Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

NEFROLITIASIS

Disusun oleh :

dr. Atikah Abdullah Lubis

PROGRAM INTERNSHIP DEPARTEMEN KESEHATAN RI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. DRAJAT PRAWIRANEGARA

KAB. SERANG

2019-2020
BAB 1 ILUSTRASI KASUS

1.1 ANAMNESIS
Identitas Pasien
Nama : Tn. I
Usia / Tanggal Lahir : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : SMP
terakhir Alamat : Teluk Terate

Keluhan Utama

Sakit pinggang kiri sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu.

Sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa sering sakit di pinggang kiri.
Sakit dirasakan tumpul, tidak terlalu berat, VAS 1. Pasien pernah mengalami kencing
berpasir, kencing berwarna kuning agak kemerahan, dan nyeri saat buang air kecil.
Nyeri hilang timbul yang lebih berat tidak ada, nyeri yang menjalar ke kemaluan tidak
ada. Buang air kecil tiba-tiba berhenti dan dapat keluar lagi setelah bergerak-gerak
tidak ada. Enam bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien berobat dan dikatakan
mengalami batu di kedua ginjal. Pasien kemudian disarankan untuk menjalani operasi
untuk mengangkat batu di ginjalnya. Dua bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien
menjalani operasi PCNL untuk mengangkat batu di ginjal kiri pada bulan September
2018. Saat ini pasien tidak lagi merasakan nyeri di pinggang kirinya. Nyeri di pinggang
kanan masih tetap dirasakan. Nyeri tumpul, VAS 1, tidak menjalar. Mual dan muntah
tidak dirasakan. Demam tidak ada. Buang air kecil tidak dirasakan berkurang jumlah
dan frekuensinya. Kaki bengkak tidak ada, sesak napas tidak ada. Pasien
umumnya minum sekitar 1 botol aqua besar perhari (sekitar 1,5 L).
Saat dikunjungi, pasien baru selesai menjalani operasi PCNL. Nyeri dirasakan di daerah
operasi, VAS 6-7, terus menerus. Mual dan muntah tidak ada. Demam tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi, diabetes mellitus, alergi obat, asma, asam urat, penyakit jantung, dan penyakit
paru sebelumnya tidak ada. Riwayat batu saluran kemih sebelumnya tidak ada.
Riwayat OAT dalam 1 tahun terakhir tidak ada.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga

Hipertensi, diabetes mellitus, alergi, dan asma tidak ada. Riwayat penyakit yang sama di
keluarga tidak ada.

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan

Pasien adalah seorang pedagang, aktivitas fisik tidak banyak, konsumsi teh dan kopi
sekitar 1-2 gelas kecil/hari. Pasien menggunakan jaminan kesehatan daerah.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos mentis


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 84 x/ menit, reguler
Pernapasan : 18 x/ menit
0
Suhu : 36,7 C
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 55 kg
2
IMT : 19,03 kg/m
Status generalis

Kulit : sawo matang, tidak pucat.

Kepala : tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan sinus.

Mata : konjungtiva pucat tidak ada, sklera tidak ikterik, pupil isokor 3 mm,
refleks cahaya langsung ada, refleks cahaya tidak langsung ada.
Gigi dan Mulut : kebersihan mulut baik.

Leher : JVP 5+0 cmH2O, tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening, tidak
ada pembesaran tiroid.
Paru : pernapasan simetris saat statis dan dinamis, tidak ada napas cuping
hidung, tidak ada penggunaan otot bantu napas, suara napas
vesikuler/vesikuler, rhonki tidak ada, wheezing tidak ada.
Jantung : bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop.

Abdomen : datar, lemas, nyeri tekan tidak ada, defans muskular tidak ada, hati dan
limpa tidak teraba, bimanual tidak teraba massa, timpani, bising usus
ada 3x/menit.
Punggung : terdapat nefrostomi tertutup verban di kanan, nyeri ketok CVA tidak
ada.
Anggota gerak : Akral hangat, edema tidak ada, CRT< 2 detik.

Status urologis

Flank kanan : terpasang nefrostomi, terbalut perban, produksi nefrostomi 100 cc/24
jam, warna kuning kemerahan.
Flank kiri : tidak ditemukan kelainan.

Supra simfisis : nyeri tekan tidak ada, buli-buli tidak penuh, tidak ada teraba batu.
Genitalia eksterna: terpasang kateter folley, produksi 600 cc/12 jam, kuning jernih.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Nilai
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Keterangan
Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Perifer Lengkap
Hemoglobin 9,5 13-16 g/dL ↓
Hematokrit 29,1 40-48 % ↓
6
Eritrosit 3,17 4,5-5,5 10 /µL ↓
MCV 91,8 82-92 fL N
MCH 30,0 27-31 pg N
MCHC 32,6 32-36 mg/dL N
3
Trombosit 398 150-400 10 /µL N
3
Leukosit 7,17 5,00-10,00 10 /µL N
HEMOSTASIS
PT 10,9 (11,5) 9.8-12.6 detik N
APTT 40,6 (31,9) 31-47 detik N
KIMIA KLINIK
SGOT 17 <33 U/L N
SGPT 14 <50 U/L N
Ureum 29 <50 mg/dL N
Kreatinin 1,80 0.8-1.3 mg/dL ↑
GDS 86 70-140 mg/dL N
Asam urat 8,1 <7,0 mg/dL ↑
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 130 135-145 mEq/L ↓
Kalium (K) 4,4 3,5-5,5 mEq/L N
Klorida (Cl) 106 98-109 mEq/L N
Urin Lengkap

Warna kuning, keruh, berat jenis 1,020, pH 6,0. Leukosit 45-50 /LPB, eritrosit 20-25

/LPB, silinder hyalin 0-1 /LPK, sel epitel 1+, kristal negatif, bakteria positif. Protein 1+,
glukosa negatif, keton negatif, darah 3+, bilirubin negatif, urobilinogen 3,2 µmol/L, nitrit
positif, leukosit esterase 3+.

Rontgen Toraks

Deskripsi: tulang dan jaringan lunak baik, sudut kostofrenikus tajam, diafragma licin,
CTR <50%, hilus tidak menebal, corakan bronkovaskular baik, trakea ditengah, tidak
terdapat infiltrat.
Pemeriksaan BNO

Deskripsi: lemak properitoneal baik; distribusi udara usus tersebar sampai ke distal, tak
tampak dilatasi abnormal; kontur ginjal kanan baik, kiri samar; tampak bayangan
radioopak di hemiabdomen kanan setinggi vertebra L1-2 proyeksi ginjal kanan; garis
psoas simetris; tulang-tulang kesan baik; terpasang nefrostomi kanan dengan tip setinggi
paravertebra L2 kiri proyeksi ginjal kanan, tampak terpasang kateter DJ stent kiri dengan
ujung proksimal di paravertebra L2, proyeksi UPJ kiri atau proksimal ureter kiri dan
ujung distal di uretra; terpasang nefrostomi kiri di hemiabdomen kiri dengan tip setinggi
paravertebra L1 pada proyeksi ginjal kiri.
Kesimpulan: nefrolitiasis kanan, nefrostomi kanan kiri, DJ stent kiri.
Pemeriksaan USG Ginjal
Deskripsi: Ginjal kanan: bentuk dan ukuran normal, diferensiasi korteks dan medula
jelas, sistem pelviokalises tidak jelas melebar, tampak batu multipel di pelvis renalis
dengan diameter terbesar 2,32 cm, tampak lesi kistik di pole atas dengan ukuran terbesar
2,7x2,9 cm, tampak terpasang stent. Ginjal kiri: bentuk dan ukuran normal, korteks
menipis, sistem pelviokalises melebar, tampak batu multipel di pelvis renalis dengan
diameter terbesar 1,27 cm, tampak terpasang stent. Vesika urinaria: bentuk dan ukuran
normal, dinding tidak menebal, tak tampak batu/sludge, tampak terpasang stent. Kelenjar
prostat tak tampak kelainan. Kesimpulan: nefrolithiasis multipel bilateral, hidronefrosis
kiri, simple cyst ginjal kanan, terpasang stent di kedua ginjal dan di buli.
Diagnosis

Batu cetak ginjal kanan post PCNL H+0.

Tatalaksana

• Monitor tanda vital, status lokalis, dan produksi nefrostomi.

• IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam.

• Cefoperazone sulbactam 2x1g IV

• Tramadol 3x100 mg IV

• Vit K 3x1

• Vit C 1x1

• Transamin 3x500 mg IV

• Cek DPL, elektrolit post operasi.

• Analisa batu.

• Edukasi pencegahan terjadinya batu berulang


Prognosis

Quo ad vitam: bonam

Quo ad functionam: dubia at bonam


Quo ad sanactionam: dubia at bonam
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Anatom
i

1
Gambar 1. Struktur organ pada sistem urinari.

Etiologi dan Epidemiologi

Penyakit batu merupakan penyakit saluran kemih tersering, terjadi pada satu dari delapan
pria kulit putih setelah usia 70 tahun. Penyakit ini umum ditemukan pada usial >20 tahun dengan
puncak insidensi di usia 40-60 tahun dan tiga kali lebih sering pada pria dibandingkan dengan
pada wanita. Pada pasien yang sudah mengalami batu, resiko terjadinya rekurensi pembentukan
batu dalam 5 tahun mencapai 50%. Kesuksesan tatalaksana batu ditentukan oleh managemen
2,3,4
akut dan jangka panjang.

Patofisiologi

Teori yang menjelaskan batu saluran kemih masih belum sempurna. Pembentukan batu
membutuhkan supersaturasi urin. Supersaturasi urin bergantung pada pH urin, kekuatan ion,
konsentrasi cairan, dan pembentukan kompleks dengan komponen lain. Peran konsentrasi cairan
jelas, dimana semakin besar konsentrasi 2 ion, semakin mungkin ion-ion tersebut mengendap
2
dan menginisiasi pembentukan kristal.

Teori nukleasi menyatakan bahwa batu saluran kemih berasal dari kristal atau benda
asing yang terdapat di urin yang supersaturasi. Namun, ditemukan bahwa pasien dengan batu
dapat menunjukkan hasil yang normal pada pemeriksaan urin. Teori kristal inhibitor menyatakan
bahwa batu terjadi akibat tidak adanya atau rendahnya konsentrasi inhibitor batu yang secara
2
alami ada di dalam tubuh, termasuk magnesium, sitrat, dan pirofosfat.
3
Gambar 2. Proses pembentukan batu.
2,3
Jenis-jenis batu:

• Batu kalsium: batu kalsium merupakan jenis batu yang paling sering terjadi.

• Batu non-kalsium:

1. Batu struvit: tersusun atas magnesium, ammonium, dan fosfat, umumnya ditemukan
pada wanita, berbentuk staghorn, jarang di ureter.
2. Batu asam urat: menyebabkan <5% batu saluran kemih, umumnya ditemukan pada
pria. Pasien dengan gout, penyakit mieloproliferatif, kehilangan berat badan
mendadak, dan yang mendapat tatalaksana untuk keganasan memiliki insidensi yang
lebih tinggi mengalami batu asam urat. Namun, sebagian besar pasien dengan batu
asam urat tidak mengalami hiperurisemia. Peningkatan asam urat dapat terjadi akibat
dehidrasi atau konsumsi purin yang tinggi.
3. Batu sistin: sistin lithiasis umumnya sekunder akibat inborn error of metabolism yang
berakibat terjadinya absorpsi abnormal di mukosa intestinal dan absorpsi tubulus
renalis.
4. Batu xantin: terjadi akibat defisiensi xanthine oxidase kongenital.

5. Batu indinavir: indinavir merupakan protease inhibitor yang paling umum


menyebabkan batu radiolusen pada sekitar 6% pasien yang mendapat obat ini.

3
Tabel 1. Komposisi batu dan persentase kejadian.
Gejala dan Tanda

1. Nyeri

Nyeri yang berasal dari ginjal dapat bersifat kolik maupun nonkolik. Kolik renal
umumnya disebabkan oleh regangan pada sistem kolektikus atau ureter (umumnya akibat
passing stone). Obstruksi traktur urinarius merupakan mekanisme utama penyebab
kolik renal. Nyeri nonkolik terjadi akibat distensi kapsul renalis. Gejala ini dapat
2,4
saling tumpang tindih dan sulit dibedakan.

Mekanisme lokal seperti inflamasi, edema, hiperperistaltis, dan inflamasi mukosa dapat
mempengaruhi nyeri yang dirasakan pasien. Di ureter, nyeri lokal dapat dialihkan ke
distribusi saraf ilioinguinal dan cabang genital dari nervus genitofemoral. Beratnya nyeri
dan lokasi nyeri dipengaruhi oleh ukuran batu, lokasi batu, derajat obstruksi, onset
obstruksi, dan variasi anatomi individu. Batu ureter kecil umumnya disertai nyeri yang
berat, sedangkan batu cetak umumnya disertai nyeri yang tumpul atau rasa tidak nyaman
2,4
di ginjal.

Batu di kaliks ginjal dapat menyebabkan obstruksi. Nyeri bersifat tumpul di pinggang
dengan intensitas yang bervariasi. Nyeri dapat muncul setelah konsumsi cairan dalam
jumlah banyak. Adanya infeksi atau inflamasi di kaliks yang menyertai obstruksi dapat
2
memperberat persepsi nyeri.
Batu di pelvis dengan diameter >1 cm umumnya menyumbat UPJ (ureteropelvic

junction), umumnya menyebabkan nyeri hebat di sudut kostovertebra. Nyeri dapat


bersifat tumpul hingga tajam. Umumnya gejala muncul intermiten, mengikuti konsumsi
air dalam jumlah banyak. Batu cetak (staghorn) di pelvis ginjal tidak selalu obstruktif,
2
sehingga pasien jarang merasakan nyeri pinggang.
Batu di ureter proksimal dan midureter umumnya menyebabkan nyeri yang berat dan
tajam. Nyeri dapat memberat dan intermiten saat batu berjalan ke distal ureter dan
menyebabkan obstruksi intermiten. Batu yang tersangkut dilokasi tertentu dan
menyebabkan obstruksi parsial menyebabkan nyeri yang lebih ringan. Nyeri akibat batu
ureter umumnya terkait dermatom dan persarafan spinal. Nyeri akibat batu di ureter
proksimal umumnya menjalar ke regio lumbar. Batu di medial ureter umumnya
menyebabkan nyeri yang menjalar ke kaudal dan anterior ke abdomen bagian
2
bawah.
Batu di ureter distal umumnya menyebabkan nyeri yang menjalar ke kemaluan (ke
skrotum pada pria, dan ke labia pada wanita). Nyeri alih ini umumnya dari cabang
2
ilioinguinal atau genital dari nervus genitofemoral.

2
Gambar 2. Penjalaran nyeri sesuai posisi batu di ureter.

2. Hematuri

Urinalisis lengkap dapat membantu konfirmasi diagnosis batu saluran kemih dengan
menilai adanya hematuri, kristaluri, dan pH urin. Pasien dapat mengalami gross hematuri
intermiten atau urin berwarna seperti teh. Sebagian besar pasien mengalami
2,3,4
mikrohematuri.
3. Infeksi

Batu struvit (amonium fosfat) umumnya dikaitkan dengan infeksi proteus, pseudomonas,
klebsiella, dan stafilokokus. Batu ini bahkan disebut infection stone. Batu kalsium fosfat
adalah batu lain yang dikaitkan dengan infeksi. Semua batu dapat dihubungkan dengan
2,3
infeksi akibat obstruksi dan stasis di proksimal batu.
4. Demam

Demam terkait obstruksi saluran kemih umumnya menunjukkan butuhnya dekompresi.


Hal ini dapat dicapat dengan pemasangan kateter retrograde (mis: double-J kateter). Jika
2
manipulasi retrograde gagal, pemasangan nefrostomi perkutaneus dibutuhkan.
5. Mual dan muntah

Obstruksi traktus proksimal umumnya dikaitkan dengan mual dan muntah. Dapat
dibutuhkan cairan intravena untuk mengembalikan keadaan euvolemik. Namun, cairan
intravena tidak boleh digunakan untuk meningkatkan diuresis sebagai usaha untuk
2,3,4
mendorong batu ureter turun ke distal.
Diperlukan riwayat yang tepat dari pasien. Nyeri harus dievaluasi, termasuk onset,
karakter, radiasi, dan aktivitas yang dapat memperberat atau memperingan nyeri,
mual dan muntah, hematuri, dan riwayat nyeri yang sama sebelumnya. Pasien dengan
riwayat batu sebelumnya umumnya mengalami nyeri yang sama dengan sebelumnya,
2
namun hal ini t idak selalu terjadi.

Faktor Resiko

1. Kristaluri merupakan faktor resiku untuk batu. Produksi kristal ditentukan


oleh saturasi garam dan konsentrasi inhibitor dan promoter di urin. Masing-masing
2
kristal memiliki bentuk yang berbeda.
2. Diet intake sodium yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan sodium urin,
kalsium, dan pH, dan penurunan ekskresi sitrat. Hal ini meningkatkan kemungkinan
kristalisasi garam kalsium akibat peningkatan saturasi monosodium urat dan kalsium
fosfat. Intake cairan dan urin output dapat mempengaruhi batu saluran kemih. Urin
output rerata harian
pada pasien yang mengalami batu adalah 1,6
2,3
L/hari.

3. Pekerjaan tenaga medis dan pekerja kantoran memiliki insidensi batu yang lebih
tinggi dibandingkan buruh. Hal ini diduga akibat perbedaan aktivitas fisik dimana
aktivitas fisik dapat memicu lepasnya agregat kristal. Individu yang terekspose pada
2
suhu tinggi juga lebih cenderung mengalami peningkatan konsentrasi akibat dehidrasi.
4. Iklim individu yang tinggal di iklim panas lebih rentan mengalami dehidrasi yang

meningkatkan insiden batu saluran kemih, khususnya batu asam urat. Disamping itu,
iklim panas juga mengakibatkan paparan ultraviolet lebih tinggi produksi vitamin
2,3
D meningkat ekskresi kalsium dan oksalat meningkat.
5. Riwayat keluarga pasien dengan batu saluran kemih dua kali lebih mungkin
memiliki riwayat keluarga dengan batu saluran kemih. Pasien dengan riwayat keluarga
2
memiliki peningkatan insidensi terjadinya batu saluran kemih yang dini dan berulang.
6. Obat-obatan beberapa obat antihipertensi, penggunaan antasida jangka panjang dapat
mempengaruhi terjadinya batu saluran kemih.

Pemeriksaan Radiologi

1. CT noncontras CT scan merupakan modalitas pilihan untuk pasien dengan kolik renal.

Pemeriksaan ini memberi hasil yang lebih cepat, menunjukkan struktur peritoneal dan
retroperitoneal lainnya, menentukan volume batu cetak dengan tepat, dan membantu saat
diagnosis masih belum jelas. Pemeriksaan ini tidak subjektif bergantung pada pemeriksa
2,3
dan tidak membutuhkan kontras intravena.
2. Intravenous pyelography menujukkan nefrolithiasis dan anatomi traktus urinarius

bagian atas, dapat diinterpretasi oleh sebagian besar klinisi. Persiapan yang tidak adekuat
2
dapat menyebabkan hasil yang diperoleh kurang baik.
3. Foto BNO dan USG kedua pemeriksaan ini dapat sama efektifnya dengan IVP
dalam menegakkan diagnosis. Ureter distal dapat divisualisasi dengan baik pada kandung
2
kemih yang penuh.
4. Retrograde pyelography pemeriksaan ini kadang dibutuhkan untuk
2
menggambarkan trakturs bagian atas dann melokalisasi batu berukuran kecil.
Tatalaksana
3
Diagram 1. Algoritma evaluasi dan managemen batu saluran kemih.
Pedoman penatalaksanaan batu cetak ginjal/staghorn

Belum ada kesepakatan mengenai definisi batu cetak ginjal. Definisi yang sering dipakai
adalah batu ginjal yang menempati lebih dari satu collecting system, yaitu batu pielum yang
berekstensi ke satu atau lebih kaliks. Batu cetak parsial adalah batu yang menempati sebagian
cabang collecting system. Batu cetak komplit adalah batu ginjal yang menempati seluruh
3,5
collecting system.

Pengangkatan seluruh batu bertujuan untuk mencegah dan mengatasi infeksi, mengatasi
obstruksi, mencegah pertumbuhan batu lebih lanjut dan infeksi yang menyertainya, serta
menjaga fungsi ginjal. Batu ginjal yang tidak diterapi akan menyebabkan kerusakan anatomi dan
5
fungsi ginjal. Terapi yang digunakan untuk batu cetak ginjal:
1. PCNL monoterapi

2. Kombinasi PCNL dan ESWL

3. ESWL monoterapi

4. Operasi terbuka

5. Kombinasi operasi terbuka dan ESWL

Terapi konservatif pada pasien dengan batu cetak ginjal meningkatkan resiko kehilangan
ginjal dan kematian hingga 30%. Penanganan ideal batu cetak ginjal terdiri atas tiga tahapan.
Pertama, complete surgical removal dari seluruh batu sangat esensial. Jika masih terdapat sisa
batu, urea-splitting bakteriuri tetap terjadi dan dapat menyebabkan pertumbuhan batu kembali.
Kedua, abnormalitas metabolik yang ada harus diidentifikasi dan ditangani dengan tepat. Ketiga,
3
abnormalitas anatomi yang dapat menyebabkan stasis saluran kemih harus diatasi.

Ketika PNL dibandingkan dengan SWL monoterapi pada penangan batu cetak ginjal,
stone free rate pada PNL dengan atau tanpa SWL adalah 84,2%, sedangkan pada SWL
monoterapi adalah 51,2%. Penanganan pasien dengan batu cetak ginjal dengan pendekatan
kombinasi harus dilakukan perkutaneus secara primer dan SWL hanya digunakan sebagai
3
tambahan untuk meminimalisasi jalur akses yang dibutuhkan.

Perkutaneus nefrostomi merupakan tumpuan dari seluruh prosedur perkutaneus di saluran kemih
bagian atas. Pendekatan perkutaneus menyediakan rute yang nyaman untuk diagnosis
kelaianan saluran kemih atas. Fungsi utama dari nefrostomi postprosedur adalah untuk drainase
urin dari struktur yang masih mengalami ekspansi dan inflamasi akut akibat prosedur. Selain itu,
nefrostomi juga dengan cepat mendrainase darah dalam urin sebelum klot penyebab obstruksi
3
terbentuk dan juga berperan untuk menyerap perdarahan postoperatif. Secara umum
6
pemasangan nefrostomi bertujuan untuk:
• Mengeluarkan batu ginjal

• Mendapat akses langsung ke traktus urinarius bagian atas untuk berbagai prosedur urologis

• Mendiagnosis obstruksi ureter, filling defect, dan kelainan lain melalui radiografi
anterograde
• Mengalirkan agen kemoterapi ke collecting system ginjal

• Menyediakan profilaksis setelah reseksi untuk kemoterapi lokal pada pasien dengan tumor
pelvis ginjal
6
Beberapa indikasi untuk pemasangan nefrostomi:

Obstruksi saluran kemih atas baik akut maupun kronik dimana akses ke ginjal dari
saluran kemih bawah sulit akibat adanya batu, tumor, dan kelainan anatomis.
Peningkatan serum kreatinin dan drainase urin melalui ureter tidak dapat dilakukan.

Gangguan pelvis ginjal (obstruksi UPJ, ginjal tapal kuda, dupleks ureter, fisura ureter,

double renal collecting system).

Hidronefrosis pada renal transplant allograft.

Tatalaksana batu cetak ginjal (yang akan dilakukan perkutaneus nefrolitotomi).

Batu atau tumor dengan obstruksi distal atau benda asing yang tidak dapat dikeluarkan
melalui ureter.
BAB 3
PEMBAHASAN

Batu cetak ginjal kanan post PCNL H+0

• Anamnesis: nyeri pinggang ada, riwayat kencing berpasir ada, kencing kemerahan ada.

Sudah menjalani operasi PCNL untuk batu ginjal kiri 2 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat penyakit asam urat tidak ada, penyakit yang sama di keluarga tidak ada. Minum
kopi atau teh 1-2 gelas kecil per hari, konsumsi cairan sekitar 1,5 L/hari.
• Pemeriksaan Fisik: bimanual abdomen tidak teraba massa, punggung tidak ada nyeri ketok
CVA, terpasang nefrostomi tertutup verban di kanan, produksi 100 cc/24 jam, warna kuning
kemerahan, terpasang kateter folley produksi 600 cc/12 jam, kuning jernih.
• Pemeriksaan penunjang: anemia (Hb 9,5 g/dL), kreatinin meningkat (1,8 mg/dL), asam urat
meningkat (8,1 mg/dL), urinalisis: urin kuning keruh, pH 6,0, le 45-50 /LPB, eri 20-25
/LPB, kristal negatif, protein 1+, nitrit positif, leukosit esterasi 3+. BNO: nefrolitiasis
kanan. USG ginjal: nefrolitiasis multipel bilateral.
• Diagnosis: batu cetak ginjal kanan post PCNL H+0.

• Tatalaksana:

o Monitor tanda vital, status lokalis, dan produksi


nefrostomi.

o IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam.


o Cefoperazone sulbactam 2x1g IV
o Tramadol 3x100 mg IV
o Transamin 3x500 mg
IV

o Cek DPL, elektrolit post operasi.

o Analisa batu.

o Edukasi pencegahan terjadinya batu berulang


Pada pasien dalam kasus ditemukan bahwa pasien adalah pria, usia 41 tahun. Hal ini sesuai
dengan data epidemiologi dimana pria lebih sering mengalami batu saluran kemih, dengan
puncak insidensi pada usia 40-60 tahun. Faktor resiko yang dapat ditemukan pada pasien adalah
hiperurisemia, konsumsi cairan <2 L/hari, tinggal di iklim tropis. Keluhan yang dirasakan pasien
sesuai dengan temuan klinis yang umum didapatkan pada pasien dengan batu saluran kemih,
yaitu nyeri pinggang yang tumpul, tidak terlalu berat. Pada pasien juga ditemukan adanya
2,3,4
hematuria dan kencing berpasir.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan serum kreatinin (1,8 mg/dL
CrCl 42,01 mL/menit CKD stage 3). Hal ini menunjukkan adanya gangguan fungsi
ginjal pada pasien. Hal ini perlu diperhatikan sehingga dalam tatalaksana yang direncanakan
dapat dicegah penurunan fungsi ginjal yang lebih berat. Pada urinalisis, ditemukan adanya
bakteri, nitrit, dan leukosit esterase, namun pada pemeriksaan darah tidak terdapat leukositosis.
Pasien juga tidak mengalami demam. Hasil urinalisis ini dapat dipengaruhi oleh batu ginjal
pada pasien. Adanya bakteriuri ini harus diperhatikan sehingga tidak berkembang menjadi
infeksi saluran kemih dan
2,4
sepsis.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien sudah tepat untuk mendukung
diagnosis, yaitu BNO, USG, dan CT urografi. Pada pasien juga dilakukan pemasangan
nefrostomi. Pemasangan nefrostomi yang dilakukan sudah sesuai indikasi, yaitu untuk
menyediakan akses untuk prosedur urologis dan untuk drainase urin dari ginjal yang baru
dilakukan prosedur, dalam kasus ini prosedur PCNL. Pemilihan prosedur PCNL untuk evakuasi
2,3,5
batu cetak pada pasien juga sudah tepat sesuai dengan rekomendasi yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Schwartz’s
th
principles of surgery. 8 Edition. New York: McGraw-Hill. 2007.
2. Stoller ML. Urinary stone disease. In: Tanagho EA, McAninch JW, editors. Smith’s
th
general urology. 17 Edition. New York: McGraw-Hill Medical. 2008. p. 246-77.
th
3. Wein AJ, Kavoussi LR, Novick AC, Partin AW, Peters CA. Campbell-Walsh urology. 9

Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.

4. Wolf JS. Nephrolithiasis. Jan 2012. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/437096-overview [cited: 07 Desember 2012 pukul

21.05]

5. Sumardi R, et al. Guidelines Penatalaksanaan Penyakit Batu Saluran Kemih 2007. Ikatan
Ahli Urologi Indonesia. 2007.
6. Hautmann SH. Nephrostomy. Dec 2011. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/445893-overview [cited: 07 Desember 2012 pukul

22.45]
31

Anda mungkin juga menyukai