Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I

PENDAHULUAN

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai ‘club-foot’
adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang sering ditemui, tetapi
masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam terminologi “sindromik” bila kasus ini
ditemukan bersamaan dengan gambaran klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom
genetik. CTEV dapat timbul sendiri tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering
disebut sebagai CTEV “idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis
dan neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk yang
paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang kedua ini
ekstremitas superior dalam keadaan normal.

Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates pada 400
SM. Hipokrates menyarankan peawatan dengan cara memanipulasi kaki dengan lembut untuk
kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan modern juga masih mengandalkan
manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan immobilisasi secara serial yang dilakukan
secara hati-hati diikuti pemasangan gips adalah metode perawatan modern non operatif.
Kemungkinan mekanisme mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti,
dimana penggunaan metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun
demikian, masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI2,4,9

Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi adduksi, supinasi dan
varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan
tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai tambahan,
tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.

2.2 EPIDEMIOLOGI1,2,4,6

Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin. Insiden CTEV
di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup. Perbandingan kasus laki-
laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral didapatkan pada 30-50% kasus.

2.3 KLASIFIKASI1,4,10

Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum terdapat satu
klasifikasi yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering digunakan adalah
postural atau posisional, serta fixed rigid. Clubfeet postural atau posisional bukan
merupakan clubfeet yang sebenarnya. Sedangkan clubfeet jenis fixed atau rigid dapat
digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat dikoreksi tanpa operasi) dan resisten
(membutuhkan terapi operatif, walaupun hal ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman
dr. Ponseti).

Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :

a. Pirani
b. Goldner
c. Di Miglio
d. Hospital for Joint Diseases (HJD)
e. Walker

2.4 ETIOLOGI1,2,4,6

3
Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan tetapi banyak
teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :

a. faktor mekanik intra uteri


b. defek neuromuskular
c. defek plasma sel primer
d. perkembangan fetus yang terhambat
e. herediter
f. hipotesis vaskular

2.5 PATOFISIOLOGI2

Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara lain:

a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus pada
pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya perubahan inervasi intrauterine
karena penyakit neurologis, seperti stroke. Teori ini didukung dengan adanya insiden
CTEV pada 35% bayi dengan spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen yang
sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur tendon (kecuali
Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari jaringan kolagen yang sangat padat
dan tidak dapat teregang. Zimny dkk, menemukan adanya mioblast pada fasia
medialis menggunakan mikroskop elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa
hal inilah yang menyebaban kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali pada insersi
tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal ini dikarenakan adanya
distorsi pada posisi anatomis CTEV yang membuat tampak terlihat adanya kelainan
pada insersi tendon.
f. Variasi iklim

4
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan insiden
epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya variasi yang serupa pada
insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV dikatakan merupakan keadaan
sequele dari prenatal poliolike condition. Teori ini didukung oleh adanya perubahan
motor neuron pada spinal cord anterior bayi-bayi tersebut.

2.6 GAMBARAN KLINIK1,3,4

Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga. Lakukan
pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya kelainan lain. Periksa
kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga dapat terlihat bagian plantar.
Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk mengevaluasi adanya rotasi internal dan
varus.

Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan arthrogryposis.


Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada dalam posisi supinasi
(varus) serta adduksi.

Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi kontraktur pada
jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus tidak hanya berada dalam
posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami rotasi ke arah medial disertai rotasi
ke arah lateral pada bagian posteriornya.

Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut (seperti
pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi kembali dan pada
perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung atau dagu).

Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan mudah teraba
pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh navikular dan badan talus.
Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada umumnya menempel pada navikular.
Jarak yang normal terdapat antara navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia
sering mengalami rotasi internal.

2.7 TERAPI2,3,4,5,9

5
Tujuan dari terapi adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada dan
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya pertumbuhan tulang.

Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu :

 CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan gips.
 CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata laksanaan dengan
pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun sepertinya berhasil dengan terapi
manipulatif. Pada kategori ini dibutuhkan intervensi operatif.

Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr. Shafiq Pirani,
seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The Pirani Scoring System.
Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat mengidentifikasi tingkat keparahan dan
memonitor perkembangan suatu kasus CTEV selama koreksi dilakukan.

Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk
hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC),
kekosongan tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang
terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi
menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di
sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of
the lateral head of the talus (LHT).

Penatalaksanaan non operatif

Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint dimulai pada bayi
berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Adduksi dari forefoot


2. Supinasi forefoot

3. Equinus

Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat mematahkan kaki
pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan
6
saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan, kemudian
pertahankan posisi ini dengan cara menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari
sekali, atau dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan
koreksi selanjutnya.

Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa bulan.
Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya kegagalan terapi
konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang menetap, deformitas berupa
rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi dihentikan.

Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas CTEV,
apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini dikonfirmasi dengan
menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Dari laporan
didapatkan bahwa tingkat kesuksesan dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-
58%.

Metode Ponseti

Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa. Metode ini
dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang dilakukan oleh dr. Ponseti.
langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :

1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi tulang
kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki berada dalam posisi
adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi subtalar. Tujuan pertama
adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan
koreksi kaki yang optimal pada kasus CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa
dengan bebas dirotasikan kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal
dari persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari telunjuk
operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu
jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala talus, sementara kita melakukan
gerakan abduksi pada forefoot dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi. Apabila
ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi kaki adalah dengan

7
cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut, untuk mengoreksi cavusnya.
Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot dapat diposisikan abduksi seperti yang
tertulis dalam langkah pertama.

3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan tulang
kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka tulang kalkaneus tidak
dapat berotasi dan menetap pada posisi varus. Seperti tertulis pada langkah kedua,
cavus akan meningkat. Hal ini dapat menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada
akhir langkah pertama, maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi
tidak pernah pronasi.

4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki


dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast untuk
mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang dengan bantalan
seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah selanjutnya adalah
menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk melekatkan kaki dengan bantalan gips.
Dr. Ponsetti lebih memilih untuk memasang bantalan tambahan sepanjang batas
medial dan lateral kaki, agar aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips.
Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi
arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama pemasangan gips
panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum
dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji
yang berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian
disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi
forefoot, selanjutnya hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta
megetahui koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon Achilles
yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir dengan terbentuknya
deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan kaki yang abnormal (cavus)
harus diterapi secara terpisah, seperti yang digambarkan pada langkah kedua,
sedangkan posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya
midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan abduksi kaki
yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi yang dilakukan (usaha

8
untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat dianggap adekuat bila aksis paha
dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus membutukan
dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles. Hal ini dilakukan dalam
keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan kombinasi antara lignokain topikal
dan infiltrasi lokal minimal menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara
membuat irisan menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi
kemudian ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat diabsorbsi.
Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada pada posisi dorsofleksi
maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga 2-3 minggu.

6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu yang


dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah diposisikan
abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffected foot set at 45° of
abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk mencegah kaki terselip
dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari selama 3 bulan, kemudian dipakai
saat tidur siang dan malam selama 3 tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat berpindah ke
bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini membuat koreksi kaki
dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini
diindikasikan pada anak usia 2-2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki.
Sebelum dilakukan operasi tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

2.8.2 TERAPI OPERATIF2,8

a. Insisi

Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :

 Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial (persendian
navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral (bagian distal dan medial
sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang pergelangan kaki setinggi sendi
tibiotalus.

9
 Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat menyebabkan luka
terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial kaki. Untuk menghindari hal ini,
beberapa operator memilih beberapa jalan, antara lain :

o Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan lateral

o Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral

Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai berikut :

 Tendon Achilles
 Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.

 Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.

 Ligamen tibiofibular inferior

 Ligamen fibulocalcaneal

 Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.

 Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik

Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari proyeksi
lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan pemasangan kawat di
persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan
menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka
tersebut dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya
dapat dilakukan cangkok kulit.

Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien :

1. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya melalui prosedur
jaringan lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan pembentukan ulang
tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari persendian kalkaneokuboid
[prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).

10
3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi lateralis
atau arthrodesis.).

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska operasi sulit
dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat terjadi reaksi ganulasi,
untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat juga
dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka paska operasi. Perban hanya boleh
dipasang longgar dan harus diperiksa secara reguler.

Follow-up pasien

Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap diperlukan
pemasangan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown selama 6-12 bulan.

2.9 KOMPLIKASI2,7,8

 Infeksi (jarang)
 Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.

 Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus muncul pada
tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.

Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan :

 Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus


 Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral

 Adanya perpanjangan tendon

2.10 DIAGNOSA BANDING2,3,4,8

 Postural clubfoot – disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis abnormalitas
kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh pemeriksa. Postural clubfoot
memberi respon baik dengan pemasangan gips serial dan jarang relaps.

11
 Metatarsus adductus (atau varus) – adalah suatu deformitas dari tulang metatarsal
saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada pad aposisi addkutus.
Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi dan pemasangan gips serial.

2.11 PROGNOSIS2,5,6

 Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa
tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar 89% dengan
menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon Achilles). Peneliti lain
melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar kasus
melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%, baik dari segi penampilan maupun
fungsi kaki.
 Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor utama yang
mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan pergerakan kaki, dimana hal
tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran kubah dari tulang talus. Tiga puluh
delapan persen dari pasien dengan kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih
lanjut (hampir 2/3 nya adalah prosedur pembentukan ulang tulang).

 Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang antara 10-
50%.

 Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih dari 3 bulan
(biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm).

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot): disorder of the


foot but not the hand. www.anatomisociety.com [29 juli 2008].
2. Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com [29 juli 2008].
3. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus. www.podiatry.com
[29 juli 2008].
4. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature Review.
www.mjm.com [29 juli 2008].
5. Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of Deformity in
the Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli 2008].
6. Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus (clubfoot).
www.statehealth.com [2 juli 2008].
7. Anonym. 2005. Clubfoot Deformity. www.dubaibone.com [5 juli 2008].
8. Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec 2007, Vol. 5,
No. 2. Turco’s Postero – Medial Release for Congenital Talipes Equinovarus.
www.gjm.com [5 juli 2008].
9. Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in Infancy and Early
Chlidhood. www.jbjs.com [5 juli 2008].
10. Kler, J. et al. 2005 Treatment Methods of Congenital Talipes Equinovarus-three case
reports. www.jpn-online.com [7 juli 2008].
11. Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic Assesment of Congenital Talipes Equinovarus:
Strapping versus Forced Dorsoflexion. www.jos.com [7 juli 2008].

13

Anda mungkin juga menyukai