PENDAHULUAN
1
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit dermatitis kontak
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Terlaksananya penyuluhan di wilayah kerja Puskesmas Watubangga kabupaten
Kolaka.
Menurunnya angka kejadian dermatitis kontak pada pasien dermatitis kontak di
kecamatan Watubangga.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respons terhadap
pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa
efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin hanya beberapa
(oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.1
Dermatitis kontak adalah reaksi inflamasi akibat kontak kulit dengan bahan kimia.
Hal ini dapat menjadi reaksi alergi dan iritasi. Banyak kasus ekzema dengan etiologi yang
tidak diketahui, pada kenyataannya, bentuk klinis dari dermatitis kontak.2 Dermatitis
kontak alergi (DKA) adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan
luar yang bersifat haptenik atau antigenik yang sama atau mempunyai struktur kimia
serupa pada kulit seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi.3
2.2. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul umumnya
rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses, disebut hapten, bersifat
lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum sehingga mencapai sel
epidermis di bawahnya (sel hidup). Berbagai faktor berpengaruh terhadap timbulnya
DKA, misalnya, potensi sensitisasi alergen, dosis perunit area, luas daerah yang terkena,
lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembaban lingkungan, vehikulum, dan PH. Juga faktor
individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaan stratum korneum, ketebalan
epidedrmis), status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan sinar
matahari).1
Banyak zat dapat menyebabkan jenis reaksi tetapi paling sering nikel (perhiasan dan
gesper); kromat (semen); lateks (sarung tangan bedah); parfum (dalam kosmetik dan
penyegar udara); dan tanaman.4
2.3. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti respon imun yang
diperantai oleh sel (cell-mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu
3
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan
fase elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami fase sensitisasi dapat menderita
DKA.1
Paparan yang kuat seperti hasil resin dari poison ivy di sensitisasi dalam satu minggu
atau lebih, sementara paparan alergen yang lemah dapat berbulan-bulan hingga tahunan
untuk sensitisasi. Antigen ditangkap oleh sel-sel Langerhans, yang memproses antigen dan
bermigrasi dari epidermis ke kelenjar getah bening, di mana mereka menyajikan antigen
yang telah berikatan dengan MHC kelas II ke sel T yang kemudian berproliferasi. Sel T
yang telah tersensitasi meninggalkan kelenjar getah bening, masuk ke sirkulasi darah
hingga ke kulit dan setelah disajikan oleh sel-sel Langerhans dengan antigen spesifik yang
sama, sel ini memproduksi dan memediasi pelepasan sel lain dari berbagai sitokin. Dengan
demikian, semua kulit menjadi hipersensitif terhadap alergen kontak dan akan bereaksi
dimanapun alergen tertentu disajikan.5
2.5. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan klinis yang
teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit yang
ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran nummular di sekitar umbilicus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan apakah
penderita memakai kancing celana, atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari logam
4
(nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat
topical yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang diketahui
menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat atopi, baik dari yang
bersangkutan maupun keluarganya. Pemeriksaan fisis sangat penting, karena dengan
melihat lokasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketaui kemungkinan
penyebabnya. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada
seluruh kulit untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen.1
2.7. Penatalaksanaan
Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah upaya
pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan
kulit yang timbul.1
Untuk DKA ringan atau DKA akut yang telah mereda (setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid sistemik), cukup diberikan kortikosteroid atau makrolaktam (primecrolimus
atau takrolimus) secara topical.1
5
Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan
pada DKA akut yang ditandai dengan adanya eritma, edema, vesikel atau bula, serta
eksudatif (madidans), misalnya prednisone 30 mg/hari. Umumnya kelainan kulit dapat
mereda setelah beberapa hari. Selainkan kelainan kulitnya cukup dikompres dengan
larutan garam faal atau larutan air salisil 1:1000.1
2.8. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat disingkirkan.
Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis faktor
endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh
alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan tertentu
atau berada di lingkungan penderita.1
6
BAB III
METODE
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau
melukiskan secara sistematis mengenai subjek penelitian. Setelah diperoleh data objektif
mengenai angka kejadian Dermatitis Kontak di cakupan wilayah Kecamatan Watubangga
periode Juni 2017- November 2017, akan dilakukan intervensi berupa penyuluhan
mengenai dermatitis kontak dengan tujuan untuk mengurangi angka kejadian dermatitis
kontak.
3.4. Instrumen
1.1. Sumber data : sumber data berasal dari data sekunder (jumlah kunjungan pasien
dermatitis kontak di poli).
1.2. Intervensi : dilakukan dengan pemberian informasi melalui penyuluhan mengenai
bahaya gigitan anjing, gejala yang ditimbulkan oleh penyakit rabies serta upaya
pencegahannya.
7
BAB IV
HASIL PENELITIAN
8
Gambar 4.1. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Plus Watubangga Kecamatan
Watubangga
1.3 Data Demografik
Wilayah kerja puskesmas Watubangga Secara Administratif terdiri dari atas 3
(tiga) Kelurahan dan 11 (sebelas) desa dengan jumlah penduduk dan jarak dengan ibu
kota kabupaten serta ibu kota kecamatan maing-masing adalah sebagai berikut
Tabel 4.1 Keadaan Jumlah Penduduk Kecamatan Watubangga Tahun 20146
Jumlah
Jarak (KM)
No. Nama Kel. / Desa Penduduk
9
13. Desa Ranoteta 997 280 9 84
14. Desa Mataosu Ujung 429 148 37 112
Masyarakat kecamatan watubangga secara sosial ekonomi adalah terdiri dari berbagai
macam suku bangsa yaitu suku tolaki morene, suku tolaki mekongga, suku bugis-makassar,
suku jawa dan suku bali yang mayoritas bekerja sebagai petani/pekebun, peternak
sapi/kambing dan nelayan disamping pekerjaan lain seperti wiraswasta, PNS dan
TNI/POLRI6
2. HASIL
Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan hasil yaitu :
2.1. Distribusi berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Populasi
Jumlah Presentase (%)
Laki – Laki 49 50
Perempuan 49 50
Total 98 100
10
2.3. Distribusi berdasarkan Waktu kunjungan
Bulan Populasi
Jumlah Persentase (%)
Juni 14 14,28
Juli 18 18,36
Agustus 13 13,26
September 10 10,20
Oktober 21 21,42
November 22 22,48
Total 98 100
11
BAB V
DISKUSI
Kasus dermatitis kontak ini terjadi pada semua pasien tanpa memandang usia, jenis
kelamin, dan ras. Sehingga jelas pada penelitian ini dimungkin untuk semua rentang usia
dapat memiliki resiko terkena penyakit ini. Penyebab munculnya dermatitis jenis ini adalah
bahan yang bersifat alkali (basa), asam, bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, dan serbuk
kayu. Dimana berdasarkan data geografis masyarakat watubangga bekerja sebagai
petani/pekebun, peternak, dan nelayan yang dinilai memiliki potensi tinggi terpajan dengan
bahan tersebut diatas. Untuk obat dari dermatitis kontak ini dapat diberikan obat topical dan
atau obat oral, untuk obat topical diberikan krim hidrofilik urea 10%, krim kortikosteroid.
Sementara untuk kasus dermatitis yang diikuti dengan manifestasi klinis berupa likenifikasi
dan hiperpigmentasi dapat diberikan betametason valerat krim 0,1% atau mometason furoat
krim 0,1%. Dipertimbangkan pula ketika terjadi infeksi sekunder dapat ditambah dengan
antibiotic topical. Dan untuk obat oral sistemik dapat diberikan obat golongan anti histamine.
Perlu juga mengidentifikasi factor resiko, menghindari bahan-bahan yang bersifat alergen dan
iritan yang bersifat kimia, mekanis, dan fisis., memakai sabun dengan ph netral dan
mengandung pelembab serta memakai alat pelindung diri untuk menghindari kontak saat
bekerja. Untuk prognosis penyakit ini umumnya bonam (baik), asal pasien menghindari
kontak dengan bahan iritan dan alergen yang dapat menimbulkan dermatitis.
12
dibiarkan karena akan menyebabkan keluhan makin parah bahkan menetap. Apabila terkena
penyakit ini jangan dibiarkan, dan oleh karena itu perlu segera ke puskesmas terdekat untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan berupa pengobatan dan penyuluhan.
13
BAB VII
PENUTUP
A. Simpulan
Kasus dermatitis kontak adalah penyakit yang terjadi karena adanya reaksi
inflamasi akibat kontak kulit dengan bahan kimia atau bahan yang dapat menimbulkan
alergi. Hal ini dapat menjadi reaksi alergi dan iritasi. Banyak kasus ekzema dengan
etiologi yang tidak diketahui, pada kenyataannya, bentuk klinis dari dermatitis kontak
(DK) adalah dermatitis yang terjadi akibat pajanan ulang dengan bahan luar yang bersifat
haptenik atau antigenik yang sama atau mempunyai struktur kimia serupa pada kulit
seseorang yang sebelumnya telah tersensitasi. Oleh karena tingginya resiko kejadian
penyakit ini sehingga perlu diketahui apa saja gejala-gejala yang ditimbulkan dari
dermatitis kontak, serta perlunya penanganan dari akibat yang timbul dari penyakit ini.
B. Saran
1. Untuk Masyarakat
Agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang kasus dermatitis kontak dengan
mengikuti penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan terdekat agar
dapat terhindar penyakit dermatitis kontak.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolf K, Johnson Richard Allen. 2009. Allergic Contact Dermatitis in Fitzpatrick’s Color
Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: Mc Graw Hill Medical
2. Djuanda Adhi. 2010. Dermatitis Kontak Alergi dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Edisi ke Enam. Jakarta: FKUI
3. Sulaksmono M. Keuntungan dan Kerugian Patch Test (Uji Tempel) Dalam Upaya
Menegakkan Diagnosa Penyakit Kulit Akibat Kerja (Occupational Dermatosis). Diakses
melalui http://journal.unair.ac.id/filerPDF/PH-1-1-01pdf.pdf. 25 April 2015.
4. Parveen Kumar. 2012. Allergic Contact and Irritant Contact Eczema. In: Kumar&Clark’s
Clinical Medicine eighth edition. London: Saunders Elsevier
5. Laura G Solovastru. 2011. Contact Dermatitis-Epidemiological Study In Medica a
Journal of Clinical Medicine, Volume 6 No. 4
15