didasarkan pada sifat biologis deformitas dan
normal akan menjadi pengkor selama trimester kedua kehamilan. CTEV jarang
terdeteksi oleh ultrasonografi pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh
karena itu, seperti developmental hip dysplasia dan idiophatic scoliosis, CTEV
Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi tulang tarsal.
Forefoot yang pronasi menyebabkan arcus plantaris menjadi lebih konkaf (cavus).
Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin kemedial makin bertambah fleksi
(Staheli, 2009).
Pada CTEV, terjadi tarikan yang kuat dari otot tibialis posterior dan
gastrosoleus serta fleksor hallucis longus. Ukuran otot-otot itu lebih kecil dan lebih
jaringan ikat yang kaya akan kolagen, yang menyatu ke dalam tendon Achilles dan
Pada CTEV, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan medial ankle serta sendi
tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat menahan kaki pada posisi equinus dan
22
membuat navicular dan calcaneus dalam posisi adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot
betis berbanding terbalik dengan derajat deformitasnya. Pada CTEV yang sangat berat,
gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis. Sintesis kolagen yang
berlebihan pada ligamen, tendo dan otot terus berlangsung sampai anak berumur 3-4
2009).
ligamen mudah diregangkan. Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan
gentle, tidak membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari berikutnya, yang
3.1.2. Kinematik
Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang tarsal yang
hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan berada dalam posisi fleksi, adduksi, dan
inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi plantar fleksi hebat, collumnya
melengkung ke medial dan plantar, dan kaputnya berbentuk baji. Navicular bergeser
medial caput talus. Calcaneus adduksi dan inversi dibawah talus (Minoo 2007, Staheli,
2009).
medial dan berartikulasi hanya dengan aspek medial caput talus. Cuneiforme tampak
23
berada di kanan navicular, dan cuboid berada dibawahnya. Permukaan sendi
dibawah talus. Tendo tibialis anterior, ekstensor hallucis longus dan ekstensor
Baik pada kaki yang normal ataupun CTEV, tidak ada sumbu gerak tunggal
(seperti mitered hinge) dimana talus berotasi pada sumbu tersebut. Sendi-sendi tarsal
sendi ditentukan oleh kelengkungan permukaan sendi dan oleh orientasi dan struktur
ligamen yang mengikatnya. Tiap-tiap sendi mempunyai pola pergerakan yang khas.
Oleh karena itu, koreksi tulang tarsal CTEV yang inversi serta bergeser jauh ke medial,
harus dilakukan dengan menggeser navicular, cuboid, dan calcaneus kearah lateral
secara bertahap dan simultan, sebelum mereka dapat di eversi ke posisi netral.
Pergeseran ini mudah dilakukan karena ligamena tarsal dapat diregangkan secara
24
Pada CTEV, bagian anterior calcaneus berada dibawah caput talus. Posisi ini
tanpa mengabduksikannya terlebih dahulu akan menekan calcaneus pada talus dan
hingga mencapai posisi yang normal dengan talus akan mengkoreksi calcaneus varus
(Colbur, 2003).
disupinasikan sambil melakukan counterpressure pada aspek lateral caput talus untuk
mencegah rotasi talus di ankle. Plaster cast (gips) yang dibentuk (molding) dengan
baik akan mempertahankan kaki dalam posisi yang tepat. Ligamen tidak boleh
diregangkan lagi untuk meningkatkan derajat koreksi lebih lanjut (Colbur, 2003,
Staheli, 2009).
Tulang dan sendi akan mengalami remodelling tiap kali gips diganti karena sifat
jaringan ikat, kartilago dan tulang yang akan berubah mengikuti perubahan arah
stimulus mekanik. Hal ini dibuktikan dengan sangat baik oleh Pirani yang
25
membandingkan gambaran klinik dan gambaran MRI sebelum, selama dan pada akhir
pengegipan. Pada gambar dibawah (gambar 4.3.) kita dapat melihat perubahan yang
(garis merah) bergeser ke sisi medial caput talus (biru). Posisi talus-navicular ini
menjadi normal selama pengegipan. Posisi cuboid (hijau) juga menjadi normal
equinus, tendo Achilles bisa dipotong perkutan. Tendo Achilles, tidak seperti ligamena
tarsal yang dapat diregangkan, terdiri dari berkas kolagen yang kaku, tebal dengan
26
sedikit sel serta tidak dapat diregangkan. Gips terakhir dipakai selama 3 minggu,
sementara tendo Achilles (yang telah dipotong) sembuh dengan panjang yang tepat dan
parut minimal. Pada tahap ini, sendi tarsal mengalami remodelling pada posisi yang
tepat. Kesimpulannya, sebagian besar kasus CTEV terkoreksi setelah 5 sampai 6 kali
gips dan kebanyakan disertai tenotomi tendo Achilles. Tehnik ini menghasilkan kaki
yang kuat, fleksibel, dan plantigrade. Suatu penelitian 35-year follow-up stuyd telah
membuktikan kaki tetap berfungsi dengan baik dan tanpa nyeri (Haris, 2002).
Secara umum, tatalaksana CTEV dilakukan secara bertahap. Kaki yang telah
koreksi yang telah dicapai untuk mencegah terjadinya recurrent sehingga deformitas
Cavus, inversi dari ‘mid foot’, tumit varus, dan kekakuan dari equinus akan dapat
diperbaiki. Posisi tulang yang telah bergeser dari tempatnya akan dibawa secera
bertahap ke posisi yang seharusnya. Ligemen dan tendon yang terletak pada sisi dorsal
dan medial akan meregang. Permukaan sendi akan membaik secara progresif (Colbur,
Pedoman umum tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti dapat dilihat pada
27
Gambar 3.4. Pedoman umum tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti (Lohan, 2008)
28
3.2.1. Pedoman tatalaksana ponseti pada anak yang belum bisa berjalan
Pengobatan CTEV pada usia bayi (anak yang belum bisa berjalan) dimulai
dengan koreksi secara bertahap terhadap deformitas yang terjadi. Pada kebanyakan
Equinus. Resiko terhadap recurrent setelah dilakukan koreksi secara penuh sangat
perlu untuk dicegah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemakaian bracing dan juga
Pedoman tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti pada anak yang belum
29
Gambar 3.5. Pedoman tatalaksana CTEV pada anak yang belum bisa berjalan (Lohan, 2008)
3.2.2. Pedoman tatalaksana Ponseti pada kasus anak yang sudah bisa berjalan
ditangani akan sangat bergantung kepada usia dan tingkat keperahan deformitas yang
dialami, namun koreksi secara bertahap tetap akan dilakukan untuk memperbaiki
semaksimal mungkin deformitas yang terjadi. Deformitas cavus, inversi dari mid foot,
30
tumit varus, dan kekakuan dari equinus harus dikoreksi dengan benar. Khusus untuk
anak dengan usia yang lebih tua sangat disarankan untuk diberikan juga terapi latihan
selama fase pemakaian bracing. Beberapa anak yang lebih tua mungkin memerlukan
Pedoman tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti pada anak yang belum
31
Gambar 3.6. Pedoman tatalaksana CTEV pada anak yang sudah bisa berjalan (Lohan, 2008)
3.3. Manipulasi
dari arah pergerakan dari tulang kaki. Tindakan manipulasi adalah melakukan abduksi
dari kaki dibawah kaput talus yang telah distabilkan. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan letak kaput talus yang menjadi titik tumpu koreksi. Saat
32
dilakukan tindakan manipulasi, seluruh deformitas dari CTEV akan terkoreksi secara
bersamaan, kecuali deformitas equinus pergelangan kaki (Lohan, 2008, Staheli, 2009).
Menentukan letak kaput talus secara tepat merupakan langkah awal yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya kesalahan saat melukakan manipulasi yang akan
menyababkan kegagalan dari terapi. Tahapan menentukan letak kaput talus adalah
sbagai berikut; genggam forefoot bagian kanan dengan menggunakan tangan kanan
dari pemeriksa, dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan rasakan letak
maleolus dari arah depan. Langkah selanjutnya adalah ; (1) gerakan ibu jari dan jari
telunjuk tangan kiri kearah depan untuk menekan kaput talus. Pada posisi ini; (i)
rasakan Navicular dengan ujung ibu jari, dan (ii) rasakan tuberositas anterior dari
calcaneus dengan menggunakan ujung ibu jari tangan kiri. Kemudian (2) abduksikan
berupa: (i) gerakan navicular di depan dari kaput talus, dan (ii) tuberositas calcaneus
anterior bergerak kearah lateral bawah kaput talus (Lohan. 2008, Staheli. 2009).
33
Teknik Manipulasi.
(Lohan, 2008)
1. Menstabilkan talus dengan menempatkan ibu jari diatas kaput talus. Hal ini
dapat menjadi titik poros saat kaki berada pada posisi abduksi.
Pada anak usia dini, teknik ini dilakukan sambil memberikan tekanan rinagn
selama 30-40 detik kemudian lepaskan dan ulangi sebanyak 2 kali pada setiap kaki
yang mengalami CTEV. Sedangkan pada anak usia lebih lanjut, teknik ini dilakukan
selama 1-2 menit dan diulangi sebanyak 3-4 kali pada setiap kaki. Pada Pedoman ini
dapat diterapkan pada anak yang tidak mempunyai cacat lain yang menyertai CTEV.
Hal yang paling perlu mendapat perhatian selama melakukan manipulasi ini adalah:
jangan pernah lakukan gerakan pronasi, jangan pernah menyentuh tumit kaki, dan
jangan gunakan kekuatan yang berlebihan saat memberikan tekanan (Colbur. 2003,
Lohan, 2008).
34
Gambar 3.8. Teknik manipulasi (Lohan, 2008)
Pemasangan gips bertujuaan untuk memfiksasi kaki sehingga ligamen, kapsul sendi
dan tendon yang mengalami pemendekan akan terus berada pada posisi teregang.
Bahan gips lebih direkomendasikan untuk digunakan dibanding dengan fiberglass. Hal
ini dikarenakan bahn gips lebih murah dan memberikan molding yang lebih presisi
2014).
kaki dalam posisi koreksi maksimal dengan cara memegangi jari-jari dan
35
• Dilanjutkan dengan pemasangan gips yang dimulai dari bawah lutut sampai
paha atas. Kemudian mulai lagi dari sekitar jari-jari kaki melakukan lilitan
Saat memasang gips di atas tumit, gips dikencangkan sedikit. Kaki harus
dipegang pada jari-jari dan gips dilingkarkan di atas jari-jari pemegang agar
tersedia cukup ruang untuk pergerakan jari-jari kaki (Lohan, 2008, Wahyuni,
• Molding gips. Saat melakukan molding, koreksi tidak boleh dilakukan secara
paksa. Lakukan penekanan ringan. Hindari menekan kaput talus dengan ibu
kali untuk mencegah sensasi tidak nyaman pada anak. Molding gips dilakukan
di atas kaput talus sambil mempertahankan kaki pada posisi koreksi. Ibu jari
tangan kiri melakukan molding gips di atas kaput talus, sedangkan tangan
juga harus di molding dengan baik untuk mencegah terjadinya flatfoot atau
berlebihan pada satu tempat. Molding dilanjutkan sambil menunggu gips keras
36
Lanjutkan melakukan gips sampai paha. Gunakan padding yang tebal pada proksimal
paha untuk mencegah iritasi kulit (Lohan 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan, 2014).
sampai ke pangkal paha untuk menjaga agar kaki di bawah talus tetap terjaga pada
posisi abduksi dan juga untuk mencegah terjadi rotasi pada ankle mortise. Pada anak
usia dini (belum bias berjalan sebelum terapi dimulai) posisi sendi lutut pada saat
pemasangan gips berada pada posisi fleksi 900 dan gips diganti setiap 5-7 hari. Pada
anak dengan usia lebih lanjut (sudah bisa berjalan sebelum terapi dimulai), pemasangan
gips pada sendi lutut berada pada posisi fleksi 70 0 sehingga mereka bisa berdiri. Gips
pada anak suia ini diganti setiap 7-10 (14) hari. Pemasangan gips terakhir, jika
tenotomy terhadap tendon achiles telah dilakukan akan dipertahankan selama 3 minggu
37
pada anak usia dini dan selama 4 minggu pada anak uisa lanjut (Colbur 2003, Staheli
2009).
Hasil akhir setelah pemasangan gips selesai, kaki akan tampak over koreksi
dalam posisi abduksi dibandingkan kaki normal saat anak berjalan. Namun sebenarnya
hal ini bukan merupakan suatu over koreksi, melainkan merupakan suatu kondisi
koreksi penuh kaki dalam posisi abduksi maksimal. Koreksi kaki harus dilakukan
hingga mencapai abduksi yang penuh, lengkap dan dalam batas normal. Hal ini akan
3.5. Tenotomi
equinus setelah cavus, adduksi , dan varus telah terkoreksi denagn baik namun
dorsoflesi dari pergelangan kaki masih kurang dari 100. Sebelum dilakukan tenotomi
terlebih dahulu harus dipastikan abduksi sudah adekuat. Biasanya tindakan tenotomi
diperlukan pada 90% kasus. Setelah equinus terkoreksi dengan tenotomi, dilkukan
pemasangan gips dengan kaki abduksi 60-700 dan dorsofleksi 150. Gips dipertahankan
selama 3-4 minggu, namun dapat diganti jika rusak atau kotor sebelum 3-4 minggu.
Setelah 3-4 minggu gips dilepas, pergelangan kaki dapat didorsofleksikan 20 0. Saat
gips dilepas, biasanya tendon sudah menyambun dan jaringan parut operasi minimal
sehingga kaki siap untuk memakai brace (Lohan 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan,
2014).
38
3.6. Bracing Pada Metode Ponseti
Tiga minggu setelah tenotomi, gips dilepas, dan brace segera dipakai. Brace
harus disertai sepasang sepatu yang melekat pada sebuah bar sehingga kaki anak akan
terfiksasi pada posisi yang diinginkan dalam waktu tertentu. Hal ini berguna untuk
Pada kasus unilateral pada anak usia lebih muda (belum bisa berjalan), brace
dipasang pada 60-700 abduksi pada sisi sakit dan 30-400 abduksi pada sisi yang sehat,
dengan dorsofleksi 10-200. Bila didapatkan pada anak yang sudah bisa berjalan, maka
kaki dengan CTEV akan dipasang brace pada posisi 40-600 abduksi dengan 10-200
Pada kasus bilateral, pada anak yang belum bisa berjalan, brace diatur pada
posisi 700 abduksi dengan 10-200 dorsofleksi pada kedua sisi. Bila didapatkan pada
anak yang sudah bisa berjalan maka kedua kaki dipasangi brace pada posisi 40-600
abduksi dengan 10-200 dorsofleksi. Bar harus cukup panjang sehingga jarak antar tumit
sepatu selebar bahu. Kesalahan yang sering terjadi adalah bar terlalu pendek sehingg
Pada kasus CTEV dengan sendi hypermobile, tonus otot rendah, valgus pada
tumit, dan rotasi eksternal tibia setelah koreksi, maka brace digunaka pada kedua kaki
dengan posisi 30-400 abduksi dengan 10-150 dorsofleksi (Colbur, 2003, Staheli, 2009).
Pada kasus CTEV yang disertai dengan kecacatan lain (seperti: Arthrogryposis,
39
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak. Anak pennderita CTEV yang disertai
Selama 3 bulan pertama, barce harus dipasang setiap hari semenjak gips
terakhir dilepas. Brace hanya boleh dilepas saat mandi dang anti popok saja. Setelah
itu anak harus memakai brace selama 12 jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang
hari, sehingga total pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun
Orang tua anak diminta untuk membawa anaknya kontrol 10-14 hari kemudian
untuk memonitor penggunaan brace. Jika bracing berjalan baik, maka kontrol
dilakukan 3 bulan kemudian. Pada saat itu, brace dapat dilepas pada waktu siang namun
harus dipakai sewaktu tidur siang dan malam hari. Hal ini terus dilakukan sampai usia
3 tahun dengan masa kontrol setiap 4 bulan. Pada usia 3-4 tahun, kontrol dilakukan
setiap 6 bulan. Usia 4 tahun sampai dewasa, kontrol ulang dilakukan setiap 1-2 tahun
40
BAB 4
Anak dengan kondisi CTEV yang telah terkoreksi dan masuk pada fase
pemakaian bracing, masih mungkin untuk terjadi recurrent. Secara umum, semakin
muda usia seorang anak maka resiko untuk terjadi recurrent terhadap CTEV akan
semakin tinggi. Namun, pada anak yang telah berusia 6 tahun atau lebih yang
mendapatkan terapi dini maka angka recurrent menjadi jarang, kecuali jika disertai
dengan kondisi cacat lain yang terkait dengan CTEV. Deteksi awal dari recurrent dan
diikuti dengan koreksi segera setelah kambuh merupakan hal yang sangat penting
resiko recurrent. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor etiologi yang
Secara garis besar, teradapat 4 alasan utama penyebab terjadinya recurrent pada
41
a. Kesalahan dalam memakai ‘brace’
terjadinya recurrent, yaitu lebih dari 80%. Pemakaian ‘brace’ yang benar dapat
Terdapat dua kesalahan utama dalam tatalaksana CTEV yang paling sering
terjadi, yaitu (1); tidak cukupnya abduksi pada sendi paha, sehingga posisi
dorsofleksi.
c. Pada beberpa kasus bisa disebabkan oleh fibrosis yang terlalu parah pada otot,
recurrent, antara lain; melakukan koreksi abduksi hingga mencapai 70 0 terhadap anak
sedini mungkin, mengikuti protokol pemakaian bracing secara benar dan teratur sesuai
dan Tibialis posterior dikerjakan setiap hari oleh orang tua atau pengasuh anak di
rumah. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya recurrent adalah
memberikan terapi latihan yang bermanfaat untuk menfasilitasi gerakan aktif dari kaki
42
dan membantu untuk mengintegrasikan kaki dalam pola gerakan fisiologis dari seluruh
Gambar 4.1. koreksi abduksi dan peregangan otot Gastrocnemius untuk mencegah
Terdapat 3 jenis kelaianan bentuk yang paling sering terjadi pada kasus
a. Varus Rcurrence
Posisi tumit berada dalam keadaan varus, hal ini dapat terlihat dengan jelas
2009);
43
selama 23 jam sehari. Semantara pada anak yang sudah bisa berjalan,
b. Equinus Recurrence
Yang terjadi adalah kurang dorsofleksi dari sendi pergelangan kaki dimana hal
ini juga dapat menyebakan tumit varus. Untuk menilainya dapat dilihat pada
saat anak berjalan, dimana pada saat anak berjalan maju maka tumit akan
terangkat lebih awal, sedangkan pada saat anak berjalan mundur maka akan
terlihat anak akan bertumpu lebih dahulu dengan menggunakan sisi luar dari
bantalan telapak kaki (posisi tumit varus) (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli
2009).
Tatalaksana untuk kelainan ini adalah (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009);
44
• Memberikan latihan peregangan otot Gastrocnemius dan Tibialis
• Jika recurrent kembali terjadi, maka prosedur yang sama harus diulangi
lagi
Kaki akan terlihat berada pada posisi supinasi. Keadaan ini biasanya terjadi
pada anak usia 2 sampai 4 tahun. Saat anak berjalan maju akan terlihat supinasi
kaki pada saat fase “swing” dan menumpu pada sisi luar telapak kaki pada saat
Tatalaksana untuk kelainan ini adalah (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009);
100)
45
• Koreksi dengan “night time bracing”, diikuti dengan latihan
46
BAB 5
RINGKASAN
multiplanar. Kelainan pada CTEV berupa: hind foot equinus dan varus, forefoot
adduktus dan cavus. Deformitas ini menjadi masalah kesehatan karena tanpa desertai
dengan koreksi yang baik, kelainan ini akan menjadi sumber deformitas. Dengan
koreksi yang baik ekalipun, hasil yang dicapai belum tentu bisa sempurna, dan tetap
terdapat kemungkinan untuk terjadi recurrent. Disisi lain CTEV bersifat idiopatik,
Secara umum, tata laksana CTEV apapun jenis dan derajat deformitasnya
dilakukan secara non operatif. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
menangani defromitas CTEV, antara lain metode Ponseti dan metode French. Saat ini,
Metode Ponseti bisa dikatakan lebih banyak digunakan di di pusat-pusat Rumah Sakit
dengan metode Ponseti mencapai lebih dari 95%. Kegagalan yang paling sering terjadi
pada kasus dengan kaki yang kaku, disertai dengan lekukan dalam pada telapak kaki
dan di ata ankle, disertai cavus yang berat, otot gastrocsoleus yang kecil dengan fibrosis
47
DAFTAR PUSTAKA
http://www.emedicine.com/specialite.html.
Greenspan A, 2004, Anatomi of The Upper and Lower Limb, Orthopedic Imaging a
Philadelpia,pp: 915-18.
Haris EJ, 2004. Clinical practice guidelines: diagnosis and treatment of pediatric
Kasser JR, 2006, The Foot, in : Morissy RT, Weinstein SL, editors. Lovell & Winter’s
48
Manhoob G, 2004, Management of Idiopatic CTEV at Jinnah Postgraduate medical
Minoo P, 2007, Clubfoot. Article Last Update, Nov 2nd 2007, Available at URL:
http://www.emedicine.com/specialite.html
publisher.com/oroaj/pdf/OROAJ.MS.ID.555588.pdf.
Nordin M, 2014. Biomecanic of the Ankle and Foot, basic Biomecanic of the
Ponseti I, 2002, Clubfoot: Ponseti Manajement 2nd Edition, Global HELP orgnitation,
Available at URL:
http://www.vh.org/pediatric/patient/orthopedics/clubfoot/index.html
Reyes TM, 1978. Ankle and Foot Kinesiologi, 1st edition volume 4, Philipine Physical
49
Staheli L,MD, 2009. Clubfoot: Ponseti Manajement, third edition, Global Help
Publication,pp: 4-20.
Tajhdijan, Mihron O, 1997, Clinical Pediatric Orthopedics: The Art of Diagnosis and
Tonetta P, 2010, Foot and Ankle, Orthopedic Surgeri Essential, Lipncott William and
Wahyuni LK, Soebadi RD, Wulan SM, 2014. Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi
pp: 567-96.
50