Anda di halaman 1dari 13

Congenital Talipes Equinovarus (CTEV) / Club Foot

1. DEFINISI
Congenital talipes equinovarus adalah fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus.
Tulang kalkaneus, navikular, dan kuboid ter-rotasi ke arah medial terhadap talus, dan
tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan,
tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar. (Soebandi, 2012) CTEV
merupakan kelainan pada kaki, dimana kaki belakang equinus (mengarah ke bawah), varus
(mengarah ke dalam/ medial), dan kaki depan adduktus (mendekati tubuh). Nama lain =
Club foot, piede tordo, pie bot, pie zambo, pe equinovaro congenito, idiophatic CTEV.
(Angganugraha, 2016)

2. EPIDEMIOLOGI
Insidens CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insidens CTEV di
Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-
laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus.
(Soebandi, 2012)

3. KLASIFIKASI
Terdapat banyak klasifikasi CTEV, belum ada yang digunakan secara universal. Pembagian
yang sering digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed/rigid. Club foot postural
atau posisional bukan merupakan club foot sebenarnya. Sedangkan club foot jenis
fixed/rigid dapat digolongkan menjadi jenis fleksibel (dapat dikoreksi tanpa operasi) atau
resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar - Ponseti).
Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain, adalah klasifikasi menurut
Pirani, Goldner, DiMiglio, Hospital for Joint Diseases (HJD), dan Walker. (Soebandi, 2012)

4. ETIOLOGI
Etiologi CTEV tidak diketahui pasti; beberapa teori tentang etiologi CTEV menurut
(Angganugraha, 2016) antara lain:
a. Faktor mekanik intrauteri
Teori tertua oleh Hipokrates. Dikatakan bahwa kaki bayi ditahan pada posisi
equinovarus karena kompresi eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939)
mengatakan bahwa oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar
karena keterbatasan gerak fetus.
b. Defek neuromuskular
Beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu karena adanya defek neuromuskular,
tetapi banyak penelitian tidak menemukan adanya kelainan histologis dan
elektromiografik.
c. Defek sel plasma primer
Setelah melakukan pembedahan pada 11 kaki CTEV dan 14 kaki normal; Irani &
Sherman menemukan bahwa pada kasus CTEV, leher talus selalu pendek, diikuti
rotasi bagian anterior ke arah medial dan plantar; diduga karena defek sel plasma
primer.
d. Herediter
Adanya faktor poligenik mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksternal, seperi
infeksi Rubella dan pajanan talidomid (Wynne dan Davis).
e. Vaskular
Atlas dkk. (1980) menemukan abnormalitas vaskulatur berupa hambatan vaskular
setinggi sinus tarsalis pada kasus CTEV. Pada bayi dengan CTEV didapatkan
muscle wasting di bagian ipsilateral, mungkin karena berkurangnya perfusi arteri
tibialis anterior selama masa perkembangan.

PATOFISIOLOGI
Beberapa teori mengenai patogenesis CTEV menurut (Soebandi, 2012) antara lain:
a) Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular
b) Kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c) Faktor neurogenik.
Telah ditemukan adanya abnormalitas histokimiawi pada kelompok otot peroneus
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan akibat perubahan inervasi intrauterin karena
penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung oleh insiden CTEV pada 35%
bayi spina bifida.
d) Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang
sangat longgar dan dapat teregang di semua ligamen dan struktur tendon (kecuali
Achilles). Sebaliknya, tendon Achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat
padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk. menggunakan mikroskop elektron,
menemukan mioblast pada fasia medialis yang dihipotesiskan sebagai penyebab
kontraktur medial.
e) Anomali insersi tendon (Inclan)
Teori ini tidak didukung oleh penelitian lain; karena distorsi posisi anatomis CTEV
yang membuat tampak terlihat adanya kelainan insersi tendon.
f) Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden CTEV.
Hal ini sejalan dengan adanya variasi serupa insiden kasus poliomielitis di
komunitas. CTEV dikatakan merupakan sequela dari prenatal polio-like condition.
Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord anterior
bayi-bayi tersebut.

5. DIAGNOSIS & GAMBARAN KLINIS


Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.
Deformitas serupa dapat ditemui pada mielomeningokel dan artrogriposis. Lakukan
pemeriksaan lengkap untuk mengidentifi kasi kelainan lain. Periksa kaki bayi dalam
keadaan tengkurap, sehingga bagian plantar dapat terlihat. Periksa juga dengan posisi bayi
supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus. Pergelangan kaki berada dalam
posisi ekuinus dan kaki berada dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi. Tulang navikular
dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur jaringan lunak plantar pedis
bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam posisi ekuinus, tetapi bagian
anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian
posteriornya. (Soebandi, 2012)
Tumit tampak kecil dan kosong; pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti
pipi). Sejalan dengan terapi, tumit akan terisi kembali dan pada perabaan akan terasa lebih
keras (seperti meraba hidung atau dagu). Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher
talus dapat dengan mudah teraba di sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh tulang
navikular dan badan talus. Maleolus medialis menjadi sulit diraba dan pada umumnya
menempel pada tulang navikular. Jarak yang normal terdapat antara tulang navikular dan
maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi internal. (Soebandi, 2012)
6. GAMBARAN RADIOLOGIS
Tujuannya bukan untuk diagnostik, tapi untuk menentukan derajat equinus, varus,
dan perubahan kaki belakang agar memberikan gambaran seberapa besar koreksi yang
dibutuhkan. (Angganugraha, 2016)
Gambaran radiologis CTEV adalah adanya kesejajaran tulang talus dan kalkaneus.
Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis sangat penting. Posisi anteroposterior (AP)
diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan
vertikal. Posisi lateral diambil dengan kaki fl eksi terhadap plantar sebesar 30º. Gambaran
AP dan lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofl eksi dan plantar fl eksi penuh.
Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus dan mengukur sudut
talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. (Soebandi, 2012)
Garis AP digambar melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas
medial) serta melalui pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai
normalnya adalah antara 25-40°. Bila sudut kurang dari 20°, dikatakan abnormal. Garis
anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring dengan terapi, baik
dengan casting maupun operasi, tulang kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal, diikuti
dengan talus yang juga mengalami derotasi. Dengan demikian akan terbentuk sudut
talokalkaneus yang adekuat. (Soebandi, 2012)
Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang talus serta
sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°, sedang pada CTEV
nilainya berkisar antara 35° dan negatif 10°.(Soebandi, 2012)
Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular dan
metatarsal pertama. Sudut dari dua sisi (AP and lateral) ditambahkan untuk menghitung
indeks talokalkaneus; pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40°.
(Soebandi, 2012)
Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang ditahan pada posisi maksimal
dorsofl eksi adalah metode yang paling dapat diandalkan untuk mendiagnosis CTEV yang
tidak dikoreksi. (Soebandi, 2012)

7. TERAPI
 TERAPI MEDIS :
Tujuan terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas dan mempertahankan
koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang. (Soebandi, 2012)
Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu: • CTEV yang
dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting, dan pemasangan gips. • CTEV resisten yang
memberikan respons minimal terhadap penatalaksanaan dengan pemasangan gips dan dapat
relaps cepat walaupun awalnya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada kategori ini
dibutuhkan intervensi operatif. (Soebandi, 2012)
The Pirani Scoring System Dapat digunakan untuk identifikasi tingkat keparahan
dan memantau perkembangan kasus CTEV selama koreksi dilakukan. Sistem ini terdiri dari
6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot, kategori terbagi
menjadi tonjolan posterior/ posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel
(EH), dan derajat dorsofl eksi / degree of dorsifl exion (DF). Sedangkan untuk kategori
midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB),
tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan terpajannya kepala lateral talus/uncovering
of the lateral head of the talus (LHT). (Soebandi, 2012)
A. Curvature of the lateral border of the foot (CLB)
Batas lateral kaki normalnya lurus. Batas kaki yang tampak melengkung menandakan
terdapat kontraktur medial. Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris
di bagian lateral kaki. Normalnya, batas lateral kaki tampak lurus, mulai dari tumit sampai
ke kepala metatarsal ke lima. Skor adalah 0 (Gambar 1).Pada kaki abnormal, batas lateral
nampak menjauhi garis lurus tersebut. Batas lateral yang tampak melengkung ringan diberi
nilai 0,5 (lengkungan terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal) (Gambar 2).
Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan tersebut
nampak setinggi persendian kalkaneokuboid) (Gambar 3). (Soebandi, 2012)
B. Medial crease of the foot (MC)
Pada keadaan normal, kulit daerah telapak kaki akan memperlihatkan garis-garis halus.
Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya kontraktur di daerah medial.
Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat memeriksa. Lihatlah pada lengkung batas medial
kaki. Normalnya, akan terlihat garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang tidak
mengubah kontur lengkung medial tersebut. Nilai MC adalah 0 (Gambar 4). Pada kaki
abnormal, akan tampak satu atau dua lipatan kulit yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu
banyak mempengaruhi kontur lengkung medial, nilai MC adalah 0,5 (Gambar 5). Apabila
lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas medial kaki, nilai
MC adalah sebesar 1 (Gambar 6). (Soebandi, 2012)
C. Posterior crease of the ankle (PC)
Pada keadaan normal, kulit bagian tumit posterior akan memperlihatkan lipatan kulit
multipel halus. Terdapatnya lipatan kulit yang lebih dalam menunjukkan adanya
kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan lembut saat
memeriksa. Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis
halus yang tidak mengubah kontur tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan kulit dapat
menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki dalam posisi dorsofl eksi. Pada
kondisi ini, nilai PC adalah 0 (Gambar 7). Pada kaki abnormal, akan didapatkan satu atau
dua lipatan kulit yang dalam. Apabila lipatan ini tidak terlalu mempengaruhi kontur dari
tumit, nilai PC adalah 0,5 (Gambar 8). Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit
yang dalam di daerah tumit dan hal tersebut merubah kontur tumit, nilai PC adalah 1
(Gambar 9) (Soebandi, 2012).
D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)
Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, pemeriksa dapat meraba kepala talus di bagian
lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, tulang navikular akan turun menutupi kepala
talus, membuatnya menjadi lebih sulit teraba, dan akhirnya sama sekali tidak dapat teraba.
Tanda “turunnya tulang navikular menutupi kepala talus” adalah ukuran besarnya kontraktur
di daerah medial (Soebandi, 2012) (Gambar 10).
 PENATALAKSANAAN NON-OPERATIF
Menurut (Soebandi, 2012) Berupa pemasangan splint yang dimulai pada bayi berusia 2-3
hari. Urutan koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Adduksi kaki depan (forefoot)
2. Supinasi kaki depan
3. Ekuinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi ekuinus di awal masa koreksi dapat mematahkan
kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan
pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa
didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan menggunakan “strapping” yang diganti
tiap beberapa hari, atau menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Cara ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan
koreksi selanjutnya.Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama
beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat tampak kegagalan
terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas menetap, deformitas berupa
rockerbottom foot, atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan. Setelah
pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui apakah jenis deformitas CTEV
mudah dikoreksi atau resisten. Hal ini dikonfirmasi menggunakan X-ray dan dilakukan
perbandingan penghitungan orientasi tulang. Tingkat kesuksesan metode ini 11-58%.
(Soebandi, 2012)
METODE PONSETI
Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik oleh dr. Ignacio
Ponseti dari Universitas Iowa. Langkah-langkah yang diambil:
1. Deformitas utama pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang kalkaneus ke arah
intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki dalam posisi adduksi dan plantar pedis
mengalami fleksi pada sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi
abduksi dan dorsofl eksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal, tulang kalkaneus
harus bisa dengan bebas dirotasikan ke bawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung
normal persendian subtalus, dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk operator
di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki, kemudian mengangkat ibu jari dan
diletakkan di bagian lateral kepala talus, sementara melakukan gerakan abduksi pada kaki
depan dengan arah supinasi. (Soebandi, 2012)
2. Cavus kaki akan meningkat bila kaki depan berada dalam posisi pronasi. Apabila ada pes
cavus, langkah pertama koreksi kaki adalah mengangkat metatarsal pertama dengan lembut
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah terkoreksi, kaki depan dapat diposisikan abduksi
seperti pada langkah pertama. (Soebandi, 2012)
3. Saat kaki dalam posisi pronasi, dapat menyebabkan tulang kalkaneus berada di bawah
talus. Apabila hal ini terjadi, tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi
varus, cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya bean-shaped foot. Pada
akhir langkah pertama, kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal, tetapi tidak pernah
pronasi. (Soebandi, 2012)
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki dimanipulasi,
selanjutnya dipasang long leg cast untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan.
Gips dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan tingtur benzoin ke kaki untuk melekatkan kaki dengan
bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih memasang bantalan tambahan sepanjang batas
medial dan lateral kaki, agar aman saat melepas gips menggunakan gunting gips. Gips yang
dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi arcus transversalis.
Posisi lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat
merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Gips dibelah dua, dilepas
menggunakan gergaji berosilasi (berputar), kemudian disatukan kembali. Hal ini untuk
mengetahui perkembangan abduksi kaki depan, selanjutnya dapat digunakan untuk
mengetahui dorsofl eksi serta koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus. (Soebandi,
2012)
5. Usaha mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles yang kaku dapat
mengakibatkan patahnya kaki tengah (midfoot) dan berakhir dengan terbentuknya
deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki abnormal (cavus) harus diterapi
terpisah seperti pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi
tanpa menyebabkan patahnya kaki tengah. (Soebandi, 2012)
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi kaki
maksimum. Gips diganti tiap minggu. Koreksi (usaha membuat kaki dalam posisi abduksi)
dapat dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°(Soebandi, 2012).
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutuhkan
tenotomi perkutaneus tendon Achilles secara aseptis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi lignokain topikal dan infi ltrasi lidokain lokal minimal. Tenotomi dilakukan
dengan cara membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka pasca-operasi
ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan
gips terakhir dilakukan dengan kaki berada pada posisi dorsofl eksi maksimum, kemudian
gips dipertahankan hingga 2-3 minggu (Soebandi, 2012).
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang
dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan abduksi
(rotasi ekstrem) hingga 70°, kaki sehat diabduksi 45°. Sepatu ini juga memiliki bantalan di
tumit untuk mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu digunakan 23 jam sehari selama 3
bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3 tahun (Soebandi, 2012).
7. Pada 10-30% kasus, tendon tibialis anterior dapat berpindah ke bagian lateral kuneiformis
saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama,
mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-
2,5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum operasi, pasangkan long leg cast
untuk beberapa minggu (Soebandi, 2012).

 TERAPI OPERATIF
INSISI
Beberapa pilihan insisi, antara lain : (Soebandi, 2012)
• Cincinnati: berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian navikular-
kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal),
dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
• Insisi Turco curvilineal medial/posteromedial: insisi ini dapat menyebabkan luka terbuka,
khususnya di sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator
memilih beberapa jalan, antara lain:
Tiga insisi terpisah – insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral
Dua insisi terpisah – curvilinear medial dan posterolateral.
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk terapi operatif di semua kuadran, antara lain:
• Plantar: fasia plantaris, abduktor halucis, fleksor digitorum brevis, ligamen plantaris
panjang dan pendek
• Medial: struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan talonavikular dan subtalar,
tibialis posterior, FHL (fleksor halucis longus), dan pemanjangan FDL (fleksor digitorum
longus)
• Posterior: kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan ligamen talofi
bular posterior dan tibiofi bular, serta ligamen kalkaneofibular
• Lateral: struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian kalkaneokuboid, serta
pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar.
Pendekatan mana pun harus bisa menghasilkan pajanan yang adekuat. Struktur-
struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah:
• Tendon Achilles
• Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar
• Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid
• Ligamen tibiofi bular inferior
• Ligamen fibulokalkaneal
• Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar
• Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik.
Aksis longitudinal talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi
lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan
menggunakan gips. Luka paska operasi tidak boleh ditutup paksa. Luka dapat dibiarkan
terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau nantinya dapat dilakukan cangkok (graft)
kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia pasien :
1. Pada anak kurang dari 5 tahun, koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur jaringan
lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, membutuhkan pembentukan ulang tulang/bony reshaping
(misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau
osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, dapat dilakukan tarsektomi lateralis atau
arthrodesis.
Harus diperhatikan keadaan luka pascaoperasi. Jika penutupan kulit sulit dilakukan,
lebih baik dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi granulasi, untuk kemudian
memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan
pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka operasi. Perban hanya boleh dipasang
longgar dan harus diperiksa secara reguler. (Soebandi, 2012)

FOLLOW-UP
Pasien Pin untuk fiksator biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu, tetap
diperlukan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.
(Soebandi, 2012)

KOMPLIKASI1
• Infeksi (jarang)
• Kekakuan dan keterbatasan gerak: kekakuan yang muncul awal berhubungan dengan hasil
yang kurang baik.
• Nekrosis avaskular talus: sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada
teknik kombinasi pelepasan medial dan lateral.
• Overkoreksi yang mungkin karena: • Pelepasan ligamen interoseum dari persendian
subtalus
• Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral • Adanya perpanjangan
tendon. (Soebandi, 2012)

DIAGNOSIS BANDING
• Postural clubfoot – terjadi karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas kaki ini
dapat dikoreksi secara manual. Postural clubfoot memberi respons baik pada pemasangan
gips serial dan jarang relaps.
• Metatarsus adductus (atau varus) – suatu deformitas tulang metatarsal saja. Forefoot
mengarah ke garis tengah tubuh, atau berada pada aposisi adduksi. Abnormalitas ini dapat
dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial. (Soebandi, 2012)
PROGNOSIS
Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa tindakan operatif.
Teknik Ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles) dilaporkan memiliki tingkat
kesuksesan sebesar 89%. Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-
35%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan 75-90%, baik dari segi penampilan
maupun fungsi kaki. (Soebandi, 2012)
Hasil memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama yang
mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, yang dipengaruhi
oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen pasien CTEV
membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir dua pertiganya adalah prosedur
pembentukan ulang tulang). Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan
rentang 10-50%. Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih
dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm) (Soebandi, 2012).
Daftar Pustaka
Angganugraha, I. (2016) ‘Congenital Talipes Equino Varus ( Ctev )’.
Soebandi (2012) ‘Congenital Talipes Equinovarus ( CTEV )’, 39(3), pp. 178–183.

Anda mungkin juga menyukai