Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

Congenital Talipes Equino varus (CTEV) atau yang dikenal juga sebagai

clubfoot, merupakan salah satu defek kongenital yang paling sering terjadi. Hipocrates

memperkenalkan kelainan ini sekitar 300 tahun sebelum masehi. Prevalensi kejadian

1-2 per 1000 kelahiran. Biasanya anak laki-laki lebih sering terkena dengan ratio 2:1.

Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena. Penyebabnya sampai saat ini

belum diketahui secara pasti, namun banyak teori yang diajukan oleh beberapa peneliti.

Clubfoot dapat dengan jelas terlihat saat bayi lahir, ditandai dengan empat komponen,

yaitu equinus, midfoot cavus, forefoot adduction dan hindfoot varus (Chandra, 2012).

Penatalaksanaan CTEV secara garis besar dibedakan secara konservatif atau

non-operatif dan operatif. Secara historis orang pertama yang menulis penatalaksanaan

CTEV adalah Hippocrates dengan cara manipulasi berulang diikuti pembebatan. Pada

pertengahan abad ke 18 mulai diperkenalkan teknik bedah minimal. Tahun 1890

dimana era bedah aseptik dan anastesi local sudah dikenal, koreksi CTEV dikerjakan

dengan bedah radikal. Namun tahun 1930, Hiram Kite seorang ahli orthopedi

menganjurkan kembali ke teknik non-operatif. Alasan beralih kembali ke tehnik

konservatif adalah karena metode operatif memang menghasilkan perbaikan dini

deformitas tapi tidak dapat mencegah recurrent, hasil akhir operasi seringkali kaki

menjadi lemah, kaku dan nyeri berkepanjangan (Colbur, 2003).

1
Penanganan clubfoot sebaiknya dimulai sesegera mungkin, di hari-hari awal

usia anak untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Terapi non operatif lebih

disukai dan disarankan di berbagai belahan dunia dibandingkan dengan terapi

operatif. Tindakan operatif memiliki hasil jangka pendek yang baik, namun untuk

jangka panjang berbagai komplikasi banyak ditemukan.Terapi non operatif yang

popular adalah metode dari Ponseti, koreksi dilakukan dengan manipulasi dan

pemakaian serial cast. Namun sekitar 50% kasus dengan terapi non operatif

memerlukan tindakan operatif untuk koreksi yang optimal (Colbur, 2003).

2
BAB 2

Congenital Talipes Equino Varus

2.1 Definisi

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV), bisa disebut juga dengan clubfoot,

merupakan suatu kombinasi deformitas yang terdiri dari supinasi dan aduksi forefoot

pada sendi midtarsal, heel varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan

deviasi pedis ke medial terhadap lutut. Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi

leher dan kepala talus dan sebagian internal tibial torsion (Manhoob, 2004).

Kata talipes equinovarus berasal dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes

(foot), equinus menunjukkan tumit yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti

inversi dan adduksi (Chandra, 2012).

Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar,

aduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang

diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan hindfoot

varus (Chandra, 2012).

2.2. Epidemiologi

Congenital Talipes Equino Varus rata-rata muncul dalam 1-2:1000

kelahiran bayi di dunia dan merupakan salah satu defek saat lahir yang paling sering

terjadi pada sistem muskuloskeletal. Insidensi CTEV beragam pada beberapa

Negara, di Amerika Serikat 2,3:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000

3
kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000

kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,8 :1000

kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada

orang Hawai (Chandra, 2012)

Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1 terhadap perempuan, dimana

50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral, kaki kanan lebih sering terkena

(Turco, 2001, Minoo, 2007).

Studi epidemiologi menunjukkan resiko menderita CTEV bila ada riwayat

dalam keluarga dengan peluang yang berbeda-beda di setiap tingkat keturunan.

Keturunan tingkat pertama, kedua dan ketiga secara berturut-turut adalah: 2%, 0,6%.,

dan 0,2%. Bila hanya satu orangtua yang menderita maka peluang anak sebesar 2-4 %,

jika kedua orangtua menderita maka peluang meningkat menjadi 15% (Turco, 2001,

Minoo, 2007).

Congenital Talipes Equino Varus dapat terjadi secara unilateral atau bilateral.

Turco mendapatkan 56,75% bilateral, sedangkan Chung memperoleh angka 55,75%.

Chung, Kite dan Palmer melaporkan bila CTEV terjadi unilateral seringkali mengenai

sisi kanan yaitu sebesar 53,76%. Turco mendapatkan CTEV bilateral lebih cenderung

resisten terhadap koreksi dibanding unilateral (Turco, 2001, Minoo, 2007).

2.3. Etiologi

Etiologi dari CTEV belum sepenuhnya dimengerti. CTEV umumnya

merupakan isolated birth defect dan diperkirakan idiopatik, meskipun kadang

4
muncul bersamaan dengan myelodysplasia, arthrogryposis, atau kelainan kongenital

multiple (Ellen, 2008).

Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi CTEV,

yaitu: (Ellen, 2008)

1. Teori faktor mekanik in utero

Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh Hippocrates.

Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus akibat adanya

kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan Browne pada 1939

mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya cairan amnion, seperti

oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan rentan terhadap kompresi

dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan memicu deformitas ini (Ellen,

2008).

2. Defek neuromuskuler

Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat dari

adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang menemukan

gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya jaringan fibrosis

pada otot, fascia, ligamen dan tendon sheath pada clubfoot, hal ini

diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang (Maranho, 2011). Adanya

jaringan fibrosis ini ditandai dengan terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada

pemeriksaan histopatologis, keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus

resisten (Ellen, 2008)

5
3. Primary germ plasma defect

Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan 14

kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan rotasi ke

medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini karena adanya defek pada

primary germ plasma (Ellen, 2008)

4. Arrested fetal development

• Intrauterina

Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa adanya

gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah penyebab

clubfoot kongenital (Ellen, 2008).

• Pengaruh lingkungan

Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta asap

rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi

temporary growth arrest pada janin (Ellen, 2008).

5. Herediter

Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula

(6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan). Ketika

terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka kemungkinan

terjadinya CTEV akan meningkat (Ellen, 2008).

6
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari CTEV,

namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah multifaktorial dan

proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development. (Ellen, 2008).

2.4. Anatomi Dan Biomekanik Pergelangan Kaki

2.4.1. Tulang dan ligamen pergelangan kaki

Kaki tersusun dari 26 tulang dan 34 sendi. Secara umum kaki dibagi

menjadi forefoot, midfoot, dan hind food. Forefoot terdiri dari 5 metatarsal dan

14 phalang dan meluas sampai sendi tarsometatarsal. Bagian dasar metatarsal

1,2, dan 3 bersendi dengan tulang cuneiformis, sedangkan tulang metatarsal 4

dan 5 bersendi dengan tulang cuboid. Pada keadaan normal caput metatarsal

berada pada permukaan yang datar (Turco. 2001, Lohan, 2008).

Midfoot disusun oleh tulang navicular, cuneiformis 1,2,3 dan cuboid

yang cendrung bersifat statis antara satu dengan yang lain. Gabungan tulang ini

berfungsi sebagai penghubung antara forefoot dan hindfoot. Selain itu midfoot

berfungsi untuk melindungi perjalanan struktur saraf, pembuluh darah dan

tendon dari ankle ke forefoot. Ke arah distal midfoot membentuk Lisfranc’s

joint, sedangkan ke arah proksimal membentuk Chopart’s joint. Pada CTEV

terjadi subluksasi kearah medial (adduktus) persendian di midfoot. (Turco.

2001, Lohan, 2008).

7
Gambar 2.1. Tulang dan segmen kaki (Staheli, 2009)

Hindfoot terdiri dari tulang calcaneus dan talus. Tulang calcaneus

adalah tulang terbesar kaki dan membentuk tumit kaki. Posisi tulang calcaneus

terhadap tulang talus sering dipakai untuk evaluasi CTEV secara radiologi.

Pada CTEV tulang calcaneus dalam posisi equinus (plantar fleksi) dan varus

(Turco. 2001, Lohan, 2008).

Talus adalah tulang terbesar kedua dari tulang tarsal dan dibagi menjadi

3 bagian, yaitu; caput, collum, dan corpus. Collum menghubungkan corpus dan

caput tali. Arah collum tali adalah anterior, plantar dan medial dari orpus.

Sulcus tali adalah suatu cekungan dalam dari bagian permukaan bawah collum

dengan arah miring anterolateral, posteromedial. Bersama dengan sulcus

calcanei, sulcus tali membentuk sinus tarsi. Pada CTEV terjadi perkembangan

abnormal dari os talus (Turco. 2001, Lohan, 2008).

8
Sendi pergelangan kaki (ankle joint) dibentuk dari corpus talus yang

berartikulasi dengan distal tibia dan distal fibula yang sering disebut dengan

“ankle mortise”. Bagian dalam dari ankle mortise dibatasi oleh tulang rawan

hyaline (Turco. 2001, Lohan, 2008).

Ligamen pergelangan kaki terdiri dari 3 kelompok: (Reyes, 1978, Neumann,

2002, Tonetta, 2010)

1. Syndesmotic ligamen

Berfungsi mempertahankan hubungan antara fibula dan tibia, terdiri

dari ligamen anterior inferior tibiofibular (AITFL), ligamen posterior

inferior tibiofibular (PITFL), ligamen tranfersum tibiofibular (TTFL),

dan ligamen interosseous tibiofibular (ITFL)

2. Lateral ligamen complex

Terletak disisi lateral menghubungkan distal fibula dan talus, terdiri dari

ligamen anterior talofibular (ATFL), ligamen cervical talofibular

(CFL), dan ligamen posterior talofibular (PTFL).

3. Medial ligamen complex

Terdiri dari dua lapisan;

Lapisan luar, lapisan ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: bagian anterior

(talonavicular component), bagian medial (tibiocalcaneal component),

dan bagian posterior (posterior tibiotalar component)

Lapisan dalam, lapisan ini dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: bagian

anterior dan posterior. Komponen posterior adalah yang terkuat dari

9
semua komplek ligamen deltoid. Ligamen deltoid mencegah valgus

tilting dari tulang talus, selain itu juga mencegah translasi lateral dan

anterior. Pada CTEV ditemukan penebalan dan pemendekan ligamen

deltoid ini

2.4.2. Otot dan tendon pergelangan kaki

Otot penggerak kaki dibagi kedalam dua kelompok otot, yaitu:

kelompok otot intrinsik dan kelompok otot ekstrinsik. Otot intrinsik berarti

origo dan insersio otot terletak di dalam area kaki, sedangkan otot ekstrinsik

origo berasal dari tungkai bawah dan berinsersi masuk kedalam kaki (Tonetta,

2010).

Baerdasarkan lokasi, otot intrinsik dibagi menjadi 2 yaitu: di area

dorsum pedis dan plantar pedis. Kelompok otot ekstrinsik berdasarkan letak

origo dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu: anterior, lateral, posterior superficial

dan posterior profunda. Kelompok otot anterior berfungsi untuk ekstensor

(dorsofleksor) kaki, terdiri dari m. ekstensor digitorum longus (EDL), m.

ekstensor halucis Longus (EHL) dan m. tibialis anterior (TA). Ketiganya

dipersarafi oleh nervus Peronius profundus. TA juga berfungsi untuk invertor

kaki (Reyes, 1978).

Ekstensor Halucis Longus berfungsi sebagai dorsofleksor sendi MTP

dan IP ibu jari kaki. Pada CTEV terjadi medially displace dari tendon ketiga

otot tersebut (Reyes, 1978)

10
Kelompok lateral terdiri dari m. Peroneus Longus (PL), dan

m. Peroneus Brevis (PB). Keduanya diinervasi oleh nervus peroneus

superfisial. PL berfungsi sebagai evertor kaki dan juga plantar fleksor ankle.

Sedangkan PB adalah evertor utama kaki (Reyes, 1978).

Kelompok posterior dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok

superfisial dan profundus. Kelompok superfisial terdiri dari otot Soleus dan

Gastrcnemius. Keduanya diinervasi oleh n. Tibialis posterior. Kelompok

profundus terdiri dari m. Tibialis posterior. M. Fleksor halucis longus (FHL).

Pada CTEV ditemukan tendon Achilles yang rigid karena jaringan fibrosis

lebih padat (Reyes 1978, Tonetta 2010).

2.4.3. Kinematik sendi pergelangan kaki

Sendi pergelangan kaki dibentuk oleh 3 tulang; tibia distal, talus, dan

fibula distal. Tulang tibia menyalurkan berat badan dari lutut ke talus,

sedangkan tulang fibula tidak untuk weight bearing sebab bagian proksimal

tidak mencapai sendi lutut. Bagian distal tibia membentuk maleolus medial,

sedangkan distal fibula membentuk maleolus lateral. Maleolus lateral lebih

rendah dan lebih posterior dibanding maleolus medial. Tulang talus bersendi

dengan tibial distal dan fibula distal membentuk persendian ankle mortise.

Tulang talus merupakan tumpuan apeks mekanik kaki. Permukaan superior

talus dan 1/3 medial berartikulasi dengan tibia, sedangkan permukaan lateral

berartikulasi dengan fibula. Tipe persendian ankle mortise adalah hinge joint

11
dengan lingkup gerak sendi 200 dorsofleksi dan 500 plantarfleksi (Neumann

2002, Nordin 2014).

Gambar 2.2. Pergerakan kaki pada Ankle joint (Staheli, 2009)

Persendian kaki terdiri dari sendi talocalcaneal, talonavicular,

calcaneocuboidea, tarsometatarsal, metatarsophalangeal, proksimal

interphalangeal, distal interphalangeal. Sendi talocalcaneal dibentuk oleh talus

dan calcaneus. Aksis sendi ini terletak dari medial ke lateral membentuk sudut

230 terhadap terhadap aksis longitudinal kaki dan membentuk sudut 41 0

terhadap bidang horizontal. Gerakan sendi talocalcaneal adalah inversi 30 0 dan

eversi 100 pada aksis longitudinal, abduksi-adduksi pada aksis vertical,

dorsofleksi-plantarfleksi pada aksis transversal. Bila ketiga gerakan bekerja

secara sinergis akan terjadi gerakan supinasi dan pronasi kaki. Jadi supinasi

adalah hasil dari kombinasi gerakan inversi, adduksi, dan plantarfleksi.

Semantara pronasi adalah kombinasi dari eversi, abduksi, dan dorsofleksi.

12
Ponseti memakai dasar biomekanik dari gerakan sendi ankle dan subtalar ini

untuk koreksi CTEV (Reyes1978, Nordin 2014)

Gambar 2.3. Gerakan sendi Talocalcaneal. (Staheli 2009)

Sendi talonavicular dan calcaneocuboid disebut sendi midtarsal.

Gerakan sendi talonavicular adalah inversi dan eversi. Gerakan sendi

calcaneocuboid adalah abduksi 100 dan adduksi 200. Sendi talocalcaneal dan

sendi midtarsal disebut sendi subtalar, bila ketiga sendi ini dimatikan disebut

triple artthrodosis CTEV (Reyes 1978, Nordin 2014).

13
Gambar 2.4. Gerakan sendi calcaneocuboid (Staheli 2009)

Arsitektur tulang-tulang kaki membentuk lengkung atau arkus kaki.

Ada 2 lengkung longitudinal dan 3 lengkung transversal. Lengkung

longitudinal medial dibentuk oleh calcaneus, talus, navicular, dan metatarsal 1

dan 2. Lengkung longitudinal lateral dibentuk oleh calcaneus, cuboid,

cuneiforme medial, metatarsal 4-5, an phalang 4-5. Fungsi lengkung

longitudinal sebagai gaya pegas saat berjalan. Lengkung longitudinal tertinggi

terletak pada lengkung longitudinal medial pada sendi midtarsal menurun ke

lateral dan berakhir pada batas lateral kaki yang leper. Lengkung longitudinal

dipelihara oleh struktur persendian antar tulang kaki, ligamen, plantar

aponeurosis, otot plantaris yang panjang yaitu m. Tibialis posterior, m. Fleksor

digitorum longus, m. Fleksor halluces longus dan m. Peronius longus. Pada

CTEV sering kali terjadi deformitas cavus, yaitu peninggian lengkung

longitudinal medialis CTEV (Nordin, 2014).

14
2.5. Patoanatomi CTEV

Deformitas yang terjadi pada CTEV adalah; hindfoot varus, equinus,

forefoot adductus dan cavus (Turco, 2001).

Deformitas hindfoot varus merupakan suatu keadaan dimana tumit berputar

kedalam (inversi calcaneal subtalar). Equinus merupakan suatu kondisi dimana

seluruh kaki mengarah ke bawah (ankle plantar fleksi). Forefoot adductus

disebabkan karena subluksasi midfoot ke arah medial, dan cavus merupakan

peninggian arcus longitudinal medial kaki. Kelainan ini merupakan hasil

abnormalitas intraosseus (abnormal morfologi) dan abnormalitas interosseus

(hubungan abnormal antar tulang) (Turco, 2001).

Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck talar yang

pendek disertai medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan

inferior talus, faset medial dan anterior belum berkembang. Calcaneus ditemukan

lebih kecil dari kaki normal, dan sustentaculum belum berkembang (Turco, 2001).

Deformitas interosseus terlihat seperti bergeser ke arah medial dari navicular

pada head talar dan cuboid pada calcaneus, dimana hal ini terjadi secara berurutan.

Herzenberg menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar

20 o terhadap aksis tibiofibular pada CTEV dibandingkan dengan kaki normal.

Pada studinya, body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle mortise.

Adanya internal tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial (Turco, 2001).

15
Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas CTEV.

Dobbs melaporkan bahwa otot flexor digitorum accesorius longus terlihat pada

anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6% dan ditemukan lebih

banyak lagi pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%).

Flexor digitorum accesorius longus dilaporkan ada sekitar 1% sampai 8% pada

kadaver dewasa normal. Otot Anomalous soleus juga telah dijelaskan dan dilaporkan

berhubungan dengan tingginya angka recurrent (Kasser, 2006).

Studi pada suplai darah juga menunjukkan terjadinya abnormalitas atau tidak

adanya arteri tibialis anterior sekitar 90% dari CTEV. Tidak adanya arteri tibialis

anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko

komplikasi vaskuler, jika salah satu arteri dominan terkena saat dilakukan perbaikan

secara menyeluruh pada jaringan lunak atau saat dilakukan tindakan tenotomi

terhadap tendon Achilles (Lohan, 2008).

2.6. Diagnosis

Diagnosis CTEV dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling cepat

pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai

dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia (Haris 2002).

Secara umum terdapat 2 jenis CTEV, yaitu: CTEV postural atau

posisional dan CTEV rigid atau “true CTEV”. CTEV postural bukan

merupakan CTEV yang sesungguhnya karena dapat terkoreksi sendiri seiring

masa tumbuh kembang bayi. CTEV postural terjadi karena posisi janin saat di

16
dalam uterus. Pada kelainan ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan,

lipatan kulit yang dalam, atrofi dan rigiditas dari otot-otot ekstremitas (Haris, 2002).

CTEV rigid dibagi menjadi dua yaitu: CTEV rigid fleksibel dan rigid

resisten. Jenis rigid fleksibel lebih mudah dikoreksi atau dapat dikoreksi

secara non-operatif, sedangkan yang resisten sering kali memerlukan

tindakan operasi. Dikenal juga istilah CTEV idiopatik yang merujuk pada

CTEV sebagai kelainan tunggal dengan penyebab yang tidak diketahui

(Haris, 2002).

Pada pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang

dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Prognosis kasus nonidiopatik lebih buruk

dan memiliki tingkat recurrent yang tinggi dibandingkan dengan kasus idiopatik.

CTEV dengan arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon

syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome

penanganannya hampir pasti meliputi tindakan operatif. Kecuali CTEV dengan

Down syndrome dan Larsen syndrome, penanganan seringkali hanya secara

nonoperatif (Tajhdijan, Mihron, 1997).

2.7. Klinis Dan Klsifikasi CTEV

Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan

deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya

berdasarkan pemeriksaan radiologis. Klasifikasi diperlukan untuk membantu

17
menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi (Tajhdijan,

Mihron, 1997).

Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai negara,

namun sistem klasifikasi dari Pirani, dan Ponseti yang paling banyak digunakan.

(Tajhdijan, Mihron, 1997).

2.7.1. Klasifikasi Pirani.

Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang sederhana,

yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot. Setiap variable

dapat memiliki nilai nol, setengah, dan satu poin (Staheli, 2009).

Gambar 2.5. Klasifikasi Pirani (Staheli, 2009).

18
Faktor penilaian MS (midfoot score) terdiri dari curved lateral border, medial

crase, dan uncovering lateral head of the talus. Sementara faktor penilaian HS

(hindfoot score) adalah posterior crase, degree of dorsoflexion, dan emptiness of the

heel. Berdasarkan pengamatan klinis, maka setiap faktor MS dan HS diberikan nilai:

0, 0,5, dan 1. Total skor MS dan HS terendah adalah 0 (CTEV fleksibel), dan skor

tertinggi adalah 6 (CTEV rigid) (Staheli L, 2009).

Tabel 2.1. Parameter Pirani (Kasser, 2006)

2.7.2. Klasifikasi Ponseti.

Klasifikasi yang dilakukan oleh ponseti lebih mengarah kepada jenis CTEV.

Ponseti mengelompokan CTEV kedalan 5 jenis, yaitu seperti yang tersebut pada table

dibawah: (Ponseti 2002)

19
Table 2.2. Klasifikasi CTEV Ponseti (Ponseti, 2002)

No. Jenis CTEV Keterangan

1. Untreated CTEV CTEV yang tidak diterapi pada anak usia kurang
dari 8 tahun.

2. Corrected CTEV CTEV yang telah berhasil dioreksi

3. Recurrent Terjadi lagi supinasi dan equinus setelah terkoreksi


sebelumnya

4. Resisten CTEV yang kaku, biasanya berkaitan dengan


sindroma tertentu

5. Atypical CTEV yang ditandai dengan bentuk kaki pendek,


gemuk, kaku, lipatan kulit dalam pada telapak kaki
dan tumit, metatarsal pertama pendek, dan
hiperekstensi dari sendi MTP.

2.8. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan

kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi

anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi kearah plantar sebesar 300. Posisi

lateral diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º (Greenspan,2004).

Gambaran AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan

plantar fleksi penuh. Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan

kalkaneus dan mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP

digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta

melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya

20
adalah antara 25-40°. Bila sudut kurang dari 20°, dikatakan abnormal (Greenspan,

2004).

Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring

dengan terapi, baik dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke

arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian

akan terbentuk sudut talokalkaneus yang adekuat. Garis lateral digambar melalui titik

tengah antara kepala dan badan tulang talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus.

Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV nilainya berkisar antara 35° dan

negatif 10° (Greenspan A,2004).

Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan

metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral ditambahkan untuk menghitung

indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari

40°. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi

maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis

CTEV yang tidak dikoreksi (Greenspan, 2004).

Metode radiogi lain untuk menilai CTEV adalah dengan USG dan MRI, namun

cara ini tidak rutin dilakukan. CTEV pada janin intrauteri jarang tampak dengan USG

sebelum usia kehamilan 16 minggu (Greenspan, 2004).

21
BAB 3

TATALAKSANA DENGAN METODE PONSETI

3.1. Dasar Ilmiah Penatalaksanaan

Penanganan CTEV (clubfoot) ini didasarkan pada sifat biologis deformitas dan

anatomi fungsional kaki (Staheli, 2009).

3.1.1. Sifat biologi

CTEV bukan merupakan malformasi embrionik. Kaki yang pada mulanya

normal akan menjadi pengkor selama trimester kedua kehamilan. CTEV jarang

terdeteksi oleh ultrasonografi pada janin yang berumur dibawah 16 minggu. Oleh

karena itu, seperti developmental hip dysplasia dan idiophatic scoliosis, CTEV

merupakan deformasi pertumbuhan (developmental deformation) (Staheli, 2009).

Bentuk sendi-sendi tarsal relatif berubah karena perubahan posisi tulang tarsal.

Forefoot yang pronasi menyebabkan arcus plantaris menjadi lebih konkaf (cavus).

Tulang-tulang metatarsal tampak fleksi dan makin kemedial makin bertambah fleksi

(Staheli, 2009).

Pada CTEV, terjadi tarikan yang kuat dari otot tibialis posterior dan

gastrosoleus serta fleksor hallucis longus. Ukuran otot-otot itu lebih kecil dan lebih

pendek dibandingkan kaki normal. Di ujung distal gastrosoleus terdapat peningkatan

jaringan ikat yang kaya akan kolagen, yang menyatu ke dalam tendon Achilles dan

fascia profundus (Minoo 2007, Staheli, 2009).

Pada CTEV, ligamen-ligamen pada sisi lateral dan medial ankle serta sendi

tarsal sangat tebal dan kaku, yang dengan kuat menahan kaki pada posisi equinus dan

22
membuat navicular dan calcaneus dalam posisi adduksi dan inversi. Ukuran otot-otot

betis berbanding terbalik dengan derajat deformitasnya. Pada CTEV yang sangat berat,

gastrosoleus tampak sebagai otot kecil pada sepertiga atas betis. Sintesis kolagen yang

berlebihan pada ligamen, tendo dan otot terus berlangsung sampai anak berumur 3-4

tahun dan mungkin merupakan penyebab relaps (recurrent) (Minoo 2007,Staheli,

2009).

Dibawah mikroskop, berkas serabut kolagen menunjukkan gambaran

bergelombang yang dikenal sebagai “crimp” (kerutan). Kerutan ini menyebabkan

ligamen mudah diregangkan. Peregangan ligamen pada bayi, yang dilakukan dengan

gentle, tidak membahayakan. Kerutan akan muncul lagi beberapa hari berikutnya, yang

memungkinkan dilakukan peregangan lebih lanjut. Inilah sebabnya mengapa koreksi

deformitas secara manual mudah dilakukan (Staheli, 2009).

3.1.2. Kinematik

Sebagian besar deformitas terjadi di tarsus. Pada saat lahir, tulang tarsal yang

hampir seluruhnya masih berupa tulang rawan berada dalam posisi fleksi, adduksi, dan

inversi yang berlebihan. Talus dalam posisi plantar fleksi hebat, collumnya

melengkung ke medial dan plantar, dan kaputnya berbentuk baji. Navicular bergeser

jauh ke medial, mendekati malleolus medialis, dan berartikulasi dengan permukaan

medial caput talus. Calcaneus adduksi dan inversi dibawah talus (Minoo 2007, Staheli,

2009).

Seperti yang ditunjukkan pada bayi berumur 3 hari, navicular bergeser ke

medial dan berartikulasi hanya dengan aspek medial caput talus. Cuneiforme tampak

23
berada di kanan navicular, dan cuboid berada dibawahnya. Permukaan sendi

calcaneocuboid mengarah posteromedial. Dua pertiga bagian anterior calcaneus berada

dibawah talus. Tendo tibialis anterior, ekstensor hallucis longus dan ekstensor

digitorum longus bergeser ke medial (Staheli, 2009).

Gambar 3.1 posisi tulang kaki pada CTEV (Staheli, 2009)

Baik pada kaki yang normal ataupun CTEV, tidak ada sumbu gerak tunggal

(seperti mitered hinge) dimana talus berotasi pada sumbu tersebut. Sendi-sendi tarsal

secara fungsional saling tergantung (interdependent). Pergerakan satu tulang tarsal

akan menyebabkan pergeseran tulang tarsal disekitarnya secara bersamaan. Pergerakan

sendi ditentukan oleh kelengkungan permukaan sendi dan oleh orientasi dan struktur

ligamen yang mengikatnya. Tiap-tiap sendi mempunyai pola pergerakan yang khas.

Oleh karena itu, koreksi tulang tarsal CTEV yang inversi serta bergeser jauh ke medial,

harus dilakukan dengan menggeser navicular, cuboid, dan calcaneus kearah lateral

secara bertahap dan simultan, sebelum mereka dapat di eversi ke posisi netral.

Pergeseran ini mudah dilakukan karena ligamena tarsal dapat diregangkan secara

bertahap (Colbur, 2003).

24
Pada CTEV, bagian anterior calcaneus berada dibawah caput talus. Posisi ini

menyebabkan calcaneus varus dan equinus. Usaha untuk mengeversikan calcaneus

tanpa mengabduksikannya terlebih dahulu akan menekan calcaneus pada talus dan

tidak akan mengkoreksi calcaneus varus. Menggeser calcaneus ke lateral (abduksi)

hingga mencapai posisi yang normal dengan talus akan mengkoreksi calcaneus varus

(Colbur, 2003).

Gambar 3.2. Posisi calcaneus saat koreksi CTEV (Staheli, 2009)

Koreksi CTEV dilakukan dengan mengabduksikan kaki yang telah

disupinasikan sambil melakukan counterpressure pada aspek lateral caput talus untuk

mencegah rotasi talus di ankle. Plaster cast (gips) yang dibentuk (molding) dengan

baik akan mempertahankan kaki dalam posisi yang tepat. Ligamen tidak boleh

diregangkan melebihi batas ”kewajaran” nya. Setelah 5 hari, ligamen dapat

diregangkan lagi untuk meningkatkan derajat koreksi lebih lanjut (Colbur, 2003,

Staheli, 2009).

Tulang dan sendi akan mengalami remodelling tiap kali gips diganti karena sifat

jaringan ikat, kartilago dan tulang yang akan berubah mengikuti perubahan arah

stimulus mekanik. Hal ini dibuktikan dengan sangat baik oleh Pirani yang

25
membandingkan gambaran klinik dan gambaran MRI sebelum, selama dan pada akhir

pengegipan. Pada gambar dibawah (gambar 4.3.) kita dapat melihat perubahan yang

terjadi pada sendi talonavicular dan calcaneocuboid. Sebelum pengegipan, navicular

(garis merah) bergeser ke sisi medial caput talus (biru). Posisi talus-navicular ini

menjadi normal selama pengegipan. Posisi cuboid (hijau) juga menjadi normal

terhadap calcaneus (kuning) (Staheli, 2009).

Gambar 3.3. Perbandingan gambaran klinik dan gambaran MRI sebelum,

selama dan pada akhir pengegipan (Staheli L MD, 2009).

Sebelum dilakukan pengegipan terakhir, untuk menyempurnakan koreksi

equinus, tendo Achilles bisa dipotong perkutan. Tendo Achilles, tidak seperti ligamena

tarsal yang dapat diregangkan, terdiri dari berkas kolagen yang kaku, tebal dengan

26
sedikit sel serta tidak dapat diregangkan. Gips terakhir dipakai selama 3 minggu,

sementara tendo Achilles (yang telah dipotong) sembuh dengan panjang yang tepat dan

parut minimal. Pada tahap ini, sendi tarsal mengalami remodelling pada posisi yang

tepat. Kesimpulannya, sebagian besar kasus CTEV terkoreksi setelah 5 sampai 6 kali

gips dan kebanyakan disertai tenotomi tendo Achilles. Tehnik ini menghasilkan kaki

yang kuat, fleksibel, dan plantigrade. Suatu penelitian 35-year follow-up stuyd telah

membuktikan kaki tetap berfungsi dengan baik dan tanpa nyeri (Haris, 2002).

3.2. Tatalaksana CTEV Dengan Metode Ponseti

Secara umum, tatalaksana CTEV dilakukan secara bertahap. Kaki yang telah

mengalami deformitas akan dikoreksi secara bertahap diikuti dengan mempertahankan

koreksi yang telah dicapai untuk mencegah terjadinya recurrent sehingga deformitas

Cavus, inversi dari ‘mid foot’, tumit varus, dan kekakuan dari equinus akan dapat

diperbaiki. Posisi tulang yang telah bergeser dari tempatnya akan dibawa secera

bertahap ke posisi yang seharusnya. Ligemen dan tendon yang terletak pada sisi dorsal

dan medial akan meregang. Permukaan sendi akan membaik secara progresif (Colbur,

2003, Staheli, 2009).

Pedoman umum tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti dapat dilihat pada

gambar berikut : (Lohan, 2008)

27
Gambar 3.4. Pedoman umum tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti (Lohan, 2008)

28
3.2.1. Pedoman tatalaksana ponseti pada anak yang belum bisa berjalan

Pengobatan CTEV pada usia bayi (anak yang belum bisa berjalan) dimulai

dengan koreksi secara bertahap terhadap deformitas yang terjadi. Pada kebanyakan

kasus, tenotomi terhadap tendon Achiles sangat disarankan untuk memperbaiki

Equinus. Resiko terhadap recurrent setelah dilakukan koreksi secara penuh sangat

perlu untuk dicegah. Hal ini dapat dilakukan dengan pemakaian bracing dan juga

diberikan program fisioterapi (Ezeukwu, Maduagwu. 2014, Lohan. 2008)

Pedoman tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti pada anak yang belum

bisa berjalan dapat dilihat pada gambar berikut: (Lohan, 2008)

29
Gambar 3.5. Pedoman tatalaksana CTEV pada anak yang belum bisa berjalan (Lohan, 2008)

3.2.2. Pedoman tatalaksana Ponseti pada kasus anak yang sudah bisa berjalan

Penatalaksanaan CTEV dengan metode ponseti pada anak yang terlambat

ditangani akan sangat bergantung kepada usia dan tingkat keperahan deformitas yang

dialami, namun koreksi secara bertahap tetap akan dilakukan untuk memperbaiki

semaksimal mungkin deformitas yang terjadi. Deformitas cavus, inversi dari mid foot,

30
tumit varus, dan kekakuan dari equinus harus dikoreksi dengan benar. Khusus untuk

anak dengan usia yang lebih tua sangat disarankan untuk diberikan juga terapi latihan

selama fase pemakaian bracing. Beberapa anak yang lebih tua mungkin memerlukan

tindakan opersi lanjutan (Lohan, 2008).

Pedoman tatalaksana CTEV dengan metode Ponseti pada anak yang belum

bisa berjalan dapat dilihat pada gambar berikut:

31
Gambar 3.6. Pedoman tatalaksana CTEV pada anak yang sudah bisa berjalan (Lohan, 2008)

3.3. Manipulasi

Teknik manpulasi terhadap CTEV dilakukan berdasarkan pada pemahaman

dari arah pergerakan dari tulang kaki. Tindakan manipulasi adalah melakukan abduksi

dari kaki dibawah kaput talus yang telah distabilkan. Langkah pertama yang harus

dilakukan adalah menentukan letak kaput talus yang menjadi titik tumpu koreksi. Saat

32
dilakukan tindakan manipulasi, seluruh deformitas dari CTEV akan terkoreksi secara

bersamaan, kecuali deformitas equinus pergelangan kaki (Lohan, 2008, Staheli, 2009).

Menentukan letak kaput talus secara tepat merupakan langkah awal yang sangat

penting untuk mencegah terjadinya kesalahan saat melukakan manipulasi yang akan

menyababkan kegagalan dari terapi. Tahapan menentukan letak kaput talus adalah

sbagai berikut; genggam forefoot bagian kanan dengan menggunakan tangan kanan

dari pemeriksa, dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk tangan rasakan letak

maleolus dari arah depan. Langkah selanjutnya adalah ; (1) gerakan ibu jari dan jari

telunjuk tangan kiri kearah depan untuk menekan kaput talus. Pada posisi ini; (i)

rasakan Navicular dengan ujung ibu jari, dan (ii) rasakan tuberositas anterior dari

calcaneus dengan menggunakan ujung ibu jari tangan kiri. Kemudian (2) abduksikan

forefoot secara perlahan dan rasakan pergerakan pada sendi talo-calcaneo-navicular

berupa: (i) gerakan navicular di depan dari kaput talus, dan (ii) tuberositas calcaneus

anterior bergerak kearah lateral bawah kaput talus (Lohan. 2008, Staheli. 2009).

Gambar 3.7. Identifikasi letak kaput talus. (Lohan, 2008)

33
Teknik Manipulasi.

Terdapat tiga tahapan untuk melakukan manipulasi terhadap CTEV, yaitu:

(Lohan, 2008)

1. Menstabilkan talus dengan menempatkan ibu jari diatas kaput talus. Hal ini

dapat menjadi titik poros saat kaki berada pada posisi abduksi.

2. Memanipulasi kaki dengan melakukan gerakan supinasi dan diikuti gerakan

abduksi dengan menggunakan tangan yang satunya. Tindakan ini seharusny

tidak menyebabkan rasa tidak nyaman pada anak. Awalnya mungkin

memerlukan gerakan supinasi yang besar, tetapi biasanya supinasi akan

berkurang dengan sendirinya saat diikuti gerakan abduksi.

3. Lakukan terus koreksi ini sambil memberikan tekanan lembut, kemudian

lepaskan dan ulangi.

Pada anak usia dini, teknik ini dilakukan sambil memberikan tekanan rinagn

selama 30-40 detik kemudian lepaskan dan ulangi sebanyak 2 kali pada setiap kaki

yang mengalami CTEV. Sedangkan pada anak usia lebih lanjut, teknik ini dilakukan

selama 1-2 menit dan diulangi sebanyak 3-4 kali pada setiap kaki. Pada Pedoman ini

dapat diterapkan pada anak yang tidak mempunyai cacat lain yang menyertai CTEV.

Hal yang paling perlu mendapat perhatian selama melakukan manipulasi ini adalah:

jangan pernah lakukan gerakan pronasi, jangan pernah menyentuh tumit kaki, dan

jangan gunakan kekuatan yang berlebihan saat memberikan tekanan (Colbur. 2003,

Lohan, 2008).

34
Gambar 3.8. Teknik manipulasi (Lohan, 2008)

3.4. Pemasangan Gips Setelah Manipulasi

Pemasangan gips baru boleh dikerjakan setelah dilakukan manipulasi.

Pemasangan gips bertujuaan untuk memfiksasi kaki sehingga ligamen, kapsul sendi

dan tendon yang mengalami pemendekan akan terus berada pada posisi teregang.

Bahan gips lebih direkomendasikan untuk digunakan dibanding dengan fiberglass. Hal

ini dikarenakan bahn gips lebih murah dan memberikan molding yang lebih presisi

(Lohan, 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan, 2014).

Langkah pemasangan gips adalah (Lohan, 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan,

2014).

• Lakukan manipulasi terlebih dahulu terhadap kaki yang mengalami CTEV.

• Pemasangan padding yang tipis untuk memudahkan molding. Pertahankan

kaki dalam posisi koreksi maksimal dengan cara memegangi jari-jari dan

memberikan counter pressure pada kaput talus selama pemasangan gips.

35
• Dilanjutkan dengan pemasangan gips yang dimulai dari bawah lutut sampai

paha atas. Kemudian mulai lagi dari sekitar jari-jari kaki melakukan lilitan

sebanyak 3 sampai 4 putaran kemudian lilit kearah proksimal sampai lutut.

Saat memasang gips di atas tumit, gips dikencangkan sedikit. Kaki harus

dipegang pada jari-jari dan gips dilingkarkan di atas jari-jari pemegang agar

tersedia cukup ruang untuk pergerakan jari-jari kaki (Lohan, 2008, Wahyuni,

Soebadi, Wulan, 2014).

• Molding gips. Saat melakukan molding, koreksi tidak boleh dilakukan secara

paksa. Lakukan penekanan ringan. Hindari menekan kaput talus dengan ibu

jari secara terus menerus, namun lakukan teknik “lepas-tekan-lepas” berulang

kali untuk mencegah sensasi tidak nyaman pada anak. Molding gips dilakukan

di atas kaput talus sambil mempertahankan kaki pada posisi koreksi. Ibu jari

tangan kiri melakukan molding gips di atas kaput talus, sedangkan tangan

kanan melakukan molding forefoot (dalam posisi supinasi). Arkus plantaris

juga harus di molding dengan baik untuk mencegah terjadinya flatfoot atau

rocker-buttom deformity. Tumit di molding dengan “membentuk” gips diatas

tuberositas posterior kalkaneus. Malleolus di molding dengan baik mengikuti

bentuknya. Proses molding ini hendaknya merupakan prsoses yang dinamik,

sehingga jari-jari harus sering digerakkan untuk menghindari tekanan yang

berlebihan pada satu tempat. Molding dilanjutkan sambil menunggu gips keras

(Lohan, 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan, 2014).

36
Lanjutkan melakukan gips sampai paha. Gunakan padding yang tebal pada proksimal

paha untuk mencegah iritasi kulit (Lohan 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan, 2014).

Gambar 3.9. pemasangan gips pada CTEV (Lohan 2008)

Sewaktu program pengegipan, harus selalu menggunakan “long leg casts”

sampai ke pangkal paha untuk menjaga agar kaki di bawah talus tetap terjaga pada

posisi abduksi dan juga untuk mencegah terjadi rotasi pada ankle mortise. Pada anak

usia dini (belum bias berjalan sebelum terapi dimulai) posisi sendi lutut pada saat

pemasangan gips berada pada posisi fleksi 900 dan gips diganti setiap 5-7 hari. Pada

anak dengan usia lebih lanjut (sudah bisa berjalan sebelum terapi dimulai), pemasangan

gips pada sendi lutut berada pada posisi fleksi 70 0 sehingga mereka bisa berdiri. Gips

pada anak suia ini diganti setiap 7-10 (14) hari. Pemasangan gips terakhir, jika

tenotomy terhadap tendon achiles telah dilakukan akan dipertahankan selama 3 minggu

37
pada anak usia dini dan selama 4 minggu pada anak uisa lanjut (Colbur 2003, Staheli

2009).

Hasil akhir setelah pemasangan gips selesai, kaki akan tampak over koreksi

dalam posisi abduksi dibandingkan kaki normal saat anak berjalan. Namun sebenarnya

hal ini bukan merupakan suatu over koreksi, melainkan merupakan suatu kondisi

koreksi penuh kaki dalam posisi abduksi maksimal. Koreksi kaki harus dilakukan

hingga mencapai abduksi yang penuh, lengkap dan dalam batas normal. Hal ini akan

membantu mencegah terjadinya rekurensi dan tidak menciptakan over-koreksi atau

kaki pronasi (Colbur 2003, Staheli 2009).

3.5. Tenotomi

Tujuan dari tenotomi perkutaneus tendon Achiles adalah untuk mengoreksi

equinus setelah cavus, adduksi , dan varus telah terkoreksi denagn baik namun

dorsoflesi dari pergelangan kaki masih kurang dari 100. Sebelum dilakukan tenotomi

terlebih dahulu harus dipastikan abduksi sudah adekuat. Biasanya tindakan tenotomi

diperlukan pada 90% kasus. Setelah equinus terkoreksi dengan tenotomi, dilkukan

pemasangan gips dengan kaki abduksi 60-700 dan dorsofleksi 150. Gips dipertahankan

selama 3-4 minggu, namun dapat diganti jika rusak atau kotor sebelum 3-4 minggu.

Setelah 3-4 minggu gips dilepas, pergelangan kaki dapat didorsofleksikan 20 0. Saat

gips dilepas, biasanya tendon sudah menyambun dan jaringan parut operasi minimal

sehingga kaki siap untuk memakai brace (Lohan 2008, Wahyuni, Soebadi, Wulan,

2014).

38
3.6. Bracing Pada Metode Ponseti

Tiga minggu setelah tenotomi, gips dilepas, dan brace segera dipakai. Brace

harus disertai sepasang sepatu yang melekat pada sebuah bar sehingga kaki anak akan

terfiksasi pada posisi yang diinginkan dalam waktu tertentu. Hal ini berguna untuk

mencegah anak dari recurrent (Staheli, 2009).

Pada kasus unilateral pada anak usia lebih muda (belum bisa berjalan), brace

dipasang pada 60-700 abduksi pada sisi sakit dan 30-400 abduksi pada sisi yang sehat,

dengan dorsofleksi 10-200. Bila didapatkan pada anak yang sudah bisa berjalan, maka

kaki dengan CTEV akan dipasang brace pada posisi 40-600 abduksi dengan 10-200

dorsofleksi (Staheli, 2009).

Pada kasus bilateral, pada anak yang belum bisa berjalan, brace diatur pada

posisi 700 abduksi dengan 10-200 dorsofleksi pada kedua sisi. Bila didapatkan pada

anak yang sudah bisa berjalan maka kedua kaki dipasangi brace pada posisi 40-600

abduksi dengan 10-200 dorsofleksi. Bar harus cukup panjang sehingga jarak antar tumit

sepatu selebar bahu. Kesalahan yang sering terjadi adalah bar terlalu pendek sehingg

menyebabkan anak menjadi tidak nyaman (Staheli, 2009).

Pada kasus CTEV dengan sendi hypermobile, tonus otot rendah, valgus pada

tumit, dan rotasi eksternal tibia setelah koreksi, maka brace digunaka pada kedua kaki

dengan posisi 30-400 abduksi dengan 10-150 dorsofleksi (Colbur, 2003, Staheli, 2009).

Pada kasus CTEV yang disertai dengan kecacatan lain (seperti: Arthrogryposis,

Myelomeningocele), pengaturan posisi kaki diberikan secara individu yang

39
disesuaikan dengan kondisi kecacatan anak. Anak pennderita CTEV yang disertai

dengan kelainan neurologis mungkin memerlukan AFO (Ankle Foot Orthotic)

tambahan (Colbur, 2003, Staheli, 2009).

Selama 3 bulan pertama, barce harus dipasang setiap hari semenjak gips

terakhir dilepas. Brace hanya boleh dilepas saat mandi dang anti popok saja. Setelah

itu anak harus memakai brace selama 12 jam pada malam hari dan 2-4 jam pada siang

hari, sehingga total pemakaian 14-16 jam dalam sehari sampai anak berusia 3-4 tahun

(Colbur, 2003, Staheli, 2009).

Orang tua anak diminta untuk membawa anaknya kontrol 10-14 hari kemudian

untuk memonitor penggunaan brace. Jika bracing berjalan baik, maka kontrol

dilakukan 3 bulan kemudian. Pada saat itu, brace dapat dilepas pada waktu siang namun

harus dipakai sewaktu tidur siang dan malam hari. Hal ini terus dilakukan sampai usia

3 tahun dengan masa kontrol setiap 4 bulan. Pada usia 3-4 tahun, kontrol dilakukan

setiap 6 bulan. Usia 4 tahun sampai dewasa, kontrol ulang dilakukan setiap 1-2 tahun

sekali (Colbur, 2003, Staheli, 2009).

40
BAB 4

Manajemen Ponseti Pada Kasus Recurrent

Anak dengan kondisi CTEV yang telah terkoreksi dan masuk pada fase

pemakaian bracing, masih mungkin untuk terjadi recurrent. Secara umum, semakin

muda usia seorang anak maka resiko untuk terjadi recurrent terhadap CTEV akan

semakin tinggi. Namun, pada anak yang telah berusia 6 tahun atau lebih yang

mendapatkan terapi dini maka angka recurrent menjadi jarang, kecuali jika disertai

dengan kondisi cacat lain yang terkait dengan CTEV. Deteksi awal dari recurrent dan

diikuti dengan koreksi segera setelah kambuh merupakan hal yang sangat penting

dilakukan untuk mendapatkan hasil yang baik (Staheli, 2009).

4.1. Penyebab Recurrent

Patologi yang menyebakan terjadinya CTEV juga berperan terhadap terjadinya

resiko recurrent. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa faktor etiologi yang

menyebabkan terjadinya kelainan CTEV tetap berlangsung selama beberapa tahun

setelah bayi dilahirkan (Staheli, 2009).

Secara garis besar, teradapat 4 alasan utama penyebab terjadinya recurrent pada

CTEV yang telah terkoreksi, yaitu (Colbur, 2003, Staheli, 2009):

41
a. Kesalahan dalam memakai ‘brace’

Kesalahan dalam memakai ‘brace’ merupakan penyebab terbesar terhadap

terjadinya recurrent, yaitu lebih dari 80%. Pemakaian ‘brace’ yang benar dapat

menurunkan recurrent secara siknifikan.

b. Kesalahan dalam tatalaksana

Terdapat dua kesalahan utama dalam tatalaksana CTEV yang paling sering

terjadi, yaitu (1); tidak cukupnya abduksi pada sendi paha, sehingga posisi

Navicular tidak sepenuhnya rekoreksi, (2); tidak cukup koreksi pada

dorsofleksi.

c. Pada beberpa kasus bisa disebabkan oleh fibrosis yang terlalu parah pada otot,

ligamen, dan tendon pada sisi posterior dan medial kaki.

d. Adanya kecacatan lain yang menyertai.

4.2. Pencegahan Terhadap Terjadinya Recurrent

Terdapat beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya

recurrent, antara lain; melakukan koreksi abduksi hingga mencapai 70 0 terhadap anak

sedini mungkin, mengikuti protokol pemakaian bracing secara benar dan teratur sesuai

prosedur, melakukan peregangan terhadap otot Gastrocnemius selama 2 menit sebelum

pemakain brace, melakukan gerakan berjongkok di lantai selama 2 menit untuk

meregangkan otot tibialis posterior. Gerakan peregangan terhadap otot Gastrocnemius

dan Tibialis posterior dikerjakan setiap hari oleh orang tua atau pengasuh anak di

rumah. Hal lain yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya recurrent adalah

memberikan terapi latihan yang bermanfaat untuk menfasilitasi gerakan aktif dari kaki

42
dan membantu untuk mengintegrasikan kaki dalam pola gerakan fisiologis dari seluruh

tubuh (Staheli, 2009).

Gambar 4.1. koreksi abduksi dan peregangan otot Gastrocnemius untuk mencegah

recurrent CTEV (Staheli, 2009).

4.3. jenis Recurrent dan Tatalaksananya

Terdapat 3 jenis kelaianan bentuk yang paling sering terjadi pada kasus

recurrent CTEV, yaitu (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009);

a. Varus Rcurrence

Posisi tumit berada dalam keadaan varus, hal ini dapat terlihat dengan jelas

dengan melihat dari arah belakang pada saat anak berdiri.

Tatalaksana untuk kelainan ini adalah (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli,

2009);

• Dilakukan manipulasi diikuti dengan pemasangan gips sebanyak 1-3

kali selama 1 sampai 2 minggu.

• Setelah koreksi tercapai, kembali dilakukan pemakaian bracing. Pada

anak yang belum bisa berjalan, pemakaian bracing dilakukan 3 bulan

43
selama 23 jam sehari. Semantara pada anak yang sudah bisa berjalan,

pemakaian bracing dilakukan 2 bulan selama 16 sampai 18 jam perhari

• Memberikan latihan peregangan otot Gastrocnemius dan Tibialis

posterior yang dikerjakan oleh orangtua atau pengasuh anak di rumah.

b. Equinus Recurrence

Yang terjadi adalah kurang dorsofleksi dari sendi pergelangan kaki dimana hal

ini juga dapat menyebakan tumit varus. Untuk menilainya dapat dilihat pada

saat anak berjalan, dimana pada saat anak berjalan maju maka tumit akan

terangkat lebih awal, sedangkan pada saat anak berjalan mundur maka akan

terlihat anak akan bertumpu lebih dahulu dengan menggunakan sisi luar dari

bantalan telapak kaki (posisi tumit varus) (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli

2009).

Tatalaksana untuk kelainan ini adalah (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009);

• Dilakukan manipulasi diikuti dengan pemasangan gips sebanyak 1-3

kali selama 1 sampai 2 minggu.

• Jika memungkinkan, dilakukan tenotomy ulang pada tendon achiles.

Kemudian dilakukan pemasangan casting selama 3 sampai 4 minggu.

• Setelah koreksi tercapai, kembali dilakukan pemakaian bracing. Pada

anak yang belum bisa berjalan, pemakaian bracing dilakukan selama 3

bulan penuh. Semantara pada anak yang sudah bisa berjalan,

pemakaian bracing dilakukan 2 bulan selama 16 sampai 18 jam perhari

44
• Memberikan latihan peregangan otot Gastrocnemius dan Tibialis

posterior yang dikerjakan oleh orangtua atau pengasuh anak di rumah.

• Jika recurrent kembali terjadi, maka prosedur yang sama harus diulangi

lagi

• Jika terjadi recurrent yang ke tiga, maka harus dilakukan prosedur

Tibialis anterior Transfer.

c. Dynamic Supination (Otot Tibialis anterior terlalu aktif)

Kaki akan terlihat berada pada posisi supinasi. Keadaan ini biasanya terjadi

pada anak usia 2 sampai 4 tahun. Saat anak berjalan maju akan terlihat supinasi

kaki pada saat fase “swing” dan menumpu pada sisi luar telapak kaki pada saat

fase “stance” (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009).

Tatalaksana untuk kelainan ini adalah (Matheu, Dobbs, 2000, Staheli, 2009);

• Jika memungkinkan dilakukan manipulasi sebanyak 2 sampai 3 kali

diikuti dengan pemasangan gips selama 1 sampai 2 minggu untuk

mendapatkan posisi kaki yang lebih baik terhadap prosedur TAT

(Tibialis Anterior Transfer).

• Jika memungkinkan ulangi tenotomy pada tendon achiles pada hari

yang sama dilakukannya prosedur TAT (jika dorsofleksi kurang dari

100)

• Tibialis Anterior Transfer (TAT) dilanjutkan dengan pemasangan

“long leg cast” selama 6 minggu

45
• Koreksi dengan “night time bracing”, diikuti dengan latihan

peregangan otot Gastrocnemius dan Tibialis posterior.

Gambar 4.2.“long leg cast” (Staheli, 2009)

46
BAB 5

RINGKASAN

CTEV merupakan kelainan musculoskeletal kongenital pada kaki yang bersifat

multiplanar. Kelainan pada CTEV berupa: hind foot equinus dan varus, forefoot

adduktus dan cavus. Deformitas ini menjadi masalah kesehatan karena tanpa desertai

dengan koreksi yang baik, kelainan ini akan menjadi sumber deformitas. Dengan

koreksi yang baik ekalipun, hasil yang dicapai belum tentu bisa sempurna, dan tetap

terdapat kemungkinan untuk terjadi recurrent. Disisi lain CTEV bersifat idiopatik,

penyebab utama CTEV masih belum diketahui secara pasti.

Secara umum, tata laksana CTEV apapun jenis dan derajat deformitasnya

dilakukan secara non operatif. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk

menangani defromitas CTEV, antara lain metode Ponseti dan metode French. Saat ini,

Metode Ponseti bisa dikatakan lebih banyak digunakan di di pusat-pusat Rumah Sakit

yang menangani CTEV, termasuk juga RS. Dokter Soetomo Surabaya.

Angka keberhasilan penanganan CTEV sangat tergantung pada derajat

deformitas kaki, pengalaman dokter yang menanganinya, dan kesungguhan dari

keluarga penderita.pada kebanyakan kasus, angka keberhasilan penanganan CTEV

dengan metode Ponseti mencapai lebih dari 95%. Kegagalan yang paling sering terjadi

pada kasus dengan kaki yang kaku, disertai dengan lekukan dalam pada telapak kaki

dan di ata ankle, disertai cavus yang berat, otot gastrocsoleus yang kecil dengan fibrosis

pada betis bawah.

47
DAFTAR PUSTAKA

Chandra BC, 2012, Congenital Talipes Equinovarus (CTEV), Cermin Dunia

Kedokteran -191, volume 39 no 3, Jakarta, pp: 178-85.

Colbur M, 2003, Evaluation of Treatment of Idiopathic Clubfoot by Using the Pnoseti

Methode, Journal Foof and Ankle Surgery, vol 42, no 5. Pp 259-67.

Ellen MC, 2008. Clubfoot, Article Last Update; Available in URL:

http://www.emedicine.com/specialite.html.

Ezeukwu AO, Maduagwu SM, Physiotherapi Management of an Infant With Bilateral

Congenital Talipes Equino Varus, A Case Report, African Health sciences,

Vol 11 no 3, pp: 440-48.

Greenspan A, 2004, Anatomi of The Upper and Lower Limb, Orthopedic Imaging a

practical Approach, volume 2, 4th edition, Lipincott William and Wilkins,

Philadelpia,pp: 915-18.

Haris EJ, 2004. Clinical practice guidelines: diagnosis and treatment of pediatric

flatfoot. Jurnal of foot and Ankle Surgery. 43(6), pp 341-70.

Kasser JR, 2006, The Foot, in : Morissy RT, Weinstein SL, editors. Lovell & Winter’s

pediatric orthopedic. USA: Lippincott Williams & Wilkins, pp: 1258-66.

Lohan I, 2008. Treatment of Congenital Clubfoot Using The Ponseti Methode,

Workshop Manual, 2nd Edition, Global Help Publication, pp 1-39.

48
Manhoob G, 2004, Management of Idiopatic CTEV at Jinnah Postgraduate medical

center, Jinnah Pub, Karachi, Pakistan, pp: 75-80.

Matheu, Dobbs B, 2000; Treatment of Idiopatic Clubfoot An Historical Review. Lowa

Orthop J,pp 59-64.

Minoo P, 2007, Clubfoot. Article Last Update, Nov 2nd 2007, Available at URL:

http://www.emedicine.com/specialite.html

Muyedul I, Akhtar AS, Rashedul K.et.al. 2016, Effectiveness of French Physiotherapi

in Treating Congenital Clubfoot Deformity, Orthopedic and Rheumatology,

open access journal, volume 2 issue 3, Bangabandu Sheikh Mujib Medical

University, Dhaka, Bangkadesh, pp 1-7. Available at http://www.Juniper

publisher.com/oroaj/pdf/OROAJ.MS.ID.555588.pdf.

Neumann, D. 2002, Ankle and Foot, Kinesiology of Musculosceletal System, Mosby.

ST Louis Missouri, pp: 477-90.

Nordin M, 2014. Biomecanic of the Ankle and Foot, basic Biomecanic of the

Musculosceletal System, 2nd edition, Lea Febriger, Philadelpia, pp: 153-82.

Ponseti I, 2002, Clubfoot: Ponseti Manajement 2nd Edition, Global HELP orgnitation,

Available at URL:

http://www.vh.org/pediatric/patient/orthopedics/clubfoot/index.html

Reyes TM, 1978. Ankle and Foot Kinesiologi, 1st edition volume 4, Philipine Physical

therapy, Esrana manila, pp: 152-66.

49
Staheli L,MD, 2009. Clubfoot: Ponseti Manajement, third edition, Global Help

Publication,pp: 4-20.

Tajhdijan, Mihron O, 1997, Clinical Pediatric Orthopedics: The Art of Diagnosis and

Principle of Manajement, USA: Appleton & Lange, pp: 121-34.

Tonetta P, 2010, Foot and Ankle, Orthopedic Surgeri Essential, Lipncott William and

Wilkins, Philadelphia, pp 11-23.

Turco J,MD. 2001, Current Problem in Orthopedic, Clubfoot, Churchill Livingstone,

New York, pp: 35-57.

Wahyuni LK, Soebadi RD, Wulan SM, 2014. Ilmu Kedokteran Fisik & Rehabilitasi

Pada Anak, Deformitas Kaki dan Pergelangan kaki, PB PERDOSRI, Jakarta,

pp: 567-96.

50

Anda mungkin juga menyukai