Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Warna kulit kita adalah penting, dan banyak prosa dan puisi yang ditulis tentang
kulit. Warna kulit merupakan salah satu hal yang kita ingat dalam tahap awal pengenalan
seseorang. Selain itu, warna kulit juga telah dipakai untuk menjustifikasi berbagai macam
ketidakadilan. Pelanggaran apapun atas norma yang berlaku dapat memberikan dampak
psikologis yang serius dan implikasi-implikasi dalam praktek.
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi warna kulit, antara lain hemoglobin,
pigmenn eksogen di dalam atau pada permukaan kulit, pigmen endogen (dibuat oleh tubuh
sendiri, misalnya bilirubin), melanin dan feomelanin. Dua factor yang terakhir merupakan
factor paling penting dalam menentukan warna dasar kulit manusia.
Kebanyakan pigmen kulit manusia terdapat di dalam keratinosit, setelah dibuat
dalam melanosit dan ditransfer dalam melanosom. Ada perbedaan antarras dalam hal
produksi, distribusi, dan degradasi melanosom, tetapi tidak dalam hal jumlah melanosit.
Akan tetapi, ada perbedaan genetic yang penting dalam hal kemampuan merespons
terhadap radiasi ultraviolet, yang biasanya disebut dengan tipe-tipe kulit
1. Tipe I selalu terbakar, tak pernah menjadi coklat
2. Tipe II mudah terbakar, sulit menjadi coklat
3. Tipe III kadang-kadang terbakar, mudah menjadi coklat
4. Tipe IV tidak pernah terbakar, mudah menjadi coklat
5. Tipe V secara genetic coklat (misalnya India) atau Mongoloid
6. Tipe VI secara genetic hitam (misalnya Kongoid atau Negroid)
Respons pertama terhadap radiasi UV adalah peningkatan distribusi melanosom.
Hal ini dengan cepat dapat meningkatkan pigmentasi pada lapisan basal (stratum basale)
yaitu berubahnya warna kulit menjadi coklat karena sinar matahari (sun tan). Bila stimulasi
dihentikan, sebagaimana yang biasanya terjadi setelah menghabiskan waktu 2 minggu di
daerah Mediterania, warna coklat itu cepat menghilang seiring pergantian normal
epidermis. Bila paparan terjadi lebih lama lagi, maka produksi melanin meningkat secara
lebih permanen. Proses sun tan menunjukkan adanya upaya kulit untuk memberikan
perlindungan terhadap efek-efek yang berbahaya akibat radiasi UV, misalnya terjadinya
penuaan dini dan kanker.
Ada beberapa keadaan di mana mekanisme pigmentasi berubah menjadi
abnormal, baik yang menyebabkan penurunan (hipopigmentasi) atau peningkatan
(hiperpigmentasi). Pada masing-masing gangguan tersebut dapat diklasifikasikan
berdasarkan penyebab yaitu congenital dan yang didapat (acquired).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
pigmentasi kulit.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus vitiligo
2. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus albino
3. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus melasma
4. Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan dengan kasus gangguan pigmentasi
pascainflamasi

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitiligo
2.1.1 Definisi
Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari. Kelainan ini berupa macula berwarna putih(hipopigmentasi), mengenai 1%
penduduk dunia tanpa membedakan ras dan jenis kelamin.Frekuensi pada kedua jenis
kelamin sama.Hanya saja,penelitian epidemiologic menunjukkan bahwa penderita
yang berobat lebih banyak wanita. Hal ini mudah dimengerti karena masalah
utamanya adalah kosmetika. Ternyata 30-40% kasus mempunyau riwayat familial
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik di dapat ditandai dengan adanya macula
putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian tubuh yang mengandung
sel melanosit, misalnya rambut dan mata (Lily Soepardiman).

2.1.2 Etiologi
Etilogi penyakit ini masih belum jelas, namun ada beberapa teori yang berusaha
menerangkan patogenesisnya :
a. Teori neurogenik.
Teori ini didasarkan atas beberapa pengamatan. Lesi vitiligo bersifat
unilateral, tidak melewati garis median dan terletak pada satu atau dua
dermatom. Pada pengamatan lain, vitiligo ini disertai oleh penyakit-penyakit lain
misalnya siringomieli,neurofibromatosis,dan menyerang daerah inervasi suatu
saraf perifer yang terkena trauma. Juga pada polyneuritis diabetika, sering
dijumpai vitiligo pada daerah yang mengalami neuropati. Menurut teori ini suatu
mediator neurokemik dilepaskan dan senyawa tersebut dapat menghambat
melanogenesis serta dapat menyebabkan efek toksik pada melanosit.

b. Teori rusak diri (self destruction theory).


Teori ini menyebutkan bahwa metabolit yang timbul dalam sintesis
melanin menyebabkan destruksi melanosit. Metabolit tersebut misalnya kuinon.
Di dalam praktek, dapat kita lihat bahwa hidrokuinon maupun monobenzileter
hidrokuinon (MBEH) dipakai dalam pengobatan melasma dan obat-obat ini
dapat pula menyebabkan lesi-lesi semacam vitiligo (vitiligo-like). Yang
menyokong teori ini adalah bahwa lesi-lesi vitiligo banyak didapatkan di daerah-
daerah kulit yang lebih gelap.Pada tepi lesi terlihat hiperpigmentasi.
c. Teori otoimun.
Teori ini menganggap bahwa kelainan system imun menyebabkan
terjadinya kerusakan pada melanosit. Beberapa penyakit otoimun yang sering
dihubungkan dengan vitiligo antara lain adalah tiroiditis (hashimoto), anmia
pernisiosa,penyakit Addison, alopesia areata, dan sebagainya. Antibodi humoral
terhadap tiroid, sel parietal dan adrenal meningkat secara bermakana, tetapi
antibody spesifik terhadap melanosit tidak dijumpai. Vitiligo juga sering
didapatkan pada penderita dengan melanoma, halonevus, dan juga pada
sindroma Vogt-Koyanagi-Harada (uveitis dan vitiligo). Pada ketiga penyakit
tersebut, dapat pula dijumpai antibody spesifik beredar dalam darah, namun
tidak dijumpai antibody spesifik terhadap pure vitiligo.
Hipotesis
Patofisiologi/WOC Hipotesis
neurohormonal
autoimun
autositotoksik Faktor pencetus

Tiroiditis hashimoto,
anemia pernisiosa, dan Adanya pajanan
Trauma fisis
Terjadi kerusakan krn hipoparatiroid melanosit terhadap bahan
dan krisis
Idiopatik bahan toksik, tirosin, kimia
emosi
dopa, dan dopakrom
terhadap melanosit

Depigmentasi kulit

hipomelanosis

VITILIGO

Terdapat lesi berupa makula Rasa panas


yang hipomelanosis pada lesi

MK: Gangguan MK: Kerusakan


body image integritas kulit
2.1.3 Klasifikasi
Ada dua bentuk vitiligo :
1. Lokalisata yang dapat dibagi lagi :
a. fokal : satu atau lebih macula pada satu area, tetapi tidak segmental.
b. segmental : satu atau lebih macula pada satu area, dengan distribusi menurut
dermatom, misalnya satu tungkai.
c. hanya terdapat pada membrane mukosa
2. Generalisata
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya simetris. Vitiligo
generalisata dapat dibagi lagi menjadi :
a. Akrofasial : depigmentasi hanya terjadi di bagian distal ekstremitas dan muka,
merupakan stadium mula vitiligo yang generalisata.
b. Vulgaris : macula tanpa pola tertentu di banyak tempat
c. Campuran : depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total.

Gambar 2. Klasifikasi Vitiligo.

2.1.4 Manifestasi klinik


Vitiligo dapat dimulai pada setiap tingkatan usia, tetapi 50% kasus timbul
sebelum umur 20 tahun. Insidens kira-kira 1%. Biasanya pada pertaman kali,
didapatkan lesi macula yang hipomelanotik di daerah terbuka,misalnya muka,
punggung tangan. Trauma dan stress dikatakan sebagai factor presipitasi. Makula yang
amelanotasi, misalkan aksila, inguinal, areola, dan genitalia. Di daerah daerah yang
sering terkena gesekan, misalnya punggung, tangan , kaki, siku,lutut,tumir, juga banyak
dijumpai lesi vitiligo. Distribusi lesi biasanya simetrik, meskipun dada pula yang
unilateral, yang merupakan susunan dermatom. Makula mempunyai gambaran konveks
dan bertambah secara teratur. Rambut pada lesi tersebut sering mempunyai pigmen
yang normal, tetapi pada lesi yang sudah lama, rambut sering amelanotik.
Gejala subjektif tak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pada lesi. Keluhan
umum terutama adalah masalah kosmetika. Repigmentasi pernah dilaporkan pada
sekitar 10% kasus.
Vitiligo mempunyai beberapa pola distribusi yang khas: fokal.segmental,
generalisata, dan universal.
- Vitiligo fokal (localized)
satu macula yang terisolasi atau beberapa macula yang terbatas baik jumlah
maupun ukurannya ( terdapat pada satu atau dua tempat di bagian tubuh.)
- Vitiligo segmental
distribusinya khas, dengan lesi vitiligo yang unilateral dalam suatu distribusi
dermatom atau quasidermatom. Tipe ini dikatakan sebagai suatu jenis vitiligo yang
bersifat stabil.
- Vitiligo generalisata
merupakan jenis vitiligo yang banyak dijumpai, khas dengan beberapa atau
banyak macula yang tersebar. Makula ini seringkali bersifat simetris dan menyerang
daerah permukaan ekstensor , terbanyak didapatkan pada sendi interfalangeal , sendi
interfalangeal metacarpal/metatarsal, siku, dan lutut. Daerah ekstensor lain yang
terkena dalah pergelangan tangan, maleolus, umbilicus, lumbosakral, tibia anterior,
dan aksila. Makula vitiligo dapat bersifat periorifisial dan menyerang daerah sekitar
mata, hidung, telinga, mulut, dan anus. Vitiligo periungual dapat pula terjadi baik
berdiri sendiri atau bersamaan dengan lesi mucosal( bibir, penis distal, putting susu).
Yang terakhir ini disebut vitiligo lip tip.

2.1.5 Pemeriksaan diagnostic


Kriteria diagnosis bias didasarkan atas pemerikasaan klinis ( anamnesis,
pemeriksaan fisik), uji diagnostic ( untuk membedakan denga penyakit lain yang
menyerupai ) dan pemeriksaan laboratorium ( untuk membantu mencari adanya kaitan
dengan penyakit sistemik, seperti diabetes melits, insufisiensi adrenal, anemia
pernisiosa, penyakit tiroid, dan lain-lain.)
Dari anamnesis , perlu diketahui kapan lesi itu Nampak, perjalanan penyakit
( stabil atau progresif) , riwayat adanya inflamasi, iritasi, atau hal lain menjelang
timbulnya depigmentasi, riwayat fotosensivitas, disfungsi telinga atau mata,bentuk-
bentuk pengobatan sebelunbya ( termasuk dosis,efekm dan atau toksisitas),
hobi,riwayat keluargam riwayat keluarga atau diri sendiri tentang penyakit (tiroid,
alopesia areata, diabetes , penyakit kolagen vaskuler, anemia pernisiosa, penyakit
Addison), stress emosional akibat kehilangan pigmen, dll
Pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan pemeriksaan umum, adanya
depigmentasi yang asimptomatik, tanpa gejala inflamasi, ada tidaknya batas inflamasi
sekitar lesi, tempat lesi pertama kali muncul ( tangan,lengan, kaki,muka, dan bibir) ,
pola vitiligo (fokal,segmental,universal, atau akral/akrofasial). Pemeriksaan lain antara
lain perlu dicari adanya poliosis, perubahan pigmentasi pada choroid dan epitel pigmen
retina , uveitis.
Tes diagnostik, dilakukan untuk membedakan dengan penyakit yang
menyerupai, misalnya limfoma kutan sel-T, LED/LES, lepra, pinta, nevus anemikus,
depigmentosus, piebaldisme, pityriasis alba, hipopigmentasi pasca inflamasi,
arkoidosis, scleroderma, tinea cersikolor dan lain-lain.
Tes laboratorium dilakukan untuk mendeteksi penyakit-penyakit sistemik yang
menyertai, misalnya insufisiensi

2.1.6 Penatalaksanaan
a. Psoralen photochemotherapy
Fototerapi dengan psoralen baik topical maupun sistemik, ataupun keduanya
dikatakan merupakan cara yang cukup efektif.
Mekanisme : reservoir melanosit yang mengadakan migrasi ke dalam kulit yang
mengalami depigmentasi datang dari kulit yang bersebelahan dengan kulit yang
berpigmen (melanosit mengalami migrasi kira-kira 2-3mm ke dalam kulit yang
mengalami depigmentasi), dan juga datang dari folikel rambut karena tidak adanya
reservoar , maka pada kulit berambut pada daerah lengan bawah atau tungkai
dimana rambut terminal mengalami depigmentasi, kurang respon terhadap
pengobatan medic, seperti juga kulit daerah glabrosa, seperti telapak tangan, jari-jari
dan dorsum pedis
b. Fototerapi psoralen topical
Fototerapi psoralen topical dilakukan apabila lesi terbatas (kurang dari 20%
permukaan tubuh) atau pada anak lebih dari 5 tahun dengan vitiligo fokal.
Preparat dioleskan pada daerah vitiligo 15-30 menit sebelum penyinaran UVA.
Dosis permulaan biasanya 0,12-0,25 J/cm2 kemudian ditambah sampai muncul
eritema ringan (tergantung dari tipe kulit pasien)
c. Psoralen
Bentuk aktif yang sering digunakan adalah trimetoksi psoralen (TPM) dan 8-
metoksi psoralen. Bahan ini bersifat photosensitizer. Cara pemberian : obat psoralen
20-30 mg (0,6 mg/kg BB) dimakan 2 jam sebelum penyinaran. Lama penyinaran :
mula-mula sebentar, kemudian setiap hari dinaikkan perlahan-lahan (antara
sampai 4 menit). Ada yang menganjurkan pengobatan dihentikan seminggu setiap
bulan. Belum ada kesepakatan mengenai pengobatan psoralen topical. Sebagian
mengatakan berbahaya, apalagi bila lesinya luas karena bisa timbul eritem atau bula.
Namun sebagian masih ada yang menggunakan terrapin topical ini. Larutan yang
digunakan adalah larutan metoksalen 1% dengan cara dioleskan secara hati-hati.
Olesan jaringan jangan sampai ke batas tepi,tetapi beberapa millimeter sebelum tepi,
karena diharapkan akan terjadi difusi intradermal. Setelah diolesi kemudian kulit
disinari selama beberapa menit. Kontraindikasi : hipertensi, gangguan hati, kegagaln
ginjal dan jantung. Kecepatan repigmentasi tidak sama. Umumnya daerah muka
lebih cepat, kemudian daerah leher, badan.
d. Helioterapi
Helioterapi merupakan salah satu bentuk fotokemoterapi yang merupakan
gabungan antara trisoralen dan sinar matahari.
e. Kortikosteroid
Beberapa kasus menunjukkan respons terhadap pengobatan kortikosteroid.
Obat ini digunakan baik dalam bentuk topical, misalnya betametason valerat 0,1%
maupun suntikan intradermal. Pemakaian kortikosterid ini kemungkinan didasarkan
atas teori rusak diri maupun teori autoimiun. Dalam hal ini, kortikosteroid dapat
memperkuat mekanisme pertahanan tubuh pada auto-destruksi melanosit atau
menekan perubahan imunologik.
Penggunaan kortikosteroid topical dapat dilakukan dengna prosedur Drake
dkk :
1. Krim kortikosteroid dioleskan pada lesi sekali sehari selama 3-4 bulan.
2. Setiap minggu sekali dilakukan evaluasi dengan menggunakan lampu Wood
3. Pengobatan diteruskan apabila ada repigmentasi, namun harus segera dihentikan
apabila tidak ada respon dalam waktu 3 bulan.
4. Fotografi dapat membantu mengevaluasi kemajuan
5. Kemungkinan adanya efek samping, antara lain : teleangiektasi, atrofi, striae dll
f. Depigmentasi
Jika lesi vitiligo sangat luas, jauh lebih luas dari kulit normalnya (lebih dari
50%), ada yang menganjurkan untuk memberikan monobenzil hidrokuinon 20% 2x
sehari pada kulit normal, sehingga terjadi bleaching dan diharapkan warna kulit
menjadi sama. Percobaan pada area yang kecil perlu dilakukan, sebelum terapi
dilakukan pada area yang lebih luas.
g. Tindakan Bedah
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologous skin graft, yakni
memindahkan kulit normal (2-4mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang mungkin
timbul antara lain jaringan parut, repigmentasi yang tidak teratur, koebnerisasi, dan
infeksi.

2.1.7 Komplikasi
Vitiligo cenderung meningkat sesuai usia dianggap sebagai akibat respon
autoimun. vitiligo tidak mengganggu struktur kulit sehingga hampir seluruh fungsi
kulit masi dapat bekerja dengan baik. Fungsi pengeluaran keringat masih berjalan,
fungsi melindungi tubuh dari kuman masih baik, organ di dalamnya juga masih bisa
dilindungi, pengeturan suhu masih baik, dan kulit masih bisa dilindungi, pengaturan
suhu masih baik dan kulit masih bisa menyerap bahan dari luar seperti obat. Bahkan,
jika bagian bercak putih mengalami luka maka proses penyembuhannya sama dengan
kulit normal.

2.1.8 Prognosis
Perkembangan penyakit vitiligo sulit diramalkan, dimana lesi depigmentasi
dapatmenetap, meluas atau bahkan mengalami repigmentasi. Biasanya perkembangan
penyakitvitiligo bertahap dan pengobatan dapat mencegah menetapnya lesi seumur
hidup pada penderita. Perkembangan lesi depigmentasi sering kali responsif pada
masa awal pengobatan. Repigmentasi spontan terjadi pada 10-20% penderita
walaupun secarakosmetik hasilnya kurang memuaskan.

2.2 Albino
2.2.1 Definisi
Albino (dari bahasa Latin albus yang berarti putih), disebut juga
hypomelanism atau hypomelanosis, adalah salah satu bentuk dari hypopigmentary
congenital disorder. Ciri khasnya adalah hilangnya pigmen melanin pada mata, kulit,
dan rambut (atau lebih jarang hanya pada mata). Albino timbul dari perpaduan gen
resesif. Ciri-ciri seorang albino adalah mempunyai kulit dan rambut secara abnormal
putih susu atau putih pucat dan memiliki iris merah muda atau biru dengan pupil merah
(tidak semua).

2.2.2 Etiologi
Albino adalah kelainan genetik, bukan penyakit infeksi dan tidak dapat
ditransmisi melalui kontak, tranfusi darah, dsb. Gen albino menyebabkan tubuh tidak
dapat membuat pigmen melanin. Sebagian besar bentuk albino adalah hasil dari
kelainan biologi dari gen-gen resesif yang diturunkan dari orang tua, walaupun dalam
kasus-kasus yang jarang dapat diturunkan dari ayah/ibu saja. Ada mutasi genetik lain
yang dikaitkan dengan albino, tetapi semuanya menuju pada perubahan dari produksi
melanin dalam tubuh.
Albino dikategorikan dengan tirosinase -positif atau -negatif. Dalam kasus dari
albino tirosinase positif, enzim tirosinase ada, namun melanosit (sel pigmen) tidak
mampu untuk memproduksi melanin karena alasan tertentu yang secara tidak langsung
melibatkan enzim tirosinase. Dalam kasus tirosinase negatif, enzim tirosinase tidak
diproduksi atau versi nonfungsional diproduksi.
Gb.1 Enzim Tirosinase

Albino tidak terpengaruh gender, kecuali ocular albino (terkait dengan


kromosom X), sehingga pria lebih sering terkena ocular albino. Karena penderita albino
tidak mempunyai pigmen melanin (berfungsi melindungi kulit dari radiasi ultraviolet
yang datang dari matahari), mereka menderita karena sengatan sinar matahari, yang
bukan merupakan masalah bagi orang biasa.

2.2.3 Klasifikasi
A. Secara klinis, Albinisme dapat dibagi menjadi dua :
1. Oculo cutaneous albinism (OCA) (berarti albino pada mata dan kulit),
kehilangan pigmen pada mata, kulit, dan rambut.
Gb.1 Oculo cutaneous Albinism

2. Ocular albinism (OA), hanya kehilangan pigmen pada mata. Orang-orang


dengan oculocutaneous albinism bisa tidak mempunyai pigmen dimana saja
sampai ke tingkat hampir normal. Orang-orang dengan ocular albinism
mempunyai warna rambut dan kulit yang normal, dan banyak dari mereka
mempunyai penampilan mata yang normal.

Gb.2 Ocular Albinism


Hanya tes genetik satu-satunya cara untuk mengetahui seorang albino
menderita kategori yang mana, walaupun beberapa dapat diketahui dari
penampilannya.

B. Untuk bidang dermatologi, yang terpenting adalah jenis OCA. Ada dua tipe OCA
yang paling banyak, yaitu Tyrosinase Positive OCA (TPOCA) dan Tyrosine
Negative OCA (TNOCA). keduanya dapat dibedakan berdasarkan pemeriksaan
genetik, klinik, dan histokimia. Dua tipe lain yang jarang adalah Yellow Mutant
(YM) dan Syndroma Herman-Pudlak (SHP). Pernah dilaporkan suatu tipe lain yang
otosomal dominan.
Pada pemeriksaan histokimia, TPOC dan TNOCA dibedakan dengan tes hair
bulb :
TPOCA: pada inkubasi in vitro dengan tirosin dan dopa, rambut cepat
menjadi gelap
TNOCA: tidak mampu untuk menjadi gelap
Pada pemeriksaan ultrastruktur:
TPOCA: ada melanisasi dan, pada inkubasi dengan DOPA dan tirosin,
terjadi melanisasi penuh
TNOCA: tidak ada melanisasi san hanya ada melanosom stadium I dan II.

2.2.4 Manifestasi klinis


Dengan test genetik, dapat diketahui apa seseorang itu albino berikut variasinya,
tetapi tidak ada keuntungan medis kecuali pada kasus non-OCA disorders yang dapat
menyebabkan albino disertai dengan masalah medis lain yang dapat diobati. Umumnya
kelainan mata pada penderita albino adalah sebagai berikut :
Nystagmus, pergerakan bola mata yang irregular dan rapid dalam pola melingkar
Strabismus (crossed eyes or lazy eye).
Kesalahan dalam refraksi seperti miopi, hipertropi, dan astigmatisma.
Fotofobia, hipersensitivitas terhadap cahaya
Hipoplasi foveal kurang berkembangnya fovea (bagian tengah dari retina)
Hipoplasi nervus optikus kurang berkembangnya nervus optikus.
Abnormal decussation (crossing) dari fiber nervus optikus pada chiasma optikus.
Ambliopia, penurunan akuisitas dari satu atau kedua mata karena buruknya transmisi
ke otak, sering karena kondisi lain seperti strabismus.

Hilangnya pigmen juga membuat kulit menjadi terlalu sensitif pada cahaya
matahari, sehingga mudah terbakar, sehingga penderita albino sebaiknya menghindari
cahaya matahari atau melindungi kulit mereka.

2.2.5 Penatalaksanaan
Albino adalah suatu kondisi yang tidak dapat diobati atau disembuhkan, tetapi
ada beberapa hal kecil yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kualitas hidup. Yang
terpenting adalah memperbaiki daya lihat, melindungi mata dari sinar terang, dan
menghindari kerusakan kulit dari cahaya matahari. Kesuksesan dalam terapi tergantung
pada tipe albino dan seberapa parahnya gejala. Biasanya, orang dengan ocular albinism
lebih mempunyai pigmen kulit normal, sehingga mereka tidak memerlukan perlakuan
khusus pada kulit. Berikut beberapa tatalaksana terhadap albinisme :
a. Pembedahan
Biasanya, pengobatan untuk kondisi mata terdiri dari rehabilitasi visual.
Pembedahan mungkin untuk otot mata untuk menurunkan nystagmus, strabismus,
dan kesalahan refraksi seperti astigmatisma. Pembedahan strabismus mungkin
mengubahan penampilan dari mata. Pembedahan untuk nistagmus mungkin dapat
mengurangi perputaran bola mata yang berlebihan.
Efektifitas dari semua prosedur ini bervariasi, tergantung dari keadaan masing-
masing individu. Namun harus diketahui, pembedahan tidak akan mengembalikan
fovea ke kondisi normal dan tidak memperbaiki daya lihat binocular. Dalam kasus
esotropia (bentuk crossed eyes dari strabismus), pembedahan mungkin membantu
daya lihat dengan memperbesar lapang pandang (area yang tertangkap oleh mata
ketika mata melihat hanya pada satu titik).
b. Bantuan Daya Lihat
Kacamata dan bantuan daya lihat lain dapat membantu orang albino,
walaupun daya lihat mereka tidak dapat dikoreksi secara lengkap. Beberapa
penderita albino cocok menggunakan bifocals (dengan lensa yang kuat untuk
membaca), sementara yang lain lebih cocok menggunakan kacamata baca.
Penderita pun dapat memakai lensa kontak berwarna untuk menghalangi
tranmisi cahaya melalui iris. Beberapa menggunakan bioptik, kacamata yang
mempunyai teleskop kecil di atas atau belakang lensa biasa, sehingga mereka lebih
dapat melihat sekeliling dibandingkan menggunakan lensa biasa atau teleskop.
Walaupun masih menjadi kontroversi, banyak ophthalmologist menyarankan
penggunaan kacamata dari masa kecil sehingga mata dapat berkembang optimal.
c. Perlindungan terhadap Sinar Matahari
Penderita albino diharuskan menggunakan sunscreen ketika terkena cahaya
matahari untuk melindungi kulit prematur atau kanker kulit. Baju penahan sinar
matahari dan pakaian renang juga merupakan alternatif lain untuk melindungi kulit
dari cahaya matahari yang berlebihan.
Penggunaan kacamata dan topi dapat membantu pula. Barang lain yang dapat
membantu orang-orang dengan albino adalah menghindari perubahan tiba-tiba dari
situasi cahaya dan menambahkan kaca penahan sinar matahari. Cahaya lebih baik
tidak langsung mengenai posisi biasa dari penderita albino (seperti tempat duduk
mereka pada meja makan). Jika mungkin, penderita albino lebih memilih untuk
terkena cahaya di bagian punggung daripada di bagian muka.

2.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada penderita albino antara lain resiko terkena
kanker kulit kulit yang terbakar oleh sinar matahari. Paparan sinar matahari yang
panjang dapat mengakibatkan kulit menjadi kasar dan tebal (pachiderma). Gangguan
emosional, sosial dan stres. Penderita albino sering dikucilkan baik di dalam keluarga
atau dalam lingkungan sosialnya karena di cap negatif karena adanya anggapan
anggapan atau mitos.

2.2.7 Prognosis
Prognosis untuk albinisme adalah bahwa albino dengan paparan sinar matahari
tanpa tabir surya terlalu banyak atau perlindungan lainnya terhadap matahari akan
memiliki kesempatan lebih besar terkena kanker kulit. Albino harus mengenakan
pakaian buram dan tabir surya untuk membuatnya lebih aman berada di luar bahkan di
musim panas. Menjadi albinistic dapat mengubah seseorang hidup because.they telah
menjadi sadar sedang di luar dan dilindungi.
Orang dengan albinisme dapat berharap untuk memiliki hidup normal. Tapi
dalam kasus mereka yang menderita sindrom Hermansky-Pudlak, harapan hidup dapat
dikurangi karena penyakit paru-paru atau perdarahan disorders.Albinos yang telah
mengembangkan kanker kulit juga mungkin akan mengalami harapan yang lebih
rendah. Orang dengan albinisme mungkin menghadapi beberapa masalah sosial karena
kurangnya pemahaman dari pihak lain. Albinisme tidak menyebabkan keterlambatan
dalam pembangunan dan tidak juga keterbelakangan mental.
Tidak ada cara yang dikenal untuk mencegah albinisme. Konseling genetik
harus dipertimbangkan untuk individu dengan riwayat keluarga albinisme atau
hipopigmentasi.

2.3 Gangguan Pigmentasi Pascainflamasi


2.3.1.1 Hiperpigmentasi Post-inflamasi
2.3.1.1 Definisi
Hiperpigmentasi post inflamasi atau post inflammatory
hiperpigmentation (PIH) adalah masalah yang sering dihadapi dan hadir
sebagai sekuel dari beragam gangguan kulit. Pigmen yang berlebihan terkait
dengan beragam proses yang berpengaruh pada kulit seperti infeksi, reaksi
alergi, luka mekanik, reaksi pengobatan, reaksi fototoksik, trauma (terbakar),
dan penyakit-penyakit inflamasi (liken planus, lupus erytematosus, dermatitis
atopi). Secara khas, hiperpigmentasi post inflamasi sangat berbahaya pada
pasien dengan dermatosis likenoid dimana lapisan sel basal epidermisnya
terganggu.

Gb1. Hiperpigmentasi pasca acne

2.3.1.2 Epidemiologi
Hiperpigmentasi post inflamasi merupakan respon kulit pada inflamasi
yang sering ditemukan . Walaupun dapat mengenai semua orang,
perkembangannya lebih sering pada orang yang berkulit gelap dan dapat
mengenai semua umur. Insiden dari hiperpigmentasi post inflamasi pada laki-
laki dan perempuan adalah sama, atau tidak ada predileksi jenis kelamin.

2.3.1.3 Etiologi
a. Hiperpigmentasi post inflamasi dapat terjadi pada berbagai proses yang
mengenai kulit. Proses tersebut melibatkan reaksi alergi, infeksi, trauma,
erupsi fototoksik.
b. Penyakit inflamasi yang sering yang mengakibatkan hiperpigmentasi post
inflamasi antara lain acne excorie, lichen planus, systemic lupus
erythematosus (SLE), dermatitis kronis, dan cutaneous T-cell lymphoma,
terutama varian erythrodermic
c. Terpapar sinar UV, bahan kimia dan tindakan medikasi (tetracycline,
bleomycin, doxorubicin, 5-fluorouracil, dll)

2.3.1.4 Patofisiologi
Hiperpigmentasi post inflamasi disebabkan oleh salah satu dari proses
melanosis epidermis ataupun melanosis dermis. Respon inflamasi epidermis
menyebabkan pelepasan dan kemudian oksidasi dari asam arakidonat
menjadi prostaglandin, leukotrien dan produk lainnya. Produk inflamasi ini
merubah aktivitas dari sel imun dan melanosit. Spesifiknya, produk inflamasi
ini menstimulasi melanosit epidermal, menyebabkan peningkatan sintesis
melanin dan kemudian meningkatkan transfer pigmen untuk mengelilingi
keratinosit. Demikian, meningkatkan stimulasi dan transfer granul melanin
menghasilkan hipermelanosis epidermal.
Sebaliknya, melanosis dermal terjadi ketika inflamasi mengganggu lapisan sel
basal, menyebabkan pigmen melanin terlepas dan kemudian terperangkap oleh sel
imun besar yang dikenal sebagai makrofag pada papilla dermis.

2.3.1.5 Pemeriksaan Diagnostik


a. Anamnesis,Diagnosis hiperpigmentasi post inflamasi sebaiknya
dipertimbangkan jika ada riwayat proses patologis atau luka pada daerah
yang mengalami hiperpigmentasi.
b. Pemeriksaan fisis:
Penyebaran lesi bergantung pada daerah yang mengalami inflamasi
sebelumnya
Warna lesi berkisar antara coklat terang-hitam. Gambaran coklat terang
jika pigmennya terjadi di epidermis dan gambaran hitam jika lesi
mengandung melanin dermis.

2.3.1.6 Penatalaksanaan
Penanganan hiperpigmentasi post inflamasi (PIH) cenderung susah dan
membutuhkan proses yang lama yaitu sering membutuhkan 6-12 bulan agar
mencapai hasil yang diinginkan untuk depigmentasi. Setiap pilihan
pengobatan berpotensi memperbaiki hipermelanosis epidermal, tetapi tidak
menjamin efektif untuk hipermelanosis dermal. Saat ini penggunaan broad-
spectrum sunscreen adalah bagian yang penting untuk melakukan terapi.
Berbagai penanganan topikal telah digunakan untuk mengobati
hiperpigmentasi epidermal, dengan beragam tingkat keberhasilan. Agen-agen
tersebut adalah hydroquinone, tretinoin cream, kortikosteroid, glycolic acid
(GA), dan azelaic acid. Kombinasi dari krim topikal dan gel, chemical peel,
dan sun screens dapat menjadi sangat dibutuhkan untuk perbaikan yang
berarti. Kombinasi tersebut hanya efektif untuk hiperpigmentasi epidermal.
Topikal tretinoin 0,1% telah efektif untuk orang Afro-Amerika. GA
peel dikombinasikan dengan tretinoin dan hydroquinone adalah penanganan
efektif untuk hiperpigmentasi post inflamasi untuk orang yang bercorak kulit
gelap. Aqueous gel retinoic acid 0,1-0,4% digunakan bersamaan dengan
hydroquinon-zalf lactic acid untuk memutihkan. Setelah perbaikan cukup pada
hiperpigmentasi di capai, kortikosteroid dapat digunakan secara topikal
dengan hydroquinon untuk mendukung penyembuhan. Kombinasi dari
beragam agen terapi topikal telah memperlihatkan keuntungan, terutama pada
wajah.

2.3.1.7 Prognosis
Morbiditas pada hiperpigmentasi post inflamasi berkaitan dengan
proses inflamasi yang mendasarinya. Hingga saat ini belum ditemukan kasus
kematian yang diakibatkan oleh hiperpigmentasi post inflamasi.

2.3.1.8 Pathway Hiperpigmentasi post inflamasi


- Reaksi alergi,
infeksi, trauma, Pelepasan dan
erupsi fototoksik Respon inflamasi oksidasi
- Penyakit inflamasi as.arakidonat
epidermis
- Terpapar sinar UV,
bahan kimia, dan
tindakan medikasi Produk inflamasi

Prostaglandin,
leukotrien, dan
produk lainnya.

Melanosit epidermal
terstimulasi

Membutuhkan MK : Kerusakan Sintesis melanin


perawatan khusus integritas kulit
Transfer pigmen
MK : Kurang Klien merasa malu
pengetahuan akan kondisinya Hipermelanosis
epidermal
MK : Ansietas MK : Gangguan
body image Hiperpigmentasi
kulit

2.3.2 Hipopigmentasi Pascainflamasi


2.3.2.1 Definisi
Hipopigmentasi pasca inflamasi adalah hilangnya warna kulit
(pigmentasi) setelah kulit mengalami cedera. Pigmen yang memproduksi sel
(melanosit) rusak atau hancur dalam proses penyembuhan.

2.3.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Siapapun bisa mengalami kehilangan pigmen, tetapi lebih sering
terjadi pada orang berkulit hitam, karena mereka ingin memutihkan wajah
dengan menggunakan kosmetik pemutih. Hal ini dapat terjadi setelah cedera
kulit seperti luka bakar, operasi, jerawat, eksim, cacar air, dermatitis seboroik,
dan lain sebagainya. Beberapa obat dapat menyebabkan hipopigmentasi pada
orang yang berkulit gelap (misalnya, krim kortison atau benzoyl peroxide).

2.3.2.3 Tanda dan Gejala


1. Satu atau lebih area putih atau lebih terang dari kulit.
2. Ukuran, bentuk dan area yang terpengaruh bergantung pada
penyebabnya

2.3.2.4 Penatalaksanaan
1. Menghentikan konsumsi krim kortison atau lotion yang mengandung
benzoyl peroxide.
2. Jika daerah yang mengalami hipopigmentasi hanya sedikit dan tidak
memiliki masalah kulit yang mendasari, tidak memerlukan perawatan
khusus.
3. Jika daerah hipopigmentasi memiliki riwayat cedera kulit sebelumnya
atau mengalami mati rasa pada daerah tersebut, segera cari pertolongan
medis.

2.3.2.4 Pemeriksaan Diagnostik


Bergantung pada diagnosis dan penyebab. Biopsi pada lesi
hipomelanosis mungkin diperlukan untuk menentukan apa yang menyebabkan
perubahan warna tersebut.

2.3.2.5 Patofisiologi
Obat-obatan dan zat-zat kimia dapat menyebabkan hilangnya pigmen
kulit. Hal ini dapat terjadi akibat zat-zat yang digunakan dalam pekerjaan,
tetapi yang paling sering menjadi penyebab adalah krim pemutih kulit, yang
dijual terutama di masyarakat Afro-Karibia dan Asia. Kandungan yang aktif
biasanya adalah hidrokuinon, yang dapat digunakan untuk terapi.
Banyak kelainan kulit dengan peradangan menyebabkan timbulnya
hipopigmentasi sekunder atau pascaperadangan, akibat adanya gangguan pada
keutuhan epidermis dan sistem produksi melain (missal eksema dan psoriasis).
Kelainan kulit tersebut dapat meninggalkan bekas berupa hipopigmentasi
temporer. Akan tetapi, peradangan dapat menghancurkan semua melanosit
(missal pada jaringan parut, sesudah terjadi luka bakar, dan pasca tindakan
krioterapi).
Berbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan
hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus discoid, dermatitis atopic,
psoriasis, parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk
kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hal ini
khas pada kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesudah menderita psoriasis.
Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan
mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama
pada area yang terpapar matahari.
Pathogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dan ganguan transfer
melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi
mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin
akibat meningkatnya epidermal turnover.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan
sebelumnya. Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi
hipomelanosis akan menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya.
Terapi biasanya sesuai dengan penyakit dasarnya. Setelah proses
inflamasi menyembuh maka warna kulit asli akan perlahan kembali. Hal ini
mungkin dapat dipercepat dengan paparan sinar matahari.

Obat-obatan dan zat kimia, pasca peradangan (Eksema, Psoriasis, Lupus


eritematosus discoid, Dermatitis atopic), jaringan parut, luka bakar, pasca
tindakan krioterapi

Gangguan pada
keutuhan epidermis dan
sistem produksi
melanin

Transfer melanosom dari melanosit


ke keratinosit terganggu (menurun)
Hipomelanosit

Hipopigmentasi MK : Kerusakan Membutuhkan


sekunder pada kulit integritas kulit perawatan khusus

Klien merasa malu MK : Kurang


akan kondisinya pengetahuan

MK : Gangguan MK : Ansietas
body image

2.4 Melasma
2.4.1 Definisi
Kelainan warna kulit akibat berkurang atau bertambahnya
pembentukan pigmen melanin pada kulit. Warna kulit manusia di tentukan oleh
berbagai pigmen, yang berperan pada penentuan warna kulit adalah karoten,
melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin bentuk reduksi, yang paling berperan
adalah pigmen melanin. Melanosis adalah kelainan pada proses pembentukan
pigmen melanin kulit : hipermelanosis bila produksi pigmen melanin
bertambah, hipomelanosis bila reproduksi pigmen melanin berkurang.
Hipermelanosis dapat di sebabkan oleh sel melanosit bertambah
maupun bertambah maupun hanya karena pigmen melanin saja yang bertambah.
Sebaliknya leukoderma dapat di sebabkan oleh pengurangan jumlah pigmen
melanin atau berkurang maupun tidak adanya sel melanosit. Hipomelanosis
pengurangan jumlah pigmen melanin atau berkurang maupun tidak adanya sel
melanosit.
Melasma Adalah Suatu Hipermelanosis yang didapat yamg umumnya
simestri berupa makula yang tidak merata berwarna coklat muda sampai coklat
tua, mengenai area yang terpanjan sinar ultra violet dengan tempat predileksi
pada pipi, dahi, daerah atas bibir, hidung, dan dagu.

2.4.2 Etiologi
Melasma sampai sekarang ini belum di ketahui pasti. Faktor kausatif yang
di anggap berperan pada patogenesis melasma adalah
a) Sinar ultra violet : spektrum sinar matahari ini merusak gugus sulfhidril di
epidermis yang merupakan penghambat enzim tirosinase dengan cara
mengikat ion cu dari enzim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim
tirosinase tidak di hambat lagi sehingga memicu proses melanogenesis.
b) Hormon : misalnya estrogen , progesteron, dan MSH ( melanin stimulating
hormone ) berperan pada terjadinya melasma. Pada kehamilan, melasma
biasanya meluas pada trimester ke-3, pada pemakai pil kontrasepsi,
melasma tampak 1 bulan sampai 2 tahun setelah dimulai pemakaian pil
tersebut.
c) Obat : misalnya difenil hidantoin, mesatoin, klorpromasin, sitostatik, dan
minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun di
lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang
melanogenesis.
d) Genetik : di laporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-7% , karna faktor
keturunan.
e) Ras : melasma banyak di jumpai pada golongan hispanik dan golongan
kulit berwarna gelap.
f) Kosmetika : pemakai kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna,
atau bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosintesivitas yang dapat
mengakibatkan timbulnya sinar hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan
sinar matahari.
g) Idiopatik.

2.4.3 Patofisiologi
Melasma dapat mengenai semua ras terutama penduduk yang tinggal
di daerah tropis. Melasma di jumpai pada wanita, meskipun di dapat pada laki-
laki 10 % adalah idiopatik dan terutama sering terjadi eksaserbasi setelah
paparan sinar matahari, kehamilan, pemakaian kontrasepsi oral dan obat-obatan
tertentu. Melasma juga ada hubungannya dengan faktor genetik dan kelainan
endokrin. Di indonesia perbandingan kasus wanita dan pria 24: 1. Terutama
tampak pada wanita usia subur riwayat langsung terkena pajanan sinar matahari.
Insiden terbanyak pada usia 30-40 tahun.
Kelainan ini dapat mengenai wanita hamil,wanita pemakai pil
kontrasepsi, pemakai kosmetik, pemakai obat-obat, dan lain-lain.

2.4.4 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis melasma di tinjau dari gambaran klinis,
pemeriksaan hispatologik, dan pemeriksaan dengan sinar wood. Melasma dapat
di bedakan berdasarkan gambaran klinis , pemeriksaan hispatologik, dan
pemeriksaan dengan sinar wood.
Berdasarkan gambaran klinis :
1. Bentuk sentro-fasial meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial,
bawah hidung, serta dagu. (63%).
2. Bentuk malar meliputi hidung dan pipi bagian lateral (21%)
3. Bentuk mandibular meliputi daerah mandibula (16%)
Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar wood :
1. Tipe epidermal , melasma tampak lebih jelas dengan sinar wood di
bandingkan dengan sinar biasa.
2. Tipe dermal , dengan sinar wood tak tampak warna kontras di banding
dengan sinar biasa.
3. Tipe campuran, tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak
jelas.
4. Tipe sukar, dinilai karena warna kulit yang gelap, dengan sinar wood lesi
menjadi tidak jelas, sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat jelas.
Perbedaan tipe-tipe in sangat berarti pada pemberian terapi, tipe dermal
lebih sulit di obati dibanding tipe epidermal.
Berdasarkan pemeriksaan histopatologis :
1. Melasma, tipe epidermal, umumnya berwarna coklat , melanin terutama
terdapat pada lapisan basal dan suprabasal , kadang-kadang di seluruh
stratum korneum dan stratum spinosum.
2. Melasma tipe dermal, berwarna coklat kebiruan, terdapat makrofag
bermelanin di sekitar pembuluh darah di dermis bagian atas dan bawah,
pada dermis bagian atsa terdapat fokus-fokus infiltrat.

2.4.5 Maninfestasi klinis


Makula coklat, batas jelas, ireguler seperti peta dan biasanya bersifat
simetris. Bersifat khronik dan mengalami eksaserbasi bila kena sinar matahari
atau sinar buatan UVA dan UVB. Pada multipara melasma terjadi setelah
kehamilan yang berulang-ulang. Melasma sering mengadakan re solusi setelah
melahirkan atau penghentian oral kontrasepsi.
Ada 3 bentuk melasma :
a. Bentuk sentrofasial : pada pelipis, dahi , alis, dan bibir atas,
b. Bentuk Malar : pada pipi dan hidung.
c. Bentuk Mandibular : pada ramus mandibular, dagu.
Terapi hanya berhasil pada tipe epidermal dan bagian epidermalnya
saja dari tipe campuran. Pemeriksaan dengan lampu Wood pada tipe epidermal
tampak lebih jelas (kontras) dari pada dengan sinar biasa, sedangkan pada tipe
dermal tidak.

2.4.6 Pemeriksaan Diagnosis


Pemeriksaan diagnosis ada 3 yaitu pemeriksaan hispatologik,
pemeriksaan mikroskop elektron, dan pemeriksaan sinar wood.
a. Pemeriksaan histopatologik
Terdapat 2 tipe hipermelanosis :
1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan
suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai stratum
korneum ; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah melanosit,
sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada keratinosit dan
sel-sel stratum korneum.
2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh darah
dalam dermis bagian atas terdapat fokus-sokus infiltrat.
b. Pemeriksaan mikroskop elektron
Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi kesan
aktivitas melanosit meningkat.
c. Pemeriksaan dengan sinar wood
Tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontraks
Tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontrass
Tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontraks ada yang
tidak
Tipe tidak jelas : dengan sinar wood lesi menjadi tidak jelas,
sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat.
Diagnosis melasma di tegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis.
Untuk menentukan tipe melasma di lakukan pemeriksaan sinar wood,
sedangkan pemeriksaan histopatologik hanya di lakukan pada kasus kasus
tertentu.

2.4.7 Pencegahan
a) Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta kambuhnya
melasma adalah perlindungan terhadap sinar matahari. Penderita di
haruskan menghindari pajanan langsung sinar ultra violet terutama antara
pukul 09.00-15.00. sebaiknya jika keluar rumah menggunakan payung
atau topi yang lebar. Melindungi kulit dengan memakai tabir surya syang
tepat, baik mengenai bahan maupun cara pemakainnya. Tanpa pemakain
tabir surya setiap hari pengobatan sulit berhasil. Pemakain tabir surya di
anjurkan 30 menit sebelum terkena pajanan sinar matahari. Ada 2 macam
tabir surya yang di kenal yaitu tabir surya fisis adalah bahan yang dapat
memantulkan/menghamburkan ultra violet , misalnya : titanium oksida,
seng oksida, kaolin . sedangkan tabir surya kimiawi adalah bahan yang
menyerap ultra violet. Tabir surya kimiawi ada 2 jenis yaitu : yang
mengandung PABA ( para amino benzoic acid ) atau derivatnya, misalnya
octil PABA, yang tidak mengandung PABA ( non PABA ), misalnya :
bensofenon, sinamat, salisilat, dan antranilat.

b) Menghilangkan faktor yang merupakan penyebab melasma misalnya


menghentikan pemakaian pil kontrasepsi, menghentikan pemakaian
kosmetika yang berwarna atau mengandung parfum, mencegah obat
contohnya hidantoin, sitostatika, obat antimalaria, dan minosiklin.

2.4.8 Penatalaksanaan
Pengobatan di bagi menjadi 3 yaitu pengobatan topikal, pengobatan
sistemik dan pengobatan khusus.
1. pengobatan topikal
a. hidokinon
hidrokinon di pakai dengan konsentrasi 2-5%. Krim tersebut
dipakai pada malam hari di sertai pemakaian tabir surya pada siang
hari. umumnya tampak perbaikan dalam 6-8 minggu dan di lanjutkan
sampai 6 bulan. Efek samping adalah dermatitis kontak iritan atau
alergik. Setelah penghentian penggunaan hidrokinon sering terjadi
kekambuhan.
b. Asam retinoat ( retinoic acid/tretinoin)
Asam retinoat 0.1 terutama di gunakan sebagai terapi tambahan
atau terapi kombinasi. Krim tersebut juga di paki pada malam hari,
karena pada siang hari dapat terjadi fotodegradasi. Kini asam retinoat
di pakai sebagai monoterapi, dan di dapatkan perbaikan klinis secara
bermakna, meskipun berlangsung agak lambat. Efek samping berupa
eritema,deskuamasi dan fotosintesis.
c. Asam azeleat ( azeleic acid )
Asam azeleat merupakan obat yang aman untuk di pakai.
Pengobatan dengan asam azeleat 20% selama 6 bulan memberikan
hasil yang baik. Efek sampingnya rasa panas dan gatal.

2. Pengobatan sistemik
a. Asam askorbat/ vitamin C
Vitamin C mempunyai efek merubah melanin benin bentuk
oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi yang berwarna lebih cerah
dan mencegah pembentukan melanin dengan merubah DOPA kinon
menjadi DOPA.
b. Glutation
Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sulfhdril (SH) yang
berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan bergabung
dengan cuprum dari tiriosinase.
3. Tindakan khusus
Tindakan khusus terbagi menjadi 2, yaitu pengelupasan kimiawi dan
bedah laser.
a. Pengobatan kimiawi
Pengelupasan kimiawi dapat membantu pengobatan kelainan
hiperpigmentasi. Pengelupasan kimiawi di lakukan dengan
mengoleskan asam glikolat 50-70% selama 4 sampai 6 menit di
lakukan setiap 3 minggu selama 6 kali. Sebelum di lakukan
pengelupasan kimiawi di berikan krim asam glikolat 10% selama 14
hari.
b. Bedah laser
Bedah laser dengan menggunakan laser Q-switched Ruby dan
laser argon, kekambuhan dapat juga terjadi.

2.4.10.1 Komplikasi
Pemakaian hidrokuinan dalam waktu yang lama juga dapat
menyebabkan reaksi iritasi, sensitasi ringan di tandai dengan rasa
gatal , rasa terbakar, dan dermatitis alergika. Selain itu pemakaian
azelaic acid mempunyai kemampuan untuk memutihkan kulit ,
hasilnya hampir sama dengan hidrokuinon tetapi dapat megakibatkan
rasa gatal dan menyengat.

2.4.10.2 Prognosis
Prognosis melasma pada umumnya baik jika ditangani secara
adekuat dan tergantung pada faktor penyebabnya. Hiperpigmentasi
pada melasma tipe epidermal mempunyai prognosis yang lebih baik
daripada tipe dermal. Hal ini disebabkan karena pigmen pada lapisan
dermis butuh waktu yang lebih lama untuk berubah dibandingkan
pigmen pada lapisan epidermis karena tidak ada terapi efektif yang
mampu menghilangkan pigmen di lapisan dermis.
Melasma dapat timbul pada wanita hamil dan pada penggunaan
kontrasepsi oral. Hiperpigmentasi yang timbul pada masa kehamilan
biasanya menghilang secara spontan setelah beberapa bulan setelah
melahirkan. Pada penggunaan kontrasepsi oral, hiperpigmentasi
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh. Melasma dapat
menetap selama beberapa tahun setelah penghentian kontrasepsi oral.
Kasus-kasus resisten atau rekuren sering terjadi dan pasti terjadi
jika pasien tidak memperhatikan dengan baik untuk menghindari
cahaya matahari secara sempurna. Sehingga pengobatan dan perawatan
kulit pada pasien melasma harus dilakukan secara teratur dan
sempurna karena melasma bersifat kronik residi
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus:
Ny.C usia 30 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan kulit wajah tampak
berwarna gelap dan timbul bercak-bercak gelap/kehitaman sekitar dagu, dahi dan pipi.
Bercak kehitaman itu mulai muncul 2 tahun yang lalu semenjak dia menggunakan
kontrasepsi, dan bertambah parah semenjak Ny.C menggunakan kosmetik yang dijual bebas
di pasaran.

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
a. Data Demografi klien :
1) Nama : Ny. C 7) Agama : Islam
2) Usia : 30 tahun 8) Tanggal MRS : 28 April 2015
3) Jenis Kelamin : Perempuan 9) Jam MRS : 16.00 WIB
4) Suku / bangsa : Jawa/ Indonesia 10) Diagnosa : Melasma
5) Pekerjaan : wiraswasta
6) Alamat : Malang
Identitas Penanggung Jawab :
1) Nama : Tn. D
2) Umur : 40 tahun
3) Jenis kelamin : Laki-laki
4) Pendidikan/ pekerjaan : SLTA/ wiraswasta
5) Hubungan dg klien : Suami

b. Keluhan Utama: klien mengatakan mengalami bercak hitam pada daerah wajah
c. Riwayat Penyakit Sekarang: kulit wajah tampak berwarna gelap dan timbul
bercak-bercak gelap sekitar dagu, dahi dan pipi.
d. Riwayat Penyakit sebelumnya : -
e. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Komposisi keluarga :
Lingkungan rumah dan komunitas : Lingkungan sekitar rumah
pasien berada di area pemukiman padat penduduk
Kultur dan kepercayaan : -
Perilaku yang dapat mempengaruhi kesehatan : sering
menggunakan kosmetik secara sembarangan dan juga sering
terpapar sinar matahari.
Persepsi keluarga tentang penyakit ibu : cobaan Tuhan
3.1.2 Pemeriksaan Fisik
a. B1 (breath) : RR 70 x/menit, Suhu (36 C), napas normal
b. B2 (blood) : TD 120/80 mmhg, HR normal
c. B3(brain) : gelisah
d. B4 (bladder) : warna urin dan feses normal
-Urine : warna kuning, jernih
-Feses : warna kuning pekat
e. B5 (bowel) : BB/TB (65/155),
f. B6 (bone) : terjadi bercak hitam di daerah wajah ( di sekitar tulang pipi bagian atas)
3.1.3 Pemeriksaan Penunjang
a) pemeriksaan dengan histopatologik
untuk mengetahui melanosit dan untuk mengetahui makrofag bermelanin di sekitar
pembuluh darah.
b)Pemeriksaan mikroskop elektron
mikroskop elektron untuk gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal
memberi kesan aktivitas melanosit meningkat.
c) Pemeriksaan dengan sinar wood
Untuk mengetahui tipe-tipe lesi dan kontrasnya .
tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kotras apabila di sinar wood,
sedangkan tipe tipe tidak jelas sinar ood lesi menjadi tidak jelas edangkan
dengan sinar biasa jelas terlihat.

3.2 Analisa Data

Data Etiologi Masalah Keperawatan

DS : klien menyatakan malu adanya proses melanogenesis Gangguan citra tubuh


terhadap kondisi wajahnya berhubungan
terjadi hiperpigmentasi pada
DO : terdapat hiperpigmentasi kulit wajah
pada daerah wajah
gangguan citra tubuh
DS : Ny. T menyatakan tidak Reaksi kosmetik Gangguan integritas
nyaman dengan keadaannya jaringan/kulit
Terjadi fotosensitivitas
DO : Keadaan kulit Ny.T
terjadi hiperpigmentasi pada
timbul bercak hitam
kulit wajah

kerusakan integritas kulit

DS : Ny.T jarang kerusakan integritas kulit Koping individu inefektif


bersosialisasi, lebih sering
gangguan body image
menutup diri, merasa

koping individu inefektif


DO : sering menunduk apabila
diajak bicara

DS : Ny. T merasa kurang Kerusakan integritas kulit Ansietas


percaya diri dengan
Memerlukan perawatan
keadaannya
khusus
DO : -
Kurang pengetahuan

Ansietas

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat


hiperpigmentasi pada kulit

2. Gangguan integritas jaringan / kulit berhubungan dengan fotosensitivitas pada kulit

3. Koping individu inefektif berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat


paparan radiasi sinar ultraviolet
4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan penyakit yang diderita

3.4 Intervensi Keperawatan

1. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat


hiperpigmentasi pada kulit
Tujuan :
Individu akan mengimplementasikan pola koping yang baru dan menyebutkan serta
mendemonstrasikan penerimaan atas penampilannya
Kriteria Hasil :
a. Klien lebih percaya diri
b. Lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungan

No Intervensi Rasional

1. bangun hubungan saling percaya antara Hal ini menunjukkan penerimaan dan
perawat dengan klien meningkatkan rasa percaya diri klien

2. dukung interaksi sosial klien kepada Memperkuat kesan bahwa individu


keluarga dan lingkungan tersebut diterima dan bahwa sistem
pendukug sebelumya masih ada

3. Berikan intervensi yang spesifik akan Membantu perawat merencanakan


situasi tertentu intervensi yang efektif guna memenuhi
Contoh :
kebutuhan klien
Gali alternatif yang realistis dan berikan
dukungan
Gali kekuatan dan sumber daya yang
ada bersama individu sebagai kekuatan
internal

2. Gangguan integritas jaringan / kulit berhubungan dengan fotosensitivitas pada kulit


Tujuan : Pasien akan memperlihatkan penyembuhan jaringan / kulit yang progresif
Kriteria Hasil :
a. Bercak kehitaman berkurang
b. Menunjukkan perbaikan kulit yang progresif

No Intervensi Rasional
1. anjurkan pasien agar untuk sementara Mencegah agar tidak terjadi komplikasi
menghentikan pemakaian kosmetik lebih lanjut

2. sarankan pasien agar mengkonsumsi Vitamin E sangat berguna untuk


makanan yang baik untuk kesehatan mengembalikan kesehatan kulit
kulit (makanan yang mengandung
vitamin E)

3. Kolaborasi dengan dokter spesialis kulit Untuk penanganan lebih tepat dalam
untuk penanganan lebih lanjut penanganan terjadinya bercak kehitaman

3. Koping individu inefektif berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat


paparan radiasi sinar ultraviolet
Tujuan : Individu bisa menemukan upaya yang tepat serta membuat keputusan untuk
mengubah situasi provokatif di lingkungan personal
Kriteria Hasil :
a. Pasien dapat mengungkapkan perasaan yang berhubungan dengan kondisi emosional
b. Pasien dapat mengidentifikasi pola respons dan dampaknya
c. Pasien dapat mengidentifikasi kekuatan diri dan menerima dukungan melalui
hubungan intrapersonal

No Intervensi Rasional

1. Kaji faktor penyebab dan faktor Membantu perawat merencanakan


penunjang intervensi yang efektif guna memenuhi
kebutuhan klien

2. Bina hubungan saling percaya Membantu klien dalam mempertahankan


keseimbangan emosional ketika
berhubungan dengan orang lain

3. Kaji status koping individu saat ini Membantu perawat dengan memperoleh
informasi tambahan sebagai bahan untuk
merencanakan intervensi lanjutan

4. Bantu klien mengembangkan strategi Membantu klien dalam mempertahankan


pemecahan masalah yang tepat dengan konsep diri dan menjaga hubungan yang
berdiskusi menyenangkan dengan orang lain.

4. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan akan penyakit yang diderita


Tujuan : pasien merasa lebih nyaman secara psikologis dan fisiologis setelah
diberikan tindakan keperawatan
Kriteria Hasil :
a. Mekanisme koping pasien efektif.
b. Pasien menyatakan lebih baik daripada sebelumnya

No Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat ansietas pasien Untuk mengetahui seberapa cemas paien


dengan kondisinya

2. Beri kenyamanan dan ketentraman hati: Meningkatkan rasa nyaman pasien dengan
damping pasien dengan komunikasi penekanan penjelasan bahwa setiap orang
teurapetik pasti akan merasakan cemas

3. Berikan Health Eaducation mengenai Meningkatkan pengetahuan pasien


penyakit yang dideritanya mengenai penyakit yang dideritanya serta
member pemahaman tentang pengobatan
yang harus dijalani

4. Gali Intervensi yang menurunkan Mengurangi kecemasan dengan relaksasi


kecemasan : missal terapi music pada indera tubuh yang lain
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kelainan pigmentasi adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih putih,
lebih hitam, atau coklat dibandingkan dengan warna kulit normal serta bersifat
macular serta sedikit banyak dipengaruhi oleh perubahan warna bersumber pada
melanin. Disamping itu, hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh berbagai macam
gaktor mulai dari genetik, pajanan bahan kimia, idopatik dan lain sebagainnya.
Macam-macam kelainan pigmentasi pada kulit ada beberapa diantaranya adalah
vitiligo, albino, hipopigmentasi pasca inflamasi serta melanosis.
Vitiligo yang merupakan hipomelanosis idiopatik di dapat ditandai dengan
adanya macula putih yang dapat meluas. Sedangkan Albino atau Albinisme
merupakan salah satu bentuk dari hypopigmentary congenital disorder. Kemudian
hipopigmentasi pasca inflamasi merupakan hilangnya warna kulit (pigmentasi)
setelah kulit mengalami cedera. Sementara itu melanosis merupakan kelainan pada
proses pembentukan pigmen melanin kulit yg berupa hipermelanosis bila produksi
pigmen melanin bertambah, hipomelanosis bila reproduksi pigmen melanin
berkurang. Penatalaksanaan asuhan keperawatannya pun berbeda tergntung pada
etiologi tiap kelainan.

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5.Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, hal 106-109 dan 296-298
2. Abdullah Beni.2007.Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah Sakit. Jakarta :
EGC, hal 38-41 dan 108-112
3. Budimulja U, dkk. 2005. Dermatomikosis superfisial. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hal 58-72
4. Siregar RS. 2005. Penyakit Jamur Kulit Edisi 2.Jakarta : EGC, hal 46-50
5. SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNAIR. 2007. Altas Penyakit Kulit dan Kelamin.
Surabaya : Airlangga University Perss, hal 86-91
6. Mawarli. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates, hal 81-82 dan 151-156
7. Amiruddin Dali. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Yogyakarta : LkiS, hal 395-403
8. Graham R, Burs T. 2003. Lecture Notes Dermatologi Edisi 8. Jakarta : PT Glora Aksara
Pratama, hal 127-130

Anda mungkin juga menyukai