Anda di halaman 1dari 46

Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)

(Case Report)

Disusun oleh :

Anindita

1618012049

Pembimbing :

dr. M. Zulkarnain Husein, Sp.OG

SMF OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

RSUD Dr. Hi. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

2017

0
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Kehamilan Ektopik

Terganggu” tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini

adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Hi.

Abdul Moeloek Bandar Lampung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.

M. Zulkarnain Husein, Sp.OG yang telah meluangkan waktunya untuk

membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari

banyak sekali kekurangan dalam laporan ini. Oleh karena itu, saran dan kritik

yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat

bermanfaat bukan hanya untuk penulis, tetapi juga bagi para pembaca.

Bandar Lampung, Juni 2017

Penulis

1
STATUS OBSTETRI

Tgl. Masuk RSAM : 14 Juni 2017

Pukul : 16.30 WIB

A. Anamnesa (Autoanamnesis)

I. Identifikasi

Nama Pasien : Ny. Y Suami : Tn. H

Umur : 31 tahun Umur : 28 tahun

Suku : Sunda Suku : Jawa

Agama : Islam Agama : Islam

Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pekerjaan : Kuli

Alamat : Kota Agung, Tanggamus

II. Keluhan

Utama : Perdarahan dari kemaluan

Penyerta : Nyeri pada perut bagian bawah.

2
III. Riwayat Penyakit Sekarang

+- 2 bulan yang lalu os hamil muda, 1 minggu SMRS os mengaku keluar

darah dari kemaluan, R/ terlambat haid (+), R/ payudara tegang (+),R/

keputihan (-), R/ trauma (-), R/ minum jamu (-), R/ diurut-urut (-), mual (-),

muntah (-) R/ menggunakan IUD (-). Os juga mengeluhkan nyeri pada

bagian perut yang tiba- tiba. Perdarahan keluar tidak terlalu banyak dan

tidak mengalir deras, berwarna coklat gelap, tidak terdapat gumpalan-

gumpalan darah maupun jaringan yang keluar seperti ati ayam dan mata

ikan. Kembung, mual dan muntah serta demam disangkal.

IV. Riwayat Haid

Menarche : 14 tahun

Siklus haid : 28 hari, teratur

Jumlahnya : Jumlah darah normal, tidak nyeri

Lamanya : 7-8 hari

HPHT : 26 April 2017

V. Riwayat Perkawinan

Menikah 2 kali. Usia pertama kali menikah tahun. Menikah dengan suami

pertama selama 2 tahun dan menikah dengan suami kedua selama 3 tahun

hingga saat ini.

3
VI. Riwayat Kehamilan – Persalinan

Anak 1 : 27 Desember 2004, lahir spontan, dibantu oleh dukun, aterm,

laki-laki, 2500 gram, sehat.

Anak 2: pada tahun 2016 didiagnosis KET dan di tatalaksana laparotomi (di

RS kota agung)

VII. Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien pernah menjalani operasi laparotomi di RS Kota Agung pada tahun

2016 atas indikasi kehamilan ektopik terganggu. Riwayat penyakit

ginekologi disangkal

VIII. Riwayat Penyakit Keluarga

Terdapat riwayat hipertensi pada ibu dan ayah pasien

IX. Riwayat Kontrasepsi

Os pernah menggunakan kontrasepsi pil selama 3 bulan. Selama pemakaian

alat kontrasepsi os tidak ada keluhan.

B. PEMERIKSAAN FISIK

I. Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Nadi : 88 x/menit, teratur

4
Pernafasan : 20 x/menit, teratur

Suhu : 36,7o C

Tinggi badan : 155 cm

Berat badan : 52 kg

IMT : 25,45

II. Status Generalis

Kulit : Turgor baik

Mata : Konjungtiva anemis, sklera anikterik

Gigi / mulut : Gigi geligi lengkap, karies (-)

Thorax : Dalam batas normal

Jantung : Ictus cordis tidak terlihat dan teraba

Bunyi jantung I–II reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru : Pergerakan hemithoraks kanan dan kiri sama,

Fremitus taktil hemithoraks kanan dan kiri sama,

Sonor, suara vesikuler pada seluruh lapang paru,

ronchi dan wheezing tidak ada.

Abdomen : Abdomen datar, simetris kanan kiri, fundus uteri

tidak teraba, tanda cairan bebas (+), nyeri tekan

(+), massa (-)

Ekstremitas : Akral dingin (+)/(+)

III. Status Obstetri

Pemeriksaan Luar

 Inspeksi : Datar, simetris kanan dan kiri


 Palpasi : Fundus uteri tidak teraba, tanda cairan bebas (+),

5
nyeri tekan (+), massa (-)

Pemeriksaan Dalam

Inspekulo

Vulva dan vagina : Tidak ada kelainan

Portio : Livide

OUE : Tertutup

Fluor : (-)

Fluksus : (+)

Erosi : (-)

Perdarahan : Tidak aktif

E/L/P : (-)

Polip dan laserasi : (-)

Kuldosintesis (+)  darah hitam tidak membeku

VT

Portio kenyal

OUE tertutup

AP kanan kiri lemas

Ukuran uterus sesuai normal

Nyeri goyang portio (-)

CD menonjol

RT tidak dilakukan

6
Pemeriksaan Penunjang

USG (14 Juni 2017 18.30 WIB)

- Uterus antefleksi, ukuran sesuai normal

- Tampak cairan bebas intraabdomen

- Hematokel (+)

Kesan: Kehamilan ektopik terganggu

Hematologi (14 Juni 2017 16.52 WIB)

1. Hemoglobin : 9,9 g/dL

2. Leukosit : 10.700 x103/mikroL

3. Eritrosit : 3,5 x106/mikroL

4. Hematokrit : 29%

5. Trombosit : 253.000 x103/mikroL

6. MCV : 82 fL

7. MCH : 28 pg

8. MCHC : 35 g/dL

9. Hitung jenis

a. Eosinofil : 0%

b. Batang : 0%

c. Segmen : 68%

d. Limfosit : 28%

e. Monosit : 4%

10. LED : 55 mm/jam

11. CT : 9 menit

12. BT : 2 menit

7
Hematologi (14 Juni 2017 19.48 WIB)

1. Hemoglobin : 9,2 g/dL

Hematologi (14 Juni 2017 21.16 WIB)

1. Hemoglobin : 8,3 g/dL

Kuldosentesis (+)

PP test (+)

Hematologi Pasca Operasi (16 Juni 2017 10.16 WIB)

Hemoglobin : 11,7 g/dL (post transfusi 2 kolf)

C. DIAGNOSIS

Pre Operasi : Kehamilan Ektopik Terganggu

DD → Infeksi pelvis

Abortus inkomplit/ iminens

Tumor ovarium

Appendisitis akut

Post Operasi : Post Salphingektomi dextra a.i KET

D. PENATALAKSANAAN

 Observasi tanda-tanda vital dan tanda perdarahan

 IVFD RL gtt xx/m

 Cek laboratorium: darah rutin, cross match, CTBT

8
 Drip Ketorolac 1 gram/ 8 jam

 USG konfirmasi

 Rencana laparotomi eksplorasi semi cyto → besok tanggal 15 Juni 2017

 Informed consent

 Persiapan darah WB 2 kolf

E. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam

Quo ad functionam : Dubia ad bonam

Follow Up

HARI/
CATATAN INSTRUKSI
TANGGAL
14/06/2016 S/ KU P/

16.30 WIB Perdarahan dari kemaluan  IVFD RL gtt xx/m

 Drip Ketorolac 1 gram/


RPP
8 jam
+8 minggu yang lalu os hamil
 Cek darah rutin dan HB
muda, +- 1 minggu SMRS os
serial
mengeluhkan keluar darah dari
 R/ USG konfirmasi
kemaluan, R/ terlambat haid
 Saran :
(+), R/ payudara tegang (+), R/
- MRS

9
keputihan (-), R/ trauma (-), R/ - Bed rest

minum jamu (-), R/ diurut-urut

(-), mual (-), muntah (-)

O/ Status present

Kesadaran : Composmentis

KU : Tampak sakit sedang

TD : 100/70 mmHg

Nadi : 88 x/menit

RR : 20 x/menit

T : 36,7oC

Status Obstetri

PL: abdomen datar dan

simetris kanan kiri, FUT tidak

teraba, TCB (+), nyeri tekan

(+), massa (-)

Inspekulo: Portio livide, OUE

tertutup, Fluor (-), Fluxus (+)

Kuldosentesis (+)

PP Test (+)

A/ Kehamilan Ektopik Terganggu

Lab

(14 Juni 2017 16.52 WIB)

10
HB: 9,9

Leukosit: 10.700

Eritrosit: 3,5

Hematokrit: 29%

Trombosit: 253.000

MCV: 82

MCH: 28

MCHC: 35

Hitung jenis

-Eosinofil: 0%

-Batang: 0%

-Segmen: 68%

-Limfosit: 28%

-Monosit: 4%

LED: 55

CT: 9

BT: 2

Hematologi

(14 Juni 2017 19.48 WIB)

HB: 9,2

Hematologi

(14 Juni 2017 21.16 WIB)

HB: 8,3

11
14/06/2017 S/ Perdarahan dari kemaluan, P/

23.00 WIB nyeri perut bagian bawah sudah  Observasi TVI

mulai berkurang dan tanda-tanda

perdarahan
O/ KU baik
 IVFD RL gtt
TD : 110/90 mmHg
xx/m
Nadi : 84 x/menit
 R/ USG
RR : 22 x/menit
konfirmasi
T : 36.7 oC
 R/ laparotomi a.i

A/ Kehamilan Ektopik Terganggu KET besok

USG:

-Uterus antefleksi, ukuran sesuai

normal

-Tampak cairan bebas

intraabdomen

-Hematokel (+)

Kesan: Kehamilan ektopik

terganggu

15/06/2017
Intra operatif
14.30 WIB  Penderita dalam posisi

12
terlentang dalam keadaan

anastesi regional
 Dilakukan tindakan

aseptik dan antiseptik pada

daerah abdomen dan

sekitarnya
 Lapangan operasi

dipersempit dengan doek

steril
 Dilakukan insisi mediana

dari 2 jari diatas simfisis

pubis sampai 2 jari

dibawah pusar, diperdalam

secara tajam dan tumpul

sampai menembus

peritoneum.

 DDidapatkan rupture tuba

pada pars ampularis dextra


 dDilakukan penjahitan

pada daerah rupture


 PPerdarahan dirawat

sebagaimana mestinya.
 CCavum abdomen dicuci

dengan NaCl 0,9%, setelah

diyakini tidak ada

perdarahan
 DDinding abdomen dijahit

13
lapis demi lapis
 PPeritoneum dijahit jelujur

feston
 OOtot dijahit satu-satu
 FFascia dijahit jelujur

feston
 SSubkutis dijahit satu-satu
 KKutis dijahit jelujur

subkutikular

17.00 WIB S/ Habis operasi P/

 Observasi TVI
O/Status present
 IVFD RL gtt XX/m
Sens : Composmentis
 Kateter menetap 24 jam
KU : Tampak sakit sedang
post operasi (catat input-
TD : 120/80 mmHg
output)
Nadi : 88 x/menit
 Inj Ceftriaxone 1 gr/12
RR : 20 x/menit
jam IV
T : 36.8oC
 Inj. Asam Tranexamat
Lab:
500 mg/8 jam IV
HB awal 8,3 g/dl
 Drip Ketorolac 1 gr/ 8

jam
Darah masuk 1 kolf (Dari OK)
 Cek Hb post operasi
18.00 Darah masuk lagi 1 kolf

A/ Post op salpingektomi dextra

a.i KET

14
16/06/2017 S/ Nyeri pada bekas luka operasi, P/

10.00 WIB os belum flatus dan masih puasa  Observasi TTV dan KU

 IVFD RL gtt xx/m


O/ KU : Tampak sakit sedang
 Aff kateter
Sens : Compos Mentis
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12
TD : 120/70 mmHg
jam IV
Nadi : 80 x/menit

RR : 21 x/menit

T : 36.5 oC

Lab

Hb: 11,7 gr/dl

A/ Post op salpingektomi dextra

a.i KET hari pertama


18.00 WIB S/ Nyeri pada bekas luka operasi P/

mulai berkurang  Boleh minum dan makan

 Mobilisasi ringan
O/ Bising usus (+)
 Observasi TTV
Luka operasi tenang
-
A/ Post op salpingektomi dextra

a.i KET hari pertama

17/06/2017 S/ tidak ada keluhan P/

08.00 WIB  Observasi TTV dan KU


O/ KU baik
 Cefadroxil tab 2x500 mg
Sens : Composmentis

15
TD : 110/80 mmHg Asam Mefenamat 3x500

Nadi : 84 x/menit mg

RR : 22 x/menit  Mobilisasi

T : 36 oC

A/ Post op salpingektomi dextra

a.i KET hari kedua

15.00 WIB S/ Tidak ada keluhan P/

 Observasi TTV
O/ KU baik
 Cefadroxil tab 2x500 mg
Bising usus (+)
Asam Mefenamat 3x500
Luka operasi tenang
mg

A/ Post op salpingektomi dextra

a.i KET hari kedua

18/06/2017 S/ Tidak ada keluhan P/

07.00 WIB  Observasi TTV


O/ KU baik
 Cefadroxil tab 2x500 mg
Sens : Composmentis
 Asam Mefenamat 3x500
TD : 110/70 mmHg
mg
Nadi : 80 x/menit

RR : 23 x/menit

T : 36oC

A/ A/ Post op salpingektomi

16
dextra a.i KET hari ketiga

18/06/2017 S/ Tidak ada keluhan P/

10.00 WIB  Observasi TTV


O/ KU baik
 Cefadroxil tab 2x500 mg
Sens : Composmentis
 Asam Mefenamat 3x500
TD : 110/80 mmHg
mg
Nadi : 80 x/menit
 Pasien boleh pulang
RR : 22 x/menit

T : 36,5 oC

Luka operasi sudah kering, GB

bagus sudah pasang opsite

A/ A/ Post op salpingektomi

dextra a.i KET hari ketiga

17
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Uterus

Uterus berbentuk seperti buah pir yang sedikit gepeng ke arah muka belakang,

ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya terdiri dari

otot-otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7-7,5 cm, lebar 5,25 cm dan tebal

dinding 1,25 cm (Jones, 1997).

Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi. Uterus terdiri dari

fundus uteri, corpus dan cervix uteri. Fundus uteri adalah bagian proksimal dari

uterus, disini kedua tuba falopii masuk ke uterus. Corpus uteri adalah bagian

uterus yang terbesar, pada kehamilan bagian ini mempunyai fungsi utama sebagai

tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat di corpus uteri disebut cavum

uteri. Cervix uteri terdiri atas pars vaginalis cervisis uteri dan pars supravaginalis

cervisis uteri. Saluran yang terdapat pada cervix disebut canalis cervicalis.

Secara histologis uterus terdiri atas tiga lapisan: 1) Endometrium: selaput lendir

yang melapisi bagian dalam 2) Miometrium: lapisan tebal otot polos 3)

Perimetrium: peritoneum yang melapisi dinding sebelah luar.

18
Endometrium terdiri atas sel epitel kubis, kelenjar-kelenjar dan jaringan dengan

banyak pembuluh darah yang berkelok. Endometrium melapisi seluruh cavum

uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam

masa reproduksi. Dalam masa haid endometrium sebagian besar dilepaskan

kemudian tumbuh lagi dalam masa proliferasi dan selanjutnya dalam masa

sekretorik. Lapisan otot polos di sebelah dalam berbentuk sirkuler, dan di sebelah

luar berbentuk longitudinal. Di antara lapisan itu terdapat lapisan otot oblik,

berbentuk anyaman, lapisan ini paling penting pada persalinan karena sesudah

plasenta lahir, kontraksi kuat dan menjepit pembuluh darah. Uterus ini sebenarnya

mengapung dalam rongga pelvis dengan jaringan ikat dan ligamentum yang

menyokongnya untuk terfiksasi dengan baik (Wibowo B; Rachimhadhi T, 2005).

2. Tuba Falopii

Tuba falopii terdiri atas: 1) Pars interstisialis, bagian yang terdapat pada dinding

uterus, 2) Pars isthmika, bagian medial tuba yang seluruhnya sempit, 3) Pars

ampularis, bagian yang berbentuk saluran agak lebar, tempat konsepsi terjadi, 4)

Infundibulum, bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunyai

fimbrae (Wibowo B; Rachimhadhi T, 2005).

3. Fimbrae

Fimbrae penting artinya bagi tuba untuk menangkap telur kemudian disalurkan ke

dalam tuba. Bagian luar tuba diliputi oleh peritoneum viseral yang merupakan

bagian dari ligamentum latum. Otot dinding tuba terdiri atas (dari luar ke dalam)

otot longitudinal dan otot sirkuler. Lebih ke dalam lagi didapatkan selaput yang

19
berlipat-lipat dengan sel-sel yang bersekresi dan bersilia yang khas, berfungsi

untuk menyalurkan telur atau hasil konsepsi ke arah cavum uteri dengan arus yang

ditimbulkan oleh getaran silia tersebut (Wibowo B, Rachimhadhi T, 2005).

4. Ovarium

Ovarium kurang lebih sebesar ibu jari tangan dengan ukuran panjang sekitar 4 cm,

lebar dan tebal kira-kira 1,5 cm. Setiap bulan 1-2 folikel akan keluar yang dalam

perkembangannya akan menjadi folikel de Graaf (Wibowo B; Rachimhadhi T,

2005).

B. Fertilisasi dan Implantasi Normal

Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum (oosit sekunder) dan spermatozoa

yang biasanya berlangsung di ampula tuba uterina. Ovum yang dilepaskan

ovarium akan terbawa oleh mikrofilamen-mikrofilamen fimbria infundibulum

tuba kearah ostium tuba abdominalis dan disalurkan terus kearah medial. Pada

waktu coitus, jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan di sekitar

porsio. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke kavum uteri dan

tuba, dan hanya beberapa ratus yang dapat sampai ke bagian ampula tuba dimana

spermatozoa dapat memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi. Hanya satu

spermatozoa yang mempunyai kemampuan untuk membuahi. Spermatozoa yang

memiliki kapasitasi ini akan berfusi dengan ovum, setelah menembus korona

radiata dan zona pelusida yang menyelubungi ovum dengan enzim hialuronidase

pada bagian kaputnya (Wiknjosastro dan Hanifa. 2013).

20
Pembelahan zigot terjadi dalam beberapa jam setelah pembuahan. Zigot menjalani

pembelahan perlahan selama 3 hari saat masih berada dalam tuba uterina menjadi

morula. Morula akan mencapai cavum uteri oleh arus serta getaran silia pada

permukaan sel-sel tuba dan kontraksi tuba pada 3 hari pascafertilisasi. Akumulasi

cairan bertahap di antara sel-sel morula menyebabkan terbentuknya blastokista

(stadium blastula). Blastokista terdiri dari selubung trofoblas dan massa inner cell

didalamnya. Trofoblas sangat mempengaruhi keberhasilan implantasi, produksi

hormon kehamilan, proteksi imunitas bagi janin, peningkatan aliran darah

maternal kedalam plasenta, dan kelahiran bayi. Sel trofoblas akan berkembang

dan berdiferensiasi menjadi sinsisiotrofoblas yang menghasilkan hormon human

Chorionic Gonadotropin (hCG), trofoblas jangkar ekstravili yang akan menempel

pada endometrium, dan trofoblas yang invasif. (Wiknjosastro, Hanifa; 2013

Cunningham, et al. 2013).

Implantasi embrio kedalam dinding rahim terjadi 6 atau 7 hari pascafertilisasi.

Proses ini terbagi menjadi 3 fase, yaitu: aposisi (perlekatan dini blastokista dan

epitel uterus), adhesi (meningkatnya kontak fisis antara blastokista dan epitel

uterus, dan invasi (penetrasi dan invasi sinsisiotrofoblas kedalam endometrium,

dan pembuluh darah uterus). Keberhasilan implantasi juga dipengaruhi oleh

endometrium reseptif yang telah disensitisasi estrogen dan progesteron

Wiknjosastro, Hanifa; 2013 Cunningham, et al. 2013).

C. Kehamilan Ektopik

21
1. Definisi

Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur yang dibuahi berimplantasi

dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus. Termasuk dalam kehamilan

ektopik ialah kehamilan tuba, kehamilan ovarial, kehamilan intraligamenter,

kehamilan servikal dan kehamilan abdominal primer atau sekunder. Kehamilan

ektopik terganggu (KET) adalah keadaan di mana timbul gangguan pada

kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun ruptur yang menyebabkan

penurunan keadaan umum pasien. Kehamilan ektopik merupakan salah satu

kehamilan yang berakhir abortus, dan sekitar 16% kematian dalam kehamilan

dikarenakan perdarahan yang dilaporkan disebabkan kehamilan ektopik yang

pecah (Prawirahardjo, 2014).

2. Etiologi

Etiologi kehamilan ektopik terganggu telah banyak diselidiki, tetapi sebagian

besar penyebabnya tidak diketahui. Trijatmo Rachimhadhi dalam bukunya

menjelaskan beberapa faktor yang berhubungan dengan penyebab kehamilan

ektopik terganggu (Wibowo B; Rachimhadhi T, 2005):

1. Faktor mekanis: hal-hal yang mengakibatkan terhambatnya perjalanan

ovum yang dibuahi ke dalam cavum uteri, antara lain: a) Salpingitis, terutama

endosalpingitis yang menyebabkan aglutinasi silia lipatan mukosa tuba

dengan penyempitan saluran atau pembentukan kantong-kantong buntu.

Berkurangnya silia mukosa tuba sebagai akibat infeksi juga menyebabkan

22
implantasi hasil zigot pada tuba falopii. b) Adhesi peritubal setelah infeksi

pasca abortus/ infeksi pasca nifas, apendisitis, atau endometriosis, yang

menyebabkan tertekuknya tuba atau penyempitan lumen. c) Kelainan

pertumbuhan tuba, terutama divertikulum, ostium asesorius dan hipoplasi.

Namun ini jarang terjadi. d) Bekas operasi tuba memperbaiki fungsi tuba atau

terkadang kegagalan usaha untuk memperbaiki patensi tuba pada sterilisasi.

e) Tumor yang merubah bentuk tuba seperti mioma uteri dan adanya benjolan

pada adneksa. f) Penggunaan IUD

2. Faktor Fungsional: a). Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus

perkembangan duktus mulleri yang abnormal. b). Refluks menstruasi. c).

Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan

progesteron

3. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.

4. Hal lain seperti; riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya

(Wibowo B; Rachimhadhi T, 2005).

3.Klasifikasi

Kehamilan ektopik berdasarkan lokasinya antara lain (Prawirohardjo S. 2014;

Cunningham, et al. 2013): 1. Tuba Fallopii : a) Pars-interstisialis, b) Isthmus, c)

Ampula, d) Infundibulum, e) Fimbrae 2. Uterus :a) Kanalis servikalis, b)

Divertikulum, c) Kornu, d) Tanduk rudimenter 3. Ovarium 4. Intraligamenter 5.

23
Abdominal : a) Primer, b) Sekunder 6. Kombinasi kehamilan dalam dan luar

uterus.

Berdasarkan penggolongan diatas, maka kehamilan ektopik paling sering terjadi

di Tuba ( 97% ), yang mana 55% muncul di pars ampullaris, 25% di isthmus,

dan 17 % di fimbriae. Sisa 3 % berlokasi di uterus, ovarium, abdominal, dan

intraligamenter, dimana sekitar 2-2,5% muncul di kornua uterus (Taran et

al.,2015)

4. Patofisiologi

Kebanyakan dari kehamilan ektopik berlokasi di tuba fallopii. Tempat yang

paling umum terjadi adalah pada pars ampullaris, sekitar 80 %. Kemudian

berturut-turut adalah isthmus (12%), fimbriae (5%), dan bagian kornu dan

daerah intersisial tuba (2%), dan seperti yang disebut pada bagian diatas,

kehamilan ektopik non tuba sangat jarang. Kehamilan pada daerah intersisial

sering berhubungan dengan kesakitan yang berat, karena baru mengeluarkan

gejala yang muncul lebih lama dari tipe yang lain, dan sulit di diagnosis, dan

biasanya menghasilkan perdarahan yang sangat banyak bila terjadi ruptur (Taran

et al,, 2015).

Proses implantasi ovum yang dibuahi, yang terjadi di tuba pada dasarnya sama

dengan halnya di kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumner atau

interkolumner. Pada yang pertama telur berimplantasi pada ujung atau sisi jonjot

endosalping. Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya

vaskularisasi dan biasanya telur mati secara dini dan diresorbsi. Pada nidasi

secara interkolumner telur bernidasi antara 2 jonjot endosalping. Setelah tempat

24
nidasi tertutup, maka telur dipisahkan dari lumen tuba oleh lapisan jaringan yang

menyerupai desidua dan dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan

desidua di tuba tidak sempurna malahan kadang-kadang tidak tampak, dengan

mudah villi korialis menembus endosalping dan masuk dalam lapisan otot-otot

tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah. Perkembangan janin

selanjutnya bergantung pada beberapa faktor, seperti tempat implantasi, tebalnya

dinding tuba, dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh invasi trofoblas

(Cunningham et al., 2013).

Dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari korpus luteum

gravidatis dan trofoblas, uterus menjadi besar dan lembek, dan endometrium

dapat pula berubah menjadi desidua. Dapat ditemukan pula perubahan-

perubahan pada endometrium yang disebut fenomena Arias-Stella. Sel epitel

membesar dengan intinya hipertrofik, hiperkromatik, lobuler, dan berbentuk

tidak teratur. Sitoplasma sel dapat berlubang-lubang atau berbusa, dan kadang-

kadang ditemukan mitosis. Perubahan ini hanya terjadi pada sebagian kehamilan

ektopik (Cunningham et al., 2013).

Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat terjadi pada kehamilan ektopik

dalam tuba. Karena tuba bukan merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan

hasil konsepsi, tidak mungkin janin dapat tumbuh secara utuh seperti di uterus.

Sebagian besar kehamilan tuba terganggu pada umur kehamilan antara 6 minggu

sampai 10 minggu, antara lain (Prawirohardjo S, Hanifa W, 2005) :

1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi

25
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena

vaskularisasi kurang, dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam

keadaan ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya saja yang

terlambat untuk beberapa hari.

2. Abortus tuba

Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh

vili korialis pada dinding tuba ditempat implantasi dapat melepaskan

mudigah dari koriales pada dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya

psudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,

tergantung dari derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,

mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian

didorong oleh darah kearah ostium tuba abdominale. Frekuensi arbotus

dalam tuba tergantung pada implantasi telur yang dibuai. Arbotus tuba lebih

umum terjadi pada kehamilan tuba pars ampularis, sedangkan penembusan

dinding tuba oleh vili koriales kearah peritoneum biasanya terjadi pada

kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini disebabkan karena lumen pars

ampularis lebih luas, sehingga dapat mengikuti lebih mudah pertumbuhan

hasil konsepsi dibandingkan dengan bagian isthmus dengan lumen sempit.

Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada arbotus,

perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit sampai berubah

menjadi mola kruenta. Perdarahan akan keluar melalui fimbriae dan masuk

rongga abdomen dan terkumpul secara khas di kavum Douglas dan akan

26
membentuk hematokel retrouterina. Bila frimbriae tertutup, tuba fallopii

dapat membesar karena darah dan membentuk hematosalpiing.

3. Ruptur tuba

Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat mengakibatkan rupture

pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum metode pengukuran kadar

korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus kehamilan tuba berakhir pada

trimester pertama oleh rupture intraperitoneal. Pada kejadian ini lebih sering

terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus dan biasanya muncul pada

kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di parsintersisialis, maka

muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara

spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau pemeriksaan vagina.

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium

tuba tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi

dari trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang

ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma

intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.

Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila

robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.

Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin

bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin

mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak

dapat diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati

dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang

27
utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi

kehamilan abdominal sekunder

5. Gejala Klinis

Secara umum gejala klinis kehamilan ektopik terganggu adalah sebagai berikut:

a) Nyeri. Nyeri panggul dan nyeri abdomen yang kadang-kadang jelas lebih

nyeri sebelah kiri atau sebelah kanan. Nyeri abdomen umumnya

mendahului keluhan perdarahan per vaginam, biasanya dimulai dari salah

satu sisi abdomen bawah dan dengan cepat menyebar ke seluruh abdomen

yang disebabkan oleh terkumpulnya darah di rongga abdomen. Pada

ruptur tuba, nyeri abdomen dapat timbul dibagian mana saja pada

abdomen. Nyeri timbul setelah mengangkat beban berat, buang air besar,

namun dapat pula timbul saat pasien beristirahat (Bagian Obsgin FK

unpad, 1984; Cunningham, et al. 2013; Wiknjosastro, Hanifa. 2005).

b) Perdarahan abnormal. Amenorea dengan spotting ditemukan pada

sebagian besar pasien. Periode amenorea umumnya 6-8 minggu, tetapi dapat

lebih lama jika implantasi terjadi di pars interstitial atau kehamilan

abdominal. Desidua mengalami degenerasi dan nekrosis yang bermanifestasi

sebagai perdarahan per vaginam. Perdarahan ini umumnya sedikit,

perdarahan yang banyak dari vagina mengarah kepada abortus inkomplet.

(Bagian Obsgin FK unpad, 1984; Cunningham, et al. 2013; Wiknjosastro,

Hanifa. 2005).

28
c) Nyeri tekan abdomen dan panggul. Abdomen penderita biasanya tegang

dan terlihat agak cembung. Pada kehamilan ektopik dini yang belum ruptur,

nyeri tekan jarang dijumpai. Namun, dengan ruptur, nyeri tekan hebat

ditemukan sewaktu pemeriksaan abdomen dan vagina, terutama ketika

serviks digerakkan (Bagian Obsgin FK unpad, 1984; Cunningham, et al.

2013; Wiknjosastro, Hanifa. 2005).

d) Nyeri pada pemeriksaan bimanual. Nyeri pada saat porsio digerakkan,

forniks posterior vagina menonjol karena darah terkumpul di cavum

Douglass, atau teraba massa pada salah satu sisi uterus (Bagian Obsgin FK

unpad, 1984; Wiknjosastro, Hanifa. 2005).

e) Perubahan uterus. Uterus dapat terdorong ke salah satu sisi oleh massa

ektopik. Uterus juga dapat membesar akibat rangsangan hormon (Bagian

Obsgin FK unpad, 1984; Cunningham, et al. 2013).

f) Perubahan tanda-tanda vital. Bradikardia dan peningkatan relatif tekanan

darah sistolik dapat terjadi pada awal keluhan. Namun, tekanan darah akan

menurun dan nadi meningkat jika terjadi perdarahan lanjut dan hipovolemia

(Bagian Obsgin FK unpad, 1984; Cunningham, et al. 2013)

g) Nyeri bahu dan leher. Adanya darah pada rongga perut menyebabkan

iritasi subdiafragma yang ditandai dengan nyeri pada bahu (Bagian Obsgin

FK unpad, 1984; Wiknjosastro, Hanifa. 2005).

29
Gambaran klinik kehamilan tuba yang belum terganggu tidak khas dan

penderita maupun dokter biasanya tidak mengetahui adanya kelainandalam

kehamilan, sampai terjadinya abortus tuba atau ruptur tuba (Taran et al.,

2015).

1. Kehamilan ektopik belum terganggu

Kehamilan ektopik yang belum terganggu atau belum mengalami ruptur

sulit untuk diketahui, karena penderita tidak menyampaikan keluhan yang

khas. Amenorea atau gangguan haid dilaporkan oleh 95% penderita.

Lamanya amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat

bervariasi. Sebagian penderita tidak mengalami amenore karena kematian

janin terjadi sebelum haid berikutnya.Tanda-tanda kehamilan muda seperti

nausea dilaporkan oleh 10-25% kasus. Di samping gangguan haid, keluhan

yang paling sering disampaikan ialah nyeri di perut bawah yang tidak

khas, walaupun kehamilan ektopik belum mengalami ruptur. Kadang-

kadang teraba tumor di samping uterus dengan batas yang

sukar ditentukan. Keadaan ini juga masih harus dipastikan dengan alat

bantu diagnostik yang lain seperti ultrasonografi (USG) dan laparoskopi

(Birge et al., 2015).

2. Kehamilan ektopik terganggu

Gejala dan tanda kehamilan tuba tergangu sangat berbeda-beda dari

perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam rongga perut sampaiterdapatnya

gejala yang tidak jelas. Gejala dan tanda bergantung pada lamanya

30
kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur tuba, tuanya kehamilan,

derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umumpenderita sebelum hamil.

Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak atau

akut biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan

ektopik terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian bawah

terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang

menyebabkan penderita pingsan, tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat

serta perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan syok, ujung ekstremitas

pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula terdapat dalam satu sisi,

tetapi setelah darah masuk kedalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke

bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila membentuk hematokel

retrouterina menyebabkan defekasi nyeri (Birge et al., 2015).

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan

ektopik terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari

kavum uteri karena pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya

tidak banyak dan berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan ditemukan

dari 51-93%. Perdarahan berarti gangguan pembentukan Hcg (Human

chorionic gonadotropin). Yang menonjol ialah penderita tampak kesakitan,

pucat dan pada pemeriksaan ditemukan tanda-tanda syok serta perdarahan

rongga perut. Pada pemeriksaan ginekologik ditemukan serviks yang nyeri

bila digerakkan dan kavum Douglas yang menonjol dan nyeri raba. Pada

abortus tuba biasanya teraba dengan jelas suatu tumor di samping uterus

31
dalam berbagai ukuran dengan konsistensi agak lunak. Hematokel retouterina

dapat diraba sebagai tumor di kavum Douglas (Birge et al., 2015).

6. Diagnosis

Gejala-gejala kehamilan ektopik terganggu beraneka ragam, sehingga

pembuatan diagnosis kadang-kadang menimbulkan kesulitan, khususnya pada

kasus-kasus kehamilan ektopik yang belum mengalami atau ruptur pada

dinding tuba sulit untuk dibuat diagnosis (Moechtar R, 1998)

Berikut ini merupakan jenis pemeriksaan untuk membantu diagnosis kehamilan

ektopik (Moechtar R, 1998; Prawirohardjo S, Hanifa W, 2005; Wibowo B,

Rachimhadhi, 2005):
a) HCG-β : Pengukuran subunit beta dari HCG-β (Human Chorionic

Gonadotropin-Beta) merupakan tes laboratorium terpenting dalam

diagnosis. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara kehamilan intrauterin

dengan kehamilan ektopik.


b) Kuldosintesis : Tindakan kuldosintesis atau punksi Douglas. Adanya

darah yang diisap berwarna hitam (darah tua) biar pun sedikit, membuktikan

adanya darah di kavum Douglasi.


c) Dilatasi dan Kuretase : Biasanya kuretase dilakukan apabila sesudah

amenore terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa menemukan kelainan

yang nyata disamping uterus.


d) Laparaskopi : Laparaskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnosis

terakhir apabila hasil-hasil penilaian prosedur diagnostik lain untuk

kehamilan ektopik terganggu meragukan. Namun beberapa dekade terakhir

alat ini juga dipakai untuk terapi.

32
e) Ultrasonografi : Keunggulan cara pemerikssan ini terhadap laparoskopi

ialah tidak invasif, artinya tidak perlu memasukkan rongga dalam rongga

perut. Dapat dinilai cavum uteri, kosong atau berisi, tebal endometrium,

adanya massa di kanan kiri uterus dan apakah cavum Douglas berisi cairan.
f) Tes Oksitosin : Pemberian oksitosin dalam dosis kecil intravena dapat

membuktikan adanya kehamilan ektopik lanjut. Dengan pemeriksaan

bimanual, di luar kantong janin dapat diraba suatu tumor.


g) Foto Rontgen : Tampak kerangka janin lebih tinggi letaknya dan berada

dalam letak paksa. Pada foto lateral tampak bagian-bagian janin menutupi

vertebra ibu.
h) Histerosalpingografi : Memberikan gambaran kavum uteri kosong dan

lebih besar dari biasa, dengan janin di luar uterus. Pemeriksaan ini

dilakukan jika diagnosis kehamilan ektopik terganngu sudah dipastikan

dengan USG (Ultra Sono Graphy) dan MRI (Magnetic Resonance Imagine)

Trias klasik yang sering ditemukan adalah nyeri abdomen, perdarahan vagina

abnormal, dan amenore (Prawirohardjo S, Hanifa W, 2005).

7. Penatalaksanaan

a) Terapi bedah

Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan

bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif

(biasanya salpingostomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi

atau laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien

secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan

laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang,

atau ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus,

33
pasien-pasien ini membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang

banyak, hanya beberapa kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien

kehamilan ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi

dapat dilakukan dengan teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik

diindikasikan pada pasien hamil ektopik yang belum rupture dan besarnya

tidak lebih dari 5 cm pada diameter transversa yang terlihat komplit melalui

laparaskop (Ramakrishnan, 2006).

Linier salpingektomi pada laparaskopi atau laparatomi dikerjakan pada pasien

hamil ektopik yang belum rupture dengan menginsisi permukaan

antimesenterik dari tuba dengan kauter kecil, gunting, atau laser. Kemudian

diinjeksikan pitressin dilute untuk memperbaiki hemostasis. Gestasi ektopik

dikeluarkan secara perlahan melalui insisi dan tempat yang berdarah di kauter.

Pengkauteran yang banyak didalaam lumen tuba dapat mengakibatkan

terjadinya sumbatan, dan untuk itu dihindari. Penyembuhan secara sekunder

atau dengan menggunakan benang menghasilkan hasil yang sama. Tindakan

ini baik untuk pasien dengan tempat implantasi di ampulla tuba. Kehamilan

ektopik ini mempunyai kemungkinan invasi trofoblastik kedalam muskularis

tuba yang lebih kecil dibandingkan dengan implantasi pada isthmus

(Ramakrishnan, 2006).

Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih

baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika

diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan

salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae,

34
dapat dilakukan gerakan seeperti memeras (milking) untuk mengeluarkan

jaringan. Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih

sedikit waktu yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi.

Parsial atau total salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien

dengan riwayat penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor

resiko untuk kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah

kehamilan ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik

yang tidak komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post

operasi sebagai profilaksis para pasien resiko tinggi (Ramakrishnan, 2006).

b) Terapi nonfarmakologi

Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan

dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat

menghindari tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya,

mempertahankan patensi dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah.

Zat-zat kimia yang telah diteliti termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat

sitotoksik (misl: methotrexate dan actinomycin, prostaglandin, dan

mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih jauh mengenai pemakaian

methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat (Taran et al., 2015).

Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka

dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti oleh Miyazaki

(1983) dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi garis pertama

pada kehamilan ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian

methotrexate pada berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu,

35
sengan semakin banyaknya keberhasilan memakai obat, maka mulai

diperbandingkan pemakaian methotrexate dengan terapi utama

salpingostomi (Taran et al., 2015).

Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi

pemakaian methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting dan oleh

Pisarska dkk. (1997) direkomendasikan bahwa methotrexate tidak

digunakan pada massa kehamilan itu lebih dari 4 cm. Keberhasilannya

baik bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba kurang dari 3,5 cm

diameter, janin sudah mati, dan β-hCG kurang dari 15.00 mIU. Menurut

American College of Obstetricians and Gynaecologist (1998),

kontraindikasi lainnya termasuk menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme,

penyakit hati atau ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptik

(Prawirahardjo, 2014).

Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai

antagonis asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas.

Pasien yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan

hemodinamika yang stabil dengan hasil laboratorium darah yang normal

dan tidak ada gangguan fungsi ginjal dan hati. Methotrexate diberikan

dalam dosis tunggal (50 mg/m2 IM) atau dengan menggunakan dosis

variasi 1 mg/kgBB IM pada hari ke 1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1

mg/kgBB IM pada hari ke 2,4,6,8. Setelah pemakaian methotrexate yang

berhasil, β-hCG biasanya menghilang dari plasma dalam rata-rata antara

14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak ada penurunan β-hCG,

36
kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada perdarahan

intraperitoneal (Taran et al., 2015).

III. PERMASALAHAN

37
1. Apakah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi, dan

pemeriksaan penunjang yang dilakukan sudah tepat

2. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

3. Apakah tatalaksana pada pasien ini sudah tepat?

4. Mengapa bisa terjadi kehamilan ektopik terganggu? Bagaimana proses

terjadinya kehamilan ektopik terganggu?

Analisis kasus

1. Apakah anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi, dan

pemeriksaan penunjang yang dilakukan sudah tepat?

Anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan ginekologi, dan pemeriksaan

penunjang pada kasus ini sudah tepat untuk menegakkan diagnosis

Kehamilan Ektopik Terganggu

a) Pada anamnesis didapatkan:

1) keluhan utama berupa perdarahan dari kemaluan → gejala klinis

kehamilan ektopik.

2) os juga mengaku nyeri pada abdomen → gejala klinis kehamilan

ektopik.

3) Os memiliki HPHT 26 April 2017 dengan lama siklus 7-8 hari →

amenore  gejala klinis kehamilan ektopik

4) Os juga memiliki riwayat operasi a.i KET pada tahun 2016 → salah

satu faktor risiko kehamilan ektopik lanjut.

38
b) Dari pemeriksaan fisik, nadi, pernafasan, dan suhu Os masih dalam

kategori normal, yaitu: nadi 88x/ menit, pernafasan 20x/menit dan suhu

36,7oC. Tekanan darah dalam batas normal yaitu 100/70 mmHg. Pada

pemeriksan status generalis tidak didapatkan kelainan yang berarti kecuali

konjungtiva tampak anemis, akral dingin dan abdomen yang datar, simetris

kanan dan kiri, nyeri tekan (+) → salah satu gejala klinis kehamilan

ektopik.

Pada pemeriksaan luar status obstetri Os didapatkan hasil yaitu fundus

uteri tidak teraba, tidak teraba massa pada abdomen, terdapat tanda cairan

bebas pada abdomen dan terdapat nyeri tekan. Nyeri tekan dan tanda

cairan bebas pada abdomen → salah satu gejala klinis kehamilan

ektopik.

Pada pemeriksaan inspekulo tidak ditemukan kelainan pada daerah vulva

dan vagina, portio livide, OUE tertutup, fluor (-), fluksus (+), erosi dan

laserasi (-), dan polip (-), perdarahan tidak aktif. Pada pemeriksaan VT

tidak terdapat nyeri goyang porsio dan ukuran uterus sesuai normal (tidak

membesar), cavum douglas menonjol.

c) Pemeriksaan penunjang:

Pada pemeriksaan USG didapatkan hasil uterus antefleksi, ukuran sesuai

normal, tampak cairan bebas intraabdomen, hematokel (+) dengan kesan:

Kehamilan ektopik terganggu

Hasil pemeriksaan kuldosentesis (+) dan (PP test) (+).

39
Pada pemeriksaan HB serial ditemukan penurunan kadar Hb, jumlah

leukosit dalam batas normal, penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar

hematokrit, penurunan eosinofil dan neutrofil batang dan terdapat

peningkatan LDH.

2. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat?

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang

didapatkan diagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu.

Berdasarkan definisi Kehamilan ektopik adalah kehamilan di mana sel telur

yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar endometrium kavum uterus.

Termasuk dalam kehamilan ektopik ialah kehamilan tuba, kehamilan ovarial,

kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal dan kehamilan abdominal

primer atau sekunder. Kehamilan Ektopik Terganggu adalah keadaan di mana

timbul gangguan pada kehamilan tersebut sehingga terjadi abortus maupun

ruptur yang menyebabkan penurunan keadaan umum pasien.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dari

pasien ini sangat mengarah ke diagnosis KET.

3. Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?

Penatalaksanaan kasus ini sudah sesuai dengan teori. Pada kehamilan ektopik,

tatalaksana definitifnya adalah dengan pembedahan. Sebagian besar wanita

dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan bedah. Tindakan

40
bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif (biasanya

salpingostomi) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau

laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien

secara hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan

laparaskopi, fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang,

atau ada hambatan teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus,

pasien-pasien ini membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang

banyak, hanya beberapa kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien

kehamilan ektopik yang hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi

dapat dilakukan dengan teknik laparaskopi. Pada kasus ini dilakukan

salpingektomi dekstra dengan laparotomi.

Sebelum pelaksanaan operasi dilakukan persiapan operasi terlebih dahulu

berupa: pemeriksaan CTBT, tanda-tanda vital, persiapan darah, klisma,

persiapan baju operasi untuk Os, dan puasa yang harus dilakukan Os.

Setelah dilakukan pembedahan, untuk mencegah dehidrasi pada pasien

diberikan terapi cairan pengganti berupa Ringer Laktat. Os juga diberikan

injeksi antibiotik spektrum luas yaitu Ceftriaxone 1 gr / 12 jam untuk

menghindari infeksi pasca operasi dan diberikan injeksi Asam Tranexamat

500 mg / 8 jam yang merupakan obat anti-fibrinolitik untuk menghentikan

perdarahan pasca operasi. Sebelum diberikan injeksi antibiotik, dilakukan

skin test terlebih dahulu terhadap Os untuk mencegah terjadinya reaksi

hipersensitivitas Os terhadap antibiotik Ceftriaxone. Selain itu, Os juga

diberikan drip Ketorolac 1 gr / 8 jam yang merupakan golongan obat anti

41
inflamasi non-steroid yang juga berfungsi mengatasi nyeri yang bersifat

sedang hingga berat.

Setelah itu, dilakukan pemeriksaan Hb pada Os, didapatkan kadar Hb pasien

8,3 gr/dl. Lalu dilakukan transfusi sebanyak 2 kolf. 1 kolf pertama diberikan

di OK dan 1 kolf lagi diberikan di bangsal beberapa jam setelahnya. Lalu

dilakukan observasi pasca operasi pada pasien berupa bising usus hingga

pasien diperbolehkan mengkonsumsi nutrisi dan terapi secara oral. Saat

pasien sudah diperbolehkan mengkonsumsi nutrisi secara oral, obat yang

diberikan yaitu Cefadroxil tab 2x500 mg sebagai antibiotik spektrum luas dan

Asam Mefenamat 3x500 mg yang termasuk obat golongan OAINS yang

berguna sebagai penghilang rasa nyeri. Setelah tanda vital dan kondisi os

semakin membaik, os diperbolehkan pulang.

4. Mengapa bisa terjadi ruptur tuba pada kehamilan ektopik terganggu?

Bagaimana proses terjadinya?

Pada kasus ini, os mengalami kehamilan ektopik terganggu hingga terjadi

ruptur pada tuba. Penyusupan, dan perluasan hasil konsepsi dapat

mengakibatkan ruptur pada saluran lahir pada beberapa tempat. Sebelum

metode pengukuran kadar korionik gonadotropin tersedia, banyak kasus

kehamilan tuba berakhir pada trimester pertama oleh rupture intraperitoneal.

Pada kejadian ini lebih sering terjadi bila ovum berimplantasi pada isthmus

dan biasanya muncul pada kehamilan muda, sedangkan bila berimplantasi di

parsintersisialis, maka muncul pada kehamilan yang lebih lanjut. Ruptur

42
dapat terjadi secara spontan, atau karena trauma ringan seperti koitus atau

pemeriksaan vagina.

Ruptur sekunder dapat terjadi bila terjadi abortus dalam tuba dan ostium tuba

tertutup. Dalam hal ini dinding tuba yang sudah menipis karena invasi dari

trofoblas, akan pecah karena tekanan darah dalam tuba. Kadang-kadang

ruptur terjadi diarah ligamentum latum dan terbentuk hematoma

intraligamenter. Jika janin hidup terus, terdapat kehamilan intraligamenter.

Pada ruptur ke rongga perut, seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila

robekan kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba.

Bila pasien tidak mati dan meninggal karena perdarahan, nasib janin

bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin

mati dan masih kecil, dapat diresorbsi kembali, namun bila besar, kelak dapat

diubah menjadi litopedion. Bila janin yang dikeluarkan tidak mati dengan

masih diselubungi oleh kantong amnion dan dengan plasenta yang utuh,

kemungkinan tumbuh terus dalam rongga abdomen sehingga terjadi

kehamilan abdominal sekunder

43
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Bandung. 1984. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset.

Birge O, Erkan MM, Ozbey EG, Arslan D. 2015. Medical management of an

ovarian ectopic pregnancy. J of Medical Case Report. 9: 290.

Cunningham FG, et al. 2013. Obstetri Williams. Edisi 23. Jakarta: EGC.

Jones HW. Ectopic Pregnancy. 1997. In: Novak’s Text Book of Gynecology. 3rd
Edition. Balltimore, Hongkong, London, Sydney: William & Wilkins.

Moechtar R. 1998. Kelainan Letak Kehamilan (Kehamilan Ektopik). Dalam:


Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis. Edisi II.
Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC.

Prawirohardjo S, Hanifa W. 2005. Gangguan Bersangkutan dengan Konsepsi.


Dalam: Ilmu Kandungan, edisi II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo.

Prawirohardjo S. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

Ramakrishnan K. 2006. Ectopic Pregnency: Expectant management an

immediate surgery. J Fam Pract. 55 (6): 517-522.

44
Taran FA, Kagan KO, Hubner M, Markus H, Wallwiener D, dan Brucker S.

2015. The Diagnosis and Treatment of Ectopic Pregnancy. Dtsch Arztbl

Int.

Wibowo B, Rachimhadhi T. 2005. Kehamilan Ektopik. Dalam: Ilmu Kebidanan.


Edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Wiknjosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, Hanifa. 2013. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

45

Anda mungkin juga menyukai