Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Percepatan pertumbuhan jumlah penduduk lasia (Population Aging) di

Indonesia bukan hanya menjadi fenomena di Indonesia, namun merupakan suatu

fenomena di berbagai negara di dunia. Era lanjut uisa pada abad ke-21 akan terjadi

diIndonesia yang mana Indonesia akan terjadi pertumbuhan penduduk lansia

tercepat jika dibandingkan dengan negara lain di dunia.

Fenomena tersebut diatas sangat menarik dan mendesak untuk memperoleh

penanganan secepat mungkin. Masalah yang dapat timbul akibat fenomena tersebut

dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain aspek fisik-biologis, aspek mental

psikologis maupun aspek sosio ekonomis. Dengan demikian maka perlu

mengantisipasi berbagai masalah yang nantinya akan ditimbulkan sedini mungkin

(Prihastuti, 2001).

Menurut data dari 11th Asean Gerontologi Course yang dipresentasikan oleh

Yenny, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 9,77% dimana 50% populasi lansia

adalah wanita. Dari data tersebut maka Indonesia bukan lagi dikategorikan sebagai

penduduk muda, namun sudah tergolong penduduk intermediate. Selain itu, post-

war baby boom di Indonesia yang terjadi pada decade 1960 – 1970an diperkirakan

akan mengakibatkan aged-population boom pada dua decade permulaan abad ke-21.

Jika kita melihat flash back pertumbbuhan penduduk sejak sensus penduduk

pada tahun 1990, populasi lansia di Indonesia terus meningkat. Pada sensus tahun

1990 jumlah penduduk sebesar 179 juta jiwa, meningkat menjadi 203 juta jiwa pada

1
tahun 2000. Jika dibagi menurut jenis kelamin, maka jumlah penduduk perempuan

sedikit lebih banyak dibanding jumlah penduduk laki-laki. Pada tahun 1990 jumlah

penduduk perempuan sebanyak 89,8 juta sedangkan jumlah penduduk laki-laki

sebanyak 89,3 juta. Pada tahun 2000, jumlah penduduk perempuan meningkat

menjadi 101, 8 juta dan jumlah penduduk laki-laki menjadi 101,6 juta.

Angka tersebut diatas dapat membantu kita dalam memprediksi masalah apa

saja yang akan timbul sehubungan dengan kondisi lansia di Indonesia, terutama pada

lansia perempuan dalam kaitannya dengan disfungsi seksual.

Secara teoripun perempuan lebih cepat mengalami masalah seksual pada usia

senja, seperti yang dilaporkan oleh Meston, 1997 bahwa pada usia 60 tahun, lebih

sedikit wanita yang masih sexual active yaitu hanya 56% dibanding laki-laki

sebesar 75%; sedangkan pada usia 80 – 102 tahun tahun hanya 30% wanita yang

masih seksual aktif sedangkan lebih banyak laki-laki yang masih sexual active

sebesar 63%. Selain itu bukti ilmiah yang dilaporkan oleh Lauman et al,2008

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesehatan mental yang

rendah pada wanita dengan masalah seksual.

Masalah yang akan dikupas dalam makalah ini lebih difokuskan pada masalah

seksual lansia perempuan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa terjadi

peningkatan masalah seksual pada perempuan, seiring dengan kejadian menopause

yang merupakan suatu keadaan fisiologis yang akan dialami oleh setiap perempuan.

Masalah – masalah tersebut dapat berupa penurunan hasrat untuk berhubungan

seksual, masalah lubrikasi vagina, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

orgasme bahkan terjadi anorgasme, dispareunia, dan berbagai keluhan lainnya

(Gregersen, 2006).

2
Faktor – faktor lain yang dilaporkan berhubunan dengan masalah seksual pada

lansia perempuan antara lain tindakan pengobatan baik kimiawi maupun operatif

seperti terapi antidepresan, operasi histerektomi maupun operasi urologi lainnya

(Salonia et al, 2006).

Untuk lebih jelasnnya masalah seksual pada lansia perempuan ini akan dibahas

dengan lebih detail baik tinjauan teoritisnya maupun evidence yang ada pada studi -

studi yang telah dilaporkan.

B. Tujuan

Dengan melihat kesenjangan yang ada pada lansia khususnya lansia

perempuan terkait dengan masalah seksual; maka sebagai tenaga kesehatan

masyarakat diharapkan mampu melihat secara menyeluruh masalah – masalah

seksual pada lansia perempuan. Dengan demikian asuhan yang diberikan dapat

ditangani secara komprehensif, baik itu faktor fisik, psikologis, sosial dan

emosional.

3
BAB II

TINAJAUNA PUSTAKA

A. Definisi

1. Proses Penuaan

Proses penuaan merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Untuk

dapat mendefinisikan penduduk lanjut usia, maka perlu memperhatikan berbagai

aspek yaitu aspek biologi, ekonomi, social, dan batasan usia (BKKBN, 1998

dalam Prihastuti, 2001).

Secara biologis, penduduk lansia adalah penduduk yang telah menjalani

proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan

semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit yan dapat

menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan karena dengan bertambah tua usia

seseorang, maka terjadi perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta

system organ.

Dari sudut pandang ekonomi¸penduduk lansia secara umum dipandang

lebih sebagai beban daripada potensi sumberdaya bagi pembangunan. Bagi para

lansia yang masih bekerja, produktivitasnya dianggap sudah menurun sehingga

pendapatannyapun lebih rendah dibanding dengan penduduk usia produktif.

Tetapi sebaliknya, kenyataan dilapangan tidak semua lansia memiliki kualitas

dan produktivitas yang menurun. Pada sebagian kaum lansia, tidak sedikit

pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki dimana potensi tersebut tidak

dimiliki oleh kaum muda.

Jika ditinjau dari aspek sosial, penduduk lansia merupakan suatu kelompok

sosial tersendiri. Di Asia khususnya di masyarakat tradisional, termasuk

4
Indonesia, penduduk lansia menduduki kelas sosial yang tinggi dimana

penduduk dengan usia yang lebih muda harus menghormati meraka yang berusia

lebih tua. Namun lain halnya dengan di negara Barat misalnya, penduduk lansia

menduduki kelas sosial dibawah kaum muda sehingga pengaruh mereka

terhadap sumber daya ekonomi, pengambilan keputusan serta luasnya hubungan

sosial semakin menurun.

Jika dilihat dari beberapa aspek diatas, batasan lansia menurut usialah yang

paling memungkinkan untuk digunakan. Para ahli demografi mendefinisikan

lansia dengan batasan umur 65 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menggunakan batasan umur 60 tahun. Di Indonesia digunakan batasan umur 60

tahun (Kantor Menteri Negara Kependudukan /BKKBN, 1998).

2. Seksualitas

Seksualitas adalah cinta, kehangatan, saling berbagi, sentuhan maupun

hal yang menyentuh antara manusia, bukan hanya tindakan fisik berupa

hubungan seksual (Ebersole & Hess, 1981).

Seksualitas pada lansia menjadi isu yang penting sejak dahulu hingga

sekarang, dan telah diakui oleh para pemberi layanan kesehatan. Secara teori

telah diakui bahwa seksualitas adalah hal yang penting, namun tidak diikuti

dengan tindakan dalam kesehariannya (Kass, 1979 dalam Ebersole & Hess,

1981). Bagi lansia wanita, sentuhan pada malam hari, mendengar irama jantung

pasangan, dan percakapan terbuka yang terjadi ditempat tidur pada malam hari

merupakan hal yang sangat penting (The Hite Report dalam Ebersole & Hess,

1981). Seksualitas dapat mengandung arti apa saja yang dapat memberikan

kenikmatan seksual atau kesenangan emosional, kegembiraan dan kenyamanan.

5
3. Kesehatan Seksual

Kesehatan Seksual menurut WHO adalah integrasi dari somatic (badan),

emosional, intelektual, dan aspek sosial yang dapat memperkaya dan

meningkatkan personalitas kepribadian, komunikasi dan cinta (Woods, 1979

dalam Ebersole & Hess, 1981).

Maddocks dalam Ebersole & Hess, 1981, kesehatan seksual mempunyai

empat komponen yaitu:

 Prilaku personal maupun sosial dalam kesepakatan terhadap identitas

individual gender.

 Kenyamanan dalam berprilaku seksual dan hubungan interpersonal yang

efektif, serta komitmen untuk hidup bersama antara pria dan wanita

sepanjang hidupnya.

 Respon terhadap stimulasi erotis yang dapat membangkitkan aktivitas

seksual yang menyenangkan.

 Keamampuan untuk dapat mewujudkan prilaku seksual yang harmonis

terhadap seseorang beserta nilainya.

Dibawah ini merupakan piramida Maslow yang dihubungkan dengan

pertumbuhan keadaan seksual selama hidup manusia oleh Solnick dalam

Ebersole & Hess, 1981.

6
Progression of Sexual Emphasis Through Life

Actuali Culmination the development of the previous levels,


zati
on
with or without coitus

Self Assurance of masculine and feminine identity


Esteem Loving, Sharing, Pleasure seeking, Recognition of physical cange
changes

Belonging Loving, Sharing

Security Trusting relationship

Biologic Integrity Procreation


Male initiated (most of time)

4. Disfungsi Seksual

Disfungsi/gangguan seksual diartikan sebagai kondisi multifaktorial, baik itu

anatomis, fisiologis, medical, psikologis, dan komponen sosial.

Sedangkan kesulitan dalam melakukan hubungan seksual/ sexual difficulties

merupakan suatu keadaan yang lazim terjadi pada wanita, namun masalah ini akan

menjadi gangguan seksual jika disebabkan oleh distress yang disebabkan oleh

respon yang berlawanan terhadap keadaan karena implikasi dari proses penuaan.

a. Etiologi Masalah Seksual Pada Lansia Perempuan

Pokok permasalahan disfungsi seksual pada lansia perempuan disebabkan

oleh penurunan hormone estrogen pada masa klimakterium hingga berhenti

diproduksinya hormone estrogen pada masa postmenopause. Selain estrogen,

hormone progesterone dan androgen juga berperan terhadap masalah seksual

pada lansia perempuan.

7
Untuk lebih jelasnya penulis akan membahas lebih dulu tentang menopause.

Menopause merupakan suatu bagian dari proses menua yang irreversible yang

melibatkan system reproduksi wanita. Menopause adalah masa berhentinya haid

pada perempuan, dimana batasan ini ditetapkan secara retrospektif sebagai tidak

adanya siklus menstruasi terhitung sejak 12 bulan kebelakang. Wanita menghabiskan

1/3 masa hidupnya dalam masa menopause.

WHO membagi masa menopause menjadi dua bagian yaitu menopause awal

(Perimenopause) dan menopause akhir (Pasca Menopause). Perimenopause adalah

interval yang mendahului berhentinya siklus menstruasi sampai pada masa satu

tahun setelah siklus menstruasi berakhir. Menurut temuan Massachusetts Women’s

Health Study, jangka waktunya berkisar tiga setengah tahun. Pascamenopause

merupakan masa yang terjadi setelah terhentinya siklus menstruasi pada wanita

hingga akhir hidupnya. Masa ini ditandai dengan berlanjutnya gejala vasomotor dan

gejala urogenital seperti keringnya vagina dan dispareunia.

Perempuan pada masa yunani kuno mengalami masa menopause sama seperti

perempuan modern sekarang ini yakni sekitar 50 – 51 tahun. Fakta ini telah

dilaporkan sejak jaman dahulu sebelum Masehi oleh Aristoteltes dalam Histonia

Animaloium (Burger dan Boulet, 1991). Faktor – faktor yang mempengaruhi

terjainya masa menopause sangat sedikit seperti merokok, histerektomi dan tinggal

di tempat yang tinggi atau pegunungan.

Berdasarkan survey Perkumpulan Menopause Indonesia, usia menopause rata

– rata wanita Indonesia sekitar 49 ± 0,20 tahun. Dewasa ini seiring dengan

meningkatnya usia harapan hidup, maka akan semakin banyak perempuan yang

menghabiskan sebagian besar sisa hidupnya dalam keadaan hipoestrogenik.

8
Pada sebagian besar wanita yakni sekitar 70%, mereka menjalani masa ini

tanpa keluhan yang berarti. Jika dilihat dari berbagai kultur misalnya wanita Asia

dibanding wanita Eropa atau Amerika, lebih banyak keluhan pada wanita Amerika

dan Eropa dibanding wanita Asia. Di Jepang 65% wanita Jepang yang sudah

menopause, berpandangan bahwa menopause bukanlah hal yang penting bagi

mereka. Bahkan tidak ada istilah Hot Flushes untuk menggambarkan perubahan

yang terjadi. Sementara di Eropa, wanita dari kalangan Sosial Ekonomi yang rendah,

lebih banyak bermasalah dengan menopause dibanding wanita dari kalangan social

ekonomi menengah keatas. Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor pendidikan

mempunyai hubungan dengan keluhan menopause (Burger dan Boulet, 1991).

Pada menopause, ovarium tidak lagi berespon terhadap FSH dan LH yang

dihasilkan oleh kelenjar hipofisis. Rata – rata menopause terjadi pada usia 40 – 50

tahun dan dapat berlangsung selama 8 – 10 tahun. Ovum hanya tinggal beberapa

ribu saja hingga turun diambang batasnya yaitu 1000. Pada wanita normal, terdapat

400.000 sel telur selama masa hidupnya, yang mana akan berkurang seiring dengan

proses reproduksi melalui siklus menstruasi setiap bulannya.

Hingga saat ini belum ditemukan tanda biokimia yang dapat diandalkan untuk

dijadikan sebagai pertanda onset terjadinya menopause. Namun kadar serum FSH

seringkali meningkat pada perempuan yang masih memiliki siklus menstruasi yang

teratur pada masa menopause akhir. Defisiensi estrogen secara tradisional

merupakan suatu tanda yang penting pada wanita menopause. Pemeriksaan

laboratorium FSH dan LH dan E merupakan cara yang tepat untuk mendiagnosis

menopause, namun hingga kini tidak dianjurkan karena belum didapatkan marker

yang jelas untuk mendiagnosa kapan terjadinya menopause.

9
Sebelum seorang wanita tiba ke masa menopause, dia akan mengalami

klimakterium. Klimakterium merupakan istilah umum pada siklus reproduksi

perempuan untuk menunjukan rentang waktu mulai dari proses transisi sampai pada

masa postmenopuse awal atau perimenopause. Pada masa klimakterium fungsi

ovarium mulai menurun dalam memproduksi estrogen dan progesterone dan

keadaan ini terjadi secara fluktuatif. Akibatnya akan menimbulkan berbagai gejala.

Gejala – gejala tersebut antara lain:

 Payudara tegang

 Siklus haid yang tidak teratur

 Kualitas tidur yang buruk dan keletihan

 Kemerahan pada kulit (hot flushes)

 Tidak Berdaya

 Peningkatan suhu tubuh yang tiba-tiba (hot flashes)

 Sensasi dispnea (sulit bernapas)

 Kadang – kadang iritabilitas atau mudah emosi

 Elastisitas kulit berkurang sehingga terlihat kering dan kendur

 Terjadi atrofia dan kekeringan vagina sehingga menyebabkan nyeri saat

intercourse.

 Penurunan kadar estrogen menyebabkan perlindungan terhadap system

kardiovaskuler lenyap sehingga memicu terjadinya CVD. Disamping itu dapat

menimbulkan osteoporosis disertai peningkatan resiko patah tulang, serta

berpengaruh pada fungsi kognitif sehingga dapat menimbulkan penurunan

ingatan and bahkan kemungkinan terjadinya Alzheimer (Corwin, 2008).

10
B. Perubahan Hormonal Yang terjadi Pada Lansia Wanita

1. Hormon Estrogen dan Progesteron

Seiring dengan berkurangnya berat dan ukuran ovarium, maka produksi

hormone estrogen dan progesterone mulai berkurang, sementara siklus

menstruasi mulai tidak teratur dan sering anovulatoir. Selama masa menjelang

menopause ± 2-3 tahun darah haid dan lamanya haid mulai berkurang.

Peningkatan kadar FSH lebih besar daripada LH sebagai umpan balik dari

estrogen yang dihasilkan oleh sel-sel teka interna folikel.

Sebagai respon dari peningkatan LH, folikel ternyata lebih banyak

menghasilkan androstendion dari pada estrogen. Hal ini sebagai tanda bahwa

ovarium mengalami fungsi enzimatik yang diperlukan untuk mengkonversi

androstendion menjadi hormone-hormon estrogen. Kadar progesterone fase

folikuler tinggal 30% yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Pada siklus yang

anovulatoir ovarium tidak menghasilkan progesterone. Dengan demikian fase

folikuler yang memanjang akan menghasilkan estrogen yang cukup untuk

membuat endometrium menebal/hyperplasia yang kemudian akan menimbulkan

perdarahan haid.

Bila kadar estrogen yang dihasilkan sudah demikian rendahnya, maka haid

tidak akan terjadi dan wanita memasuki masa menopause. Androstendion yang

dihasilkan oleh ovarium akan diubah menjadi esteron diluar ovarium dan esteron

diubah menjadi estradiol sebagai komponen utama estrogen. Estrogen sendiri

terdiri dari estron, estradiol dan estriol (Corwin, 2008). Pada fase

11
pascamenopause, produksi androstendion ovarium juga akan menurun sehingga

kadar estradiol akan lebih menurun lagi.

2. Hormon Androgen

Hormon androgen merupakan hormone seks yang diproduksi oleh testis,

tetapi pada wanita diproduksi oleh kelenjar adrenalin dalam jumlah kecil. Kadar

normal hormone androgen normal dalam darah sebesar 0,5 mg/liter darah.

Penurunan kadar androgen berperan dalam penurunan gairah seksual/libido.

Sedangkan kelebihan hormone androgen dalam darah wanita akan

menyebabkan:

 Masalah pada kulit dan rambut seperti tumbuhnya kumis dan janggut serta

peningkatan jumlah rambut di daerah dada, pungung, bagian dalam paha dan

pungung kaki. Selain itu terjadinya peningkatan aktivitas kelenjar sebum

seperti timbulnya jerawat, komedo dan ketombe. Keadaan ini menimbulkan

gangguan body image pada perempuan.

 Masalah ginekologis seperti gangguan siklus haid, PCOS (Polycystic

Ovarian Syndrome) yang dapat menyebabkan infertile, obesitas dan

abnormalitas metabolisme tubuh.

3. Klasifikasi Disfungsi Seksual

Berdasarkan dua definisi diatas yakni Disfungsi/gangguan seksual dan kesulitan

seksual/ sexual difficulties, maka American Foundation of Urological Disease

membagi gangguan seksual ini menjadi beberapa kategori yaitu:

 Sexual desire/interest disorder

 Subjective sexual arousal disorder (SAD)

 Genital arousal disorder

12
 Combined SAD with either reduce or impaired genital sexual arousal-vulva

swelling, lubrication

 Persistent SAD

 Orgasmic disorder

 Vaginismus

 Dyspareunia

Semua gangguan diatas diasosiasikan antara transisi menopause, usia, dan

meningkatnya prevalensi FSD (Female Sexual Dysfunction). Namun bagaimanapun,

hal tersebut masih belum jelas dimana faktor – faktor yang berhubungan dengan

menopause, mempunyai kontribusi terhadap berbagai gangguan diatas (Gregersen,

et al, 2006).

Sedangkan Master dan Johnson dalam Buku Ajar Ilmu PEnyakit Dalam

membagi masalah seksual usia lanjut pada wanita usia 51 – 78 tahun antara lain:

 Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk timbulnya respon terhadap

rangsang seksual

 Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya lubrikasi genital

dan biasanya kurang efektif

 Elastisitas dan kemampuan ekspansi vagina berkurang

 Setelah usia 60 tahun, klitoris mengecil tetapi masih responsive terhadap

rangsangan

 Orgasme kurang kuat danberlangsung lebih singkat.

13
4. Faktor – Faktor yang Berhubungan Dengan Masalah Seksual Pada Lansia

Perempuan

Andre Ludovic Phanjoo dalam tulisannya Sexual dysfunction in old age

menyatakan bahwa ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap disfungsi seksual

pada lansia. Faktor – faktor tersebut antar lain perubahan biologis karena faktor usia,

ekspektasi yang negatif dari budaya setempat, masalah medis dan bedah, efek

samping obat-obatan dan gangguan mental seperti depresi, psikosis dan demensia.

Dibawah ini akan dibahas faktor – faktor yang melatarbelakangi masalah seksual

pada lansia perempuan yang disintesis dari beberapa sumber. Faktor – faktor

tersebut antara lain fisiologi, psikologi, penyakit dan operasi, obat – obatan serta

faktor lingkungan.

a. Faktor Fisiologi

Terjadinya menopause menyebabkan penurunan bahkan terhentinya

produksi hormone estrogen, progesterone maupun androgen, sehingga dapat

menimbulkan berbagai masalah seperti yang telah disebutkan diatas. Faktor

fisiologi yang mempengaruhi masalah seksual pada lansia perempuan berbasis

pada masalah penurunan kadar hormone. Ketika kadar estrogen menurun,

maka bagian tubuh yang mendapat suplai estrogen akan bereaksi sehingga otak

akan terus memerintahkan hipofisis untuk meningkatkan FSH dan LH dalam

rangka memproduksi estrogen agar dapat mencukupi kebutuhan organ yang

membutuhkan.

Oleh karena itu pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan kenaikan

kadar FSH dan LH pada wanita perimenopause hingga pasca menopause.

14
Penurunan estrogen yang drastis pada wanita menopause menyebabkan

berbagai masalah kesehatan termasuk masalah seksual.

Berbagai perubahan fisik yang dapat ditimbulkan karena penurunan kadar hormonal

dalam tubuh pada wanita lansia antara lain:

 Berkurangnya rambut pubis

 Berkurangnya lemak dan jaringan subkutan di mons veneris

 Atrofi labia mayora

 Berkurangnya sampai hilangnya elastisitas vagina

Elastisitas vagina yang menurun bahkan hilang sangat berpengaruh terhadap

kenikmatan saat melakukan hubungan seksual.

 Atrofi kelenjar bartolini

Atrofi kelenjar bartolini berkurangnya sekresi kelenjar bartolini yang diperlukan

sebagai pelumas pada saat sanggama. Kelenjar ini bertanggung jawab terhadap

dengan lubrikasi vagina, sehingga tidak menimbulkan rasa sakit saat melakukan

hubungan seksual.

 Menurunnya jumlah dan maturitas sel-sel vagina

Epitel vagina sangat tergantung pada estrogen sehingga menjadi tipis atau datar dan

kekurangan glikogen. Hal ini akan menyebabkan kekurangan laktobasilus yang

berpengaruh terhadap peningkatan asam laktat sehingga terjadi peningkatan Ph

vagina. Akibatnya lansia wanita akan rentan terhadap berbagai infeksi saluran

reproduksi.

 Ukuran uterus mengecil 30 – 50%

15
 Atrofi serviks uterus

 Ukuran dan berat ovarium menjadi berkurang, fibrotic dan sclerotic Betanggung

jawab terhadap produksi estrogen sebagai derivate ekslusif selain progesteron,

sebagai penyebab utama berbagai gangguan seksual pada lansia wanita.

Dibawah ini adalah tabel yang mengambarkan perubahan fisiologis dalam

respon seksual pada lansia perempuan.

Jenis perubahan Efek peruahan

 Berkurangnya lubrikasi vagina (perlu waktu 1-3


Excitation Phase
menit untuk sekresi vagina yang adekuat

 Berkurangnya kemampuan labia untuk mendatar

dan terpisah

 Kehilangan kemampuan elevasi labia mayora

 Menurunnya vasokongesti labia mayora

 Menurunnya elastisitas vagina

 Uterus lebih lama berelevasi

 Berkurangnya tekanan otot

 Menurunnya kapasitas vasokongesti

 Menurunnya engorgement areola

16
 Perubahan warna labia lebih sedikit

Plateau Phase  Bekurangnya intens orgasme

 Berkurangnya sekresi kelenjar bartolini

 Berkurangnya kontraksi saat orgasme (saat muda 2-

3 kali, lansia hanya 1 kali)

 Kontraksi rectal spihinter hanya terjadi dengan

tekanan yang kuat

 Ereksi puting susu membutuhkan waktu yang yang

lama

Orgasmic Phase  Vasokongesti klitoris dan orgasme yang berlangsung

cepat.

Fase Resolusi

Disadur dari Wood, N.F, 1979 dalam Ebersole dan Hess, 1981

17
b. Faktor Psikologi

Faktor psikologi merupakan faktor yang selalu mempengaruhi kehidupan

manusia, tidak hanya dalam masalah seksual, tetapi masalah lain dalam berbagai

aspek kehidupan. Dalam hal masalah seksual, tidak ada perbedaan yang bermakna

antara usia muda maupun usia senja.

Masalah – masalah psikologis yang dapat mempengaruhi kehidupan seksual

seseorang atau pasangan antara lain:

 Konflik pernikahan

 Ketidakseimbangan hubungan/relationship

 Isu terhadap komitmen

 Intimasi and masalah komunikasi

 Kurang kepercayaan

 Ketidaksesuaian hasrat seksual

 Kebosanan

 Tekhnik seksual yang kurang

Penyebab yang lebih sering ditemukan pada wanita usia lanjut antara lain

stress psikologis seperti kematian pasangan, hilangnya pekerjaan atau status

sosial, masalah keuangan dan widower syndrome. Menurut Meston1997, lebih

banyak wanita lansia yang mengalami frustasi secara seksual karena ketiadaan

pasangannya. Meskipun masturbasi merupakan salah satu pilihan, namun pada

18
lansia memiliki paham bahwa mastrubasi bukanlah hal yang wajar dan tidak

sehat. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan kebudayaan. Hal lain

yang umum ditemukan adalah fals expectation tentang efek dari penuaan

terhadap seksualitas. Kecemasan terhadap kemampuan seksual dan

ketidaksempurnaan dalam seksualitas dapat menyesatkan atau merusak

kesenangan dan kegembiraan seksual.

Dilain pihak, pandangan orang muda terhadap kebutuhan seksual pada

lansia, dimana lansia tidak perlu lagi berpikir atau memenuhi kebutuhan seksual,

semakin memperparah keadaan lansia. Para lansia akan merasa kecil hati, malu

dan berbagai emosi negative lainnya akan timbul, dengan demikian akan

menambah lebih banyak masalah pada lansia.

c. Faktor Penyakit dan Operasi

Selain faktor fisiologis dan psikologis, hal lain yang mempengaruhi

seksualitas pada lansia wanita adalah penyakit maupun tindakan bedah. Penyakit

jasmani secara langsung dapat mempengaruhi fungsi seksual melalui system

endokrin, saraf, dan vaskuler. Penyakit yang secara tidak langsung juga dapat

mempengaruhi fungsi seksual adalah penyakit yang menyebabkan kelemahan,

nyeri dan secara psikologi menyebabkan gangguan gambaran diri maupun self

esteem yang rendah.

Dalam beberapa artikel kesehatan, dilaporkan bahwa penyakit Diabetes

Melitus berkontribusi terhadap disfungsi seksual dengan prevalensi berkisar

antara 20– 80%. Sedangkan studi yang dilakukan di Jordania, dilaporkan bahwa

wanita dengan usia 50 tahun atau lebih yang menderita diabetes, lebih banyak

mengalami disfungsi seksual yaitu sebesar 59,6% (Abu Ali, 2008). Masalah

19
seksual yang dapat timbul oleh karena penyakit diabetes antara lain masalah

lubrikasi vagina, penurunan libido dan orgasme. Disamping itu penyakit sistemik

seperti gagal ginjal, penyumbatan pulmonary kronis, sirosis dan distropika

myotonia, dapat menyebabkan melemahnya orgasme hingga anorgasme,

penurunan libido dan mengurangi lubrikasi vagina.

Sedangkan gangguan system endokrin dan metabolisme lainnya,

berhubungan dengan masalah ereksi yaitu hipotiroidisme, hipertiroidisme,

hipogonadisme, hiperprolaktinemia, dan penyakit Cushing (Meston,1997).

Penyakit hipertensi dapat berpengaruh juga terhadap masalah seksual, karena

terapi hipertensi sendiri dapat menyebabkan disfungsi seksual.

Tindakan bedah yang berhubungan dengan masalah seksual pada lansia

seperti operasi histerektomi, mastektomi dan bedah urologi lainnya misalnya

radical cystectomy pada keganasan saluran kemih, bedah panggul pada kanker

rektum dan lain sebagainya. Hal ini berhubungan dengan masalah psikologi

seperti body image dan self esteem yang rendah. Meskipun tindakan bedah

vulvovaginal tidak diragukan lagi merupakan penyebab gangguan bodi image

dan self esteem yang rendah pada semua usia, pada wanita lansia akan terasa

semakin berat karena gangguan bodi image telah terjadi seiring dengan

bertambahnya usia. Kejadian inkontinentia uri terjadi pada saat intercourse

sekitar 25% pada lansia, dimana hal tersebut menggangu hubungan seksual

karena ketidakpuasan dan memberikan rasa malu karena keadaan tersebut.

Histerektomi merupakan operasi yang terbanyak dialami pada wanita. Di

Amerika lebih dari satu diantara tiga wanita dioperasi histerektomi pada usia 60

tahun. Wanita lain merasa terganggu dalam hal kepuasan seksual. Hal ini

20
disebabkan karena tidak adanya kontraksi uterus saat orgasme berlangsung. Pada

wanita dengan paham feminis akan merasa kehilangan kefeminimannya, karena

ketiadaan uterus sehingga terjadi gangguan body image dan self esteem yang

rendah. Sebaliknya wanita lain yang merasa tertolong dengan diangkatnya uterus

mereka, akan menikmati hubungan seksual karena hilangnya nyeri pada perut,

hilangnya perdarahan yang abnormal atau kram perut.

d. Faktor Obat – Obatan

Ada beberapa jenis golongan obat yang berpengaruh terhadap masalah

seksual baik pada lansia maupun golongan umur lainnya. Diantaranya adalah

golongan antihistamin, sympatomimmetic amines, antikonvulsan,

metronidazole, metoclopramide, antihipertensi (Diuretic, Adrenergic antiagonists

(terazosin, doxazosin, ß-Blokers, Calcium Channel Blockers), antiandrogens

(cimetidine, Spironolactone), Alkylating agents (Cyclophosphamide), oral

contraceptives, antidepresan, Hipnotik, sedative, alcohol, karena dapat

menyebabkan kegagalan ereksi dan penurunan libido .

Berikut ini adalah table obat-obatan yang dapat mempengaruhi perilaku seksual.

Golongan Obat Adrenergic Inhibiting Antikolinergik Ganglion

Blocking

Antidepresan Guanethamine Sulfate Guanethamine Sulfate

(Ismelin) Mecamylamine hydrochloride (Inversine)

Reserpin (Serpasil) Trimethaphan camcylate (Arfonad)

Spironalactone (Aldactone)

21
Antidepresan Impiramine hydrochloride (Tofranil)

Tricyclics Desipramine (Norpramin, Pertofrane)

Amitriptyline hydrochloride (Aventyl

hydrochloride)

Protriplyline hydrochloride (Vivactil)

Phenalzine Sulfate (Nardil)

MAO (Monoamine

Oxidase)inhibitors Tranylcypromine Sulfate (Parnate)

Derivat Hydrazyne Pargyline (Eutonyl)

derivates

Derivat Nonhydrazine

Antihistamin Dyphenhidramine hydrochloride

(Antiemetik, sedative (Benadryl hydrochloride)

sedang, alergi dan obat Promethazine hydrochloride

pilek (Phenergan)

Chorpheniramine Maleat (Chlor

Trimetron Maleate)

Antispasmodic Methantelene bromide (Banthine)

Glycopyrrolate (Robinul –PH)

Hexocyclium Methylsulfate (Tral)

Poldine methylsulfate (Nacton)

22
Sedative dan Tranqulizer Chlorpromazine (Thorazine, Megaphen)

Phenothiazides Prochlorperazine (Compazine)

Thioridazine (Mellaril)

Mesoridazine (Serentil)

Benzodiazepines
Chlordiazeproxide hydrochloride (Libirium)

Diazepam (Valium)

Ethyl Alcohol Efek narkotika danadiktif pada otak di SSP

Barbiturate Mendepresi System saraf pusat


Hypnotic dan Sedativ Amorbital (Amytal)

Pentobarbital sodium (Nembutal)

Secobarbital sodium (Seconal sodium)

Thiopental sodium (Penthotal sodium)


Disadur dari Butler, R.V dan Lewis, M.I, 1976 dalam Ebersole dan Hess, 1981

e. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan yang dimaksud adalah masih kurangnya ketersediaan privacy

bagi para lansia. Kondisi ini akan mengakibatkan para lansia akan hidup dan tinggal

bersama orang dewasa. Di Indonesia mereka akan tinggal bersama dengan anak-

anak dan cucu mereka, dimana mereka berpartisipasi dan bertanggung jawab

terhadap pengasuhan cucu mereka.

Hal diatas secara ekonomi menguntungkan karena keluarga anak-anaknya tidak

mengeluarkan biaya untuk tenaga pengasuh bagi anak mereka jika ayah dan ibu dari

cucu tersebut harus bekerja diluar rumah. Namun kekurangannya para kakek dan

nenek ini tidak mempunyai privacy bagi diri mereka. Apalagi jika mereka akan

melakukan aktivitas seksual, tentunya menjadi masalah bagi mereka. Kadangkala

23
para pemberi layanan kesehatan misalnya di rumah sakit, para perawat melakukan

provokasi terhadap para lansia, dimana tindakan ini mereka lakukan tanpa disadari.

Contohnya komentar tentang ketampanan atau kecantikan seseorang, atau kalimat

seperti “apakan anda mau berkencan dengan saya? Kelihatannya seperti sangat

manis dan tidak berbahaya tetapi sebenarnya bagi para lansia yang masih memiliki

hasrat seksual tetapi hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mengekspresikannya,

mungkin akan merupakan suatu tindakan offensive dan cercaan atau bahan guyonan

belaka (Ebersole dan Hess, 1981). Dari paparan tersebut maka dapat disimpulkan

bahwa lingkungan yang dibahas adalah social budaya.

Melihat dari sudut pandang yang lain, faktor lingkungan yang dimaksud adalah

indikator sosial demografi yaitu umur, etnis, status perkawinan, dan pendidikan.

Namun jika dilihat dari berbagai hasil penelitian, berbagai karakteristik tersebut

masih menjadi kontoversi.

C. Penatalaksanaan Terhadap Masalah Seksual Pada Lansia Wanita

1. Faktor Fisiologi

Yang dapat dilakukan pada lansia wanita dengan masalah seksual yaitu

dengan merekomendasikan menggunakan cream estrogen. Terapi ini terbukti

efektif dan tidak mempunyai efek negative sehingga mengganggu organ sekitar.

Review dari Cochrane tahun 2003 melaporkan bahwa terapi estrogen local

mempunyai efek positif terhadap kekeringan vagina dan dyspaurenia

(Gregersen, 2006).

Sedangkan terapi sulih hormone masih harus didiskusikan lebih lanjut

karena masih ada pro dan kontra. Intinya HRT (Hormone Replacement Therapy)

24
atau terapi sulih hormone lebih diutamakan pada klien yang sangat memerlukan

seperti osteoporosis. Hal ini disebabkan karena efek samping yang akan

ditimbulkan sangat berbahaya karena berujung pada kematian, yaitu dapat

meningkatkan kejadia kanker payudara dan kanker endometrium.

2. Faktor Psikologi

Penanganan pada lansia wanita dengan masalah seksual karena faktor

psikologi dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, baik itu dokter, bidan perawat

maupun tenaga kesehatan lain yang berinteraksi dengan para lansia. Tenaga

kesehatan dapat memberikan informasi tentang keadaan fisiologis yang terjadi

sehubungan dengan bertambahnya usia, dan perubahan – perubahan yang terjadi.

Selain itu hendaknya diberikan dorongan dan advice agar para lansia

memahami bagaimana membuat hubungan seksual diantara lansia lebih

bermakna. Dengan demikian para lansia akan memasuki tahap akhir dari periode

kehidupan dengan sukses, yakni bahagia dan sehat.

3. Faktor Penyakit dan Operasi

Penyakit maupun operasi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu petugas

kesehatan seyogyanya memberikan pendidikan kesehatan dan konseling yang

mendalam tentang masalah seksual yang terjadi karena penyakit maupun

tindakan bedah yang dialami oleh para lansia. Dengan informasi yang diberikan

akan membantu mereka untuk dapat mengerti keadaan mereka sehingga dapat

membantu meringankan penderitaan.

4. Faktor Obat-obatan

25
Faktor obat – obatan biasanya diperhitungkan azas manfaatnya. Jika

manfaatnya lebih kecil dari efek samping, sebaiknya dihindari. Begitupula

sebaliknya.

5. Faktor Lingkungan

Hal lain yang dapat dilakukan adalah mencinpatakan linkungan yang

kondusif sehingga para lansia dapat menikmati kehidupan mereka tanpa merasa

tertekan. Misalnya prilaku – prilaku tenaga kesehatan baik itu verbal maupun

tindakan fisik yang membuat lansia merasa ofensif, hendaklah perlu dihindari.

a. Terapi Sulih Hormon

Terapi sulih hormone hingga kini masih pro dan kontra. Perlu

diperhitungkan antara manfaat dan efek yang ditimbulkan. Ada dua jenis

Terapi Sulih Hormon / HRT (Hormone Replacement Therapy) yaitu

hormonal dan nonhormonal :

 Hormonal

Terapi sulih hormone dengan kandungan hormonal dapat berupa

komposisinya hanya estrogen (Estrogen Replacement Therapy),

kombinasi estrogen dan progesterone, estrogen dan testosterone serta

tibolone. Tibolone merupakan sintesis steroid yang dapat mempunyai

efek yang minimal terhadap endometrium, dan bekerja pada jaringan

yang spesifik. Efek samping dari HRT yang hormonal (CEE/MPA , ERT,

tibolone dll). dapat berupa perdarahan pervagina (spotting), dan

keganasan pada payudara maupun endometrium.

 Non Hormonal

26
Golongan terapi sulih hormone yang nonhormonal adalah

sildenafil.sildenafil adalah phosphodiesterase 5 inhibitor (PDE5-

inhibitor) yang dapat merelaksasi sel otot melalui nitrit oxide/cyclic

guanosine monophosphatec (GMP). Sildenafil dpat meningkatkan

suplai darah kevagina yang dapat membantu meningkatkan lubrikasi

vagina. Dengan demikian maka sildenafil dapat membantu mengatasi

masalah seksual pada wanita karena kekurangan lubrikasi vagina

(Gregersen, 2006).

27
BAB V

KESIMPULAN

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa proses penuaan tidak dapat dihindar

dan implikasinya pada lansia, maka berbagai penelitian dilakukan untuk memperolah

penemuaan baru yang dapat membantu para lansia dapat menjalani hidupnya dengan

tenang, bebas dari kecemasan yang akan menimbulkan lebih banyak masalah. Agar

para lansia dapat memasuki periode akhir dari kehidupannya dengan sukses terutama

dalam hal kesehatan seksual, maka perlu dukungan dari berbagai pihak terutama

dalam memberikan pelayanan kesehatan. Aspek – aspek yang berhubungan dengan

masalah seksual pada lansia baik itu fisiologis, psikologis, penyakit dan bedah, obat-

obatan maupun lingkungan hendaklah diperhatikan dalam memberikan asuhan pada

lansia.

Sekalipun ilmu dan pengetahuan sedah sedemikian majunya, namun tidak ada

satupun terapi yang dapat menunda, atau mengobati implikasi dari proses penuaan.

Terapi yang ada hanya dapat mengurangi gejala, namun tentunya mempunyai efek

samping baik itu ringan bahkan kematian. Oleh karena itu, penggunaan terapi sulih

hormone masih merupakan pilihan yang kontroversi, harus diperhitungkan manfaat

dan masalah yang dapat ditimbulkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Ali, R.M.A, et al, Sexual Dysfunction in Jordanian Diabetic Women, 2008, American

Diabetes Association

Biro Pusat Statistik, 1997. Laporan Sosial Indonesia (Lanjut Usia/Lansia), Jakarta

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2006, Jilid III Edisi IV, Editor Aruw Sudoyo dkk,

Pusat Penerbitan Departemen Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

Burger, H, dan Boulet, M, 1991, A Portrait of The Menopause, Expert Report on

Medical and Therapeutic Strategies fot The 1990s, The Parthenon Publishing

Group, Casterton Hall, Carnfoth, Lancs, LA6 2LA, UK

Corwin, E.J, 2008, Buku Saku Patofisiologi, alih bahasa Nike Budhi Subekti, Editor

Edisi Bahasa Indonesia Egi Komara Yudha dkk, Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta

Dewi Prihastuti, 2001. Sebaran Penduduk Lansia di Indonesia, Saat ini dan Masa

Depan. Kajian Perspektif Demografi multiregional¸Warta Demografi FEUI,

Tahun-3 No.1, Jakarta

Ebersole, P. dan Hess. P, 1981, Toward Healthy Aging, Human Needs and Nursing

Response¸The C.V Mosby Company, ST Lois, Toronto, London

Fajewonyomi, B.A, Orji, E.O, Adeyemo, A.O, 2007, Sexual Dysfunction among

29
Female Patients of Reproductive Age in A Hospital Setting in Nigeria, J Health

Popul Nutr, International Centre for Diarrhoeal Research, Bangladesh

Gregersen, N. et al, 2006, Sexual Dysfunctionin the Peri-and Postmenopause, Status

of incidence, pharmacological treatment and possible risks A secondary

publication, Danish Medical Bulletin Vol. 53 no 3

H.M Djauhari Widjayakusuma, 1992, Perubahan Fisiologi Pada Usia Lanjut dan

Berbagai Masalahnya, Majalah Kedokteran Indonesia, Jakarta

Hoehl, J.J, Robert, L, Salant, Koval, K.J, 1998, Sexual Dysfunction and the Elderly,

American Academic of Orthopaedic Surgeons

Lightner, D.J, 2002, Female Sexual Dysfunction, Concise Review for Clinical, Mayo

Foundation for Medical Education and Research

Laumann, E.O, Das, A, Waite, L.J, 2008, Sexual Dysfunction among Older Adults :

Prevalence and Risk Factors from a Nationally Representative U.S Probability

Sample of Men and Women 57-85 Years of Age, Journal of Sex Medication,

Department of Sociology and Population Research Centre, University of

Chicago, Chicago, IL, USA

Meston, C.M, 1997, Successful Aging, Aging and Sexuality, West J Med, University

of Washington School of Medicine, Seattle

Meurer, L.N, and Lena, S, 2002, Cancer Recurrence and Mortality in Women Using

Hormone Replacement Therapy after Breast Cancer : Meta Analysis, The

Journal of Family Practice, Milwaukee, Winconsin

Neurologic, Bladder, Bowel and Sexual Dysfunction, Neurogenic Sexual Dysfunction

in Men and Women

Nicolosi, et al, 2004, Sexual Behavior and Sexual Dysfunction After Age 40: The

30
Global Study of Sexual Attitudes And Behaviors, Journal OF Urology, Elsevier

INC

Phanjoo, A.L, 2000, Sexual Dysfunction in Old Age, Advances in Psychiatric

Treatment, Edinburg

Saeideh,Z, Raziyeh, M, Soghrat, F, 2010, Comparing the Effects of Continuous

Hormone Replacement Therapy and Tibolone on the Genital Tract of

Menopausal Women; A randomized Control Trial, Journal of Reprod Infertil

Salonia, A. et al, 2006, Women’s Sexual Dysfunction: A review of the Surgical

Landscape, Departement of Urology, Scientific Institute H, San Raffaele, Milan,

Italy, Elsevier B.V. on behalf of European Association of Urology

Yenny, 2010, 11TH Asean Gerontologi Course

31

Anda mungkin juga menyukai