Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN PADA ANAK DENGAN

CTEV

Disusun Oleh:

HIDAYAT NORWAHID

144012255

POLITEKNIK KESDAM VI BANJARMASIN

2024/2025
A. Pengertian CTEV (Dewi, 2018)
Clubfoot atau Congenital talipesequinovarus (CTEV) diajukan oleh
Hippocrates sekitar 300 SM. Istilah talipesequinovarus berasal dari kata latin :
talus (pergelangan kaki) dan pes (kaki); equinus: “seperti kuda” (tumit dalam
posisi plantar fleksi) dan varus: dalam posisi inversi dan aduksi. Congenital
talipes equinovarus adalah deformitas kaki yang kompleks yang terdapat
pada anak normal pada umumnya, terdiri dari empat komponen: equinus,
varus tumit, aduksi kaki depan, dan cavus. CTEV, atau yang sering dikenal
sebagai clubfoot adalah kelainan tumbuh kembang pada tungkai bawah yang
sering ditemukan namun masih sedikit dipelajari. Kondisi ini didefinisikan
sebagai fiksasi dari kaki dalam posisi aduksi, supinasi, dan varus. Kaki
cenderung dalam posisi mengarah ke dalam, terputar ke arah luar pada
sumbu aksial dan mengarah ke bawah. Tulang calcaneus, navicular, dan
cuboid berputar ke arah medial berhubungan dengan talus, dan tertahan
dalam posisi aduksi dan inversi oleh ligamen dan tendon. Meskipun telapak
kaki dalam posisi supinasi, bagian kaki depan pronasi berhubungan dengan
bagian belakang kaki mengakibatkan cavus. Sebagai tambahan, metatarsal
pertama dalam posisi lebih plantar fleksi.

B. Etiologi CTEV (Dewi, 2018)


Dengan etiologi yang belum diketahui secara pasti, dengan
mempertimbangkan penyebab intrinsik dan ekstrinsik, beberapa teori telah
dikemukakan untuk menerangkan penyebab dari clubfoot, termasuk di
antaranya : posisi fetus intrauterus, kompresi mekanikal atau peningkatan dari
tekanan hidrolik intrauterin, gangguan pertumbuhan dari fetus, infeksi virus,
defisiensi vaskuler, perubahan muskuler, perubahan neurologis, defek
pertumbuhan dari struktur tulang, dan defek genetik. Bagaimana pun juga,
clubfoot tetap dipertimbangkan sebagai penyakit dengan penyebab
multifaktorial. Clubfoot dapat dihubungkan dengan kejadian myelodisplasia,
arthrogriposis, atau kelainan kongenital lainnya namun lebih sering
merupakan defek kelahiran idiopatik yang berdiri sendiri.

C. Klasifikasi CTEV (Dimeglio, 1991 dalam Dewi)


Dimeglio menyebutkan terdapat empat kategori dari clubfoot, berdasarkan
pada gerakan sendi dan kemampuan untuk perbaikan dari deformitas
tersebut.
1. Soft foot atau disebut juga kaki postural, dapat diterapi dengan fisioterapi
dan casting standar.
2. Soft > Stiff foot terdapat pada 33% kasus. Lebih dari 50% dari kondisi ini
biasanya dapat direduksi dan dapat diterapi dengan casting, total koreksi
dapat dicapai setelah 7-8 bulan, apabila tidak, diperlukan tindakan
pembedahan.
3. Stiff > Soft foot terdapat pada 61% kasus. Kurang dari 50% dari kondisi
ini dapat direduksi setelah dilakukan fisioterapi dan casting. Pembedahan
dapat dilakukan setelah penatalaksanaan kondisi khusus yang menyertai.
4. Stiff foot adalah kondisi teratologis dan sulit diperbaiki. Kondisi ini
berupa deformitas bilateral equinus yang parah dan memerlukan
perbaikan luas melalui pembedahan.
D. Gejala Klinis CTEV (Dewi, 2018)
Clubfoot idiopatik ditandai dengan adanya kaki yang berbentuk
menyerupai bean shaped, penonjolan dari head talus, celah pada plantar
medial, celah yang dalam pada bagian posterior, tidak terdapat lipatan kulit
normal di atas insersio dari tendon Achilles, tuberiositas calcaneus berada
pada posisi yang lebih tinggi, serta atrofi dari otot betis. Tiga komponen
utama dari deformitas ini adalah equinus, varus, dan adduktus, tampak jelas
pada saat dilakukannya pemeriksaan fisik. Secara klinis, beberapa
karakteristik dapat ditemukan pada saat pemeriksaan clubfoot. Pada bagian
medial, maleolus medial terbentuk tidak sempurna, tidak terdapat head talus
dan navicular berada bersebelahan dengan aspek medial dari pergelangan
kaki. Pada bagian lateral, fibula dan sinus tarsi tidak tampak, head talus
menjadi menonjol. Telapak kaki dan ekstremitas bawah yang lebih pendek
biasanya ditemukan pada perbandingan dengan sisi kontralateral, apabila
deformitas hanya unilateral. Lipatan kulit pada bagian medial terbentuk
akibat posisi aduktus-varus yang parah, begitu pula dengan bentuk klasik
menyerupai kacang pada tumit. Atrofi tungkai bagian bawah juga ditemukan
pada anak dengan usia lebih dewasa.

E. Pemeriksaan Penunjang (Dewi, 2018)


CTEV dapat didiagnosis pada masa antenatal dengan bantuan
ultrasonografi. Terdapat vasiasi yang lebar pada akurasi penggunaan yang
telah dilaporkan. Salah satu penelitian terbaru menemukan bahwa diagnosis
clubfoot menggunakan ultrasonografi memiliki nilai prediksi positif sebesar
83% dengan nilai positif palsu sebesar 17%. Pada peneilitian tersebut tidak
terdapat kasus clubfoot kompleks yang terlewatkan dari diagnosis namun
diperlukan pengamatan yang berulang dari fetus dengan CTEV dikarenakan
perubahan kompleksitas dari deformitas mengalami perubahan pada 25%
kasus. Penelitian yang hampir sama oleh Mammen dan Benson menemukan
nilai positif palsu lebih tinggi pada unilateral (29%) dibandingkan pada
clubfoot bilateral (7%). Mereka mencatat anomali yang berhubungan dengan
CTEV lebih sering ditemukan pada bilateral (76%) dibandingkan pada kasus
unilateral (55%). Pemeriksaan lebih dapat diandalkan apabila dilakukan pada
minggu 20 sampai 24 kehamilan dibandingkan dengan minggu kehamilan
sebelumnya.

F. Penatalaksanaan CTEV (Dewi, 2018)


Clubfoot dapat dikoreksi dengan metode konservatif atau pembedahan.
Secara historis, pada 400 SM, penanganan konservatif clubfoot dengan teknik
manipulasi dan imobilisasi diperkenalkan oleh Hippocrates. Berdasarkan
prinsip-prinsip Hippocrates penanganan clubfoot, terdapat beberapa metode
konservatif (metode Kite, metode French, metode Ponseti "manipulasi,
casting, tenotomi, abduksi kaki dengan pemasangan brace", metode fisik
lainnya seperti kinesio-terapi, terapi-termal, elektro-terapi, splinting, sepatu
modifikasi, dan perangkat orthotik lainnya) dikembangkan baru-baru ini
sebagai penanganan clubfoot.
1. Metode Ponseti
Komponen dari metode ini meliputi serial manipulasi yang gentle dan
casting setiap minggunya, diikuti Achilles tenotomy. Terkadang
digunakan juga foot abduction brace untuk mencegah dan mengatasi
relaps. Ponseti memberikan sebuah akronim CAVE (Cavus, Adductus,
Varus, dan Equinus) sebagai panduan untuk tahapan koreksi CTEV.
Deformitas cavus dikoreksi terlebih dahulu dengan cara supinasi forefoot
relatif terhadap hindfoot melalui penekanan pada metatarsal I. Pada
kebanyakan kasus, deformitas cavus akan terkoreksi dengan satu kali
pemasangan long leg cast Forefoot adduction, hindfoot varus, dan
hindfoot equinus akan dikoreksi pada pemasangan cast ke 2-4. Koreksi
aduksi forefoot dan hindfoot varus dilakukan secara simultan dengan
supinasi pedis dan counterpressure pada head of talus. Equinus
merupakan deformitas terakhir yang dikoreksi, dan koreksi harus
dilakukan ketika hindfoot dalam posisi sedikit valgus dan pedis abduksi
70° relative terhadap cruris.
2. Terapi Operatif
Indikasi pertama untuk dilakukannya tindakan operatif pada clubfoot
adalah kegagalan koreksi deformitas dengan menggunakan metode
konservatif dalam tahun pertama kehidupan anak. Penulis biasanya
menerapkan metode Ponseti pada anak hingga umur 1 tahun dengan
kondisi yang sebelumnya belum pernah ditangani secara optimal. Namun
pada kasus dengan kondisi yang gagal mengalami perbaikan dengan
menggunakan cast dan latihan secara rutin, tindakan operatif adalah
indikasi yang pasti. Pembedahan clubfoot terutama digunakan pada
sindrom clubfoot dan clubfoot derajat berat. Beberapa jenis pembedahan
untuk CTEV diantaranya :
a. Operasi Jaringan Lunak
1) Percutaneus achilles tenotomy : Mengoreksi residual ewuinus
dengan memanjangkan tendon Achilles.
2) Anterior tibial muscle surgery : Pasien berusia 2-3 tahun, kasus
rekurensi dengan kaki fleksibel.
3) Posteromedial soft-tissue release (PMR) :Mengoreksi tibiotarsal
dan subtalar equinus dengan memanjangkan tendon, serta
membelah aponeurosis dan kapsul sendi.
b. Operasi Tulang
1) Medial column lengthenin/Lateral column-shortening osteotomy
(cuboid decancellation) : Dilakukan saat operasi inisial pada
clubfoot usia >2-3 tahun, dan deformitas rekuren dengan kaki
“bean-shaped” usia 3-10 tahun.
2) Talectomy : Usia 6-10 tahun, dengan clubfoot berat, kaku
dengan rekurensi, arthrogryposis.
3) Supramalleolar : Pada anak usia 8-10 tahun dengan gangguan
sensasi kaki, kompleks, kaku, multiplanar clubfoot yang gagal
diobati dengan terapi konvensional.
G. Pathway

Kondisi janin dalam kandungan Faktor


Idiopatik
neurogenik
genetik

Posisi Pergerakan Kelainan Perubahan inervasi


abnormal janin janin terbatas perkembangan intra uterin

Deformitas Abnormalitas histokimia


tulang Fase Peningkatan fibrosa pada otot peroneal
fibular di otot dan ligamen

CTEV

Terapi Metakarsal Fleksi plantar Calcaneus, Adduksi serta


konservatif pertama lebih talus naviscular, dan inverse
fleksi terhadap (pergelangan cuboid terotasi pada
derah plantar kaki) ke arah ligament dan
Pemasangan medial tendon
Gerakan
terbatas gips
Tumit
menjadi Inversi pada Adduksi pada
sendi subtalar kaki depan
Gangguan Gips terlalu terbalik/lebih
(tungkai)
rasa ketat tinggi
nyaman

Sindrom
kompartemen
Bentuk kaki
abnormal

Gangguan

integritas Gangguan
mobilitas fisik
H. Pengkajian (Marbun, dkk, 2015)
1. Biodata Klien
Mengkaji identitas klien dan penanggung jawab meliputi nama, umur,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan
alamat. Pada banyak kasus, bayi laki-laki dua kali lebih banyak menderita
kaki bengkok daripada perempuan.
2. Keluhan Utama
Keluhan yang membuat klien dibawa ke rumah sakit karena adanya
keadaan abnormal pada kaki anak, yaitu adanya berbagai kekakuan kaki,
atrofi betis kanan, hipoplasia tibia, fibula dan tulang-tulang kaki ringan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat
pengkajian seperti Klien tidak mengalami keluhan apa-apa selain
adanya keadaan yang abnormal pada kakinya.
b. Riwayat Penyakit Keluarga
Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat
diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang
terdapat dalam keluarga.
c. Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal
1) Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta
upaya yang dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali
perawatan antenatal , kemana serta kebiasaan minum jamua-
jamuan dan obat yang pernah diminum serat kebiasaan selama
hamil.
2) Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang
menolong, cara persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi
forcep, section secaria dan gamelli), presentasi kepala dan
komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat lahir dan
morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa kehamilan
(cukup, kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak menangis spontan
atau tidak.
3) Postnatal
Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan
dengan gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan,
warna kulit,pola eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal
perlu dikaji adanya ashyksia, trauma dan infeksi.
4) Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Berat badan, lingkar kepala, lingkar lengan kiri atas, lingkar dada
terakhir.Tingkat perkembangan anak yang telah dicapai motorik
kasar, halus, social, dan bahasa.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Sosial, perkawinan orang tua, kesejahteraan dan ketentraman,
rumah tangga yan harmonis dan pola suh, asah dan asih. Ekonomi
dan adat istiaadat, berpengaruh dalam pengelolaan lingkungan
internal dan eksternal yang dapat mempengaruhi perkembangan
intelektual dan pengetahuan serta ketrampilan anak. Disamping itu
juga berhubungan dengan persediaan dan pengadaan bahan
pangan, sandang dan papan.
6) Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi anak sangat penting, dengan kelengkapan
imunisasi pada anak mencegah terjadinya penyakit yang mungkin
timbul.Meliputi imunisai BCG, DPT, Polio, campak dan hepatitis.

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola nutrisi, Makanan pokok utama apakah ASI atau PASI. pada umur
anak tertentu. Jika diberikan PASI (ditanyakan jenis, takaran dan
frekuensi) pemberiaannya serta makanan tambahan yang
diberikan.Adakah makanan yan disukai, alergi atau masalah makanan

yang lainnya).
b. Pola eliminasi, sistem pencernaan dan perkemihan pada anak perlu
dikaji BAB atau BAK (Konsistensi, warna, frkuensi dan jumlah serta
bau). Bagaimana tingkat toileting trining sesuai dengan tingkat
perkembangan anak.
c. Pola aktivitas, kegiatan dan gerakan yang sudah dicapai anak pada
usia sekelompoknya mengalami kemunduran atau percepatan.
d. Pola istirahat, kebutha istirahat setiap hari, adakah gangguan tidur,
hal-hal yang mengganggu tidur dan yang mempercepat tidur.
e. Pola kebersihan diri, bagaiman perawatan pada diri anak apakah
sudah mandiri atau masih ketergantuangan sekunder pada orang lain
atau orang tua.

4. Pemeriksaan Fisik
a. Pantau status kardiovaskuler.

b. Pantau nadi perifer.


c. Pucatkan kulit ekstremitas pada bagian distal untuk memastikan
sirkulasi yang adekuat pada ekstremitas tersebut.
d. Perhatikan keketatan gips, gips harus memungkinkan insersi jari di
antara kulit ekstremitas dengan gips setelah gips kering.
e. Kaji adanya peningkatan nyeri, bengkak, rasa dingin, dan sianosis.
f. Kaji sensasi jari kaki dengan langkah sebagai berikut.
1) Minta anak untuk menggerakkan jari kaki.
2) Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu

berespon terhadap perintah.


3) Laporkan dengan segera adanya tanda-tanda ancaman kerusakan
sirkulasi.
4) Intruksikan anak untuk melaporkan adanya rasa kebas atau
kesemutan.

g. Periksa suhu (gips plester), yaitu :


1) Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan
panas.
2) Evaporasi air, yang menyebabkan kehilangan panas.

h. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau adanya nyeri tekan.


i. Inspeksi bagian dalam gips untuk adanya benda-benda yang
terkadang dimasukkan oleh anak yang masih kecil.
j. Observasi adanya tanda-tanda infeksi dengan cara sebagai berikut.
1) Periksa adanya drainase.
2) Cium gips untuk adanya bau menyengat.
3) Periksa gips untuk adanya ”bercak panas” yang menunjukkan
infeksi dibawah gips.
4) Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi dan ketidaknyamanan
k. Observasi kerusakan pernapasan (gips spika), yaitu :
1) Kaji ekspansi dada anak.
2) Observasi frekuensi pernafasan.
3) Observasi warna dan perilaku.
l. Kaji adanya bukti-bukti perdarahan (reduksi bedah terbuka), lalu
batasi area perdarahan.
m. Kaji kebutuhan terhadap nyeri.

I. Diagnosa
1. Gangguan rasa nyaman b.d. efek samping terapi (pemasangan gips)
(D.0074).
2. Gangguan mobilitas fisik b.d. gangguan muskuloskeletal (D.0054).
3. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d. perubahan sirkulasi (D.0129).

J. Intervensi
No.Dx. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

1 Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri (I.08238)


keperawatan selama 1x7
Observasi
jam, diharapkan status
kenyamanan pasien 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
menurun dengan frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri.
kriteria hasil (L.08064) :
2. Identifikasi skala dan faktor yang memperberat

- Keluhan tidak nyaman dan memperingan nyeri.

menurun skala 5. 3. Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas

- Gelisah menurun skala hidup.


5. 4. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang
- Menangis menurun sudah diberikan.
skala 5.
5. Monitor efek samping penggunaan analgesik.
- Rileks meningkat skala
Terapeutik
5.
- Dukungan sosial dari 1. Berikan teknik non-farmakologis untuk

keluarga dan teman mengurangi rasa nyeri (mis: terapi

meningkat skala 5. musik).


2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi meredakan nyeri.
Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri.


2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.

4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.


5. Ajarkan teknik non-farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi

Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu.

2 Setelah dilakukan asuhan Dukungan Ambulasi (I.06171)


keperawatan selama 1x7
Observasi
jam, diharapkan mobilitas
fisik pasien meningkat
1. Identifikasi adanya keluhan fisik.
dengan kriteria hasil 2. Identfikasi toleransi fisik melakukan ambulasi.
(L.05042) : 3. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah
sebelum memulai ambulasi.
- Pergerakan ekstermitas
4. Monitor kondisi umum selama melakukan
meningkat skala 5.
ambulasi.
- Kekuatan otot
Terapeutik
meningkat skala
5. 1. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu.
- ROM menngkat skala 2. Fasilitasi melakukan mobilitas fisik, jika perlu.
5. 3. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan ambulasi.
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi.
2. Anjurkan melakukan ambulasi dini.
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan.
3 Setelah dilakukan asuhan Perawatan Integritas Kulit (I.11353)

keperawatan selama 1x7 Observasi


jam, diharapkan integritas
kulit dan jaringan pasien Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit.
meningkat dengan kriteria
hasil (L.14125) : Terapeutik

- Kerusakan jaringan 1. Gunakan produk berbahan minyak untuk kulit

dan lapisan kulit kering dan alami/ringan untuk kulit sensitif.

menurun skala 5. 2. Hindari produk berbahan alkohol untuk kulit

- Nyeri menurun skala 5. kering.


Edukasi
- Nyeri, kemerahan,
nekrosis menurun
1. Anjurkan menggunakan pelembap.
skala 5.
2. Anjurkan minum air yang cukup, meningkatkan
- Hidrasi, suhu, dan
asupan nutrisi buah dan sayur.
sensasi
3. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun
meningkat skala
secukupnya.
5.
K. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012 dalam Jannah).
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang diperlukan untuk

mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan,


dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry, 2010 dalam Jannah).

L. Evaluasi
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan, karena kesimpulan yang
ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan harus
diakhiri, dilanjutkan, atau diubah (Kozier, 2011 dalam Rahmawati). Macam
evaluasi, yakni :
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Kadek A. 2018. “Laporan Kasus”. Karya Tulis Ilmiah. Bali : Jurusan
Kedokteran, Universitas Udayana.

Jannah, Raudatul. 2020. “Asuhan Keperawatan Anak Pada Bayi Ny. L dengan
Hiperbilirubin di Ruang Perinatologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau”.
Karya Tulis Ilmiah. Pekanbaru : Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes
Riau.

Marbun, dkk. 2015. “Asuhan Keperawatan pada Gangguan Muskuloskeletal


Congenital Talipes Equinovarus”. Karya Tulis Ilmiah. Medan : Jurusan
Keperawatan, STIKES Santa Elisabeth Medan.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standar Interfensi Keperawatan


Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Indonesia.

Rahmawati, Fitria. 2021. “Laporan Pendahuluan pada By. Ny. A dengan Asfiksia
di Ruang NICU RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro Semarang”. Karya Tulis
Ilmiah. Surakarta : Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Surakarta. .

Anda mungkin juga menyukai