Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIAGNOSA


CONGENITAL TALIPES EQUINO VARUS (CTEV)

Dosen pembimbing :
Ns . Rahma Annisa., M., Kep

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6 A:

1. Mita Hanum Ariasari P05120220023


2. Muhammad Fadhil Zaidli P05120220024
3. Eggy Lestari P051202200
4. Dwi Anggriyani P051202200
5. Yulia Anggraini P051202200

Kelas : 2A DIII Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU


KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
DIPLOMA III KEPERAWATAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
karunia-Nyalah sehingga kelompok dapat menyelesaikan Makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Diagnosa Medis
Congenintal Talipes Equino Varusni (CTEV).

Tujuan dari penulisan Makalah ini adalah sebagai pengantar dan


pedoman dalam pembuatan Maklaah di Poltekkes Kemenkes Bengkulu.
Selain, itu tujuan lain dari pembuatan makalah ini tercapainya tugas
keperawatan anak yang sudah diberikan oleh dosen keperawatan anak.
Dalam pembuatan makalah ini kelompok tentu mengalaami kesulitan.
Namun berkat dorongan, dukungan dan semangat dari anggota
kelompok serta orang terdekat kami sehingga kelompok mampu
menyelesaikannya dengan baik.

Kelompok menyadari dalam penulisan makalah ini masih


terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kelompok
mengharapkan kiranya kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak dan nantinya akan digunakan untuk perbaikan dimasa mendatang.

Bengkulu, Februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah...........................................................1


B. Rumusan Masalah......................................................................2
C. Tujuan Penulisan........................................................................2
D. Manfaat Penulisan.....................................................................2

BAB II PEMBAHASAN............................................................................4

A. Definisi CTEV............................................................................4
B. Etiologi.........................................................................................4
C. Manifestasi Klinis......................................................................6
D. Klasifikasi...................................................................................8
E. Patofisiologi................................................................................9
F. Penatalaksanaan.........................................................................9
G. Komplikasi..................................................................................13
H. Pemeriksaan Diagnotik.............................................................13

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CTEV...................17

A. Pengkajian...................................................................................17
B. Diagnosa Keperawatan.............................................................20
C. Intervensi Keperawatan............................................................21
D. Implementasi Keperawatan......................................................25
E. Evaluasi Keperawatan...............................................................25

BAB IV PENUTUP.....................................................................................26

A. Kesimpulan..................................................................................26
B. Saran.............................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh
yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang ibu dan seluruh
keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi
yang lahir kurang sempurna karena mengalami kelainan bentuk anggota
tubuh. Salah satu kelainan bawaan pada kaki yang sering dijumpai pada bayi
yaitu kaki bengkok atau CTEV (Congenital Tlipes Equino Varus). CTEV
adalah satu anomaly ortopedik kongenital yang sudah lama dideskripsikan
oleh Hippocrates pada tahun 400 SM (Miedzybrodzka, 2002).

CTEV atau biasa disebut Clubfoot merupakan istilah umum untuk


menggambarkan deformitas umum dimana kaki berubah/bengkok dari
keadaan atau posisi normal. Beberapa dari deformitas kaki termasuk
deformitas ankle disebut dengan tallies yang berasal dari kata talus (yang
artinya ankle) dan pes ( yang artinya kaki). Deformitas kaki dan ankle dipilih
tergantung dari posisi kelainan ankle dan kaki.

Clubfoot yang terbanyak merupakan kombinasi dari beberapa posisi


dan angka kejadian yang paling tinggi adalah tipe Talipes Equino Varus
(TEV) dimana kaki posisinya melengkung ke bawah dan ke dalam dengan
berbagai tingkat keparahan. Unilateral clubfoot lebih umum terjadi
disbandingkan tipe bilateral dan dapat terjadi sebagai kelainan yang
berhubungan dengan sindrom lain seperti aberasi kromosomal, antrogriposis
(imobilitas umum dari persendian), cerebral palsy atau spina bifida. Frekuensi
clubfoot dari populasi umum adalah 1: 700 sampai 1: 1000 kelahiran hidup
dimana anak laki-laki dua kali lebih sering daripada perempuan.

Berdasarkan data 35% terjadi pada kembar monozigot dan hanya 3%


pada kembar dizigot. Ini menunjukkan adanya peranan faktor genetika.
Insidensi pada laki-laki 65% kasus, sedangkan pada perempuan 30-40%
kasus. Pada pasien pengambilan cairan amnion, deformitas ekstremitas bawah
kira-kira mencapai 1-1,4% kasus. Sedangkan pada ibu yang mengalami pecah
ketuban kira-kira terdapat 15% kasus. Epidemiologi CTEV terbanyak pada
kasus-kasus amniotic.

Bayi yang lahir dengan keadaan sehat serta memiliki anggota tubuh
yang lengkap dan sempurna merupakan harapan dari seorang ibu dan seluruh
keluarga. Namun terkadang pada beberapa keadaan tertentu didapati bayi
yang lahir kurang sempurna karena mengalami kelainan bentuk anggota
tubuh. Salah satu kelainan adalah kelainan bawaan pada kaki yang sering
dijumpai pada bayi yaitu kaki bengkok atau CTEV (Congenital Talipes
Equino Varus). CTEV adalah salah satu anomaly ortopedik kongenital yang
sudah lama di deskripsikan oleh Hippocrates pada tahun 400 SM
(Miedzybrodzka, 2002).

B. Rumusan Masalah
1. Mendeskripsikan definisi, etiologi, manisfestasi klinis, klasifikasi,
patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan, dan pemeriksaan dignotik
dari CTEV
2. Mendeskripsikan konsep asuhan keperawatan pada pasien anak CTEV
C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, klasifikasi,
patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan, dan pemeriksaan dignotik
dari CTEV
2. Menjelaskan bagaimana asuhan keperawatan yang akan diberikan
kepada pasien anak CTEV
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada
Anak Dengan Diagnosa Conenital Talipes Equino Varus (CTEV)” ini
adalah agar mahasiswa keperawatan dapat lebih memahami secara
mendalam mengenai tumbuh kembang anak dengan kelainan kongenital
sistem musculoskeletal CTEV, kemudian dapat dengan mudah melakukan
asuhan keperawatan terhadap pasien anak yang mengalami gangguan
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi CTEV
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) bisa disebut juga dengan
Clubfoot merupakan suatu kondisi kelainan kongenital pada pergelangan kaki
dengan manifestasi pergelangan kaki yang menjadi hiperekstensi sehingga
memungkinkan terjadinya perubahan struktur musculoskeletal apabila tidak
segera dilakukan koreksi. (Helmi, 2012).
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau Clubfoot berasal dari
bahasa latin “talipes” yaitu tulang talus dan “pes” yaitu kaki, serta
equinovarus yang berarti fleksi dan inversi. Kelainan ini dapat terjadi pada
satu atau kedua kaki, ditandai dengan fleksi plantar/ equinus pada angkle
(pergelangan kaki), inversi/varus pada sendi subtalar (tungkai) dan adduksi
pada kaki depan. (Koswal & Nataraja, 2005)
Deformitas CTEV meliputi 3 persendian, yaitu inversi pada sendi
subtalar, adduksi pada sendi talonavicular, dan equinus pada ankle joint.
Komponen yang diamati dari clubfoot adalah equinus, midfoot cavus,
forefoot adduction, dan hindfoot varus. (Meena et al, 2014).
B. Etiologi
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti.
Pada beberapa kelainan adanya perkembangan defek fetal dimana terjadi
ketidakseimbangan ototinvertor dan evertor, akan tetapi banyak teori
mengenai etiologi CTEV.
Ada beberapa teori yang telah diajukan untuk menjelaskan etiologi
CTEV, yaitu (Nordin, 2002):
1. Faktor mekanik in utero
Teori ini merupakan yang pertama dan tertua, diutarakan oleh
Hippocrates. Dia percaya bahwa kaki tertahan pada posisi equinovarus
akibat adanya kompresi dari luar uterus. Namun Parker pada 1824 dan
Browne pada 1939 mengatakan bahwa keadaan dimana berkurangnya
cairan amnion, seperti oligohidramnion, mencegah pergerakan janin dan
rentan terhadap kompresi dari luar. Amniocentesis dini diperkirakan
memicu deformitas ini.
2. Defek Neuromuskuler
Beberapa peneliti masih berpendapat bahwa equinovarus adalah akibat
dari adanya defek neuromuskuler, walaupun ada beberapa studi yang
menemukan gambaran histologis normal. Peneliti menemukan adanya
jaringan fibrosis pada otot, fascia, ligament dan tendon sheath pada
clubfoot, hal ini diperkirakan mengakibatkan kelainan pada tulang
(Maranho et al, 2011). Adanya jaringan fibrosis ini ditandai dengan
terekspresinya TGF-beta dan PDGF pada pemeriksaan histopatologis,
keadaan ini juga berperan dalam kasus-kasus resisten (Herring, 2014).
3. Primary germ plasma defect
Irani dan Sherman telah melakukan diseksi pada 11 kaki equinovarus dan
14 kaki normal, mereka menemukan neck talus selalu pendek dengan
rotasi ke medial dan plantar. Mereka berpendapat hal ini karena adanya
defek pada primary germ plasma.
4. Arrested fetal development
a. Intrauterina
Heuter dan Von Volkman pada 1863 mengemukakan bahwa adanya
gangguan perkembangan dini pada usia awal embrio adalah penyebab
clubfoot kongenital.
b. Pengaruh lingkungan
Beberapa zat seperti agen teratogenik (rubella dan thalidomide) serta
asap rokok memiliki peran dalam terbentuknya CTEV, dimana terjadi
temporary growth arrest pada janin (Meena et al, 2014)
5. Herediter
Pada janin perkembangan kaki terbagi menjadi dua fase, yaitu fase fibula
(6,5 – 7 minggu kehamilan) dan fase tibia (8-9 minggu kehamilan).
Ketika terjadi gangguan perkembangan saat kedua fase tersebut, maka
kemungkinan terjadinya CTEV akan meningkat (Herring, 2014).
Semua teori di atas belum dapat menjelaskan secara pasti etiologi dari
CTEV, namun kita dapat menyimpulkan bahwa penyebab CTEV adalah
multifactorial dan proses kelainan telah dimulai sejak limb bud development
(Herring, 2014).
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dapat ditelusuri melalui riwayat keluarga yang menderita
clubfootatau kelainan neuromuskuler, dan dengan melakukan pemeriksaan
secara keseluruhan untuk mengidentifikasi adanya abnormalitas.
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi prone, dengan bagian plantar
yang terlihat, dan supine untuk mengevaluasi rotasi internal dan varus. Jika
anak dapat berdiri, pastikan kaki pada posisi plantigrade, dan ketika tumit
sedang menumpu, apakah pada posisi varus, valgus atau netral.
Deformitas serupa terlihat pada myelomeningocele and
arthrogryposis. Oleh sebab itu agar selalu memeriksa gejala-gejala yang
berhubungan dengan kondisi- kondisi tersebut. Ankle equinus dan kaki
supinasi (varus) dan adduksi (normalnya kaki bayi dapat dorso fleksi dan
eversi, sehingga kaki dapat menyentuh bagian anterior dari tibia). Dorso
fleksi melebihi 90° tidak memungkinkan. Kemungkinan manifestasi klinis
yang ditemui adalah:
1. Tidak adanya kelainan congenital lain

2. Berbagai kekakuan kaki

3. Hipoplasia tibia, fibula, dan tulang-tulang kaki ringan

4. Kaki bagian depan dan tengah inversi dan adduksi. Ibu jari
kaki terlihat relatif memendek.
5. Bagian lateral kaki cembung, bagian medial kaki cekung
dengan alur atau cekungan pada bagian medial plantar kaki.
Kaki bagian belakang equinus. Tumit tertarik dan mengalami
inversi, terdapat lipatan kulit transversal yang dalam pada
bagian atas belakang sendi pergelangan kaki. Atrofi otot betis,
betis terlihat tipis, tumit terlihat kecil dan sulit dipalpasi.
6. Pada manipulasi akan terasa kaki kaku, kaki depan tidak dapat
diabduksikan dan dieversikan, kaki belakang tidak dapat
dieversikan dari posisi varus. Kaki yang kaku ini yang
membedakan dengan kaki equinovarus paralisis dan postural
atau positional karena posisi intra uterin yang dapat dengan
mudah dikembalikan ke posisi normal. Luas gerak sendi
pergelangan kaki terbatas. Kaki tidak dapat didorsofleksikan
ke posisi netral, bila disorsofleksikan akan menyebabkan
terjadinya deformitas rocker-bottom dengan posisi tumit
equinus dan dorsofleksi pada sendi tarsometatarsal. Maleolus
lateralis akan terlambat pada kalkaneus, pada plantar fleksi
dan dorsofleksi pergelangan kaki tidak terjadi pergerakan
maleoulus lateralis terlihat tipis dan terdapat penonjolan
korpus talus pada bagian bawahnya.
7. Tulang kuboid mengalami pergeseran ke medial pada bagian
distal anterior tulang kalkaneus. Tulang navicularis
mengalami pergeseran medial, plantar dan terlambat pada
maleolus medialis, tidak terdapat celah antara maleolus
medialis dengan tulang navikularis. Sudut aksis bimaleolar
menurun dari normal yaitu 85° menjadi 55° karena adanya
perputaran subtalar ke medial.

8. Terdapat ketidakseimbangan otot-otot tungkai bawah yaitu


otot-otot tibialis anterior dan posterior lebih kuat serta
mengalami kontraktur sedangkan otot-otot peroneal lemah
dan memanjang. Otot-otot ekstensor jari kaki normal
kekuatannya tetapi otot-otot fleksor jari kaki memendek. Otot
triceps surae mempunyai kekuatan yang normal.
9. Tulang belakang harus diperiksa untuk melihat kemungkinan
adanya spina bifida. Sendi lain seperti sendi panggul, lutut,
siku dan bahu harus diperiksa untuk melihat adanya
subluksasi atau dislokasi.
D. Klasifikasi
Untuk menilai suatu CTEV sangatlah subyektif dan berdasarkan
keparahan deformitas dan fleksibilitas kaki pasien, namun ada juga yang
menggolongkannya berdasarkan pemeriksaan radiologis (Maranho et al,
2011).Klasifikasi diperlukan untuk membantu menentukan prognosis dan
juga mengevaluasi keberhasilan terapi (Herring, 2014).
Ada beberapa system skoring dan klasifikasi yang dipakai di berbagai
Negara, namun system klasifikasi dari Dimeglio dan Pirani yang paling
banyak digunakan. Keduanya memberikan nilai berdasarkan pemeriksaan
fisik. (Meena et al, 2014)
Dimeglio pada tahun 1991 membagi CTEV menjadi empat kategori
berdasarkan pergerakan sendi dan kemampuan untuk mereduksi deformitas
(Nordin et al, 2002):
1. Soft foot; dapat disebut juga sebagai postural foot dan dikoreksi dengan
standard casting atau fisioterapi.
2. Soft > Stiff foot; terdapat pada 33% kasus. Biasanya lebih dari 50% kasus
dapat dikoreksi, namun bila lebih dari 7 atau 8 tidak didapatkan koreksi
maka tindakan operatif harus dilakukan.
3. Stiff > Soft foot; terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% kasus
terkoreksi dan setelah casting dan fisioterapi, kategori ini akan dilakukan
tindakan operatif.
4. Stiff foot; merupakan kategori paling parah, sering kali bilateral dan
memerlukan tindakan koreksi secara operatif.
Setiap komponen mayor dari clubfoot (equinus, heel cavus, medial,
roatasi calcaneopedal block, forefoot adduction) dikategorikan dari I – IV.
Poin tambahan ditambahkan untuk deep posterior dan medial creases, cavus
dan kondisi oto yang buruk (Meena et al, 2014).
Sistem klaifikasi Pirani memiliki suatu skala perhitungan yang
sederhana, yang terdiri dari tiga variable pada hindfoot dan tiga pada midfoot.
Setiap variable dapat menerima nilai nol, setengah, dan satu poin (Maranho et
al, 2011).
E. Patofisiologi
Beberapa teori yang mendukung pathogenesis terjadinya CTEV, antara lain:
a. Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b. Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. Faktor neurogenic telah ditemukan adanya abnormlitas histokimia pada
kelompok otot peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena
adanya perubahan inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti
stroke. Teori ini mendukung dengan adanya insiden CTEV pasa 35% bayi
dengan spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligament. Pada penelitian postmortem. Ponsetti menemukan adanya
jaringan kolagen yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua
ligament dan struktur tendom (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon
Achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak
teregang. Zimmy dkk, menemukan adanya myoblast pada fasia medialis
menggunakn mikroskop electron. Mereka menegemukakan hipotesa
bahwa hal inilah yang menyebabkan kontraktur medial.
e. Anomaly pada insersi tendon, inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV
dikarenakn adanya anomaly pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak
didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya distorsi pada
posis anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan pada
insersi tendon.
f. Variasi iklim, Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan
iklim dengan insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan
adanya variasi yang serupa pada insiden kasus poliomyelitis di komunitas.
CTEV dikatakan merupakan keadaan seguele dari prenatal poliolike
condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada
spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.
F. Penatalaksanaan
Hampir seluruh ahli bedah Orthopaedi sepakat bahwa terapi non
operatif merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka
pun setuju semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya,
sehingga mencegah terapi operatif lanjutan (Herring, 2014).
Tata laksana CTEV sebaiknya dimulai pada beberapa hari awal
kehidupan sang bayi. Tujuannya adalah mendapatkan kaki yang estetik,
fungsional, bebas nyeri dan plantigrade (Bergerault, 2013). Prinsip terapi
meliputi koreksi pasif yang gentle, mempertahankan koreksi untul periode
waktu yang lama, dan pengawasan anak hingga usai masa pertumbuhan
(Salter, 2009).
Pengawasan diperlukan karena walaupun telah terkoreksi, 50% kasus
akan terjadi rekurensi dan adanya kontraktur soft tissue dapat menyebabkan
terbatasnya pergerakan sendi. Tata laksana non-operatif lebih disukai di
berbagai belahan dunia karena extensive surgery memiliki hasil yang buruk
dalam jangka panjang (Bergerault, 2013).
1. Terapi
a. Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada
dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh Prof. dr.
Shafiq Pirani, seseorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini
dinamakan The Pirani seorang sistem. Dengan menggunakan sistem ini,
kita dapat mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor
perkembangan suatu kasus CTEV selama koreksi dilakukan. Sistem ini
terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot.
Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior
crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat
dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk
kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature
of the border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan
tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral head of the
talus.
b. Penatalaksanaan Non-Operatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operaktif, maka pemasangan
splint dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Adduksi dari forefoot
2) Supinasi forefoot
3) Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi
dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rocker
bottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi.
Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian
pertahankan posisi ini dengan cara menggunakan “strapping” yang
diganti tiap beberapa minggu sekali. Hal ini dilanjutkan hingga dapat
diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi
selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama
beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin
saat nampak adanya kegagalan terapi konservatif, yang antara lain
ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa rockerbottom
foot atau kembalinya deformitas segera dihentikan. Setelah pengawasan
selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CREV,
apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini
dikonformasi dengan menggunakan X-Ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasu tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat
kesuksesan dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.
c. Metode Ponseti
Metode ini diperkenalkan oleh Ignacio Ponseti pada akhir tahun 1940an
sebagai jawaban atas terapi operatif yang sedang popular namun masih
menimbulkan nyeri dan deformitas residu (Dobbs, 2009).
Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan
casting setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang
digunakan juga foot abduction brace untuk mencegah dan mengatasi
relaps (Dobbs, 2009).
Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE sebagai panduan untuk
tahapan koreksi CTEV. Pada metode ini terjadi relaksasi kolagen dan
atraumatik remodeling pada permukaan sendi dan menghindari fibrosis,
seperti yang terjadi bila dilakukan operasi release (Herring, 2014).
Dibutuhkan komitmen dan kerjasama yang baik dengan orang tua
pasien, dikarenakan metode ini setidaknya butuh waktu selama 4 tahun.
Terapi dapat dimulai dalam beberapa hari setelah kelahiran. Batas akhir
usia belum ditentukan dikarenakan adanya keberhasilan metode ini saat
diterapkan pada anak usia lebih dari 1 tahun. Tercatat sekitar 95% kasus
yang ditangani dengan metode ini tidak memerlukan posterior medial
dan laterat release. Terkadang diperlukan sedasi pada anak-anak usia
lebih dari 15 bulan karena nyeri yang ditimbulkan saat manipulasi
(Dobbs, 2009). Dalam setiap sesi manipulasi, disarankan bersamaan
dengan waktu memberi makan anak. Hal ini bertujuan agar sang anak
lebih relaks sehingga lebih mudah saat pemasangan cast (Herring,
2014).
Serial casting dapat menggunakan bahan plaster atau fiberglass dan
tidak ditemukan perbedaan hasil diantara kedua bahan tersebut. Cast
terpasang dipasang dari jari kaki hingga 1/3 atas paha dengan lutut
fleksi 90o dan akan diganti setiap 5-7 hari (Dobbs, 2009). Biasanya
diperlukan 5-6 kali penggantian cast untuk mendapatkan koreksi yang
baik (Herring, 2014).
Walaupun biasanya metode Ponseti digunakan pada idiopathic clubfoot,
pada beberapa kasus dapat juga digunakan pada non-idiopathic clubfoot
(yang disertai dengan arthrogryposis, myelomeningocele, berbagai
syndrome genetic, dan kelainan neuromuskuler. Metode Ponseti juga
digunakan pada complex clubfoot dan kasus relaps meski telah
menjalani extensive soft tissue release surgery (Dobbs, 2009).
Hampir seluruh ahli bedah Orthopedi sepakat bahwa terapi non operaktif
merupakan pilihan pertama dalam menangani kasus CTEV. Mereka pun
setuju semakin awal terapi dimulai, maka semakin baik hasilnya, sehingga
mencegah terapi operaktif lanjutan (Herring, 2014).
G. Komplikasi CTEV
1. Infeksi (jarang)
2. Kekakuan dan keterbatasan gerak : kekakuan yang muncul awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik
3. Nekrosis avascular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avascular talus
muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
4. Overkoreksi yang mungkin karena pelepasan ligament interoseum dari
persendian subtalus.
H. Pemeriksaan Diagnotik CTEV
1. Foto polos
Metode evaluasi radiologi yang standar digunakan adalah foto
polos. Pemeriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena
stress yang terlibat dapat terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan
berat dapat disimulasikan dengan pemberian stress dorsal flexy. Gambaran
standar yang digunakan adalah gambaran dorsoplantar (DP) dan lateral.
Untuk gambaran dorsoplantar, sinar diarahkan dengan sudut 15 terhadap
tumit untuk mencegah overlap dengan struktur tungkai bawah. Gambaran
lateral harus mencakup pergelangan kaki dan bukan kaki, untuk
penggambaran yang lebih tepat dari talus.
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien
terhadap radiasi. Ditambah lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan
sulit dilakukan. Pemosisian yang tidak tepat dapat menghasilkan gambaran
seperti deformitas sehingga ada kemungkinan adanya kesalahan diagnose,
lebih jauh lagi, karena CTEV adalah kondisi kongenital, kurangnya
osifikasi pada beberapa tulang yang terlibat merupakan salah satu
keterbatasan lainnya. Pada neonates, hanya talus dan calcancus yang
terosifikasi, navikular tidak terosifikasi sampai anak berusia 2-3 tahun.
Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat
menstimulasikan varus kaki belakang. Bila gambaran lateral hanya
meliputi salah satu kaki dan tidak termasuk pergelangan kaki, maka akan
terlihat gambaran palsu dari lengkungan talus yang mendatar. Equinus
kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcancus anterior (mirip kuku
kuda) dimana sudut antara axis panjang tibia dan axis panjang calcancus
(sudut tibiocalcaneal) lebih besar dari 90
Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara
relative terhadap tibia. Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi
varus (ke arah garis tengah). Pada gambaran lateral, sudut antara axis
panjang talus dan axis panjang caleaneus (sudur talocalcaneal) kurang dari
25 derajat, dan kedua tulang lebih paralel dibandingkan kondisi normal.
Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15 derajat, dan
dua tulang terlihat lebih tumpang tindih dari pada kaki normal. Selain itu,
axis longitudinal yang melalui pertengahan talus (garis midtalar) melintas
secara lateral kearah dasar metatarsal pertama, karena garis depan
terdeviasi secara medial. Varus kaki depan dan supinasi meningkatan
konvergensi pada kaki normal.
2. CT-Scan
Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi 3
dimensi, Johnston et al menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang
dapat memantau tulang pada CTEV bisa diterapkan dan axis inersia dapat
ditentukan di sekitar pusat massa dengan 3 bidang perpendikuler untuk
setiap tulang yang terlibat.
Kawat ini dapat dirotasi secara manual untuk mengurai deformitas
dan kelainan susunan tulang yang tidak jelas karena overlapping pada foto
polos. Hubungan antara tulang kaki belakang dan pergelangan kaki dapat
dinilai dengan cara ini. Begitu pula dengan axis vertical dari talus dan
lubang kalkaneus dapat dibandingkan dengan acuan perpendicular
terhadap dasar pada rekostruksi koronal dari tumit.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik talus
maupun kalkaneus relative terotasi secara medial terhadap garis
perpendicular pada lubang di bidang transversal, namun rotasi di
kalkaneus sangat kecil. Perbedaan ini merupakan divergensi normal dari
axis panjang 2 tulang. Pada CTEV, talus terotasi secara lateral dan
kalkaneus terotasi lebih medial daripada kaki normal
Pemakaian CT-Scan juga memiliki beberapa kerugian, yaitu risiko
ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal, suseptibilitas dari artifak
gambar dan gerakan dan membutuhkan peralatan mahal dan aplikasi
software untuk rekonstruksi multiplanar.
3. MRI
Saat ini MRI ridak banyak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi
CTEV karena berbagai kerugiannya, diantaranya dibutuhkan alat khusus
dan sedasi pasien, besarnya pengeluaran untuk software yang digunakan,
hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek feromagnetik dari alat fiksasi,
dan waktu tambahan yang dibutuhkan untuk transfer data postprocessing.
Namun, disisi lain, keuntungan penggunaan MRI jika dibandingkan
dengan foto polos dan CT Scan adalah kapabilitas imaging multiplanar dan
penggambaran yang sangat baik untuk neuleus osifikasi, kartilago anlage
(pimordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
Dengan menggunakan reonansi magnetic rekonstruksi multiplanar
menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk menjelaskan
patoanatomi kompleks pada kelainan ini. Gambaran intermediate dan
gambaran T2-weighted spin-echo dapat menggambarkan secara jelas
anlage (primordium) kartilago dan permukaan articular secara berurutan.
Ketika akusisi gradient-echo 3 dimensi digunakan untuk membentuk
rekonstruksi multiplanar, pusat dari massa dan axis ini dapat dibandingkan
satu sama lain atau dapat dirumuskan standar refensi mengenai
pengukuran objektif dari deformitas ini yang dapat digunakan secara
menyeluruh.
4. Ultrasonografi (USG)
Penelitian menunjukkan bahwa gambaran reproducible dan
penilaian objektuf dari beberapa hubungan antartulang (interosseous) pada
kaki normal pada CTEV dapat dilakukan dengan USG. Untuk selanjutnya,
USG mungkin dapat digunakan dalam operasi tertuntun dan terapi
konservatif untuk CTEV dalam menilai hasilnya.
Gambaran dinamis/dynamic imaging yang bisa dilakukan dengan
USG dapat melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas dari kaki.
Sehingga USG ini dapat membantu memilah pasien yang harus dilakukan
operasi dan tidak bisa dengan terapi konservatif saja.
Kekurangan dari USG adalah ketidakmampuan gelombanng suara
untuk menembus seluruh tulang, terutama jika terdapat bekas luka post
operasi. Keuntungan ultrasonografi termasuk tidak ada/kurangnya radiasi
pengion, tidak membutuhkan obat sedative, kemampuannya untuk
menggambarkan bagian tulang yang tidak terosifikasi, dan kapasitasnya
dalam hal imaging dynamics.
Pemeriksaan radiologi dini tidaklah informative dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik, dikarenakan hanya akan tampak ossification
center pada tulang tarsal, calcaneus, dan metatarsal. Setelah usia 3 atau 4
bulan, tulang-tulang tersebut telah cukup terosifikasi, dan pemeriksaan
radiologi dapat dilakukan dengan proyeksi film anteroposterior dan lateral
dengan stress dorsofleksi (Baruah et al, 2013).
Pada proyeksi AP diukur sudut talocalcancal (30-50o) dan talo-
metatarsal I (0-10o), sedangkan pada proyeksi lateral diukur sudut
talocalcancal (30-50o) dan tibiocalcancal (10-20o).
Sudut-sudut tersebut akan menghilang/berkurang pada CTEV,
sehingga dapat memprediksi keparahan dan respon terhadap intervensi
yang akan diberikan (Nordin, 2001).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN CTEV

A. Pengkajian
1. Biodata Klien
Mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi: nama, umur,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan
alamat.
Bayi laki-laki dua kali lebih banyak menderita kaki bengkok dari pada
perempuan. Kelainan ini sering terjadi pada anak laki-laki. Survey
membuktikan dari 4 orang kasus club foot, maka hanya satu saja seorang
perempuan. Itu berarti perbandingan penderita perempuan dengan
penderita laki-laki adalah 1:3 dan 35% terjadi pada kembar monozigot dan
hanya 3% pada kembar dizigot.
2. Keluhan Utama
Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit karena adanya
keadaan yang abnormal pada kaki anak yaitu adanya berbagai kekauan
kaki atrofi betis kanan, hypoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang kaki
ringan.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan sampai saat klien pergi dari Rumah Sakit atau pada saat
pengkajian seperti klien tidak mengalami keluhan apa-apa selain adanya
keadaan yang abnormal pada kakinya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat di
indentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang
terdapat dalam keluarga.
5. Riwayat Antenatal, Natal dan Postnatal
a. Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan
antenatal, kemana serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang
pernah diminum serta kebiasaan selama hamil.
b. Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong,
cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section
secariadan gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan
congenital. Keadaan saat lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah
lahir, masa kehamilan (cukup, kurang lebih) bulan. Saat lahir anak
menangis spontan atau tidak.
c. Postnatal
Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan
dengan gangguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna
kulit, pola eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji
adanya ashyksia, trauma dan infeksi.
6. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada
terakhir. Tingkat perkembangan anak yang telah dicapai motoric kasar,
halus, social, dan bahasa.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga Sosial
Perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman, rumah tangga
yang harmonis dan pola asuh, asah, dan asih. Ekonomi dan adat istiadat,
berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan internal dan eksternal yang
dapat mempengaruhi perkembangan intelektual dan pengetahuan serta
keterampilan anak. Disamping itu juga berhubungan dengan persediaan
dan pengadaan bahan pangan, sandang dan papan.
8. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi anak sangat penting dengan kelengkapan imunisasi
pada anak mencegah terjadinya penyakit yang mungkin timbul. Meliputi
imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis.
9. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi, makanan pokok utama apakah ASI atau PASI. Pada umur
anak tertentu, jika diberikan PASI (ditanyakan jenis, takaran dan
frekuensi pemberiannya serta makanan tambahan yang diberikan
adakah makanan yang diskusi, alergi atau masalah yang lainnya).
b. Pola Eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada anak perlu
dikaji BAB atau BAK (konsistensi, warna, frekuensi dan jumlah serta
bau) bagaimana tingkat toileting trining sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.
c. Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai anak pada usia
sekelompoknya mengalami kemunduran atau percepatan.
d. Pola kebersihan diri, bagaimana perawatan pada diri anak apakah sudah
mandiri atau masih ketergantungan sekunder pada orang lain atau orang
tua.
10. Pemeriksaan Fisik
a. Pantau status kardiovaskuler
b. Pantau nadi perifer
c. Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk memastikan
sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas tersebut.
d. Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi jari
diantara kulit ekstremitas dengan gips setelah gips kering.
e. Kaji adanya peningkatan hal-hal berikut:
1) Nyeri
2) Bengkak
3) Rasa dingin
4) Sianosis atau pucat
f. Kaji sensasi jari kaki
1) Minta anak untuk menggerakkan jari kaki
2) Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu
berespon terhadap perintah
3) Laporan dengan segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan
sirkulasi
4) Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan
g. Periksa suhu (gips plester)
1) Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan
panas
2) Evaporasi air, yang menyebabkan kehilangan panas
h. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan
i. Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda yang terkadang
dimasukkan oleh anak yang masih kecil
j. Observasi ada tanda-tanda infeksi
1) Periksa adanya drainase
2) Cium gips untuk adanya bau menyengat
3) Periksa gips untuk adanya “bercak panas” yang menunjukkan infeksi
dibawah gips
4) Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi dan ketidaknyamanan
k. Observasi kerusakan pernapasan (gips spika)
1) Kaji ekspansi dada anak
2) Observasi frekuensi pernafasan
3) Observasi warna dan perilaku
l. Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (redukasi bedah terbuka) batasi area
perdarahan
m. Kajia kebutuhan terhadap nyeri
B. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman (Nyeri) berhubungan dengan cidera fisik

2. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gips

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan muskuloskeletal

4. Ansietas berhubungan dengan abnormalitas kaki pada anak.


C. Intervensi Keperawatan

NO DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL


KEPERAWATAN HASIL

1 Gangguan rasa nyaman Tujuan : 1. Berikan posisi yang 1. Mengurangi


(nyeri) berhubungan dengan nyaman, gunakan bantal ketegangan ekstremitas
Ketidaknyamanan yang
cidera fisik untuk menyokong area yang di gips untuk
dialami pasien tidak ada atau
dependen. mencegah nyeri
minimal
2. Bila perlu batasi aktivitas 2. Udara dingin dapat
Kriteria Hasil :
yang melelahkan mengurangi rasa gatal
- Anak tidak menunjukkan 3. Hilangkan rasa gatal 3. Karena substansi ini
bukti-bukti dibawah gips dengan mempunyai
ketidaknyamanan udara dingin yang kecenderungan untuk
- Ketidaknyamanan minor ditiupikan dari spuit “menggumpal” dan
ditoleransi asepto, fan, atau menimbulkan iritasi
pengerinng rambut
4. Hindari menggunakan
bedak atau lotion dibawah
gips
2 Resiko tinggi kerusakan Tujuan: 1. Pastikan bahwa semua 1. Tepi gips yang tidak
integritas kulit berhubungan tepi gips halus dan bebas halus dapat mengiritasi
Pasien tidak mengalami iritasi
dengan gips dari proyeksi pengiritasi kulit untuk mencegah
kulit
2. Jangan membiarkan anak trauma kulit
Kriteria Hasil:
memasukkan sesuatu ke 2. Untuk mendorong
Tidak ditemukannya tanda- dalam gips kepatuhan karena kulit
tanda kerusakan integritas kulit 3. Waspadai anak yang lebih yang tidak bersih dapat
besar untuk tidak memicu timbulnya
memasukkan benda-benda iritasi
kedalam gips. 3. Karena gips akan
4. Jaga agar kulit terpajan mengeras dengan kulit
tetap bersih dan bebas dari terdeskuamasi dan
iritan sekresi sebasea
5. Lindungi gips selama
mandi, kecuali jika gips
sintetik tahan terhadap air
6. Selama gips dilepas,
rendam dan basuh kulit
dengan perlahan

3 Kerusakan mobilitas fisik Tujuan : 1. Dorong untuk ambulasi 1. Untuk meningkatkan


berhubungan dengan sesegera mungkin mobilitas
Pasien mempertahankan
kerusakan muskuloskeletal 2. Ajarkan penggunaan alat 2. Untuk membantu
penggunaan otot pada area
mobilisasi seperti kurk melatih ekstremitas
yang tidak sakit
untuk kaki yang di gips dengan bantuan
Kriteria Hasil:
3. Dorong anak dengan alat penopang berat badan
- Ekstremitas yang tidak sakit ambulasi untuk 3. Untuk melatih dan
tetap mempertahankan berambulasi segera setelah meningkatkan
tonus otot yang baik kondisi umumnya mobilitas
- Anak melakukan aktivitas memungkinkan 4. Untuk melatih otot
yang sesuai dengan usia dan 4. Dorong aktivitas bermain yang tidak sakit
kondisi anak dan pengalihan 5. Untuk
5. Dorong anak untuk mempertahankan
menggunakan sendi-sendi fleksibilitas dan fungsi
di atas dan di bawah gips sendi

4 Ansietas berhubungan dengan Tujuan : Jelaskan apa yang terjaid Menghilangkan rasa takut
abnormalitas kaki pada anak pada pasien termasuk faktor dan mendorong kerja sama
Ibu pasien tidak cemas penyebab dan solusi yang
akan dilaksanakan pihak RS
Kriteria Hasil:

Tidak ada ekspresi takut dari


ibu pasien
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tindakan keperawatan yang
dilakukan berdasarkan dari rencana atau intervensi yang telah dibuat, tujuan
melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan agar
kriteria hasil dapat tercapai.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah suatu proses menilai hasil dari tindakan
keperawatan yang sudah dilakukan sudah teratasi atau belum teratasi. Melalui
kegiatan evaluasi, perawat dapat menilai pencapaian tujuan dari tindakan
keperawatan.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) bisa disebut juga dengan
Clubfoot merupakan suatu kondisi kelainan kongenital pada pergelangan kaki
dengan manifestasi pergelangan kaki yang menjadi hiperekstensi sehingga
memungkinkan terjadinya perubahan struktur musculoskeletal apabila tidak
segera dilakukan koreksi yang ditandai dengan fleksi plantar/equinus pada
ankle atau pergelangan kaki inversi/varus pada sendi subtalar (tungkai) dan
adduksi pada kaki depan.
Terdapat 2 klasifikasi CTEV yaitu typical clubfoot jenis yang
diantaranya positional clubfoot, delayed treated clubfoot, recurrent typical
clubfoot, alternatively trated typical clubfoot dan kedua atypical clubfoot,
tetralogic clubfoot, neurogenic clubfoot, dan ecquired clubfoot.
Penyebab dari CTEV meliputi faktor mekanik intra uteri yang ditandai
dengan kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi eskterna
uterus, kemudian faktor herediter, enterovirus, gangguan perkembangan fetus,
defek plasma sel primer.
Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada kasus CTEV antara lain,
yaitu pergelangan kaki jinjit, telapak kaki dan bagian depan kaki menghadap
kea rah dalam. Tumit kecil, teraba kosong dan lunak. Colum tulang talus
mudah diraba, mata kaki bagian dalam sulit diraba. Bagian pangkal kaki
berputar kedalam, lengkung kaki tinggi (cavus). Tulang kering seringkali
mengalami perputaran kearah dalam. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari
CTEV yaitu diantaranya infeksi namun jarang terjadi, kekakuan dan
keterbatasan gerak, kekakuan yang muncul awal berhubungan dengan hasil
yang kurang baik. Nekrosis avascular talus, sekitar 40% kejadian nekrosis
avascular talus muncul pada teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
Overkoreksi yang mungkin karena pelepasan ligament interoseum dari
persendian subtalus.
B. Saran

Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan kepada para pembaca


khususnya pada orang tua, jika mempunyai bayi baru lahir, sebaiknya
memperhatikan kondisii bayinya, bila orang tua malihat ketidaksesuain
bentuk dari kedua kaki bayi segeralah meminta konfirmasi pada petugas
medis tentang keadaan kaki bayi. Bila ternyata ada kelainan sebaiknya
segera berobat ke dokter spesialis orthopedic untuk mendapatkan
pengobatan sedini mungkin karena pengobatan CTEV ini secara bertahap
dan berkelanjutan sehingga harus sabar dan rutin kontrol serta mematuhi
anjuran dokter agar tercapai hasil yang optimal.

Selain itu, diharapkan juga kepada tenaga medis khususnya perawat


agar lebih tepat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada anak dengan
CTEV.
DAFTAR PUSTAKA

Kumpulan Asuhan Keperawatan (Askep CTEV pada anak). 2012.


www.saktyairlangga.wordpress.com. Diakses pada 20
Februari 2021.

Misfa, Alya Ifdholiya, dkk. 2020. Makalah Konsep Asuhan Keperawatan Pada
Anak dengan CTEV (Congenital Talipes Equinovarus).
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah
Jakarta. Jakarta.

dr. IGB Indra Angganugraha PJ. 2016. Sari Pustaka Congenital Talipes Equino
Varus (CTEV). Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai