Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)

Dibuat guna memenuhi tugas Keperawatan Orthopedi dengan

Crinical Intruktur :

Clinical Teacher :

Disusun Oleh :

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

2022
LAPORAN PENDAHULUAN

CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)

A. Konsep Teori

1. Definisi

CTEV, bisa disebut juga dengan clubfoot, merupakan suatu kombinasi

deformitas yang terdiri dari supinasi dan adduksi forefoot pada sendi midtarsal,

heel varus pada sendi subtalar, equinus pada sendi ankle, dan deviasi pedis ke

medial terhadap lutut (1,6). Deviasi pedis ke medial ini akibat angulasi neck talus

dan sebagian internal tibial torsion (Salter, 2019). Kata talipes equinovarus berasal

dari bahasa Latin, dimana talus (ankle), pes (foot), equinus menunjukkan tumit

yang terangkat seperti kuda, dan varus berarti inversidan adduksi (inverted and

adducted) (Noordin et al, 2012).

Deformitas CTEV meliputi tiga persendian, yaitu inversi pada sendi subtalar,

adduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint. Komponen yang

diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus, forefoot adduction, dan

hindfoot varus (Meena et al, 2014)

2. Epidemiologi

CTEV rata-rata muncul dalam 1-2:1000 kelahiran bayi di dunia dan

merupakan salah satu defek saat lahir yang paling umum pada system

musculoskeletal(Baruah et al, 2013). Insidensi CTEV beragam pada beberapa

Negara, di Amerika Serikat 2,29:1000 kelahiran; pada ras Kaukasia 1,6:1000

kelahiran; pada ras Oriental 0,57:1000 kelahiran; pada orang Maori 6,5-7,5:1000

kelahiran; pada orang China 0,35:1000 kelahiran; pada ras Polinesia 6,81:1000

kelahiran; pada orang Malaysia 1,3:1000 kelahiran; dan 49:1000 kelahiran pada

orang Hawaii (Hosseinzaideh, 2014). Terdapat predominansi laki-laki sebesar 2:1


terhadap perempuan, dimana 50% kasusnya adalah bilateral. Pada kasus unilateral,

kaki kanan lebih sering terkena. (Bergerault et al, 2013).

Insidensi akan semakin meningkat (pada 25% kasus) bila ada riwayat keluarga

yang menderita CTEV. Kemungkinan munculnya CTEV bila ada riwayat keluarga

yaitu sekitar 1:35 kasus, dan sekitar 1:3 (33%) bila anak terlahir kembar identic

(Noordin et al, 2012).

3. Klasifikasi

Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan keparahan

deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang menggolongkannya

berdasarkan pemeriksaan radiologis (Maranho et al, 2011).Klasifikasi diperlukan

untuk membantu menentukan prognosis dan juga mengevaluasi keberhasilan terapi

(Herring, 2014). Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di

berbagai Negara, namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling

banyak digunakan. Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan fisik.

(Meena et al, 2014).

Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori berdasarkan

pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas (Nordin et al,

2002):

1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan

standard casting atau fisioterapi.

2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus

dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi maka

tindakan operatif harus dilakukan.


3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus terkoreksi

dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan tindakan

operatif.

4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan

memerlukan tindakan koreksi secara operatif.

Gambar pemeriksaan CTEV


Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial, roatasi

calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV. Poin

tambahan ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus dan

kondisi oto yang buruk (Meena et al, 2014).

Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang

sederhana, yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot.

Setiap variable dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin (Maranho et

al, 2011).
4. Patologi anatomi

Deformitas mayor clubfoot termasuk hindfoot varus dan equinus dan forefoot

adductus dan cavus. Kelainan ini merupakan hasil abnormalitas intraosseus

(abnormal morfologi) dan abnormalitas interosseus (hubungan abnormal antar

tulang) (Hoosseinzaideh, 2014).

Deformitas intraosseus paling sering muncul di talus, dengan neck talar yang

pendek dan medial dan plantar deviasi dari bagian anterior. Pada permukaan

inferior talus, facet medial dan anterior belum berkembang. Kelainan pada

calcaneus, cuboid, dan navicular tidaklah terlalu parah dibandingkan talus. Pada

calcaneus ditemukan lebih kecil dari kaki normal, dan sustentaculum yang belum

berkembang (Herring, 2014).

Deformitas interosseus terlihat seperti medial displacement dari navicular pada

talar head dan cuboid pada calcaneus, secara berurutan. Herzenberg dkk

menunjukkan bahwa talus dan calcaneus lebih internal rotasi sekitar 20 o terhadap

aksis tibiofibular pada clubfoot dibandingkan dengan kaki normal. Pada studinya,

body of the talus dilaporkan eksternal rotasi di dalam ankle mortise. Adanya

internal tibial torsion pada clubfoot masih kontroversial (Hoosseinzaideh, 2014).

Kontraktur dan fibrosis ligament sisi medial kaki, termasuk spring ligament,

master knot of Henry, ligament tibionavicular, dan fascia plantaris, juga

berkontribusi dalam abnormalitas clubfoot (Hoosseinzaideh, 2014).

Abnormalitas otot telah diamati selama operasi release deformitas clubfoot.


Dobbs dkk melaporkan bahwa flexor digitorum accesorius longus muscle terlihat

pada anak-anak yang menjalani operative release sekitar 6,6% dan lebih banyak

lagi pada anak-anak dengan adanya riwayat keluarga (prevalensi 23%). Flexor

digitorum accesorius longus dilaporkan ada sekitar 1% sampai 8% pada cadaver

dewasa normal. Anomalous soleus muscle juga telah dijelaskan dan dilaporkan

berhubungan dengan tingginya angka rekurensi (Hoosseinzaideh, 2014).

Studi pada suplai darah telah menunjukkan abnormalitas atau tidak adanya

arteri tibialis anterior sekitar 90% dari clubfoot. Tidak adanya arteri tibialis

anterior juga dilaporkan namun jarang. Arteri anomaly ini meningkatkan risiko

komplikasi vaskuler jika salah satu arteri dominan terkena saat comprehensive

soft-tissue release atau Achilles tenotomi (Hoosseinzaideh, 2014).

5. Diagnosis

Diagnosis clubfoot dapat ditegakkan sejak prenatal, setidaknya paling cepat

pada trimester kedua. Biasanya diagnosis terbukti saat kelahiran bayi yang ditandai

dengan adanya heel equinus dan inverted foot terhadap tibia. True clubfoot harus

dibedakan dengan postural clubfoot, dimana kaki tidak dapat sepenuhnya

dikoreksi secara pasif (Hoosseinzaideh, 2014).

Postural clubfoot terjadi karena posisi janin saat di dalam uterus. Pada kelainan

ini tidak didapatkan kontraktur yang signifikan, skin creases yang dalam atrofi dan

rigiditas ekstremitas (Herring, 2014).

Dalam pemeriksaan kita harus menyingkirkan juga apakah kasus yang

dihadapi idiopatik atau nonidiopatik. Pada kasus nonidiopatik akan memiliki

prognosis yang lebih buruk dan memiliki tingkat rekurensi yang tinggi. CTEV

dengan arthrogryposis, diastrophic dysplasia, Mobius atau Freeman-Sheldon

syndrome, spina bifida dan spinal dysraphism, serta fetal alcohol syndrome
penanganannya hampir pasti meliputi tindakan operatif. Terkecuali CTEV dengan

Down syndrome dan Larsen syndrome, penanganan seringkali hanya secara

nonoperatif (Herring, 2014).

6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informatif dibandingkan dengan

pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification center pada tulang

tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4 bulan, tulang-tulang tersebut

telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan radiologi dapat dilakukan dengan

proyeksi film anteroposterior dan lateral dengan stress dorsofleksi (Baruah et al,

2013).

Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcaneal (30-50o) dan talo-metatarsal I

(010o), sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut talocalcaneal (30-50 o) dan

tibiocalcaneal (10-20o). Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada

CTEV, sehingga dapat memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi

yang akan diberikan (Nordin, 2001).

7. Penatalaksanaan

Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non operatif

merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun setuju

semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga mencegah

terapi operatif lanjutan (Herring, 2014).

Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal kehidupan

sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik, fungsional, bebas

nyeri dan plantigrade (Bergerault, 2013). Prinsip terapi meliputi koreksi pasif

yang gentle, mempertahankan koreksi untul periode waktu yang lama, dan

pengawasan anak hingga usai masa pertumbuhan (Salter, 2009).


Pengawasan diperlukan karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus akan

terjadi rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan terbatasnya

pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di berbagai belahan

dunia karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk dalam jangka panjang

(Bergerault, 2013).

Metode Ponseti

Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada akhir tahun 1940an sebagai

jawaban atas terapi operatif yang sedang popular namun masih menimbulkan

nyeri dan deformitas residu (Dobbs, 2009).

Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan casting

setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang digunakan juga foot

abduction brace untuk mencegah dan mengatasi relaps (Dobbs, 2009).

Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk

tahapan koreksi CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan atraumatik

remodeling pada permukaan sendi dan menghindari fibrosis, seperti yang terjadi

bila dilakukan operasi release (Herring, 2014).

Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua pasien,

dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun. Terapi dapat

dimulai dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir usia belum ditentukan

dikarenakan adanya keberhasilan metode ini saat diterapkan pada anak usia lebih

dari 1 tahun. Tercatat sekitar 95% kasus yang ditangani dengan metode ini tidak

memerlukan posterior medial dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi

pada anak-anak usia lebih dari 15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat

manipulasi (Dobbs, 2009). Dalam setiap sesi manipulasi, disarankan bersamaan

dengan waktu memberi makan anak. Hal ini bertujuan agar sang anak lebih relaks
sehingga lebih mudah saat pemasangan cast (Herring, 2014).

Serial casting dapat menggunakan bahan plaster atau fiberglass dan tidak

ditemukan perbedaan hasil diantara kedua bahan tersebut. Cast terpasang dipasang

dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut fleksi 90 o dan akan diganti setiap

5-7 hari (Dobbs, 2009). Biasanya diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk

mendapatkan koreksi yang baik (Herring, 2014).

Walaupun biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot, pada

beberapa kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot (yang disertai

dengan arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai syndrome genetic, dan

kelainan neuromuskuler. Metode Ponseti juga digunakan pada complex clubfoot

dan kasus relaps meski telah menjalani extensive soft tissue release surgery

(Dobbs, 2009).

Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi forefoot

relatif terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada kebanyakan

kasus, deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali pemasangan long leg

cast (Herring, 2014).

Forefoot adduction, hindfoot varus, dan hindfoot equinus akan dikoreksi pada

pemasangan cast ke 2-4. Koreksi aduksi forefoot dan hindfoot varus dilakukan

secara simultan dengan supinasi pedis dan counterpressure pada head of talus.

Dengan teknik ini calcaneus, navicular dan cuboid akan displace secara gradual ke

lateral. Manuver penting ini mengoreksi mayoritas deformitas dari clubfoot dan

harus dilakukan pada setiap sesi dengan memperhatikan tiga hal:

• Abduksi forefoot harus dilakukan dengan dengan sedikit supinasi pedis,

sehingga koreksi pada deformitas cavus tetap terjaga dan colinearity dari

metatarsal tetap terjaga.


• Jangan melakukan dorsofleksi premature terhadap tumit, hal ini bertujuan agar

calcaneus dapat terabduksi secara bebas dibawah talus dan eversi ke posisi

pedis netral, serta mencegah rocker bottom deformity.

• Berikan counterpressure pada pada sisi lateral head of talus. Koreksi hindfoot

varus dan calcaneal inversion akan sulit bila counterpressure diberikan pada

sisi lateral pedis, bukan pada sisi lateral head of talus.

Secara umum diperlukan 3-4 minggu manipulasi dan casting untuk

melonggarkan sisi medial struktur ligamen pada tulang tarsal dan molding parsial

dari persendiannya(Herring, 2014).

Equinus merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi harus

dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi 70o

relative terhadap cruris. Derajat abduksi tampak ekstrem namun diperlukan untuk

mencegah rekurensi deformitas. Equinus dapat dikoreksi dengan dorsofleksi pedis

secara progresif setelah varus dan adduksi pedis telah terkoreksi. Dorsofleksi

pedis dilakukan dengan penekanan pada seluruh bagian telapak kaki dan kurangi

penekan pada head metatarsal untuk menghindari rocker bottom deformity.

Equinus dapat dengan sempurna dikoreksi melalui stretching dan casting yang

progresif.

Setelah cast keempat, pedis harus bisa abduksi 50o dan varus harus sudah
terkoreksi, namun biasanya equinus masih ada (1). Calcaneus akan terkoreksi

dengan sendirinya tanpa manipulasi menjadi eversi dan dorsofleksi (3).

Setelah cast dilepas, foot abduction orthosis (sering disebut Denis Browne

bar and shoes) diberikan untuk mencegah rekurensi deformitas, untuk remodeling

persendian dengan tulang-tulang dalam posisi baik, dan untuk meningkatkan

kekuatan otot kaki. Alat ini berupa sepatu yang terhubung dengan dynamic bar

(kira-kira sepanjang bahu pasien). Rotasi sepatu terhadap bar sekitar 60-70o

eksternal rotasi pada kaki clubfoot dan 40o eksternal rotasi pada kaki normal. Alat

ini dipakai 22-23 jam sehari selama 3 bulan, lalu saat tidur malam dan siang (12-

14 jam sehari) hingga anak berusia 1 tahun, dan saat tidur malam hingga usia 3-4

tahun (3). Pasien disarankan untuk control satu bulan berikutnya dan dilanjutkan

dengan interval 3 bulan (Dobbs, 2009).

Orthosis terdiri dari dua sepatu yang dihubungkan dengan sebuah papan

yang mampu memposisikan sepatu selebar bahu. Papan harus mampu menahan

sepatu 70 derajat eksternal rotasi dan 5-10 derajat dorsofleksi. Pada kasus

unilateral, kaki normal harus berada di 40 derajat eksternal rotasi. Menahan kaki

selebar bahu membantu abduksi pedis. Orthosis digunakan setiap hari hingga 3-4

bulan, lalu dilanjutkan pemakaian saat tidur siang dan malam selama 2-4 tahun.

Pada 90% kasus diperlukan adanya Achilles tenotomy (percutaneous

Achilles Tenotomy/ pAT) untuk mengoreksi kontraktur equinus. Tindakan ini

dilakukan dengan anestesi local pada anak usia dibawah 1 tahun (tanpa adanya

overlengthening atau kelemahan otot) dan dengan sedasi di ruang operasi untuk

anak yang lebih tua. Untuk anestesi local disarankan hanya menggunakan anestesi

topical terlebih dahulu dan anestesi injeksi diberikan setelah prosedur tenotomy.

Hal ini untuk menghindari kesulitan dalam palpasi tendon sehingga berpotensi
merusak neurovaskuler di area tersebut. Tenotomy dapat dilakukan dengan thin

cataract knife yang steril di klinik (setelah EMLA cream menganastesi kulit secara

local selama 30 menit). Beberapa dokter lebih memilih mengerjakan di ruang

operasi untuk anak >3 bulan, karena akan lebih mudah memasang cast tanpa

adanya resistensi dari anak (Herring, 2014).

Setelah steril, pedis ditahan oleh asisten dengan tekanan dorsofleksi yang

ringan hingga sedang. Tekanan yang terlalu kuat akan cenderung mengencangkan

kulit dan menyulitkan untuk palpasi tendon dengan baik. Pisau memasuki kulit

sepanjang batas medial tendon Achilles. Karena biasanya calcaneus terelevasi

pada fat pad, maka penting untuk memotong tendon 0,5 – 1 cm proksimal dari

insersinya, dimana akan cenderung untuk menyebar ke tuberositas calcaneus.

Setelah dimasukkan, pisau didorong ke medial tendon dan dirotasikan di

bawahnya. Counterpressure dengan jari telunjuk dari arah berlawanan akan

mendorong tendon ke pisau dan mencegah laserasi yang tidak diinginkan.

Pergerakan yang berlebihan dari pisau ke arah lateral akan berisiko mencederai

vena saphena dan nervus suralis. Tenotomy yang berhasil ditandai dengan

palpable pop dan adanya kemampuan untuk dorsofleksi tambahan sejauh 15-20 o.

Tidak perlu ada jahitan dan dipasangkan cotton cast padding steril, diikuti dengan

pemasangan long leg cast pada maksimal dorsofleksi dengan abduksi 70 derajat.

Pedis diimobilisasi selama 3-4 minggu; kebanyakan bayi memerlukan

imobilisasi sekitar 3 minggu, pemasangan lebih lama masih diperbolehkan untuk

anak berusia >6 bulan. Long leg cast dipasang dengan posisi abduksi 60-70 o dan

dorsofleksi 5-10o (1,3). Suatu studi menyebutkan bahwa penyembuhan tendon

terjadi dalam 3 minggu saat terpasang cast (Dobbs, 2009).


Suatu alternatif dari percutaneous heel cord tenotomy telah disarankan

oleh Alvarez dkk. Toksin Botulinum A diinjeksikan ke kompleks otot triseps

surae untuk melemahkan fungsinya. Dilaporkan keberhasilan jangka pendek

sekitar 50 dari 51 bayi dengan clubfoot.

Teknik modifikasi diterapkan pada kaki yang complex idiopathic atau

atypic. Kaki ini biasanya pendek dan tebal, dengan fixed equinus dan posterior

crease yang dalam, serta hiperfleksi metatarsal. Saat pemasangan cast, forefoot

harus diabduksi, dan dorsofleksi melalui penekanan pada head metatarsal, serta

pAT dilakukan lebih awal (3).

Terkadang penekanan pada metatarsal sebelum mengoreksi calcaneal varus

mengakibatkan iatrogenic conves foot atau rocker bottom deformity. Keadaan ini

ditangani dengan pemasangan cast dalam posisi slight equinus selama 1-2 minggu

untuk retraksi plantar ligament (3).

Kasus relaps merupakan tantangan dalam penangan clubfoot. Biasanya

intoleransi saat pemakaian brace adalah penyebabnya. Kebanyakan kasus relaps

ditemukan deformitas varus dan equinus hindfoot. Pada relaps awal, penanganan

hanya dengan serial casting dan dilanjutkan dengan brace. Bila setelah cast

terdapat <15o dorsofleksi, diperlukan Achilles tenotomy ulangan (Dobbs, 2009).

Untuk anak lebih dari 3 tahun dengan kombinasi hindfoot varus dan supination

forefoot memerlukan pendekatan yang berbeda. Hindfoot varus dan adduction


dikoreksi terlebih dahulu dan diikuti dengan serial casting. Setelah terkoreksi,

dilakukan full tibialis tendon transfer ke cuneiform ketiga dan diikuti dengan

casting selama 6 bulan tanpa perlu pemakaian brace lagi (Dobbs, 2009).

Rekurensi parsial biasanya terjadi pada 2-3 tahun pertama, sekitar 1/3

kasus relaps, dan penyebab paling sering adalah ketidakpatuhan pemakaian

brace orthosis. Koreksi pada relaps tahun pertama cukup dengan manipulasi dan

serial cast, untuk anak yang lebih tua akan lebih sulit memasang cast. Pemakaian

brace merupakan keharusan untuk menjaga hasil koreksi. Pada 2/3 kasus relaps

lainnya memerlukan intervensi bedah, namun tidak untuk anak <18 bulan. Jenis

operasi meliputi heel cord lengthening, posterior ankle release, atau plantar

facial release akan mampu mengembalikan plantigrade foot.

Pada pasien lebih dari 2-3 tahun dynamic swing phase supination

deformity akan muncul sebagai akibat medial overpull dari tendon tibialis

anterior. Reduksi inkomplit dari navicular ke head of talus akan mengubah


fungsi tendon ini dari dorsifleksor menjadi foot supinator. Bila tidak dikoreksi,

keadaan ini akan menjadi hindfoot varus berulang. Pada pasien-pasien ini

dilakukan transfer anterior tibialis ke 3rd cuneiform setelah beberapa koreksi

dengan cast. Untuk mencegah bowstringing, tendon sebaiknya dibiarkan di

bawah anterior retinaculum ankle. Sangat penting untuk menilai rekurensi

equinus karena untuk menentukan kebutuhan Achilles tendon Z-lengthening saat

transfer tibialis anterior. Walaupun operasi akan sukses, namun tidak menjamin

hasil akan menjadi plantigrade.

Pada beberapa studi, pasien relaps yang memerlukan tindakan operatif

sekitar 32-35%. Prosedur paling umum yang dikerjakan adalah transfer tendon

tibialis anterior yang mengoreksi swing phase supination. Pada pasien relaps

yang gagal dalam terapi non operatif dan memerlukan complete posteromedial

release biasanya terdeteksi dini dan mendapatkan operasi sebelum mereka

berusia 2 tahun.

French Method

Selain metode Ponseti, terdapat satu metode populer lain sebagai alternative

menghindari tindakan operasi, yaitu French atau functional method. Metode ini

memerlukan manipulasi setiap harinya dan diikuti dengan pemakaian adhesive

tapping untuk menjaga posisi kaki yang telah dikoreksi dengan peregangan

(stretching). Pemakaian taping akan tetap memberikan beberapa pergerakan,

berbeda dengan Ponseti. Metode ini juga focus pada penguatan otot peroneus

sebagai cara untuk menjaga hasil koreksi (Dobbs, 2009).

Terapi harian berlangsung selama dua bulan, lalu menjadi 3 kali seminggu

selama enam bulan. Saat kaki telah berhasil terkoreksi, tetap dilakukan home

exercise dan night splint hingga sang anak mencapai usia berjalan, kira-kira usia
2-3 tahun (Herring, 2014).

Tujuan dari terapi ini adalah mereduksi talonavicular joint, stretch out dari

medial tissue, dan secara berurutan mengoreksi forefoot adduction, hindfoot

varus, dan calcaneus equinus (Herring, 2014).

Pada tahap pertama, os navicular di-release secara progresif dari malleolus

medial dan dari posisi medialnya pada head talus. Awalnya, relaksasi ini akan

belum sempurna karena talus masih pada posisi patologis, namun akan membaik

seiring waktu.

Tahap kedua adalah mengoreksi forefoot adduction dengan stabilisasi dari

adduksi menyeluruh calcaneus-forefoot block. Manuver ini meregangkan semua

sendi (naviculocuneiform, cuneiform-metatarsal, dan MTP). Setelah semua

sendi teregang, forefoot adduction akan terus berkurang dengan melanjutkan

peregangan medial skin crease. Untuk menjaga pasif ROM yang baru, ekstensor

ibu jari dan peroneal harus dikuatkan. Untuk itu, terapis merangsang reflek

kutaneus dengan memijat halus bagian lateral pedis.

Tahap ketiga adalah reduksi progresif dari hindfoot varus. Diawali setelah

talonavicular joint tereduksi dan dapat dilakukan bersamaan dengan koreksi

forefoot adduction. Calcaneus bergerak secara gradual kearah posisi netral dan

akhirnya menjadi valgus. Ankle tereksternal rotasi bersamaan saat calcaneus

diposisikan menjadi valgus. Lutut dijaga tetap 90 derajat selama maneuver.

Tahap akhir dari program ini adalah mengoreksi equinus dari calcaneus,

dimana sering sulit karena kontraktur dari posterior sof tissue yang tidak mudah

diregangkan dengan manipulasi. Calcaneus dibawa secara progresif dari plantar

fleksi ke dorsofleksi sementara lutut tetap dalam fleksi. Lalu lutut diekstensikan

dengan hati-hati. Manuver ini dilakukan berulang-ulang.Lateral arch ditopang


dengan baik untuk melindungi midfoot teregang (midfoot break).

Walaupun dikatakan menyebabkan inflamasi, fibrosis dan kekakuan,

metode ini memberikan keseimbangan otot dan suasana biomekanik yang

mengubah pola pertumbuhan strukutr osteokondral dari pedis (3). Dimeglio pada

1996 melaporkan keberhasilan metode ini sebesar 74%, tanpa memerlukan

intervensi bedah. Adapun tindakan posterior release dilakukan bila ada residual

equinus. Kelemahan dari metode ini adalah butuh komitmen orang tua untuk

menjalani terapi harian selama dua bulan awal (Dobbs, 2009).

TINDAKAN OPERATIF

Tindakan operatif sebaiknya dihindari dan dibatasi hanya sebagai terapi

tambahan terapi konservatif. Indikasi tindakan operatif adalah pada kasus

resisten, kasus yang berkaitan dengan sindroma dan neurogenic, kasus rekuren,

dan adanya deformitas residu setelah tindakan extensive soft tissue release

(Dobbs, 2009).

Operasi berulang sebaiknya dihindari karena haya akan mengakibatkan


kekakuan sendi, luka operasi, pengerasan jaringan dan bahkan atrofi karena

imobilisasi dalam waktu lama. Salah satu penyebab operasi berulang biasanya

adalah koreksi yang tidak adekuat, sehingga memerlukan koreksi berikutnya.

Dengan menggunakan Ponsetti atau French method, jumlah operasi akan lebih

sedikit pada kasus-kasus relaps atau kegagalan koreksi. Biasanya posterior

release, seperti Achilles tendon lengthening dan posterior capsulotomy dari sendi

tibiotalar dan subtalar, cukup untuk mengoreksi sisa equinus dan minimal

hindfoot varus. Sekitar 15% idiopati clubfoot memerlukan posteromedial release.

1. Turco : One stage posteromedial release

Koreksi terhadap calcaneus dengan dilakukan subtalar release (lateral,

posterior, medial) dan juga calcaneofibular ligament.

2. Carrol : Plantar fascial release dan capsulotomy dari calcaneocuboid

joint

3. Goldner : Koreksi dari rotasi talus dan tibiotalar joint release

4. McKay dan Simons : Prosedurnya lebih ekstensif, mayoritas struktur

peritalar dibebaskan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas klien

Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi ; nama, umur,

agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan alamat.

bayi laki-laki dua kali lebih banyak menderita kaki bengkok daripada

perempuan. Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survei

membuktikan dari 4 orang kasus Club foot, maka hanya satu saja seorang

perempuan. Itu berarti perbandingan penderita perempuan dengan penderita


laki-laki adalah 1:3 dan 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3%

pada kembar dizigot.

2. Keluhan Utama

Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit karena adanya

keadaan yang abnormal pada kaki anak yaitu adanya berbagai kekakuan kaki,

atrofi betis kanan, hipoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang kaki ringan.

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat

pengkajian seperti Klien tidak mengalami keluhan apa-apa selain

adanya keadaan yang abnormal pada kakinya.

b. Riwayat Penyakit Keluarga

Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat

diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang

terdapat dalam keluarga.

c. Riwayat Antenatal, Natal dan PostNatal

1) Antenatal

Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta

upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali

perawatan antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-

jamuan dan obat yang pernah diminum serat kebiasaan selama

hamil.

2) Natal

Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang

menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi

forcep, section secaria dan gamelli), presentasi kepala dan


komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan

morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa kehamilan

(cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak menangis spontan

atau tidak.

3) Postnatal

Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan

dengan gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan,

warna kulit,pola eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal

perlu dikaji adanya ashyksia, trauma dan infeksi.

d. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada

terakhir.Tingkat perkembangan anak yang telah dicapai motorik kasar,

halus, social, dan bahasa.

e. Riwayat Kesehatan Keluarga

Sosial , perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah

tangga yan harmonis dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi dan adat

istiaadat, berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan

eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan

pengetahuan serta ketrampilan anak. Disamping itu juga berhubungan

dengan persediaan dan pengadaan bahan pangan, sandang dan papan.

f. Riwayat Imunisasi

Riwayat imunisasi anak sangat penting, dengan kelengkapan

imunisasi pada anak mencegah terjadinya penyakit yang mungkin

timbul.Meliputi imunisai BCG, DPT, Polio, campak dan hepatitis.

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola Nutrisi

Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI. pada umur anak tertentu.

Jika diberikan PASI (ditanyakan jenis, takaran dan frekuensi)

pemberiaannya serta makanan tambahan yang diberikan.Adakah makanan

yan disukai, alergi atau masalah makanan yang lainnya).

b. Pola Eliminasi

Sistem pencernaan dan perkemihan pada anak perlu dikaji BAB atau

BAK (Konsistensi, warna, frkuensi dan jumlah serta bau). Bagaimana

tingkat toileting trining sesuai dengan tingkat perkembangan anak.

c. Pola Aktivitas

Kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai anak pada usia sekelompoknya

mengalami kemunduran atau percepatan.

d. Pola Istirahat

kebutuhan istirahat setiap hari, adakah gangguan tidur, hal-hal yang

mengganggu tidur dan yang mempercepat tidur.

e. Pola Kebersihan Diri

bagaiman perawatan pada diri anak apakah sudah mandiri atau masih

ketergantuangan sekunder pada orang lain atau orang tua.

4. Pemeriksaan Fisik

a. Pantau status Kardiovaskular

b. Pantau Nadi perifer

c. Pucatkan Kulit Ekstermitas pada bagian distal untuk memastikan sirkulasi

yang adekuat pada ekstremitas tersebut

d. Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi jari diantara

kulit ekstremitasdengan gips setelah gips kering


e. Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:

1) Nyeri

2) Bengkak

3) Rasa dingin

4) Sianosis atau pucat

f. Kaji Sensasi jari kaki

1) Minta anak untuk menggerakkan jari kaki

2) Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu

berespon terhadap perintah

3) Laporkan dengan segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan sirkulasi

4) Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau kesemutan

g. Periksa suhu

1) Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan panas

2) Evaporasi air, yang menyebabkan kehilangan panas.

h. Inspeksi kulit

i. Inspeksi bagian dalam gips

j. Observasi adanya tanda-tanda infeksi:

1) Periksa adanya drainase

2) Cium gips untuk adanya bau menyengat

3) Periksa gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan infeksi

dibawah gips

4) Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi dan ketidaknyamanan

5) Observasi kerusakan pernapasan (gips spika)

k. Observasi Kerusakan pernapasan

1) Kaji ekspansi dada anak


2) Observasi frekuensi pernafasan

3) Observasi warna dan perilaku

l. Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka)

m. Kaji Kebutuhan terhadap nyeri

5. Diagnosa Keperawatan

a. Resiko cidera berhubungan dengan adanya gips, pembengkakan jaringan,

kemungkinan kerusakan saraf

b. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan cidera fisik

c. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips

6. Intervensi Keperawatan

N NOC: NIC
O
1 Mobility (0208) Pressure Management
Setelah dilakukan asuhan 1. Tinggikan ekstremitas yang di
keperawatan diharapkan pasien gips
tidak mengalami kerusakan 2. Kaji bagian gips yang terpajan
neurologis dengan keriteria untuk mengetahui adanya nyeri, ,
hasil: nyeri bengkak, perubahan warna
- body position (sianosis atau pucat), pulsasi, hangat,
performance dan kemampuan untuk bergerak
- Gips mengering dengan cepat, 3. Rawat gips basah dengan
tetap bersih dan utuh telapak tangan, hindari penekanan
gips dengan ujung jari (gips plester)
4. Tutupi tepi gips yang kasar
dengan ” petal” adesif
5. Jangan menutupi gips yang
masih basah
6. Jangan mengeringkan gips
dengan kipas pemanas atau pengering
7. Gunakan kipas biasa di
lingkungan dengan kelembaban tinggi
8. Bersihkan area yang kotor
dari gips dengan kain basah dan
sedikit pembersih putih yang rendah
abrasive
2 Comfort Status (2008) Enviromental Management: comfort
1. Berikan posisi yang nyaman,
Setelah dilakukan asuhan gunakan bantal untuk menyokong
keperawatan selama 3x 24 jam area dependen
diharapkan gangguan rasa nyaman 2. Bila perlu batasi aktivitas
pada pasien berkurang dengan yang melelahkan
keriteria hasil: 3. Hilangkan rasa gatal dibawah
- Symptom control gips dengan udara dingin yang
- Psycological well-being ditiupkan dari spuit asepto, fan, atau
pengering rambut.
4. Hindari menggunakan bedak
atau lotion dibawah gips
3 Skin care: graft site
Setelah dilakukan asuhan 1. Pastikan bahwa semua tepi gips
keperawatan diharapkan pasien tidak halus dan bebas dari proyeksi pengiritasi
mengalami iritasi dengan keriteria 2. Jangan membiarkan anak
hasil: memasukkan sesuatu ke dalam gips
- Tidak ditemukannya tanda- 3. Waspadai anak yang lebih besar
tanda kerusakan integritas kulit untuk tudak memasukkan benda-benda
kedalam gips, jelaskan mengapa ini
penting
4. Jaga agar kulit yang terpajan tetap
bersih dan bebas dari iritan
5. Lindungi gips selama mandi,
kecuali jika gips sintetik tahan terhadap
air
6. Selama gips dilepas, rendam dan
basuh kulit dengan perlahan
Swallonging therapy
1. Dorong untuk ambulasi sesegera
mungkin
2. Ajarkan penggunaan alat
mobilisasi seperti kurk untuk kaki yang di
gips
3. Dorong anak dengan alat ambulasi
untuk berambulasi segera setelah kondisi
umumnya memungkinkan
4. Dorong aktivitas bermain dan
pengalihan
5. Dorong anak untuk menggunakan
sendi-sendi di atas dan di bawah gips

7. Implementasi Keperawatan

Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana

keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan. Ukuran

intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan

dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan

untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan

yang muncul dikemudian hari. Untuk kesuksesan pelaksanaan

implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan,

perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan

dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan

tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada

kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan

keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi

8. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada Pasien yang telah dilakukan inmplementasi dengan

format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA

Nordin S, Aidura M, Razak S, Faisham WI. Controversies in congenital clubfoot: Literature


review. Malaysian Journal of Medical Science. 2002;9(1):34-40. 2.

Bridgens J, Kiely N. Current management of clubfoot (congenital talipes equinovarus)


clinical review. BMJ. 2010;340: 308-12. DOI: 10.1136/bmj.c355 3.

Zhang G, Zhang Y, Li M. A modified Ponseti method for the treatment of rigid idiopathic
congenital clubfoot. J Foot Ankle Surg. 2019;58(6):1192-6. DOI:
10.1053/j.jfas.2019.04.003 4.

Mohan S, Kumar S, Prashanth L, Krishnagopal R Management of idiopathic clubfoot by


Ponseti’s technique. IJOS. 2018;4(1): 92-7. DOI: https://doi.org/10.22271/
ortho.2018.v4.i1b.16 5.

Manisha R, Priyanka K. Congenital clubfoot: a comprehensive review. Ortho & Rheum


Open Access. 2017;8(1):1-5, 555728. DOI:10.19080/OROAJ.2017.08.555728 6.

Basit S, Khoshhal KI. Genetics of clubfoot; recent progress and future perspectives. Eur J
Med Genet. 2018;61(2):107-13. DOI:10.1016/j.ejmg.2017.09.006 7.

Pavone V, Chisari E, Vescio A, Lucenti L, Sessa G, Testa G. The etiology of idiopathic


congenital talipes equinovarus: a systematic review. J Orthop Surg Res.
2018;13(1):1-11. DOI:10. 1186/s13018-018-0913-z. 8.

Amihood S, Idit M, Ehud B, Feldman BH, Chana V, Shay BS, et al. Prenatal clubfoot
increases the risk for clinically significant chromosomal microarray results –
analysis of 269 singleton pregnancies. Early Hum Dev. 2020;145: 105047.
DOI:10.1016/j.earlhumdev.20 20.105047 9.

Foster A, Davis N. congenital talipes equinovarus (clubfoot). Surgery (Oxford).


2007;25(4):171-5. DOI:10.1016/j.mpsur.2007.04.001 10.

Krakow D. Clubfoot (talipes equinovarus) and clenched hands. In: Copel JA, Feltovich H,
Krakow D, Platt LD, D’Alton ME, Gratacos E, et al, editors. Obstetric Imaging:
Fetal Diagnosis and Care. 2018; p. 305-8.e1. DOI:10.1016/b978-

Anda mungkin juga menyukai