Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN KASUS

GAGAL JANTUNG

Nama : Constello Di Margt


NIM : 00000003900
Pembimbing : dr. Agus Widodo, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAK
PERIODE 25 SEPTEMBER 2017 – 2 DESEMBER 2017

1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

DAFTAR ISI

BAB I. LAPORAN KASUS ........................................................................................ 3


I. IDENTITAS PASIEN ......................................................................................... 3
II. ANAMNESIS .................................................................................................... 3
III. PEMERIKSAAN FISIK ................................................................................... 5
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG ...................................................................... 8
V. RESUME............................................................................................................ 9
VI. DAFTAR MASALAH .................................................................................... 10
VIII. FOLLOW-UP ............................................................................................... 11

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 27


DEFINISI ................................................................................................................... 27
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO ................................................................................. 27
PATOFISIOLOGI ......................................................................................................... 27
KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG .................................................................................. 28
MANIFESTASI KLINIS ............................................................................................... 33
PEMERIKSAAN PENUNJANG ...................................................................................... 34
DIAGNOSIS ............................................................................................................... 38
TATALAKSANA ......................................................................................................... 42
PROGNOSIS ............................................................................................................... 51

BAB III. DISKUSI MASALAH ................................................................................ 53

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 56

2
BAB I. LAPORAN KASUS
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAK

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. W
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Pria
Status Perkawinan : Sudah Menikah
No. MR : 33 30 **
Tanggal Masuk : 18 Oktober 2017
Tanggal Pemeriksaan : 18 Oktober 2017

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan aloanamnesis di ruang


Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cilandak Marinir, Jakarta Selatan.

Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan sesak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluhkan sesak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
yang dirasakan terus menerus dan semakin memburuk. Pasien mengaku sesak
diperparah dengan aktivitas dan membaik dengan istirahat. Pasien mengaku
semakin sesak apabila tiduran dengan posisi terbaring telentang tanpa alas
bantal. Pasien biasa tidur dengan 2 bantal. Pasien mengaku sering terbangun
saat tidur karena sesak dan batuk, kurang lebih 2 kali per hari. Pasien juga
mengaku mengalami keringat malam. Pasien mengaku sering terbangun untuk
buang air kecil saat tertidur, kurang lebih 2 kali per hari. Pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri diseluruh dada bersamaan dengan sesak dan tidak
menjalar ke anggota tubuh lain. Nyeri yang dirasakan seperti tertindih. Pasien
mengaku adanya mual. Pasien mengaku jantung berdebar. Pasien menyangkal

3
adanya muntah, demam, menggigil, batuk, dan pilek. Nafsu makan pasien
diakui berkurang. Buang air besar dan buang air kecil pasien normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien menyangkal adanya riwayat kencing manis, tekanan darah tinggi,
kolesterol tinggi, asam urat, asma dan alergi makanan maupun obat-obatan.
Pasien mengaku pernah menderita pembengkakan jantung sejak tahun 2014,
dan masih dalam pengobatan. Pasien sering masuk IGD dengan keluhan yang
sama.

Riwayat Pengobatan
Obat rutin yang dikonsumsi pasien adalah lasix 1x1, Isosorbide Dinitrate
(ISDN) 3x5mg, digoxin 1x1 tab, aspilet 1x80mg, concor 1x2.5mg, dan
spironolactone 1x2.5mg. Pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat.

Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol. Pasien
jarang berolahraga. Pasien tidak pernah mengurangi jumlah minum.

Riwayat Sosial Ekonomi


Kondisi sosial ekonomi pasien yaitu menengah kebawah.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki keluhan yang serupa. Dalam keluarga pasien
tidak ada yang menderita kencing manis, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi
maupun keganasan.

FIFE
Feeling : Pasien mengaku sedih terhadap penyakit yang di deritanya
Idea : Pasien berfikir bahwa ia mengalami pembengkakan jantung
Function : Pasien menjadi tidak dapat bermain bersama cucunya karena
dirawat di rumah sakit

4
Ekspektasi : Pasien berharap agar cepat sembuh dan mudah beraktivitas

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5
Gizi : Gizi baik
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 50 kg
Body Mass Index (BMI) : 20.0 (Healthy weight)

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 60/40 mmHg
Nadi : 166 x/menit, irreguler, lemah
Suhu : 36,8°C
Frekuensi nafas : 44 x/menit
Saturasi O2 : 96% dengan nasal kanul
Bau nafas :-

Pemeriksaan Khusus
Kepala
 Tengkorak : normosefali
 Muka : normofasial
 Mata
 Palpebra : edema (-)
 Kornea : jernih
 Pupil : isokor 2mm, Respon Cahaya Langsung
(RCL) (+/+), Respon Cahaya Tidak Langsung (RCTL) (+/+)
 Sklera : ikterik (+)
 Konjungtiva : anemis (-)
 Telinga : otorrhea (-), serumen (+)

5
 Hidung : rhinorrhea (-), sekret (-), deviasi (-), cuping
hidung (+)
 Bibir : sianosis (-), mukosa lembab
 Gigi dan gusi : karies (-), warna kuning, gingivitis (-)
 Lidah : coated tongue (-), mukosa merah
 Rongga mulut : bersih
 Rongga leher
 Faring : hiperemis (-)
 Tonsil : hiperemis (-), pembesaran (-)
Leher
Inspeksi
 Kelenjar tiroid : skar (-), pembesaran (-), nodul (-)
 Leher : otot bantu napas sternocleidomastoideius
(+)
 Jugular venous pressure : 5±2 mmHg
 Pulsasi vena :-
 Refleks hepatojugular :-
Palpasi
 Kaku kuduk :-
 Kelenjar tiroid : pembesaran (-), massa (-)
 Kelenjar getah bening : pembesaran (-), massa (-)
Lain-lain
 Massa :-
 Ketiak/axilla : massa (-)
Paru
 Inspeksi : pengembangan paru simetris pada saat statis dan
dinamis, scar (-), spider naevy (-)
 Palpasi : chest expansion simetris, taktil vokal fremitus
tidak dapat diperiksa
 Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru

6
 Auskultasi : suara nafas vesikuler +/+, rhonki +/+ basal,
wheezing -/-
Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba pada Inter Costal Space (ICS) 5
midclavicula sinistra, heave (-), thrill (-)
 Perkusi :
- batas jantung kanan : ICS 4 parasternal dextra
- batas jantung kiri : ICS 5 midclavicula sinistra
- batas atas jantung : ICS 2 parasternal sinistra
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : datar, supel, striae (-), caput medusa (-)
 Auskultasi : bising usus (+) normal, metallic sound (-), bruit
aorta (-)
 Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), splenomegaly (-), hepatomegaly (-)
Ekstremitas atas
 Look : tidak tampak deformitas , skar (-)
 Feel : nyeri tekan (-), akral dingin, Capillary Refill Time
(CRT) < 2 detik, edem (-)
 Move : range of movement dalam batas normal
Ekstremitas bawah
 Look : tidak tampak deformitas , skar (-)
 Feel : nyeri tekan (-), akral dingin, Capillary Refill Time
(CRT) < 2 detik, edem (-)
 Move : range of movement dalam batas normal

7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium
Hematology
Darah Rutin Result Reference Range
Hemoglobin 12,5 g/dl 13 - 17 g/dl
Hematokrit 39 % 37 - 54 %

Trombosit 168 x 103 /μL 150 - 400 x 103 /μL


Lekosit 19.2 x 103 /μL 5 - 10 x 103 /μL
Kimia
Glukosa Sewaktu 83 mg/dL <200 mg/dL
pH 7.396 7.35 – 7.45
pCO2 15.1 mmHg 35 – 45 mmHg
pO2 219.1 mmHg 83 – 108 mmHg
BE -12.2 m Eg/L 0 ± 2 m Eg/L
HCO3 9.4 m Eg/L 21 – 28 m Eg/L
O2 99.3 % ≥ 95 %
Creatinine 3,76 mg/dL 0,8 – 1,1 mg/dL

Ureum 103 mg/dL 20 - 50 mg/dL


SGOT 570 u/l (pengenceran 6x) <50 u/l
SGPT 2496 u/l (pengenceran 6x) <50 u/l
Elektrolit
Na 139 m Eg/L (mmol/L) 136 – 146 Eg/L
K 6.4 m Eg/L 3.5 – 5.1 m Eg/L
Cl 104 mmol/L 98-106 mmol/L

2. EKG
Ritme : atrial
Rate : 125x/min
Axis : LAD

8
P wave : Tidak dapat dinilai, P mitral (-), P pulmonal (-)
PR interval : tidak dapat dinilai
QRS kompleks : 0.08 s
Q patologis : tidak ada
ST segmen : ST elevasi (-), ST depresi (-)
T wave : T tall (-), T inverted (-)

Kesan : Atrial fibrilasi

V. RESUME

Pasien Tn. W berusia 56 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Marinir


Cilandak (RSMC) karena sesak sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit,
sesak dirasakan terus menerus dan semakin memburuk. Dyspnea on effort
(+), orthopnea (+), pasien mengaku biasa tidur dengan 2 bantal. Paroxysmal
nocturnal dyspnea (+), nocturia (+), pleuritic pain (+), mual (+), muntah (-),
demam (-), batuk malam (+), pilek (-), Buang Air Besar (BAB) normal,
Buang Air Kecil (BAK) normal. Riwayat hipertensi, kolesterol tinggi, dan
diabetes disangkal. Asma (-), alergi (-). Riwayat Congetive(CHF) sejak tahun
2014 dan tidak rutin berobat. Merokok (-), konsumsi alkohol (-), tidak
membatasi minum.
Pada pemeriksaan fisik, GCS 15 komposmentis, tekanan darah 100/60
mmHg, nadi 166 x/menit, irreguler, lemah. Suhu 36.8 ° C, pernapasan
44x/menit, saturasi 96% dengan nasal kanul. Pada pemeriksaan khusus
penemuan yang signifikan antara lain sklera ikterik (+), lalu pada auskultasi
paru ditemukan suara napas rhonci di kedua basal, dan pada auskultasi
jantung ditemukan suara S1 & S2 yang irreguler. Lain-lainnya pada
pemeriksaan fisik; konjungtiva anemis (-), otot bantu napas : cuping hidung,
sternocleidomastoideus. Jugular Venous Pressure (JVP) 5 ± 2, edema (-).
Pada pemeriksaan lab yang signifikan adalah leukositosis, metabolik
asidosis terkompensasi, uremia, kreatinin darah tinggi, fungsi liver
meningkat, hyperkalemia. Pada EKG kesan atrial fibrilasi dan left ventricular
hypertrophy, rontgen thorax kesan pembesaran jantung.

9
VI. DAFTAR MASALAH

1. Heart Failure
 Atas dasar : Sesak terus menerus, riwayat gagal jantung tidak rutin
berobat dan tidak rutin kontrol, tekanan darah 60/40 mmHg, aritmia,
otot bantu napas (+). Kriteria Framingham terpenuhi pada kriteria
mayor yaitu; paroxysmal nocturnal dyspnea (+), ronchi (+),
kardiomegali pada rontgen, edema paru akut (+), sedangkan pada
kriteria minor yaitu; batuk malam (+), dyspnea on effort (+), dan
takikardi > 120 kali per menit.
 Yang dipikirkan : Gagal jantung akut dengan syok kardiogenik
 Rencana diagnostik : EKG, rontgent thorax, lab; darah rutin,
elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati
 Rencana terapi : (Konsul dr. Sp.JP)
o O2 3 lpm nasal kanul
o Venflon
o Lasix drip 2.5 mg/jam
o Lanoxin 1 x 1 amp
o Clopidogrel (CPG) 1 x 75 mg
o Dobutamin 3 𝜇gr/KgBB/jam
o ISDN 3 x 5 mg (bila tekanan darah naik)
o Accord (ACC) Intensive Care Unit (ICU) (Konsul dr. Sp.An)
2. Hepatitis dd cholecystitis
 Atas dasar : Mual, sklera ikterik (+), leukositosis, peningkatan fungsi
liver.
 Rencana diagnostik : Serologi; HbsAg, bilirubin; total, direk, indirek,
USG abdomen
 Rencana terapi : (Konsul dr. Sp.PD)
o Hp pro 2 x 1
o Ceftriaxone 1 x 2 gram
3. Acute Kidney Injury (AKI) dd Chronic Kidney Disease (CKD)

10
 Atas dasar : Mual, leukositosis, hiperkalemi, metabolik asidosis
terkompensasi, uremia, kreatinin darah tinggi.
 Rencana diagnostik : creatinine clearence, Blood Urea Nitrogen
(BUN) , kreatinin, ureum, glomerular filtration rate (GFR), urin
output, USG abdomen
 Rencana terapi : (Konsul dr. Sp.PD)
o Pro renal 3 x 2
o Bicnat 3 x 1
o Asam folat 3 x 1
o CaCO3 3 x 1

VII. FOLLOW-UP

19 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), lemas (+),
mual (+), muntah (+) melalui NGT berwarna coklat, batuk (+) berdahak, warna
hijau bening, BAB (N), BAK (N) dengan kateter, urin output 400cc/9jam
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 108/61 mmHg
Nadi : 132 x/menit
Nafas : 26 x/menit
Suhu : 36.6 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra

11
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Hasil konsul dokter spesialis jantung dan pembuluh darah :
Lasix drip 5 mg/jam (jika tensi > 100 sistol)
CPG 1 x 75 mg
Lanoxin 1 x 1 amp
Dobutamin 10 𝜇gr/KgBB/jam
Vascon 0.05 𝜇gr/KgBB/jam
ISDN 3 x 5 mg (k/p : tensi turun)
O2 3 lpm dalam nasal kanul
RL 7 tpm

Diet lunak 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan tirah
baring, batasi aktivitas

Hasil konsul dokter spesialis penyakit dalam :


Ceftriaxone 1 x 2 gr / drip
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Asam folat 3 x 1

12
Pro renal 3 x 2
Hp pro 2 x 1

Pasien di puasa kan terlebih dahulu karena tidak bisa masuk makanan.

Pemeriksaan lain :
 Balans cairan
Balans : -647 cc / 9 jam
Diuresis : 0.99 cc / KgBB / jam
 Rontgent thorax
CTR : 75%
Kesan : Pembesaran jantung

20 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), rasa lemas
sudah tidak ada, mual (+), muntah (+) melalui NGT berwarna putih susu 50cc
konsistensi cair, batuk sudah tidak ada, BAB (N), BAK (N) dengan kateter,
urin output 400cc/2jam, pasien mengaku gelisah dan sulit tidur
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 125 x/menit
Nafas : 25 x/menit
Suhu : 36.0 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung

13
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Lasix drip 2.5 mg/jam (tensi sempat turun < 100 sistol)
CPG 1 x 75 mg (19)
Lanoxin 1 x 1 amp
Dobutamin 10 𝜇gr/KgBB/jam
Vascon 0.1 𝜇gr/KgBB/jam (dinaikan dari 0.05 𝜇gr/KgBB/jam)
ISDN 3 x 5 mg (k/p : tensi turun)
O2 3 lpm dalam nasal kanul
RL 7 tpm

Diet lunak 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan tirah
baring, batasi aktivitas.

Injeksi ranitidine 2 x 1 amp (07 – 19)


Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr / drip dalam NaCl (12)
Bicnat 3 x 1 (14 – 22 – 06)
CaCO3 3 x 1 (14 – 22 – 06)

14
Asam folat 3 x 1 (14 – 22 – 06)
Pro renal 3 x 2 (14 – 22 – 06)
Hp pro 2 x 1 (19 – 07)
KSR 3 x 1 (14 – 22 – 06)
Ondancentron 3 x 4 mg

Pemeriksaan lain :

 Balans cairan
Masuk : 1038.9 cc
Keluar : 4216 cc
Balans : -3177.1 cc / hari
Diuresis : 3.1 cc

21 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), rasa lemas
sudah tidak ada, mual (+) berkurang, muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N),
BAK (N) dengan kateter, urin output menurun 770cc/24jam, pasien mengaku
gelisah dan sulit tidur
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36.0 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

15
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Lasix drip 5 mg/jam (dinaikkan kembali karena tensi naik)
CPG 1 x 75 mg (19)
Digoxin 1 x 1 tab
Dobutamin 9 𝜇gr/KgBB/jam (diturunkan dari 10 𝜇gr/KgBB/jam)
Vascon 0.1 𝜇gr/KgBB/jam (STOP)
ISDN 3 x 5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada)
Spironolactone 25 (1 – 0 – 0)
O2 3 lpm dalam nasal kanul
RL 7 tpm

Diet lunak 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan tirah
baring, batasi aktivitas.

Injeksi ranitidine 2 x 1 amp (07 – 19)


Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr / drip dalam NaCl (12)

16
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Asam folat 3 x 1 (STOP)
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2 (dinaikkan dari 2 x 1)
KSR 3 x 1 (STOP)
Ondancentron 3 x 4 mg

Kimia
Bilirubin Result Reference Range
Total 8.48 mg / dl 1.3 – 1.2 mg / dL
Direk 6.69 mg / dl < 0.3 mg / dL

Indirek 1.79 mg / dl < 0.9 mg / dL


Serologi
HbsAg - -

22 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), rasa lemas
sudah tidak ada, mual (+) berkurang, muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N),
BAK (N) dengan kateter, urin output meningkat 2300cc/24jam, pasien
mengaku gelisah dan sulit tidur
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 103 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36.0 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus

17
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Lasix drip 5 mg/jam
CPG 1 x 75 mg (19)
Digoxin 1 x 1 tab
Dobutamin 9 𝜇gr/KgBB/jam
ISDN 3 x 5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada)
Spironolactone 25 (1 – 0 – 0)
O2 3 lpm dalam nasal kanul
RL 7 tpm

Diet lunak 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan tirah
baring, batasi aktivitas.

18
Injeksi ranitidine 2 x 1 amp (07 – 19)
Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr / drip dalam NaCl (12)
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2
Ondancentron 3 x 4 mg

Hematology
Darah Rutin Result Reference Range
Hemoglobin 15.1 g/dl 12 - 16 g/dl
Hematokrit 45 % 37 - 54 %

Trombosit 98 x 103 /μL 150 - 400 x 103 /μL


Lekosit 10 x 103 /μL 5 - 10 x 103 /μL
Kimia
Creatinine 1.76 mg/dL 0,8 – 1,1 mg/dL

Ureum 145 mg/dL 20 - 50 mg/dL

23 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), rasa lemas
sudah tidak ada, mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N), BAK (N)
dengan kateter, urin output menurun 1600cc/24jam
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Nafas : 19 x/menit
Suhu : 36.0 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)

19
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Lasix 2 x 1 amp (06 – 18)
CPG 1 x 75 mg
Digoxin 1 x 1 tab
Dobutamin 3 𝜇gr/KgBB/jam (diturunkan dari 9 𝜇gr/KgBB/jam)
ISDN 3 x 5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada)
Spironolactone 25 (1 – 0 – 0)
O2 3 lpm dalam nasal kanul (STOP)
RL 7 tpm

Diet lunak 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan tirah

20
baring, batasi aktivitas.

Injeksi ranitidine 2 x 1 amp (07 – 19)


Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr / drip dalam NaCl (12)
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2
Ondancentron 3 x 4 mg (k/p : mual)

Bila tensi stabil pindah ruangan bangsal

Hematology
Darah Rutin Result Reference Range
Hemoglobin 16.6 g/dl 13 - 17 g/dl
Hematokrit 51% 37 - 54 %

Trombosit 68 x 103 /μL 150 - 400 x 103 /μL


Lekosit 9.4 x 103 /μL 5 - 10 x 103 /μL
Kimia
SGOT 188 u/l <50 u/l
SGPT 184 u/l <50 u/l

24 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), lemas (-), mual
(-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N), BAK (N) dengan kateter
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Nafas : 24 x/menit
Suhu : 36.0 °C

21
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (+/+) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)
P Lasix 2 x 1 amp (06 – 18)
CPG 1 x 75 mg
Digoxin 1 x 1 tab
Dobutamin 3 𝜇gr/KgBB/jam (klem)
ISDN 2 x 2.5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada) (diturunkan)
Spironolactone 1 x 100 mg (dinaikkan)
RL 7 tpm

22
Diet nasi tim 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan
tirah baring, batasi aktivitas.

Ranitidine PO 2 x 1 amp (ganti per oral)


Injeksi ceftriaxone 1 x 2 gr / drip dalam NaCl (12) (STOP)
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2
Ondancentron 3 x 4 mg (STOP)

Mobilisasi.

25 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), lemas (-), mual
(-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N), BAK (N) lepas kateter urin output
2600 cc / 24 jam.
O Kesadaran : Compos Mentis dengan GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36.0 °C
Saturasi O2 : 98%
Status lokalis
Mata : conjunctiva anemis (-), sclera icteric (+)
Mulut : faring hiperemis (-), mukosa lembab
Leher : JVP + 2, lymphadenopathy, otot bantu napas sternocleidomastoideus
tidak tampak

23
Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Perkusi : batas jantung kiri ICS 4 parasternal dextra, batas jantung
kanan ICS 5 midclavicular dextra, batas jantung atas ICS 2 parasternal
sinistra
 Palpasi : thrill (-), heaves (-)
 Auskultasi : S1 S2 irreguler, murmur (-), galop (-)
Paru :
 Inspeksi : pengembangan dinding dada simetris
 Perkusi : sonor di kedua lapang paru
 Palpasi : vokal fremitus meningkat di basal paru
 Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonci (-/-) basal, wheezing (-/-)
Abdomen :
 Inspeksi : perut datar, kontur usus tidak tampak
 Auskultasi : bising usus (+) normal
 Perkusi : timpani di seluruh regio abdomen
 Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-), massa (-)
A congestive heart failure (CHF), hepatitis, acute kidney injury (AKI) dd chronic
kidney disease (CKD)

24
P Lasix 2 x 1 amp (06 – 18)
CPG 1 x 75 mg
Digoxin 1 x 1 tab
ISDN 2 x 2.5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada)
Spironolactone 1 x 100 mg
RL 7 tpm

Diet nasi tim 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan
tirah baring, batasi aktivitas.

Ranitidine 2 x 1
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2

Mobilisasi.

25
26 Oktober 2017
S Sesak (-), nyeri dada (-), berdebar (-), nyeri perut (-), pusing (-), lemas (-), mual
(-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), BAB (N), BAK (N)
O
A
P Lasix (2 – 1 – 0)
CPG 1 x 75 mg
Digoxin 1 x 1 tab
ISDN 2 x 2.5 mg (k/p : sesak atau nyeri dada)
Spironolactone 1 x 100 mg
RL 7 tpm (STOP)

Diet nasi biasa 1500 kal, monitor keluhan utama dan tanda vital, pertahankan
tirah baring, batasi aktivitas.

Ranitidine 2 x 1
Bicnat 3 x 1
CaCO3 3 x 1
Pro renal 3 x 2
Hp pro 3 x 2

Rawat jalan.

26
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL JANTUNG

2.1. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan
tekanan pengisian jantung yang tinggi atau kedua-duanya.5
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila
jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun
aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal.6

2.2. Etiologi dan Faktor Risiko


Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara garis besar
penyebab terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%,
dengan penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%)
serta kardiomiopati dan sebab lain (10%).7
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor
yang dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat
badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol High Density
Lipoprotein (HDL) dikatakan sebagai faktor risiko independen
perkembangan gagal jantung.7
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri.
Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.9
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan
gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol
yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot
jantung alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus.
Alkohol juga dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-

27
obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti
doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.9

2.3 Patofisiologi Gagal Jantung


Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa
kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit
jantung yang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium
untuk menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak
dapat berkontraksi secara normal. Namun dengan aktivasi berkelanjutan
mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal
sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk
dan dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami
transisi dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang
bergejala.

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung


Dikutip dari: Mann DL4

Mekanisme Neurohormonal
A. Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini
akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian

28
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi
sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan
kadar norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut
jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan
vena sistemik.1
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan
tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang
dapat menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam
jangka pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi
lambat laun akan terjadi maladaptasi.1
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas,
mungkin berhubungan dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari
aktivasi sistem adrenergik yang berlangsung lama.1

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine,


Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

Gambar 2.1 Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik


pada gagal jantung.
Dikutip dari : Floras JS10

29
B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan
renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino
dari angiotensinogen, dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan
dua asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II
berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2
(AT2). Proses renin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada
Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara
AT2 akan menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis
dan pelepasan bradikinin.1

Gambar 2.2 Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Dikutip dari: Weber KT dkk.11
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam
mempertahankan sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika

30
terjadi ekspresi lama dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif
yang dapat menyebabkan fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain
itu, juga akan mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi
korteks adrenal zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron.1
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung
relatif lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan
fibrosis vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance
vaskuler dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron
memicu disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake
norepinefrin yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi
aldosteron pada sistem kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif
dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.1

C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II,
aldosteron, agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi
(tumor necrosis factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi
hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan
mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas
NO.1,5
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan
reseptor B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat
ikatan dengan reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan
vasodilatasi pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh
Angiotensin-converting Enzyme (ACE).1,5
E. Remodeling Ventrikel Kiri

31
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang
progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan
ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting
pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit
1,5
pada miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri. Proses
remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 3. Remodeling
berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan
rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan
tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta,
mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung,
yang menghasilkan hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi
dengan peningkatan volume ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada
diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan kemudian terjadi
pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik.1

32
Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap
hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ12

2.4 Klasifikasi Gagal Jantung

Tabel 1.1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural


(ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas
fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan Beratnya gagal jantung berdasarkan
struktural dan kerusakan otot jantung. gejala dan aktivitas fisik.
Memiliki risiko tinggi Aktivitas fisik tidak terganggu,
mengembangkan gagal aktivitas yang umum dilakukan
Stage jantung. Tidak ditemukan Kelas tidak menyebabkan kelelahan,
A kelainan struktural atau I palpitasi, atau sesak nafas.
fungsional, tidak terdapat
tanda/gejala.

33
Secara struktural terdapat Aktivitas fisik sedikit terbatasi.
kelainan jantung yang Saat istirahat tidak ada keluhan.
Stage dihubungkan dengan gagal Kelas Tapi aktivitas fisik yang umum
B jantung, tapi tanpa tanda/gejala II dilakukan mengakibatkan
gagal jantung. kelelahan, palpitasi atau sesak
nafas.
Gagal jantung bergejala Aktivitas fisik sangat terbatasi.
dengan kelainan struktural Saat istirahat tidak ada keluhan.
Stage Kelas
jantung. Tapi aktivitas ringan
C III
menimbulkan rasa lelah,
palpitasi, atau sesak nafas.
Secara struktural jantung telah Tidak dapat beraktivitas tanpa
mengalami kelainan berat, menimbulkan keluhan. Saat
Stage Kelas
gejala gagal jantung terasa saat istirahat bergejala. Jika
D IV
istirahat walau telah melakukan aktivitas fisik,
mendapatkan pengobatan. keluhan bertambah berat.
Dikutip dari: Mann DL4

2.5 Manifestasi Klinis

ANAMNESA
Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas,
dan lelah.1,5 Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya
kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan
komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan
kontribusi. Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien
beraktivitas berat, seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi
pada aktivitas yang semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat.
Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang
paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada
jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan
dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dyspnea. Faktor lain yang dapat

34
memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru,
meningkatnya tahanan jalan nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan
anemia. Keluhan sesak bisa jadi semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal
jantung kanan dan regurgitasi trikuspid.1

ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA


Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur
mendatar, dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan sesak saat aktivitas.1 Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan
dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan
oleh redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam
sirkulasi sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan
kapiler paru. Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses
ini, dan seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea
merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula
dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien
paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.1
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi
PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai
edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan
nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat
tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk
dan mengi yang menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil
posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac
Asthma(asma cardiale) berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai
dengan timbulnya wheezing sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus
dibedakan dengan asma primer dan penyebab pulmoner wheezing lainnya.5
EDEMA PULMONER AKUT

35
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai
akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat
menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular.
Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema
paru pada gagal jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat
disertai dahak yang disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema
pulmoner akut dapat mematikan.5

RESPIRASI CHEYNE STOKES

Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum
pada gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output
yang rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas
pusat respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri
jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini
menstimulasi pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan
hipokapni, yang diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-
stokes dapat dicermati oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat
atau periode henti nafas sesaat.5

KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL


Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari
beberapa menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa
memiliki upaya nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-
kata akibat sesak. Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada
umumnya berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi left ventricular (LV)
yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya
stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat
vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non spesifik yang
diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi perifer
mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir dan
ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan.5

36
PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS DAN LEHER
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium
kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan
vena jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan
sudut 45o. Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O
(normalnya kurang dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena
jugularis diatas angulus sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada
postur apapun). Pada tahap awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal
saat istirahat, tapi dapat secara abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang
cukup lama pada abdomen (refluk hepatojugular positif). Giant V wave
menandakan keberadaan regurgitasi katup trikuspid.4

PEMERIKSAAN PARU
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi
cairan dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru,
ronki dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing
ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru,
ronkhi spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa
ronkhi seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik,
bahkan ketika pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini
karena pasien sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga
alveolar sudah meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya
tekanan sistem kapiler pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga
pleura. Karena vena pada pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner,
effusi pleura paling sering terjadi pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular
failure). Walau effusi pleura biasanya ditemukan bilateral, angka kejadian pada
rongga pleura kanan lebih sering daripada yang kiri.4

PEMERIKSAAN JANTUNG
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat

37
kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah
intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.
Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba
lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk
mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi
jantung ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.1
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami
hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada
parasternal kiri (right ventricular heave). Bunyi jantung ketiga (gallop) umum
ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan
tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat.
Bunyi jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada
pada pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid
umumnya ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.4

38
PEMERIKSAAN ABDOMEN DAN EKSTRIMITAS
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien
dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba
lunak dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid.
Ascites dapat timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena
hepatik dan sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium.4
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti
(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi
sekitar pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas.
Pada pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum.
Edema yang berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan
pigmentasi yang bertambah.4

2.6 Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara
lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,
serum glutamic pyvuric transaminase/oxaloacetic transaminase (SGOT/PT), dan
B-type Natriuretic Peptide (BNP). Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada
pasien dengan gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk
mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia
dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk
mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,
namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat
ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik

39
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.
Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini
dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi
sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi
garam bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan
hiponatremia. Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia,
hipomagnesemia, dan hiperurisemia.4
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan
meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme
jaringan, hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga
telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25%
penderita gagal jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua
pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan
hemodinamik dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic
Peptide (ANP) dan BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya
tekanan pada dinding jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena
ANP memiliki waktu paruh yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis
berguna. Untuk BNP, N-Terminal Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang
bermakna. Kadar ANP dan BNP meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik,
sementara disfungsi diastolik peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi
sistolik, kadar BNP ditunjukan berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi,
dan klasifikasi fungsional. Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya
gagal jantung berdasarkan kelas fungsionalnya.1
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan
gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration
rate (GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat
dibandingkan klasifikasi kelas fungsional.4
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan
alanine aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT)
dapat memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.4

40
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan
volume urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan yang mendapat diuretik.4

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang


kardiologi, selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari
paru dapat dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic
ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari
setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up
pasien dengan gagal jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi
menjadi ventrikel yang mengalami pressure-overload atau volume-overload,
dilatasi dari atrium kiri dan dilatasi dari aorta asenden. 4

Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran


hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan
gagal jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan
adanya Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah
paru, yang timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular
intersitial akibat adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada
dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan
tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini
dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga
meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan
interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi
pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal
sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga merupakan
informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan terbaik dinilai
melalui CXR dan CT-scan.3

41
ELEKTROKARDIOGRAM
Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien
yang dicurigai gagal jantung.1 Dampak diagnostik elektrokardiogram (ECG) untuk
gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup tinggi.1
Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal
jantung.1 Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan. Temuan
seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right bundle
branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau
perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti
takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum.
Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu
menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained
dan nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis
aritmia seperti ini biasanya tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi
pada monitoring holter 24- atau 48- jam.4

ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum
digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan
perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan
saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-
invasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah
diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode
diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur
seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiac
motion analysis.4
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam
menilai fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung.

42
2.7 Diagnosis Gagal Jantung

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung


Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima
jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain
seperti hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. 1 Kriteria
mayor dan minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Mayor:
Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
Distensi vena leher
Rales paru
Kardiomegali pada hasil rontgen
Edema paru akut
S3 gallop
Peningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kanan
Hepatojugular reflux
Penurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon
pengobatan gagal jantung
Kriteria Minor:
Edema pergelangan kaki bilateral
Batuk pada malam hari
Dyspnea on ordinary exertion
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardi ≥ 120x/menit
Dikutip dari: Mann DL4

43
2.8 Tatalaksana Gagal Jantung
Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat
pada skema tata laksana gagal jantung kronik pada Gambar 5.

Gambar 5. Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada


penatalaksanaan gagal jantung akut. Dikutip
dari:Dickstain dkk15

TERAPI FARMAKOLOGIS

Dalam pengobatan pasien yang paling penting adalah memodifikasi gaya


hidup. Aktivitas olahraga harus tetap dilakukan terutama pada pasien dengan kelas
1–3 NYHA. Olahraga yang bisa dilakukan adalah olahraga aerobik seperti
berjalan cepat, bersepeda, yoga, berenang, dan sebagainya. Untuk pola makan,
disarankan untuk membatasi asupan garam (2 – 3 g/hari) untuk seluruh pasien
yang mengalami gagal jantung. Jika gagal jantung kelas 3–4 asupan garam
dibatasi sampai <2 g/hari. Tidak disarankan untuk membatasi asupan air kecuali
jika pasien ditemukan adanya hiponatremi (<130 meq/L) yang bisa terjadi karena
aktivasi Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS), meningkatnya hormon
anti-diuretik, atau kehilangan garam akibat pemakaian obat – obatan diuretik.

44
Untuk pemberian obat – obatan dapat diberikan sebagai berikut :

 Diuretik
Dosis Awal Dosis Maximal
Furosemide 20 – 40 mg; 4x1 / 2x1 400 mg/d
Torsemide 10 – 20 mg; 4x1/2x1 200 mg/d
Bumetanide 0,5 – 1 mg; 4x1 / 2x1 10 mg/d
Hydrochlorthiazide 25 mg; 4x1 100 mg/d
Metolazone 2,5 – 5 mg; 4x1 / 2x1 20 mg/d

 Angiotensin – Converting Enzyme Inhibitors


Dosis Awal Dosis Maximal
Captopril 6,25 mg; 3x1 50 mg; 3x1
Enalapril 2,5 mg; 2x1 10 mg; 2x1
Lisinopril 2,5 – 5 mg; 4x1 20 – 35 mg; 4x1
Ramipril 1,25 – 2,5 mg; 2x1 2,5 – 5 mg; 2x1
Trandolapril 0,5 mg; 4x1 4 mg; 4x1

 Angiotensin Reseptor Blocker


Dosis Awal Dosis Maximal
Valsatran 40 mg; 2x1 160 mg; 2x1
Candesartan 4 mg; 4x1 32 mg; 4x1
Irbesartan 75 mg; 4x1 300 mg; 4x1
Losartan 12,5 mg; 4x1 50 mg; 4x1

 Beta Blocker
Dosis Awal Dosis Maximal
Carvedilol 3,125 mg; 2x1 25 - 50 mg; 2x1
Bisoprolol 1,25 mg; 4x1 10 mg; 4x1
Metoprolol 12,5 – 25 mg; 4x1 200 mg; 4x1

45
 Terapi Tambahan
Dosis Awal Dosis Maximal
Spironolactone 6,25 mg; 3x1 50 mg; 3x1
Eplerenone 2,5 mg; 2x1 10 mg; 2x1
Kombinasi 2,5 – 5 mg; 4x1 20 – 35 mg; 4x1
Hydralazine/Isosorbide Dinitrat
Dosis Fix 1,25 – 2,5 mg; 2,5 – 5 mg; 2x1
Hydralazine/Isosorbide Dinitrat 2x1
Digoxin

TERAPI INISIAL PADA GAGAL JANTUNG AKUT

TERAPI OKSIGEN
Direkomendasikan untuk memberikan oksigen sedini mungkin pada pasien
hipoksemia untuk mencapai saturasi oksigen > 95% (90% pada pasien dengan
COPD). Harus hati-hati pada pasien COPD agar jangan sampai terjadi
hiperkapnia. Rekomendasi Kelas I, Tingkat Bukti C
Ventilasi Non-Invasif
Ventilasi non infasif (VNI) adalah semua modalitas yang membantu
ventilasi tanpa menggunakan tube endotrakeal, hal ini misalnya dapat dicapai
dengan masker yang menutupi seluruh wajah. Pada tiga meta-analisis dilaporkan
bahwa aplikasi dini VNI pada edema pulmoner akut kardiogenik mengurangi
kemungkinan perlunya intubasi dan menurunkan mortalitas jangka pendek. Walau
demikian pada, 3CPO, sebuah uji klinis acak yang besar VNI ditemukan
memperbaiki parameter klinis saja, dan tidak menurunkan mortalitas.

Ventilasi dengan tekanan akhir respirasi positif (PEEP) harus dipikirkan sedini
mungkin pada pasien dengan edema paru kardiogenik akut dan semua pasien
dengan GJA hipertensif karena dapat memperbaiki parameter klinis termasuk
keluhan sesak. Harus digunakan secara berhati-hati pada shock kardiogenik dan
gagal jantung kanan.Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B
Kontraindikasi :

46
 Pasien yang tidak dapat bekerjasama (pasien yang tidak sadar, gangguan
kognitif berat, atau cemas)
 Pasien yang membutuhkan intubasi endotraheal karena hipoksia progresif yang
mengancam jiwa.
 Harus hati-hati pada pasien dengan obstruksi jalan nafas kronis.
Bagaimana memberikan NVI :
 Inisiasi : berikan PEEP 5-7.5 cmH2O harus diberikan pada mulanya dan
dititrasi hingga didapat respon klinis hingga 10cmH2O, pengiriman FiO2 harus
> 0.40.
 Durasi : biasanya tiap 30 menit/jam hingga sesak pasien dan saturasi oksigen
meningkat tanpa tekanan airway positif kontinyu (CPAP)
Potensi Efek Samping :
- Perburukan gagal jantung kanan
- Mengeringnya membran mukosa pada penggunaan jangka panjang.
- Hiperkapnia
- Timbulnya rasa cemas atau klausrofobia
- Pneumothorax
- Aspirasi

Morfin
Morfin dan analognya pada gagal jantung akut n (GJA) harus
dipertimbangkan pada stadium awal terapi pasien yang masuk dengan gagal
jantung berat, terutama bila disertai dengan gelisah, sesak, cemas, atau nyeri dada.

Morfin mengurangi keluhan sesak dan gejala lain pada pasien dengan GHA
dan dapat membuat pasien lebih mau bekerjasama jika diberikan ventilasi non
invasif. Bukti yang menyokong penggunaan morfin pada GJA masih terbatas.

Dosis bolus intravena sebesar 2,5 – 5 dapat diberikan secepat mungkin


setelah dipasang akses intravena pada pasien dengan GJA. Dosis ini dapat diulang
sesuai kebutuhan.

 Respirasi harus selalu dimonitor.


 Keluhan mual umum ditemukan, terapi antiemetik mungkin dipertlukan.

47
 Hati-hati pada pasien dengan hipotensi, bradikardi, blok Atrio-ventrikular
derajat tinggi, atau retensi CO2.

DIURETIK

Pemberian diuretik secara intravena pada pasien dengan GJA direkomendasikan


bila terdapat gejala akibat kongesti dan overload cairan. Terpi dan dosis
penggunaan diuretik pada gagal jantung dapat dilihat pada tabel 12.Kelas
Rekomendasi I, Tingkat Bukti B

Tabel 12. Indikasi dan dosis penggunaan diuretik pada gagal jantung akut
Dosis
Retensi
Diuretik Harian Catatan
Cairan
(mg)
Sedang Furosemide 20-40 Oral atau IV tergantung dari gejala
Bumetanide 0.5-1 klinis
Torasemide 10-20 Titrasi dosis tergantung renspon klinis
Monitor K, Na, Kreatinin, Tekanan
Darah
Berat Furosemide 40-100 I.V. tingkatkan dosis
Furosemide 5-40 Lebih baik efeknya dibandingkan IV
drip mg/jam dosis tinggi
Bumetanide 1-4 Oral atau IV
Torasemide 20-100 Oral
Refrakter Tambahkan 50-100 Kombinasi ini lebih baik dibandingkan
terhadap HCT dosis loop diuretik yang sangat tinggi
loop 2.5-10 Tebih poten jika Klirens Kreatinin <30
diuretic Metolazone 25-50 ml/menit
Spironolakton Spironolactone adalah pilihan terbaik
jika tidak terdapat gagal ginkal dan
kadar Kalium normal atau rendah
Disertai Acetazolamide 0.5 I.V.
alkalosis Tambahkan Pertimbangkan ultrafiltasi atau
yang Dobutamine hemodialisis jika disertai gagal ginjal

48
refrakter (vasodilatasi Hiponatremi
terhadap renal) atau
loop dobutamine.
diuretik
dan
thiazid
Dikutip dari:Dickstain dkk.15

Kombinasi dengan diuretik lain seperti thiazid dapat berguna pada kasus
dengan resistensi diuretik. Pada kasus dengan GJA dengan volume overload,
thiazid (hidroclorotiazid 25mg p.o.) dan antagonis aldosterone (spironolactone,
eplerenon 25-50 mg po) dapat diberikan bersamaan dengan loop diuretik.
Kombinasi beberapa macam obat seringkali lebih efektif dan mililiki efek
samping yang lebih rendah jika diberikan satu dosis obat dengan dosis yang
tinggi.

VASODILATOR
Vasodilator direkomendasikan saat fase awal gagal jantung akut tanpa
adanya gejala hipotensi. Vasodilator akan mengurangi gejala kongesti pulmonal
tanpa mengganggu isi sekuncup atau peningkatan kebutuhan oksigen, terutama
pada pasien sindroma koroner akut. Indikasi vasodilator parenteral pada gagal
jantung akut sangat bermanfaat. Indikasi dan dosis pemberian vasodilator
parenteral pada gagal jantung akut dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Indikasi dan dosis pemberian vasodilator pada gagal jantung akut
Efek-
Vasodilator Indikasi Dosis samping Lainnya
utama
Kongesti Dimulai 10-20 Hipotensi, Toleransi
Nitrogliserin paru/edema, mcg/menit, nyeri jika
TD>90 mmHg dinaikkan hingga kepala digunakan

49
200 mcg/menit terus-
menerus
Toleransi
Kongesti Dimulai dengan 1 Hipotensi, jika
Isosorbide
paru/edema, mg/jam, naikkan nyeri digunakan
Dinitrat
TD>90 mmHg hingga 10 mg/jam kepala terus-
menerus
Kongesti pada Dimuali dengan
Hipotensi, Sensitif
pasien Gagal 0.3 mcg/kg/menit,
Nitroprusside toksisitas terhadap
Jantung naikkan hingga 5
isosianat cahaya
Hipertensif mch/kg/menit
Kongesti paru
Nesiritide Bolus 2 mcg/kg +
/ edema
(banyak tidak infusan 0.015-0.03 Hipotensi
dengan TD>90
tersedia) mcg/kg/menit
mmHg
Dikutip dari: Dickstain dkk.15

Pemberian obat-obatan inotropik atau vasokontrikor menjadi pilihan pada


pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.

NITROGLISERIN

Terapi nitrogliserin merupakan terapi kerja cepat yang efektif dan dapat
diprediksi hasilnya dalam mengurangi preload. Data menunjukkan bahwa
nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afteroload. Oleh karena itu,
nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien dengan
gagal jantung dekompensasi berat dengan edema paru yang besar.

INOTROPIK
Obat- obatan inotropik dipertimbangkan pada gagal jantung akut dengan
lowoutput states, adanya gejala dan tanda hipoperfusi dan kongesti disamping
pemberian vasodilator dan atau diuretik. Penggunaan obat inotropik dapat
menyebabkan peningkatan aritmia atrial dan ventrikular. Oleh karena itu
pemantauan irama jantung melalui EKG harus dilakukan. Dobutamin merupakan

50
positif obat inotropik yang bekerja melalui perangsangan receptor β1 untuk
menghasilkan efek inotropik dan kronotropik positif. Dopamin juga dapat
merangsang reseptor β adrenergic. Dopamin dosis rendah dapat merangsang
stimulasi reseptor dopaminergik dan mempunyai efek diuresis yang terbatas.
Dosis tinggi dopamin dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah
dengan menimbulkan efek takikardi, aritmia dan stimulasi reseptor α adrenergic
yang dapat mengakibatkan vasokonstriksi. Dopamin dosis rendah sering
dikombinasikan dengan dobutamin dosis tinggi. Penggunaan vasopresor
(noradrenalin) tidak direkomendasikan sebagai terapi lini pertamapada gagal
jantung. Dan hanya diindikasikan pada syok kardiogenik ketika kombinasi dari
inotropik dan fluid challenge test gagal dalam mengembalikan tekanan darah yang
adekuat. Pasien dengan sepsis dengan komplikasi gagal jantung akut dapat
menggunakan vasopressor. Dosis obat obat inotropik dapat dilihat pada tabel 14.
Tabel 14. Dosis obat- obatan inotropik pada gagal jantung akut.
Nama Obat Bolus Kecepatan Infusan
Dobutamine Tidak diberikan 2-20 mcg/kg/menit (β+)
Dopamine Tidak diberikan <3 mcg/kg/menit : efek
renal (δ+)
Milrinone 25-75 mcg/kg dalam 10- 0.375-0.75 mcg/kg/menit
20 menit
Enoximone 0.25-0.75 mg/kg 1.25-7.5 mcg/kg/menit
Levosimendan* 12 mcg/kg dalam 10 0.1 mcg/kg/menit, dapat
menit (dapat dipilih**) diturunkan hingga 0.05
atau ditingkatkan hingga
0.2 mcg/kg/menit
Norepinephrine Tidak diberikan 0.2-1.0 mcg/kg/menit
Epinephrine 1 mcg dapat diberikan IV 0.05-0.5 mcg/kg/menit
saat resusitasi, dapat
diulang tiap 3-5 menit
Keterangan : * agen ini memiliki efek vasodilator juga **pada pasien hipotensif
(SBP <100 mmHg) inisiasi terapi tanpa bolus direkomendasikan
Dikutip dari: Dickstain dkk. 15

51
VASOPRESSOR
Penggunaan vasopresor (norepinephrine) tidak direkomendasikan sebagai
pilihan terapi pertama dan hanya diindikasikan pada shock kardiogenik ketika
kombinasi dari agen inotropik dan tes penambahan cairan gagal mengembalikan
tekanan darah ke tekanan darah sistolik > 90 mmHg, dengan perfusi organ yang
cukup, walau telah terdapat perbaikan dari kardiak output. Pasien GJA dengan
penyulit sepsis kemungkinan besar membutuhkan vasopressor. Karena syok
kardiogenik biasanya dihubungkan dengan tingginya resistensi vaskular sistemik,
semua vasopressor harus digunakan secara berhati-hati dan dihentikan
pemberiannya secepat mungkin. Nor-adrenaline dapat digunakan bersamaan
dengan inotropik yang dibahas diatas, idealnya melalui akses vena sentral.

Epinephrine tidak direkomendasikan sebagai inotropik atau vasopressor pada


shock kardiogenik, kecuali terbatas pada terapi darurat pada henti jantung.Kelas
rekomendasi IIb, Tingkat Bukti C

GLIKOSIDA JANTUNG

Pada GJA glikosida jantung menghasilkan peningkatan yang bermakna


pada kardiak output dan mengurangi tekanan pengisian. Dan dapat bermanfaat
untuk mengurangi respon ventrikel pada AF rapid.Kelas Rekomendasi IIb,
Tingkat Bukti C

2.9 Prognosis
Prognosis gagal jantung akut pada sindroma koroner akut dapat
menggunakan klasifikasi Killip. Persentase kematian pada kilip I sebanyak 6% ,
kilip II sebanyak 17%, Kilip III sebanyak 38%, dan kilip IV sebanyak 67%.
Gagal jantung akut ditemukan berbagai prediktor mortalitas univariate dan
multivariate. Meningkatnya kadar BNP atau peningkatan kecil marker nekrosis
miokard seperti troponin telah ditunjukan memiliki kemampuan baik untuk
memperkirakan outcome selama perawatan dan mortalitas setelah dipulangkan.
Anemia juga merupakan faktor prediktor yang hingga kini kurang dihargai, dan

52
saat ini telah menjadi target terapi intervensi pada banyak uji klinis. Neurohormon
seperti endothelin, dan marker inflamasi (seperti C-reactive protein, IL-6), juga
merupakan prediktor kuat mortalitas.1

53
BAB III.
DISKUSI KASUS

Pasien masuk dalam kriteria diagnosis Framingham dengan kriteria mayor


yaitu Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND), ronchi pada basal kedua paru,
kardiomegali pada rontgen thorax, dan edema paru akut. Lalu kriteria minor
dengan batuk malam, dyspnea on effort, takikardia > 120x per menit.
Pasien Tn. W berusia 56 tahun datang ke IGD RSMC karena sesak sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit, sesak dirasakan terus menerus dan semakin
memburuk. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar multifaktorial, bisa
karena ventilasi, perfusi, ataupun gangguan distribusi, mekanisme yang
paling penting adalah kongesti paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan
pada jaringan intertisial atau intraalveolar alveolus karena ditemukan suara
ronchi basah kasar pada basal paru. Hal tersebut mengakibatkan
teraktivasinya reseptor juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek
dan dangkal yang menjadi karakteristik cardiac dyspnea. Faktor lain yang
dapat memberikan kontribusi pada timbulnya sesak antara lain adalah
kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan nafas, serta kelelahan otot
respiratoir dan diagfragma.
Dyspnea on effort (+), orthopnea (+), pasien mengaku biasa tidur dengan 2
bantal. Orthopnea biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung
dibandingkan dyspnea on effort. Ortopnu diakibatkan oleh redistribusi cairan
dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi sentral saat
posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru. Batuk-
batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan
seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea
merupakan gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat
pula dialami pada pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan
pada pasien paru dengan mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi
tidur.
Paroxysmal nocturnal dyspnea (+), batuk malam (+). Manisfestasi PND
antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya

54
tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,
disertai edema pada intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya
resistensi jalan nafas.
Tekanan darah 60/40 mmHg, nadi 166 x/menit, irreguler, lemah,
pernapasan 44x/menit, menandakan adanya syok kardiogenik. Hal ini
disebabkan dari kompensasi neurohormonal yang bertujuan untuk
meningkatkan simpatis sehingga nadi sangat tinggi, namun karena cardiac
output sangat berkurang akibat adanya penurunan compliance ventrikel
sehingga tekanan darah tidak dapat terpenuhi. Disertai respiratory rate yang
tinggi akibat adanya pulmo edema. Pada keadaan ini sudah terjadi hipoperfusi
jaringan.
Pada pemeriksaan khusus penemuan yang signifikan antara lain sklera
ikterik (+). Hal ini bukan terjadi karena hepatitis atau cholelitiasis karena
pasien tidak pernah demam dan pemeriksaan HbsAg negatif. Jaundice dapat
ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium lanjut, biasanya kadar
bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal jantung diakibatkan
terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan) hepar dan
hipoksia hepatoselular.4
Pada auskultasi paru ditemukan suara napas rhonci di kedua basal. Hal ini
disebabkan karena pada pasien ini ditemukan adanya pulmonary edem, yang
diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai akibat
meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat
menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular.
Manisfestasi edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif pada
auskultasi jantung ditemukan suara S1 & S2 yang irreguler.
Pada pemeriksaan lab yang signifikan adalah leukositosis yang
kemungkinan disebabkan oleh inflamasi dari sistem hepatorenal karena
hipoperfusi jaringan. Metabolik asidosis terkompensasi, uremia, kreatinin
darah tinggi, dan hyperkalemia dapat disebabkan oleh penurunan pada
Glomerular Filtration Rate (GFR) dan meningkatnya reabsorpsi natrium,
sehingga reabsorbsi ion hidrogen meningkat dan reabsorbsi bikarbonat

55
menurun. Fungsi liver meningkat bisa dikarenakan hipoperfusi ke jaringan
hepar dan bisa akibat dosis obat tertentu.
. Pasien tergolong NYHA IV dengan keterbatasan aktivitas yang berat,
gejala muncul saat istirahat. Lalu dengan kriteria ACC dan AHA tergolong
symptomatic heart failure dengan terdapat structural heart disease dengan
manifestasi dyspnea dan fatigue, serta terganggu aktivitas sehari-hari.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P,
Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
2. Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo
B, Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2004. h. 262-264
3. Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI. 2007. h. 2-9.
4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th
ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.
5. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology
of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and
Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007;
p. 225-251.
6. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart
failure. Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J
Med. 1989; 87 : 88-91.
7. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology.
BMJ 2000; 320:104-7.
8. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and
restrictive). In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive
Guide to Diagnosis and Treatment. New York: Marcel Dekker;
2005. p.137-156.
9. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor
3 Bulan September 2007. P.85-93.
10. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous
system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A

57
Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier,
2004, pp 247-278.
11. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001;
345:1689
12. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and
failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276
13. Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart
failure in coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med.
1977;86:133–138.
14. Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-
type natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure.
N Engl J Med 2002; 347:161-167.
15. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis
and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European
Society Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

58

Anda mungkin juga menyukai