Anda di halaman 1dari 16

2.

5 Pemfigoid Sikatrisial
2.5.1 Definisi
Pemfigoid sikatrisial adalah penyakit vesikulobulosa subepitel
kronis yang jarang terjadi yang dimediasi oleh imunitas kronis. Istilah
sikatrisial berasal dari kata 'cicatrix' yang berarti bekas luka,
penyembuhan berupa luka parut. Penyakit ini merupakan bagian dari
kelompok gangguan autoimun bulosa subepidermal/ subepitelial.
Pemfigoid sikatrisial paling sering melibatkan membran mukosa
rongga mulut & mata dalam jumlah kecil bisa menyerang mukosa
rongga hidung, faring, laring, kerongkongan & genitalia serta kulit
(Bhatia dkk, 2011)
2.5.2 Etiopatogenesis
Penyebab pemfigoid sikatrisial biasanya tidak diketahui namun
kadang dipicu oleh obat-obatan seperti clonidine, indomethacin, D-
penicillamine & beberapa obat topikal mata seperti pilocarpine, timolol.
(Bhatia dkk 2011 dan Rajaraman, 2013)
Faktor etiologi lain yang diduga adalah virus, sinar UV &
predisposisi genetik atau hubungan penyakit autoimun lainnya yang
ditandai dengan deposisi in vivo linier imunoglobulin, komplemen atau
keduanya, terutama IgG & C3 di sepanjang zona basal membran (basal
membrane zone / BMZ). Mungkin ada latar belakang imunogenetik &
hubungan dengan HLADQB1 * 0301, yang terutama menonjol pada
pemfigoid sikatrisial. HLA-DR2, HLA-DR4 dan DQw7 telah terbukti
dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya pemfigoid sikatrisial
(Bhatia dan Rajaraman).
Patogenesis pemfigoid sikatrisial mencakup induksi autoantibodi,
mediasi komplemen sequestrasi leukosit yang menghasilkan pelepasan
sitokin & leukosit yang menyebabkan pelepasan sel basal dari BMZ
( Bhatia)
2.5.3 Epidemiologi
Data dermatologis menunjukkan bahwa pemfigoid sikatrisial kira-kira
7 kali lebih jarang terjadi daripada pemfigoid bulosa akan tetapi 3 kali
lebih sering daripada pemfigus, yang memiliki kejadian tahunan 0,5
sampai 3,2 per 100.000 orang (Bathia). Tidak ada predileksi ras atau
geografis yang diketahui meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan
hubungan pemfigoid sikatrikial dengan beberapa haplotipe imunogenetik
seperti HLA-DQB1. Pemfigoid sikatrik biasanya terlihat pada usia lanjut,
antara 40-70 tahun, perempuan dilaporkan lebih sering terkena daripada
laki-laki dengan rasio 2: 1 (Raj )
2.5.4 Gejala Klinis
Keadaan umum penderita baik jarang mengalami remisi. Kelainan
mukosa yang tersering adalah rongga mulut (90%), mata (65%), hidung,
nasofaring, anogenital, kulit (20%-30%), laring (8% -9%), dan esofagus.
Pemulaan penyakit mengenai mukosa bukal dan gingiva, palatum mole
dan palatum durum, kadang-kadang lidah, uvula, tonsil dan bibir juga ikut
terserang. Bula umumnya tegang, lesi biasanya terlihat sebagai erosi (UI
dan Bathia)
Gambaran klinisnya adalah eritema gingiva & hilangnya penopang
ginggiva, meluas secara apikal dari margin gingiva ke mukosa alveolar.
Terdapat deskuamasi bervariasi dari bentukan patch kecil yang ringan
sampai eritema yang meluas dengan gambaran mengkilap.
Rasa sakit yang kronis sering terjadi, menjadi sangat parah saat makan
makanan asam. Waktu antara onset gejala dan diagnosis relatif singkat,
mungkin karena ketidaknyamanan pasien yang disebabkan oleh bula,
ulserasi & nyeri.Vesikel atau bula juga dapat terjadi di tempat lain pada
mukosa oral dan adanya tanda Nikolsky yang positif.
Bula tegang relatif pecah dengan cepat pada mulut, menyebabkan
pseudomembrane tertutup, erosi berbentuk tidak teratur, yang merupakan
manifestasi paling umum setelah deskuamatif gingivitis. Erosi memiliki
slough kekuningan dan dikelilingi oleh lingkaran inflamasi. Palatum mole,
palatum durum, mukosa bukal, rongga alveolar & lidah juga bisa
dilibatkan, sedangkan lesi bibir jarang terjadi.
Manifestasi okular cukup umum terjadi, berkisar antara 3-48% dan
bisa berujung kebutaan. Keterlibatan mata biasanya dimulai sebagai
konjungtivitis kronis dengan gejala rasa terbakar, iritasi dan air mata yang
berlebihan. Jaringan parut setelah terjadinya fibrosis berulang dapat
menyebabkan penyatuan sklera dan konjungtiva palpebral (symblepheron)
atau palpebra superior dan inferior (ankyloblepheron). Konjungtiva
berkontraksi & membalikkan kelopak mata (entropion) yang mengarah ke
pembalikan bulu mata ke permukaan kornea dan menyebabkan terjadinya
iritasi (trichiasis). Namun, jaringan parut kurang umum terjadi di rongga
mulut. Lesi kulit secara khas bersifat hemisfer & bula tegang yang
biasanya tidak bergejala sampai pecah. (Batia)
Mukosa hidung dapat terkena dan dapat mengakibatkan obstruksi
nasal. Jika faring terkena dapat mengakibatkan pembentukan jaringan
parut dan stenosis laring. Esofagus jarang terkena namun jika terkena akan
mengakibatkan adhesi dan penyempitan yang membutuhkan dilatasi. Lesi
pada penis dan vulva biasanya berupa bula atau erosi sehingga akan
menggangu aktivitas seksual. (UI)
Gambar 2. Multiple ulserasi pada mukosa bukal kanan (kiri), ulserasi pada
permukaan ventral dari lidah (kanan)

Gambar 2. Ulserasi pada palatum

Gambar 2. Entropion pada Pemfigoid Okular


2.5.5 Histopatologi
Secara histologis, ada kehilangan keterikatan & pemisahan ketebalan penuh epitel
dari jaringan ikat pada tingkat membran basal. Epitel, meski terpisah, tetap
bertahan lama dan membentuk atap bulla. Lantai bula dibentuk oleh jaringan ikat
saja, diinfiltrasi sel-sel inflamasi. Gambaran histopatologis yang membedakan
pemfigoid sikatrisial dengan pemfigoid bulosa adalah infiltrasi inflamasi pada
awalnya yang mengandung predominan neutrofil dengan sedikit eosinofil.
(Bathia)

2.5.6 Imunologi
Pemeriksaan imunofluorensi langsung dari lesi atau perilesi pada kulit
atau mukosa menunjukkan adanya antibodi dan komplemen di daerah
membran basalis secara linier. Imunoglobulin yang umumnya terdapat
adalag IgG. IgG autoantibodi akan mengikat antigen yang kebanyakan
kasus merupakan BPAG2, yang terletak di bagian epidermal pada IM NaCl
split skin. (UI)

2.5.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik &
biopsi dengan pemeriksaan histologis dan direct immunofluorescent (DIF).
Area yang paling tepat untuk biopsi bukan ditempat erosi karena akan
menunjukkan hilangnya epitel yang ingin dipelajari, tapi pada vesikula atau
jaringan perilesi. (Bathia)

2.5.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding pemfigoid sikatrisial antara lain: Pemfigoid Bulosa,
Eritema Multiforme (EM) & Epidermolisis Bulosa Acquisita (Bahtia)
2.5.9 Pengobatan
Pengelolaan pemfigoid sikatrisial bersifat individual tergantung pada
tingkat keparahan penyakit, usia, lokasi keterlibatan dan keadaan umum
pasien. Jarang terjadi remisi spontan. Pengobatan utamanya adalah
imunosupresif & termasuk kortikosteroid topikal & sistemik, serta agen
imunosupresif lainnya seperti dapson, sulphapyridine & azathioprine.
Kortikosteroid topikal tetap merupakan pengobatan andalan pada pemfigoid
sikatrisial, terutama untuk lesi oral lokal, meskipun beberapa peneliti
menganjurkan dapson, tetrasiklin atau kortikosteroid sistemik ringan sampai
sedang. (Bathia dan Raj)
Candidiasis merupakan penyulit pengobatan, namun bisa dicegah
dengan pemberian antimikotik. Jika lesi oral terus berkembang atau
berlanjut atau lesi oral baru, penyakit mata progresif atau laringeal atau lesi
esofagus muncul, pengobatan dengan kortikosteroid sistemik paruh plasma
pendek harus dimulai, disertai dengan imunosupresan dan imunoglobulin
sistemik. Antibiotik topikal dianjurkan untuk mengatasi lesi mata (Bathia)

2.6 Pemfigoid Gestationis

2.6.1 Definisi

Pemfigoid Gestationis (PG) adalah kelainan kulit autoimun langka


yang sangat gatal yang terjadi selama kehamilan. Biasanya terjadi pada
trimester kedua atau ketiga atau selama masa postpartum. PG termasuk
dalam kelompok pemfigoid yaitu penyakit kulit autoimun yang
menyebabkan kulit dan membran mukosa melepuh. PG sebelumnya
disebut herpes gestasional, karena morfologinya serupa berupa kulit
yang melepuh. Nama itu berubah karena PG terbukti tidak terkait
dengan infeksi herpes virus. (huilaja, cobo, saverval).

2.6.2 Etiologi
Etiologinya adalah autoimun. Sering bergabung dengan penyakit
autoimun yang lain, misalnya penyakit Grave, vitiligo dan alopecia
areata. (Menaldi)

2.6.3 Epidemiologi
Studi untuk mengetahui epidemiologi pada pemfigoid gestationis
jarang dilakukan. Studi berbasis populasi melaporkan kejadian tahunan
berkisar antara 0,5 dan 2,0 kasus per 1 juta orang di Prancis, Kuwait
dan Jerman. Dalam studi retrospektif, pemfigoid gestationis ditemukan
pada 4,2% dari 505 pasien hamil yang dievaluasi di klinik dermatologis
kehamilan. Berdasarkan data epidemiologis saat ini pemfigoid
gestationis diperkirakan terjadi pada satu dari sekitar 40.000-50.000
kehamilan tanpa perbedaan distribusi rasial. Kasus tunggal telah
dilaporkan terkait dengan kehamilan mola dan tumor trofoblastik.
(Huilaja)
2.6.4 Patogenesis

Patogenesis PG tetap tidak diketahui. Kehadiran MHC kelas II,


HLA antigen DR3 dan DR4 atau gabungan keduanya telah terbukti
lebih umum terjadi pada wanita dengan PG dibandingkan dengan
populasi normal. Jaringan plasenta dan janin mengandung antigen
jaringan paternal yang asing bagi sistem kekebalan tubuh ibu. Namun,
sistem kekebalan tubuh ibu biasanya tidak bereaksi melawan antigen
asing ini. Pada pasien dengan PG, molekul MHC kelas II yang
biasanya tidak ada di plasenta telah terdeteksi pada sel trofoblastik
plasenta dan sel stroma amniokorionik. Sebagai hasil dari pemecahan
parsial lapisan sel sinsitiotrofoblast dari villi plasenta, molekul MHC II
diperkirakan dapat berhubungan dengan sistem kekebalan maternal,
yang menyebabkan reaksi imun allogeneic (semi) terhadap molekul
BP180. (Hulaija)

BP180 (juga dikenal sebagai BPAG1 atau kolagen XVII) adalah


kunci protein struktural hemidesmosom yang menghubungkan
epidermis dan dermis yang terdiri dari domain intraseluler pendek dan
domain ekstraselular panjang]. Selain zona membran dasar kulit, BP180
ditemukan pada jaringan plasenta dan selaput janin. Plasenta BP180
terdeteksi pada sel sitotrofoblast sejak awal trimester. Pada PG, antibodi
terutama ditujukan terhadap epitop BP180 yang sama seperti pemfigoid
bulosa paling sering melawan epitop yang ditemukan pada NC16A,
domain non-kolagen terbesar dari BP180, namun antibodi terhadap
domain BP180 intraseluler dan domain ekstraselular BP180 lainnya
juga telah diamati. Selain itu, antibodi terhadap protein membran dasar
struktural lainnya, BP230, telah terdeteksi pada sekitar 10% pasien PG,
namun hal ini dianggap sekunder dan tidak signifikan secara klinis.
Reaksi silang antara antibodi plasenta dan kulit BP180 menyebabkan
gejala kulit khas dari PG (Hulaija)

2.6.5 Gejala Klinis


Bila didapatkan gejala prodormal berupa demam, malaise, mual,
muntah, nyeri kepala dan rasa panas dingin silih berganti. Beberapa hari
sebelum timbul lesi bisa didahului rasa gatal seperti terbakar. (Menaldi)
Lesi biasanya timbul di daerah perut, sering melibatkan umbilikus,
dan menyebar secara sentrifugal. Lesi biasanya terlihat berupa
papulovesikel sangat gatal dan berkelompok. Lesinya polimorf terdiri
atas eritema, edema, papul dan bula tegang. Bentuk intermediet bisa
juga ditemukan contohnya vesikel kecil, plakat mirip urtikaria, vesikel
berkelompok, erosi dan krusta. Kasus yang berat menunjukkan unsur
polimorf namun ada juga kasus yang rigan yang terdiri dari papul
eritematosa, plakat edematosa, disertai gatal ringan. (menaldi dan
Hulaija)
Serangan timbul paling sering pada trimester kedua (bulan ke 5
atau 6). Waktu paling dini adalah minggu kedua kehamilan dan paling
lambat dalam masa nifas, yakni pada masa haid pertama. Jika timbul
pada kehamilan yang berturutan maka kehamilan berikutnya akan
mucul lebih awal. (Menaldi)
Tempat perdileksi pada abdomen dan ekstremitas termasuk telapak
tangan dan kaki, dapat pula mengenai seluruh tubuh dan tidak simetris.
Muksa jarang terkena. Erupsi sering disertai edema di wajah dan
tungkai, jika lepuh pecah maka lesi akan menjadi lebih merah dan
terdapat ekskoriasi dan krusta, jika lepuh sembuh akan meninggalkan
hiperpigmentasi, tetapi jika ekskoriasinya dalam akan meninggalkan
jaringan parut. Kuku kaki dan tangan akan mengalami lekukan
melintang sesuai waktu terjadinya eksaserbasi (Menaldi). Gejala PG
biasanya mereda beberapa minggu sebelum melahirkan, namun
penyakit ini kembali diaktifkan pada 75% pasien pada saat persalinan
(hulaija)

Gambar 2. Urtikaria, papul dan plak biasanya muncul pertama kali di daerah
perut (A). lesi minor umbilikus pada PG (B). Vesikel (C) dan Bula
(D) mengikuti plak urtikaria. Lesi PG pada ekstremitas (E-G)

2.6.6 Histopatologi
Meskipun terdapat gambaran khas, namun tidak sepenuhnya dapat
menegakkan diagnosis. Terdapat sebukan sel radang di sekitar
pembuluh darah pada pleksus permukaan dan di dalam dermis, terdiri
atas histiosit, limfosit dan eosinofil. Berlawanan dengan dermatitis
herpetiformis, neutrofil jarang ditemukan. Bula yang banyak berisi
eosinofil terdapat pada lapisan subepidermal (Menaldi)
2.6.7 Diagnosis

Diagnosis PG dilakukan oleh dokter kulit, namun semua dokter


yang merawat wanita hamil, yaitu dokter umum dan ahli kandungan,
harus dapat mempertimbangkan diagnosis PG. Biopsi histopatologi
tidak diperlukan, diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, direct
immunofluorescence microscopy dan serologi. Pemeriksaan
imunofluoresensi langsung pada biopsi kulit perilesi snap-frozen
menunjukkan akumulasi linier komplemen C3 di zona membran basal
pada antarmuka epidermis dan dermis. IgG linier positif juga terdeteksi
pada sekitar 25-50% sampel, namun bukan merupakan kriteria
diagnosis. (Hulaija)

Jika curiga PG, pengukuran kadar antibodi BP180 serum


dianjurkan, karena berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit dan
memfasilitasi penilaian respons pengobatan. Sejak BP180 NC16A
ELISA sensitif dan spesifik untuk PG, maka telah diajukan sebagai tes
skrining PG atau cukup untuk mendiagnosis PG bersamaan dengan
gejala klinis yang khas. (Hulaija)
Gambar 2. Linear complement 3 (C3) (panah) fluoresensi dalam analisis
imunofluoresensi dari biopsi kulit perilesi adalah diagnostik untuk pemfigoid
gestasional. Pembesaran primer 200 ×.

2.6.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding yang paling penting untuk PG adalah
dermatosis spesifik lainnya pada kehamilan yang meliputi:
A. Atopic Eruption of Pregnancy (AEP)
Merupakan penyakit kulit khusus kehamilan yang paling umum,
yang biasanya muncul pada trimester pertama dan kedua. Sekitar
20% pasien dengan AEP memiliki dermatitis atopik yang sudah ada
sebelumnya dengan gambaran klinis yang khas, sedangkan 80%
sisanya menunjukkan adanya eczema atau lesi papular yang luas
tetapi tidak memiliki riwayat atopik sejak kecil. (Hulaija)
B. Polymorphic Eruption of Pregnancy (PEP)
Diagnosis banding terbesar Pemfigoid Gestationis adalah,
Polymorphic Eruption of Pregnancy (PEP) yang sebelumnya dikenal
dengan Pruritic Urticarial Papules and Plaques of Pregnancy
(PUPPP), yaitu dengan gambaran pruritus, urtikaria, papula dan
plak yang sangat menonjol selama trimester terakhir. Meskipun
memiliki gambaran klinis yang mirip, analisis imunofluoresensi pada
biopsi kulit perilesi pada PEP hasilnya negatif itulah hal yang
membedakannya secara eksplisit dari Pemfigoid Gestationis. Mirip
dengan Pemfigoid Gestationis, gejala PEP biasanya dimulai di perut,
namun lesi PEP biasanya tidak ada pada daerah umbilikus.(Hulaija)
C. Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy (ICP)
Intrahepatic Cholestasis of Pregnancy terkait dengan risiko janin
yang signifikan, muncul pada trimester terakhir dengan pruritus, oleh
karena itu harus dipertimbangkan menjadi diagnosis banding
pemfigoid gestationis. Pasien dengan ICP tidak memiliki lesi kulit
primer, namun karena pruritus dan goresan yang parah dapat
menyebabkan ekskisi sekunder atau bahkan prurigo nodular seperti
perubahan, biasanya pada ekstremitas. (Hulaija)

D. Pemfigoid Bulosa (PB)


Pemfigoid Bulosa menjadi diagnosis banding dari pemfigoid
gestationis karena secara histopatologik terdapat bula subepidermal
dengan banyak eosinofil dan pada pemeriksanaan imunofluoresensi
terdapat C3 dengan IgG pada membran basal. Akan tetapi pemfigoid
bulosa ini tidak hanya menyerang pada kehamilan, tetapi bisa
menyerang pria dan wanita dan biasanya pada usia tua. (Menaldi)

2.6.9 Pengobatan (Hulaija)


Saat memilih pengobatan untuk ibu harus dipertimbangkan
terhadap risiko yang mungkin timbul pada janin. Tujuan pengobatan
adalah untuk menekan rasa gatal yang berlebihan dan untuk mencegah
pembentukan bula.
Menurut rekomendasi saat ini, pasien PG dengan gejala ringan
diobati dengan kortikosteroid topikal poten atau sangat poten (misalnya
betametasone valerat atau clobetasol propionate). Studi terkontrol
dengan pasien BP telah menunjukkan bahwa pengobatan topikal
dengan kortikosteroid sama efektif dan amannya seperti prednisolon
oral 0,5 mg/kg/hari. Selama kehamilan, kortikosteroid topikal ringan
atau sedang lebih disukai daripada yang poten atau sangat poten karena
risiko penghambatan pertumbuhan janin. Bila diperlukan,
kortikosteroid topikal yang poten atau sangat poten dapat digunakan
untuk terapi PG dengan durasi sesingkat mungkin, karena potensi
fetotoksisitasnya kurang dari pada kortikosteroid sistemik.
Kombinasi antihistamin oral dengan kortikosteroid topikal,
biasanya cetirizine digunakan untuk meringankan rasa gatal. Secara
umum, antihistamin H1 generasi kedua saat ini lebih disukai daripada
antihistamin generasi pertama berdasarkan potensi efek samping
antikolinergik dan sistem saraf pusat yang serius dari antihistamin
generasi pertama dan efek antipruritia yang tahan lama pada
antihistamin modern. Antihistamin generasi pertama tidak memiliki
risiko teratogenik dan antitistamin generasi kedua seperti cetirizine,
levocetirizine dan loratadine juga direkomendasikan untuk digunakan
pada kehamilan.
Pengobatan kortikosteroid menjadi standar terapi sistemik lini
pertama pada PG berat karena respons pengobatan dan keamanan yang
dapat ditoleransi. Sebagian besar prednisolon tidak aktif dengan enzim
plasenta dehidrogenase (11-hydroxysteroid dehydrogenase) sebelum
mencapai sirkulasi janin. Sebagai kortikosteroid fluorinated
(betametason dan deksametason) tidak dimetabolisme oleh enzim
plasenta dehidrogenase, prednisolon dianggap sebagai alternatif
pengobatan primer. Dosis awal prednisolon biasanya 0,25-0,5 mg / kg /
hari, dan responnya biasanya baik. Selama kehamilan, penggunaan
prednisolon pada trimester pertama menyebabkan peningkatan risiko
malformasi, terutama celah orofacial. Pada prednisolone trimester
terakhir dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterine,
gestational diabetes, eklampsia dan persalinan prematu
Jika pembentukan lepuh tidak berkurang dalam beberapa hari,
dosisnya bisa ditingkatkan sampai tidak ada lepuh baru yang muncul.
Dosis kortison secara bertahap diturunkan sekitar 1-2 minggu setelah
gejala terkontrol, dan dihentikan seluruhnya jika memungkinkan.
.
2.6.10 Prognosis
Pemfigoid gestasionis bisa kambuh pada kehamilan berikutnya
dan biasanya gejalanya lebih parah, dengan onset lebih awal. Pada
pasien dengan episode PG yang lebih awal pada kehamilan tanpa
gejala diperkirakan 5-8%.
Pada pemeriksaan postpartum, ibu dengan PG harus diingatkan
akan kemungkinan kambuh saat menstruasi atau sehubungan dengan
penggunaan kontrasepsi hormonal. Kerentanan untuk kambuh bisa
bertahan selama bertahun-tahun. Penelitian di Inggris, sekitar 11%
pasien mengalami kekambuhan saat menggunakan kontrasepsi oral.
Tingkat kekambuhan yang rendah pada penelitian di Inggris dianggap
terkait dengan jarangnya penggunaan kontrasepsi oral setelah
kehamilan. Wanita yang pernah menderita PG juga lebih rentan
terhadap penyakit autoimun lainnya, seperti prevalensi penyakit
Graves meningkat dari 0,4% pada populasi normal sampai 10,6%,
Tiroiditis Hashimoto, Autoimun Trombositopenia dan Anemia
Pernisiosa juga dilaporkan meningkat. (Hulaija)
DAFTAR PUSTAKA

Bathia, P dkk. 2011. Benign Mucous Membrane Pemphigoid Clinical Report. The
Journal of Ahmedabad Dental College and Hospital. 2(1): 48-54

Raj, P.R. dkk. 2016. Cicatricial Pemphigoid: The Rare Bullous Disease: A Report
of Two Cases. International Journal of Advanced Health Sciences. 2(9). 11-16

Rajaraman,R. Vikram, V. Raghavan, A. 2013. Ocular Cicatricial Pemphigoid:


Case Report . Delhi J Ophthalmol. 24 (1): 37-40

Menaldi, S.L.S.W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Badan
Penerbit FK UI: Jakarta
Huilaja, L. Mäkikallio, K. Tasanen, K. 2014. Gestational pemphigoid. Orphanet
Journal of Rare Diseases. 9(36): 1-8

Saverval, C, dkk. 2015. Dermatological Diseases Associated with Pregnancy:


Pemphigoid Gestationis, Polymorphic Eruption of Pregnancy, Intrahepatic
Cholestasis of Pregnancy, and Atopic Eruption of Pregnancy. Dermatology
Research and Practice. 7 (2015): 1-7

Cobo, M. F, dkk. 2009. Pemphigoid Gestationis: Clinical and Laboratory


Evaluation. Clinics. 64(11): 1043-7.

Anda mungkin juga menyukai