Anda di halaman 1dari 15

Pelvic Ureteric Junction Obstruction (PUJO)

Definisi

Epidemiologi

Etiologi dan Faktor Risiko

Klasifikasi

Patofisiologi

Sebagian besar PUJO bersifat primer dan kongenital, meskipun secara klinis mungkin
baru timbul gejala jauh hari setelah lahir. Penyebab dari PUJO kongenital masih belum jelas,
namun telah diketahui secara umum bahwa tepat di distal dari PUJ terdapat segmen yang
adinamis, yang tidak berfungsi secara baik. Sebuah teori menyatakan bahwa PUJO disebabkan
oleh rekanalisasi lumen tubulus ureteric bud pada daerah PUJ. Pada PUJO primer intrinsik,
pemeriksaan menggunakan mikroskop cahaya menemukan bahwa pada segmen yang mengalami
stenosis tidak dijumpai serat-serat otot polos, atau dijumpai namun tidak beraturan, serta
berkurangnya jumlah serabut saraf serta ujung-ujung saraf. Serabut-serabut otot tersebut
digantikan oleh jaringan kolagen, menyebabkan fibrosis dan stenosis. Pada pemeriksaan
menggunakan mikroskop elektron, dijumpai adanya kerusakan pada batas intrasel yang penting
untuk mengkoordinasi transmisi gelombang peristaltik. Gangguan ekspresi sel-sel Cajal, polip
ureter, papiloma ureter serta fetal fold yang menetap di segmen proksimal ureter juga dapat
menyebabkan terjadinya PUJO primer yang intrinsik.1,2

PUJO primer ekstrinsik dapat disebabkan oleh tekanan arteri renalis pole inferior yang
bersilangan dengan ureter bagian proksimal. Tekanan ini semakin meningkat saat pelvis renis
yang terdistensi jatuh ke sela-sela antara pembuluh-pembuluh darah ginjal bagian superior dan
inferior. PUJO juga dapat terjadi bila terjadi tekanan oleh vena cava inferior, abnormalitas
duplikasi serta rotasi. Tumor yang menekan ureter bagian proksimal juga dapat mengakibatkan
terjadinya PUJO primer eksternal. PUJO sekunder dapat disebabkan oleh tindakan operatif
sebelumnya untuk penanganan penyakit lain atau akibat kegagalan penanganan PUJO primer.
Pada vesicoureter reflux (VUR) yang masif, dapat membuat ureter menjadi berkelok-kelok
sehingga menyebabkan PUJO sekunder, namun, sumbatan semacam ini bersifat sementara dan
tidak menyebabkan pelebaran pelvis renis, pada kecepatan produksi urin yang normal.1,2

Untuk menghindari terjadinya peningkatan tekanan akibat adanya obstruksi di PUJ, maka
pada awalnya sistem pengumpul akan melakukan dilatasi. Bila obstruksi berlangsung terus-
menerus, maka akan terjadi hipertrofi pelvis renis dan terjadinya peningkatan tekanan di dalam
sistem pengumpul. Akibat peningkatan tekanan tersebut, terjadi iskemi dan nekrosis pada papilla
serta kerusakan pada ansa Henle, sehingga pada ginjal yang mengalami hidronefrosis terjadi
gangguan kemampuan untuk mengkonsentrasikan urin. PUJO yang signifikan pada akhirnya
akan menyebabkan dilatasi tubulus, sklerosis pada glemoruli, infiltrasi sel-sel radang di medula
dan korteks serta terjadi fibrosis. PUJ yang terjadi pada janin usia muda akan mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi ginjal, sehingga menyebabkan terjadinya ginjal yang displastik dan
berukuran kecil. Selanjutnya ginjal yang displastik tersebut akan mengalami dilatasi sistem
pengumpul, setelah sebelumnya terjadi perubahan-perubahan fungsional dan histologis.1,2

Manifestasi Klinis

Pemeriksaan USG antenatal memungkinkan PUJO dideteksi sebelum menimbulkan gejala.


Gejala yang dijumpai sangat bervariasi, tergantung dari usia pasien. Pada bayi, PUJO biasanya
dijumpai sebagai massa abdomen asimtomatik. Dapat juga dijumpai adanya kegagalan
pertumbuhan (failure to thrive), demam yang tidak jelas penyebabnya serta infeksi saluran kemih
berulang. Pada kasus yang berat dapat terjadi sepsis.3,4

Pada usia yang lebih dewasa, gejala yang paling sering didapatkan adalah nyeri hilang timbul
di bagian flank atau abdomen. Rasa nyeri ini mencerminkan distensi akut pada pelvis renis dan
dapat disertai timbulnya rasa mual serta muntah. Pada kasus-kasus yang klasik, rasa nyeri timbul
2-3 jam setelah pasien minum. Gejala lain yang sering dijumpai meliputi infeksi saluran kemih
serta teraba massa di intraabdomen. Meskipun jarang, dapat juga dijumpai adanya hematuria dan
hipertensi. Hematuria diperkirakan terjadi akibat terjadinya ruptur pada pembuluh-pembuluh
darah yang terdilatasi di sistem pengumpul ginjal. Hipertensi kemungkinan terjadi akibat adanya
regangan pada arteri renalis yang disebabkan oleh dilatasi pelvis renis. Biasanya gejala yang
muncul minimal, sehingga PUJO seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat melakukan CT
scan abdomen.3,4,5
Penyebab yang paling sering menyebabkan penyempitan ureter adalah saat perkembangan
janin yang biasanya disebabkan karena kelainan dalam perkembangan otot yang mengelilingi
UPJ. Obstruksi UPJ juga dapat terjadi pada orang dewasa yang disebabkan karena faktor lain
seperti inflamasi yang menyebabkan kompresi di ureter, batu ginjal, jaringan parut, pembuluh
darah yang abnormal, dan tumor. Tes diagnostik perlu dilakukan untuk menentukan tingkat
obstruksi UPJ dan menentukan perlu tidaknya dilakukan tindakan operasi.3,4,5

Pemeriksan Penunjang

 Ultrasonografi (USG)
Selama periode antenatal, pada 16-20 minggu, ultrasonografi dilakukan untuk menilai
volume cairan amniotik untuk menyingkirkan oligohidramnion atau kelainan lain yang
terkait dan untuk mengukur volume kandung kemih, ukuran ginjal, dan diameter
anteroposterior dari pelvis renal. Waktu paling sensitif untuk mengevaluasi saluran kemih
adalah saat 28 minggu. Dengan ultrasonografi tidak dapat dinilai derajat obstruksi tetapi
untuk melihat ada atau tidaknya hidronefrosis. Diameter anteroposterior pelvis renal adalah
salah satu parameter yang digunakan dan tidak boleh melebihi 6 mm. Kriteria yang paling
sensitif, tetapi paling tidak spesifik untuk mendiagnosis fetal hidronefrosis adalah sebagai
berikut:6,7
1. Calyceal dilation grade 2 atau lebih menggunakan sistem penilaian dari Society of Fetal
Ultrasound (SFU)
2. Diameter pevis renal > 4mm saat usia kehamilan < 33 minggu dan dan > 7 mm saat usia
kehamilan > 33 minggu
3. Rasio pelvis renal dengan ginjal > 0,28.

Obstruksi yang signifikan secara klinis apabila terdapat hidronefrosis derajat 3 atau 4,
diameter renal pelvis > 10 mm, atau rasio pelvis renal dengan ginjal > 0,5
Tabel 1. Society of Fetal Ultrasound hidronefrosis grading sistem

Area parenkim ginjal-pelvicalyceal juga dapat digunakan. Jika rasio < 1,6, ada
kemungkinan untuk dilakukan pyeloplasty, sedangkan pasien dengan rasio > 1,6 dapat
diobservasi saja.8
Resistive index (RI) juga dapat digunakan dengan ultrasonografi Doppler dupleks. RI
didefinisikan sebagai kecepatan tertinggi sistolik dikurangi kecepatan terendah diastolik
dibagi dengan kecepatan tertinggi sistolik. Pasien dengan RI ≥ 0,75 memiliki pola obstruktif
pada diuretic renography.9
Pemeriksaan USG pada bayi yang baru lahir dilakukan dalam waktu 48-72 jam. Apabila
dilakukan lebih awal maka hasilnya dapat menjadi false-negative karena neonatal
dehydration dan oliguria yang fisiologis. Apabila didapatkan hidronefrosis bilateral, solitary
kidney atau oligohidramnion saat antenatal maka USG harus segera dilakukan. USG
dilakukan untuk menilai diameter anteroposterior pelvis renal, lebar pelvicalyceal, penipisan
korteks renal, lebar saluran ureter, ukuran ginjal, pola echo dari korteks, dinding bladder, dan
residual urin Apabila USG postnatal tidak menunjukan adanya hidronefrosis, maka
pemeriksaan USG harus diulang setelah 4-6 minggu.6

 Renografi diuretik
Renografi diuretik adalah alat diagnostik yang paling umum digunakan untuk menilai
obstruksi. Technetium Tc 99m MAG3 adalah radiopharmaceutical agent yang dipilih untuk
kasus obstruksi UPJ dan telah menggantikan Tc 99m diethylenetriamine penta-acetic acid
(DTPA). MAG3 memiliki gambaran gamma yang lebih baik dan clearance rate yang lebih
cepat dibanding DTPA. Keuntungan dari DTPA adalah dapat digunakan untuk mengukur
laju filtrasi glomerulus.6
Scanning dengan MAG3 akan memberikan fungsi ginjal yang berbeda dengan
membandingkan ambilan isotop pada dua ginjal, yang merupakan refleksi dari aliran darah
ginjal. Untuk mengukur derajat obstruksi dengan baik pada pemeriksaan ini, pasien harus
dihidrasi dengan baik, dan buli harus sepenuhnya kosong (bila perlu dengan kateter).
Obstruksi anatomis didefinisikan sebagai pengosongan sebagian dari radioisotop dari pelvis
renalis (T ½) lebih dari 20 menit. Secara garis besar, renografi diuretik dibagi menjadi 2:
99m 99m
1. Tc diethylenetriaminepentaacetic acid (DTPA): bukan agen terpilih karena Tc-
DTPA adalah filtrasi GFR murni. Fungsi glomerulus menurun lebih awal dan lebih cepat
99m
dari fungsi tubular pada uropati obstruktif. Tc-DTPA dapat digunakan bila fungsi
ginjal baik.
99m
2. Tc MAG3: Agen terpilih. Renogram dilakukan untuk mengevaluasi antara
hidronferosis obstruktif dan non-obstruktif. “Obstruksi” UPJ akan memperlihatkan
ekskresi setelah pemberian diuretik, di mana hidronefrosis obstruksi mekanik akan
menunjukan tidak ada penurunan pada genogram, dengan tahanan menetap pada sistem
penampung.
Sebelum tes ini dilakukan, pasien akan diberikan hidrasi oral dengan normal salin IV
dengan kecepatan 15ml/kg dalam 30 menit dan maintenance rate 4 ml/kg/jam. Dosis
furosemide yang direkomendasikan untuk bayi <1 tahun adalah 1mg/kg dan 0.5 mg/kg untuk
anak usia 1-16 tahun dengan dosis maksimum 40 mg. Untuk beberapa kasus, terkadang
diperlukan pemasangan urethral kateter.6

 Voiding/micturating cystourethrogram (VCUG)


Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab lain seperti
vesicoureteric reflux (VUR), urethral valves, dan ureteroceles. Sebanyak 8-14% pasien
dengan PUJO menunjukan adanya vesicoureteric reflux pada saat yang bersamaan. Indikasi
dilakukannya VCUG adalah hidronefrosis bilateral (atau solitary kidney), duplex kidney,
small kidney, abnormal echogenicity, ureter yang membesar, ureterocele, curiga obstruksi
infravesica, dan abnormal bladder.6
 Whitaker test
Tes Whitaker merupakan pemeriksaan antegrade pressure flow. Pemeriksaan ini
dilakukan apabila diagnosis obstruksi masih belum pasti. Hal ini dilakukan dengan
nefrostomi perkutaneus diameter kecil, memasukan kontras encer di bawah fluoroskopi real-
time dan mengukur tekanan sistem penampung intrarenal dengan manometer. Pada sistem
yang sangat berdilatasi, renal pelvis harus terisi penuh sebelum pengukuran dilakukan.
Drainase renal dengan tekanan intrarenal hingga 15 cmH2O dianggap normal, di mana di atas
20 cmH2O menandakan adanya obstruksi. Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk
anak-anak karena bersifat invasif.6
 Blaas nier oversight-intravena pyelography (BNO-IVP)
Merupakan penunjang diagnosis yang akan memperlihatkan batu dengan berbagai letak,
ukuran, dan sifat batu. Batu yang mengandung kalsium terlihat sebagai radiopak sedangkan
batu jenis lain akan memberikan gambaran radiolusen. BNO IVP juga memperlihatkan posisi
anatomis ureteropelvic junction merupakan saluran ureter yang memiliki penyempitan
sehingga berpotensi tinggi mengalami obstruksi yang disebabkan oleh batu, dan penyempitan
yang lainnya pada uretrovesical junction jarang terjadi obstruksi karena letaknya lebih dekat
vesika urinaria sehingga memudahkan batu keluar secara spontan.6
 CT scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI)
CT scan biasanya dikerjakan dalam kasus trauma, namun karena adanya paparan radiasi,
maka pengunaan CT scan tidak rutin dilakukan. Modalitas imaging lainnya adalah MRI,
dengan MRI dapat dinilai aliran darah ginjal, anatomi dan eksresi urin namun ada beberapa
kekurangan dari MRI yakni biayanya yang cukup mahal, pada bayi diperlukan sedasi dan
bahaya efek samping dari penggunaan contrast.6

Tatalaksana
Tujuan tatalaksana pada obstruksi ureteropelvic junction adalah untuk memperbaiki
drainase, mencegah kerusakan fungsi ginjal dan mengatasi gejala klinis. Kesulitan tatalaksana
terletak dalam menentukan ginjal mana yang membutuhkan perawatan bedah dikarenakan
perjalanan penyakit yang tidak bisa didefinisikan secara jelas dan harus menggunakan modalitas
investigatif ternyata tidak ada algoritme yang pasti.10
Pemilihan pengobatan untuk obstruksi ureteropelvic junction harus berdasarkan
beberapa faktor, termasuk keberhasilan dan kegagalan dari suatu tindakan, pengalaman ahli
bedah, pilihan pasien dan biaya. Dalam pengobatan periode terakhir pilihan pengobatan bergeser
dari open pyeloplasty menjadi laparascopic pyeloplasty.
Terapi medis difokuskan untuk mempertahankan kesterilitas urin dan menilai fungsi
ginjal dan derajat hidronefrosis. Saat ini, tidak ada terapi medis yang mampu menyembuhkan
obstruksi ureteropelvic junction pada dewasa maupun anak-anak. Pengobatan secara konservatif
dapat dilakukan jika fungsi ginjal sudah terganggu >40% dan Anteroposterior Diameter (APD) <
12 mm.
Indikasi untuk intervensi bedah pada obstruksi ureteropelvic junction terdapat gejala
obstruktif, gangguan fungsi ginjal (rasio fungsi ginjal antara ginjal ipsilateral dan kontralateral)
pada pemeriksaan renografi diuretik, adanya batu ginjal pada pemeriksaan CT-scan dan
munculnya hipertensi. Dengan tidak adanya indikasi, pasien harus dipantau secara ketat dengan
CT-scan dan rencana manajemen tergantung pada gejala klinis dan gangguan fungsi ginjal pada
renografi diuretic.11
Terapat beberapa teknik operasi yang digunakan untuk mengobati obstruksi ureteropelvic
junction tetapi belum ada consensus yang membuat perbandingan dari hasil tiap teknik operasi.
Konsep keberhasilan dapat dilihat dari keeberhasilan klinis dan radiologi. Keberhasilan klinis
adalah tidak adanya atau berkurangnya ejala dan keberhasilan radiologi adalah peningkatan
drainase pada pencitraan dan fungsi ginjal pada scan. Kegagalan prosedur didefinisikan sebagai
kebutuhan untuk prosedur operasi berulang karena ada keluhan nyeri terus-menerus atau terjadi
obstruksi lebih lanjut pada pencitraan ginjal.11

Berikut teknik operasi yang digunakan untuk mengobati obstruksi ureteropelvic junction :
I. Open pyeloplasty
a. Teknik Open pyeloplasty
Open pyeloplasty telah menjadi standar pengobatan obstruksi ureteropelvic junction.
Teknik yang paling banyak diadopsi adalah teknik Dismembered repair yang
dipopulerkan oleh Anderson dan Hynes pada pertengahann abad ke-20. Prosedur ini
dapat diterapkan secara universal untuk berbagai kasus UPJO – termasuk obstruksi
dengan penyulit kehilangan fungsi ginjal dan batu ginjal – dan melibatkan eksisi luas
pada ureteropelvic junction yang abnormal.
Open pyeloplasty dapat didekati menggunakan pendekatan ekstraperitoneal posterior,
lumbotomi posterior atau ekstraperitoneal anterior. Pendekatan dari sisi ekstraperitoneal
posterior lebih disukai karena dapat dilakukan pada pasien dengan segala bentuk tubuh.
Pendekatan dari sisi lumbotomi posterior lebih baik karena membuat imobilitas dan
lansung ke obstruksi ureteropelvic junction, paling cocok pada pasien anak-anak dan
pasien dengan BMI rendah. Pendekatan dari sisi ekstraperitoneal anterior
memungkinakan dalam perbaikan bedah dengan mobilisasi minimal dari pelvis ginjal dan
ureter proksimal.
Setelah sayatan dibuat, uretropelvic junction diekspos dengan mengidentifikasi ureter
proksimal di retroperitoneum dan membedah secara cephalically ke pelvic ginjal. Buat
tanda pada aspek lateral dari ureter proksimal dibawah tingkat obstruksi. Bagian medial
dan lateral ditandai untuk membantu dalam orientasi perbaikan yang tepat. Jaringan yang
terdapat obstruksi kemudian dipotong dan dianastomosid dibuat dengan jahitan fine
interrupted atau running absorption. Jahitan harus ditempatkan dengan cara kedap air
maka ditempatkan stent ureter internal.

b. Teknik Foley Y-V plasty


Untuk UPJO yang kongenital yang diebabka oleh insersi ureter yang tinggi maka
digunakan YV Foley pyeloplasty. Indikasi dari prosedur ini terbatas dengan adanya
striktur ureter proksimal, pembuluh darah yang membutuhkan transposisi dan dimana
reduksi dari dilatasi renal pelvic dibutuhkan
c. Teknik Spiral culp – DeWeerd flap dan Vertical – Scardino prince flap pyeloplasties
Tenik operasi ini direkomenasikan dalam kasus pelvis ekstrarenal yang sangat lebih
dan penyempitan ureter proksimal yang sangat panjang. Indikasi utama untuk pebraikan
dengan teknik Spiral yaitu dilatasi pelvis ekstrarenal dan obstruksi uretra yang panjang.
Perbaikan secara vertikal digunakan pada kasus obstruksi dengan sambunan ureteropelvic
yang terletak di perbatasan medial pelvic ekstrarenal, perbaikan secara vertikal tidak
memberikan panjang dan fleksibilitas dibandingkan dengan spiral flap.

Spiral (Cupl-DeWeerd) flap

Vertical (Scardino-Prince) flap

d. Hasil
Tidak ada hasil studi tentang perbandingan teknik open pyeloplasty dan juga hasilnya.
Gogus et al melaporkan hasil dari Anderson-Hynes pyelopasty pada 180 orang dewasa
dengan periode follow-up 10 tahun didapatkan tingkat keberhasilan (91,1% secara
keseluruhan) berbanding terbalik dengan derajat hidronefrosis (62,5% pada pasien
dengan hidronefrosis derajat IV).
Teknik operasi dengan open pyeloplasty membuat eksposur yang baik pada
ureteropelvic junction sehingga memfasilitasi perbaikan yang optimal dengan garis
anatomical yang familiar dan berkontribusi dengan tingkat kesuksesan. Namun prosedur
ni berhubungan dengan menggunakan sayatan yang besar di daerah pinggang yang
menyebabkan rasa sakit dan proses pemulihan yang berkepanjangan sehingga membuat
hasil kosmetik yang kurang.

II. Endopyelotomi
Endopyelomoti popular pada tahun 1980 setelah karya asli dari Davis pada tahun 1943
yang pertama mendeskripsikan ‘uretrotomi intubasi’. Prosedur endopyelotomididasarkan
pada insisi penuh pada sisi lateral melalui proksimal ureter yang terobstruksi ke lemak
periuretral. Stent dipasang untuk membantu proses penyembuhan. Kontraindikasi dalam
menggunakan prosedur ini adalah jika terjadi urosepsis, koagulopati yang tidak dikoreksi dan
panjang obstruksi >2cm karena jaringan menjadi iskemik. Keuntungan dari prosedur ini
adalah waktu operasi yang lebih pendek, waktu penyembuhan di rumah sakit yang lebih
pendek, berkurangnya rasa sakit dan hasil kosmetik yang baik.
Terdapat empat jenis utama endopyelotomi yaitu :
a. Antegrade (percutaneous) endopyelotomi
Teknik pembedahan ini dengan mengakses uretropelvic junction melalui daerah tengah
calyx dibawah pentunjuk fluoroscopic. Akses di uretropelvic junction dicapai dengan ‘safety’
dan ‘working’ kabel petunjuk yang dapat dimasukkan melalui antegrade atau retrograde.
Saluran perkutan kemudian dilatasi dan nephroscope ditempatkan. Insisi penuh posterolateral
dengan cold-knife dibuat dari lumen ureter ke lemak periuretral dan memasukkan stent untuk
membantu proses penyembuhan insisi.

b. Retrograde (ureteroscopic) endopyelotomy


Prosedur ini melibatkan pendekatan uteroskopic perkutan dan fleksibel. Retrograde
pyelografi dilakukan dibawah petunjuk fluoroscopic. Setelah ureteropelvic junction diakses
dengan simigrid kaliber kecil uretroscope 200 μm atau 365 μm serat laser holmium
digunakan untuk insisi. Pada pengaturan energy 0,8 – 1,2 J dan frekuensi 10 Hz,
ureteropelvic junction diinsisi posterolateral dibawah penglihatan langsung melalui
ureteroskop untuk menghindari pembuluh darah secara bertahap diperalam ke jaringan
normal periuretral.

c. Cautery wire endopyelotomy and dilatation


Prosedur ini menggunakan perangkat Acucise (Applied Medical, AS) pertama kali
dilaporkan oleh Chandhoke et al pada 1993. Insisi pada prosedur ini tergantung pada lokasi
obstruksi, insisi posterolateral digunakan untuk obstruksi ureter proksimal dan insisi
anteromedial untuk obstruksi ureter distal. Teknik ini melibatkan kateter Acucise diatas kabel
penunjuk pada ureteropelvic junction. Dibawah bimbingan fluoroskopi balon dipompa
dengan media kontras dan kawat diposisikan secara lateral untuk menghindari cedera
persilangan pembuluh darah. Saat balon kembali di kembangkan obstruksi ureteropelvic
junction di insisi diaat yang bersamaan.

d. Balloon endodilatation
Prosedur ini dilakukan dibawah kontrol fluoroskopi. Pertama kali dilakukan pada 1982,
kateter ditempatkan di ureteropelvic junction dimana penyempitan di observasi dengan
karakteristik ‘waisitng’. Saat balon di kembangkan ‘waiting’ menghilang. Keuntungan
dengan teknik ini adalah minimalnya perdarahan.

e. Hasil
Keberhasilan dari teknik endopyelotomi umumnya lebih rendah dari open pyeloplasty,
berdasarkan dari serangkaian data menunjukkan bahwa pendekatan anterade memiliki
tinggkat keberhasilan yang sedikit lebih unggul dibandingkan dengan teknik yang lain.
Tingkat keberhasilan dilaporkan untuk anterade berkisar dari 67% hingga 90%.
Faktor yang terkait dengan tingkat keberhasilan endopyelotomi menggunakan kriteria
inklusi penyempitan <2cm, fungsi ginjal >25% dan tidak adanya penyulit hydronefrosis yang
parah. Komplikasi endopyelotomi perkutan adalah perdarahan sekunder akibat cedera
vaskuler, infeksi, insisi tidak disengaja pada pelvis injal dan nekrosis ureteral karena efek
anestesi. Karena kurangnya penglihatan kawat kautor sndopyelotomi berhubungan dengan
perdarahan yang signifikan membutuhkan transfuse darah dan embolisasi.
III. Laparoscopic pyeloplasty
Laparoscopic pyeloplasty pertama kali dilakukan oleh Schuessler dan koleganya pada
1993. Tidak seperti endopyelotomi, laparoskopi pyeloplasty tidak dibatasi oleh variasi anatomi
arteri ginjal yang berhubungan dengan obstruksi ureteropelvic junction dan lebih baik dalam
melihat pembuluh darah yang menyilang. Selain itu, pasien dengan hidronefrosis berat, panjang
penyempitan >2cm dan fungsi ginjal <30% memiliki keberhasilan yang lebih baik dengan
laparoskopi pyeloplasty daripada endopyelotomy.

a. Teknik pembedahan
Pasien diposisikan dalam posisi lateral decubitus 45o, akses ke ureteropelvic junction
dapat melalui pendekatan transperitoneal atau retroperitoneal. Pendekatan transperitoneal
lebih umum digunakan karena memberikan bidang operasi yang lebih besar dan dengan
landmark anatomi yang dapat diidentifikasi. Pendekatan retroperitoneal lebih baik digunakan
untuk pasien yang beleumnya telah menjalani operasi transperitoneal.
Sebelum dilakukan pembedahan, konfirmasi obstruksi ureteropelvic junction diarankan
melakukan sistoskopi kaku dan pyelografi retrograde. Selain itu kabel penunjuk dimasukkan
ke pelvic ginjal dan 5 Frech gauge pada tempat yang terobstruksi. Setelah obstruksi
uteretopelvic junction diidentifikasi, trocar laparoscopi dimasukkan ke dalam rongga perut.
Setelah mengakses hilus ginjal, teknik yang digunakan dalam laparoskopi pyeloplasty sama
dengan teknik open pyeloplasty Anderson-Hynes lebih sering dipilih oleh banyak ahli bedah.

b. Hasil
Beberapa seri kasus komparatif bahwa laparoskopi pyeloplasty memiliki tingkat
keberhasilan lebih tinggi daripada endopyelotomi sebesar 98% disbanding 84%.
Laparoscopic pyeloplasty memiliki tingkat konversi yang rendah (4%) dan morbiditas
perioperatif; komplikasi intraoperatif dan pasca operasi telah tercatat pada 11,5-12,7%
pasien, dengan kebocoran kemih dan perdarahan merupakan komplikasi yang paling
umum.16,68 Laparoskopi pyeloplasty juga menawarkan hasil kosmetik yang lebih baik,
waktu pemulihan pasca operasi yang lebih pendek, mengurangi nyeri pasca operasi dan tidak
ada perbedaan dalam waktu prosedur dibandingkan dengan open pyeloplasty. Dengan
demikian, pyeloplasty laparoskopi dapat dianggap sebagai standar perawatan bedah untuk
obstruksi ureteropelvic junction. Namun harus diperhatikan hasil jangka panjang karena
dapat mengalami rekurensi setelah 2 tahun pemantauan. Dalam perkembangannya
laparoskopi pyeloplasty dikembangkan dengan bantuan robot.

IV. Robot-assisted pyeloplasty


Prosedur yang dibantu oleh tenaga robot, menggunakan sistem da Vinci (Institutive
Surgical, USA). Pertama kali diperkenalkan oleh Sung dan rekan-rekan pada tahun 1999 dan
dikonfirmasi kelayakannya pada tahun 2005. Pada prosedur ini menampilkan ambar 3D dan
menggunakan lengan robot yang memungkinkan pergerakan secara bebas dan mengurangi
terjadinya tremor.

a. Teknik pembedahan
Pada prosedur ini menggunakan pendekatan trasnsperitoneal karena memberikan ruang
yang lebih besar dan memungkinkan ahli bedah mengenali landmark anatomis yang sudah
dikenal. Penggunaan robot da vinci memungkinkan ahli bedah mengoperasikan kamera dan
lengan robot dari jarak jauh. Empat trokar biasanya digunakan dalam prosedur, tiga lengan
robot dan satu port sepanjang 10mm untuk menghisap, mengairi dan membantu dalam
menjahit. Langkah-langkah pembedahan sama dengan teknik Anderson-Hynes konvensional.

b. Hasil
Penelitian yang telah dipublikasikan teknik pyelopasty yang dibantu robot menunjukkan
tingkat keberhasilan yang lebih tinggi daripada laparoskopi pyeloplasty. Pada tahun 2010,
Nayar dan kolega menilai kelayakan dan menghasilkan pyeloplasty yang dibantu dengan
robot untuk pengobatan komplikasi obstruksi ureteropelvic junction yang rumit seperti
malrotasi, horseshoe dan ektopik ginjal, batu multiple atau calyx dan obstruksi ureteropelvic
junction sekunder (setelah ureteroscopy atau operasi terbuka) dan tingkat keberhasilan
keseluruhan adalah 96,6% dengan periode follow-up 15 bulan.
Teknik menggunakan robot membuat antusiasme dalam bidang urologi, tetapi harus
diingat bahwa ini termasuk spesialitik yang baru sehingga belum banyak penelitian yang
menjelaskan. Selain itu sistem robotic belum tersedia secara luas, dan memerlukan biaya
yang tinggi dalam pembelian dan pemeliharaan alat.

Tindak Lanjut
Open pyeloplasty adalah prosedur yang kuratif. Jika drainase dari ginjal normal pada
renogram pada 1 tahun, pasien dapat dipulangkan dari tindak lanjut. Pemindaian ultrasonografi
ginjal diperoleh 6 minggu setelah pyeloplasty atau setelah pengangkatan stent untuk memastikan
hidronefrosis teratasi.
Jika terapi konservatif digunakan untuk menangani obstruksi ureteropelvic junction,
maka tindak lanjut termasuk ultrasonografiberulang dalam 1 – 3 bulan dan diulangi skintigrafi
dalam 3 – 12 bulan.

Komplikasi
Pasien dengan obstruksi ureteropelvic junction beresiko tinggi untuk terjadinya batu
ginjal dan infeksi saluran kemih. Terdapat beberapa komplikasi dari setiap teknik operasi.
Potensi komplikasi dari open pyeloplasty adalah infeksi saluran kemih dan pyelonephritis,
ekstravasasi urin dan kebocoran, obstruksi berulang atau pembentukkan striktur. Jika terjadi
kebocoran urin penanganan yang dilakukan seperti nefrostomi, stent ureter atau perianastomotic
untuk mengurangi resiko terjadinya striktur pasca operasi.12
Komplikasi spesifik dari endopyelotomi adalah perdarahan intraoperatif, infeksi pasca
operasi dan obstruksi berulang. Jika perdarahan intraoperatif sangat signifikan akan
mengakibatkan hypotension, arteriography darurat dan embolisasi menjadi indikasi.

Daftar Pustaka

1. Vaos G. Pelvi-ureteric junction obstruction. In: Sakellaris G. Essentials in Pediatric Urology.


Kerala: Research Signpost. 2012:125-38.
2. Mughal SA, Soomro S. Pelvi-ureteric junction obstruction in children. J Surg Pak (Int). 2008;
13(4):163-5.
3. Thomas, D.F.M. Upper tract obstruction. in: D.F.M. Thomas, P.G. Duffy, A.M.K. Rickwood
(Eds.) Essentials of paediatric urology. ed. 2. Informa Healthcare, London, UK; 2008: 73–92.
4. Hosgor, M., Karaca, I., Ulukus, C. et al. Structural changes of smooth muscle in congenital
ureteropelvic junction obstruction. J Pediatr Surg. 2005; 40: 1632–1636
5. Lowe FC, Marshall FF. Ureteropelvic junction obstruction in adults. Urology 1984;23:331–
335
6. Hashim H, Christopher RJ. Ureteropelvic junction obstruction. European Urology
Supplements 2012; 11: 25-32
7. Cendron M, D’Alton ME, Crombleholme TM. Prenatal diagnosis and management of the
fetus with hydronephrosis. Semin Perinatol 1994;18:163–81.
8. Cost GA, Merguerian PA, Cheerasarn SP, Shortliffe LM. Sonographic renal parenchymal
and pelvicaliceal areas: new quantitative parameters for renal sonographic followup. J Urol
1996;156: 725–9.
9. Gilbert R, Garra B, Gibbons MD. Renal duplex Doppler ultrasound: an adjunct in the
evaluation of hydronephrosis in the child. J Urol 1993;150:1192–4
10. Hashim H, Woodhouse CRJ. Ureteropelvic Junction Obstruction. Eur Urol Suppl [Internet].
2012;11(2):25–32. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.eursup.2012.01.004
11. Khan F, Ahmed K, Lee N, Challacombe B, Khan MS, Dasgupta P. Management of
ureteropelvic junction obstruction in adults. 2014;1–10.
12. Wu XLY, Wei Y, Zheng SCQ. Predictors of Recoverability of Renal Function after
Pyeloplasty in Adults with Ureteropelvic Junction Obstruction. 2018;350005.

Anda mungkin juga menyukai