Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hemodialisis

2.1.1 Definisi

Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui

dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah kembali lagi

dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke sirkulasi darah pasien,

suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke dan dari dializen (tempat

terjadi pertukaran cairan, elektrolit dan zat sisa tubuh), serta dializer. (Siswadi,

2009). Hemodialisis dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengubahan

komposisi solut darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran

semipemiabel (membran dialisis). Saat ini terdapat berbagai definisi hemodialisis,

tetapi pada prinsipnya hemodialisis adalah suatu proses pemisah atau penyaringan

atau pembersihan darah melalui suatu membran yang semi permeabel yang

dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal baik yang kronik maupun

akut (Suharjono, 2011).

2.1.2 Prinsip Hemodialisis

Hemodialisis merupakan gabungan dari proses difusi dan ultrafiltrasi.

Difusi adalah pergerakan zat terlarut melalui membran semipermeabel

berdasarkan perbedaan konsentrasi zat atau molekul. Laju difusi terbesar terjadi

pada perbedaan konsentrasi molekul yang terbesar. Ini adalah mekanisme utama

untuk mengeluarkan molekul kecil seperti urea, kreatin, elektrolit dan untuk

penambahan serum bikarbonat. Laju difusi sebanding dengan suhu larutan

6
Universitas Sumatera Utara
7

(meningkatnya gerakan molekul secara acak) dan berbanding terbalik dengan

viskositas dan ukuran molekul yang dibuang (molekul besar akan terdifusi dengan

lambat). Dengan meningkatnya klirens dari zat terlarut dengan berat molekul

rendah (seperti urea, kreatinin, elektrolit) dengan tetap mempertahankangradien

konsentrasi yang tinggi. Zat terlarut yang terikat tidak dapat dibuang melalui

difusi karena proteinyang terikat tidak dapat melalui membran. Hanya zat terlarut

yang tidak terikat protein yang dapat melalui membran atau terdialisis.

Ultrafiltrasi adalah aliran aliran konveksi (air dan zat terlarut) yang terjadi

akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. Air dan zat

terlarut dengan berat molekul kecil dapat dengan mudah melalui membran

semipermeabel. Ultrafiltrasi terjadi sebagai akibat dari perbedaan tekanan positif

pada kompartemen darah dengan tekanan negatif yang terbentuk dalam

kompartemen dialisat yang dihasilkan oleh pompa dialisat transmembran pressure

(TMP). Nilai ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan/gradien tekanan persatuan

waktu. Karakteristik membran menentukan tingkat filtrasi, membran high flux

mempunyai permukaan kontak yang lebih tipis dan memiliki pori-pori besar

sehinggah tatanan yang rendah untuk filtrasi. Permeabilitas membran diukur

dengan koefisien ultrafiltrasi dengan satuan mL/mmHg/jam dengan kisaran antara

2-50 mL/mmHg/jam. Selain kemampuan difusi dan filtrasi, membran dialisis

yang sintetik mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi protein, seperti sitokin,

interleukin dan lain-lain. Sehinggah dapat mengurangi konsentrasi interleukin dan

protein lain yang terlibat dalam proses inflamasi atau sindrom uremia. Hal ini

tentu bermanfaat bagi pasien dengan inflamasi.

 
 
Universitas Sumatera Utara
8

2.1.3 Indikasi Hemodialisis

Panduan dari Kidney Outcome Qualiti Initiative (KDOQI) tahun 2006

merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat dan resiko memulai terapi

penganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraaan laju filtrasi glomerolus

(elFG) kurang dari 15 Ml/ menit/ 1,73 m² (PGK tahap 5). Akan tetapi kemudian

terdapat bukti-bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan antara yang

memulai dialisis dini dengan yang terlambat memulai dialisis (early versus late

dyalisis) oleh karena itu HD dilakukan apabila ada keadaan sebagai berikut :

1. Kelebihan (Overload) cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan dan atau

hipertensi.

2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi farmakologis.

3. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi bikarbonat.

4. Hipefosfatemia yang refrakter terhadap pemberian restriksi diet dan terapi

pengikat fosfat.

5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi

6. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa penyebab

yang jelas

7. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala mual,

muntah atau adanya bukti lain gastroduodenitis.

8. Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisis adalah adanya

gangguan neorulogis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan psikiatri),

pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh penyebab lain, serta

diatesis hemoragik dengan pemanjangan waktu perdarahan (Suharjono,

2011).

 
 
Universitas Sumatera Utara
9

2.1.4 Kontraindikasi Hemodialisis

Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisis adalah apabila tidak

di dapatkannya akses vaskular. Kontraindikasi relatif adalah apabila ditemukan

adanya kesulitan vaskular, fobia terhadap jarum, gagal jantung dan koagulopati.

2.2.5 Komplikasi Hemodialisis

Hipotensi merupakan komplikasi akut yang sering terjadi selama HD,

terutama pada pasien dengan diabetes. Sejumlah faktor resiko terjadinya hipotensi

adalah ultrafiltrasi dalam jumlah besar disertai mekanisme kompensasi pengisisan

vaskular (vascular filling) yang tidak adekuat, gangguan respon vasoaktif atau

otonom, osmolar shift, pemberian antihipertensi yang berlebihan, dan

menurunnya kemampuan pompa jantung. Pasien dengan fistula arteriovenous dan

graft dapat mengalami gagal jantung high output akibat adanya shunt darah pada

akses dan mungkin memerlukan ligasi dari fistula atau graft. Pemakaian buffer

asetat dalam dialisat sudah mulai ditinggalkan karena efek vasodilatasi dan

kardiodepresifnya dan sejak diperkenalkannya dialisat bikarbonat maka kejadian

hipotensi selama dialisis telah menurun. Hipotensi saat hemodialisis dapat dicegah

dengan melakukan evaluasi berat badan kering dan modifikasi dari ultrafiltrasi,

sehinggah diharapkan jumlah cairan yang dikeluarkan lebih banyak pada awal

dibandingkan di akhir dialisis.

Cara lain yang dilakukan adalah ultrafiltrasi bertahap/sekuensial yang

dilanjutkan dengan dialisis, mendinginkan dialisat selama dialisis berlangsung,

dan menghindar makan berat selama dialisis. Kram otot juga sering terjadi selama

dialisis dan penyebab masih belum jelas. Beberapa faktor pencetus yang

hubungkan dengan kejadian kram otot ini adalah adanya gangguan perfusi otot

 
 
Universitas Sumatera Utara
10

karena pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah sodium.

Beberapa strategi yang dipakai untuk mencegah kram otot adalah mengurangi

jumlah volume cairan yang diambil selama dialisis, melakukan profiling

ultrafiltrasi, dan pemakaian dialisat yang mengandung kadar natrium tinggi atau

modeling natrium. Reaksi anafilaktoid terhadap dialiser, terutama pada pemakaian

pertama, sering dilaporkan terjadi pada membran bionkompatibel yang

mengandung selulosa. Reaksi ini biasanya muncul segera setelah terapi dimulai

(dalam beberapa menit pertama) dan dapat berkembang menjadi reaksi anafilaksis

yang full-blown jika dialisis tidak segera dihentikan. Untuk mengatasinya, dapat

diberikan steroid atau epinefrin apabila gejala klinisnya berat. Reaksi tipe B terdiri

dari kumpulan gejala dari nyeri dada dan punggung yang tidak spesifik yang

mungkin disebabkan oleh aktivitas komplemen dan pelepasan sitokin. Gejala-

gejala ini biasanya terjadi dalam beberapa menit setelah dialisis dimulai dan akan

membaik seiring dengan belangsungnya dialisis.

Pada komplikasi jangka panjang penyakit kardiovaskuler menjadi

penyebab utama kematian pasien ginjal tahap terakhir selain dari infeksi.

Penyebab dasar penyakit kardiovaskuler berkaitan dengan faktor resiko seperti

diabetes militus, inflamasi kronik, perubahan besar pada volume ekstraselular

(terutama pada penambahan berat badan interdialistik yang besar) tatalaksanaan

hipertensi yang tidak adekuat, displidemia, anemia, klasifikasi vaskular,

hiperhomosisteinemia, dan mungkin juga di akibatkan oleh perubahan

hemodinamik kardiovaskuler selama dialisis berlangsung. Pada pasien gagal

ginjal kronis dikenal dengan faktor resiko yang tradisional seperti yang didapat

dari penelitian Framingham dan faktor resiko non-tradisional atau yang berkaitan

 
 
Universitas Sumatera Utara
11

dengan dialisis. Beberapa strategi kardioprotektif konvensional antara lain obat

angiotensin converting enzyme-inhibitor (ACE-I), Angiotensin Receptor Blocker

(ARB), penurunan lipid, aspirin, penghambat beta adrenergik. Berbagai teknik

dialisis seperti pemakaian dialiser high flux, hemodialisis jangka panjang,

hemodialisis setiap hari, hemodiafiltrasi, telah berhasil menurunkan morbiditas

dan mortalitas (Suharjono, 2011).

Dampak yang diamati pada pasien yang mengalami hemodialisis selain

komplikasi yang telah disebutkan diatas pasien akan mengalami kelelahan fisik,

kekurangan energi serta fatigue yang sering dialami pasien hemodialisis. Fatigue

merupakan simptom yang memiliki prevalensi tinggi pada populasi pasien

dialisis.

2.2 Fatigue

2.2.1 Definisi

Fatigue merupakan symptom yang sering dialami pasien yang sedang

menjalani hemodialisis, dan fatigue lebih dikenal dengan keletihan, kelelahan,

lesu, dan perasaan kehilangan energi. Fatigue adalah suatu gejala akibat proses

penggunaan energi yang tidak seimbang dengan kekuatan yang ada dan

menurunnya kapasitas kerja fisik serta mental. Fatigue biasa terjadi pada penyakit

kronik maupun akut dan dapat juga dialami pada kondisi normal keadaan sehat

dan kehidupan sehari-hari. Pengukuran fatigue dapat dilakukan dengan Piper

Fatigue Scale (PFS) (http://www.ncbi.nlm.nih.gov).

 
 
Universitas Sumatera Utara
12

2.2.2 Etiologi

Fatigue biasanya terjadi pada penyakit yang menyebabkan nyeri, demam,

infeksi diare, sterss, gangguan tidur, cemas, depresi, kurang melakukan aktivitas

dan dapat terjadi akibat gaya hidup pasien.

2.2.3 Faktor yang berhubungan dengan fatigue

Faktor yang mempengaruhi fatigue pada pasien yang menjalani

hemodialisis adalah faktor fisiologis, faktor sosial ekonomi, faktor situasional.

2.2.3.1 Faktor fisiologi

Faktor biasanya dihubungkan dengan faktor fisiologis yaitu kondisi

malnutrisi, anemia dan insomnia. Faktor fisiologi yang akan dilihat pada

penelitian ini adalah anemia, malnutrisi dan insomnia yang dialami pasien yang

menjalani hemodialisis.

A. Status Nutrisi

Penderita gagal ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa kronis sering

mengalami protein kalori malnutrisi. Malnutrisi akan menyebabkan defisiensi

respon imun, sehingga penderita mudah mengalami infeksi dan septikemia.

Ternyata semakin jelek status nutrisi semakin jelek kualitas hidup penderita gagal

ginjal terminal Malnutrisi pada gagal ginjal terminal disebabkan oleh toksin uremi

dan oleh prosedur hemodialisa. Anoreksi pada penderita gagal ginjal terminal

yang dilakukan hemodialisa kronis sering terjadi, hal ini disebabkan oleh

hemodialisa yang kurang memadai, sehingga toksin uremi masih menumpuk di

dalam tubuh. Selain itu, toksik uremi juga memacu pemecahan protein dan

menghambat sintesis protein. Uremi menyebabkan aktivitas hormon anabolik

seperti insulin dan somatomedin menurun, sedang hormon katabolik seperti

 
 
Universitas Sumatera Utara
13

glukagon dan hormon paratiroid kadarnya meningkat. Adanya kelainan asam

amino akan menyebabkan sintesis protein terganggu (Harmoko, 2010)

Pada saat dilakukan hemodialisa ternyata banyak protein dan vitamin yang

terbuang bersama dialisat. Selama hemodialisa penderita dapat kehilangan 10-12

gr asam amino, karena masuk ke dalam cairan dialisat dan toksin lainnya.

Sepertiga asam amino yang terbuang tadi adalah asam amino esensial. Disamping

apabila sewaktu hemodialisa digunakan cairan dialisat yang tidak mengandung

glukosa, maka setiap kali hemodialisa akan dikeluarkan glukosa sebanyak 20-30

gr, masuk ke dalam dialisat untuk kemudian dibuang keluar. Tujuan

penatalaksanaan nutrisi pada penderita pra-dialisis adalah mencegah timbunan

nitrogen, mempertahankan status nutrisi yang optimal untuk mencegah terjadinya

malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi

gejala uremi dan gangguan metabolisme (Nerscomite, 2010).

C. Insomnia

Insomnia adalah suatu kondisi seseorang yang masih terbangun walaupun

sudah lama berbaring di tempat tidur. Mereka bukannya tidak mengantuk, namun

memang tidak bisa tertidur. Keadaan seperti ini bahkan bisa berlangsung berhari-

hari, sehinggah membuat penderitanya menjadi lemas karena kurang tidur

(Prasetyono, 2013). Efek insomnia pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi fungsi individu selama 24

jam. Insomnia jangka panjang bahkan dapat mempengaruhi gaya hidup dan emosi

individu secara keseluruhan. Selain itu juga dapat mempengaruhi status

kesehatan, hubungan interpersonal, merasa tidak kompeten akibat merasa putus

asa ketika bangun sendirian pada malam hari dan merasa kualitas tidurnya tidak

 
 
Universitas Sumatera Utara
14

akan tercapai. Pada akhirnya, insomnia yang dialami pasien gagal ginjal kronis

yang menjalani hemodialisis akan menyebabkan penurunan kualitas hidup dan

kelangsungan hidup pasien (Rosdiana, 2010)

2.2.3.2 Faktor sosial ekonomi

Sosial ekonomi dalam penelitian ini meliputi kebiasaan merokok,

mengkonsumsi alkohol, latihan fisik, dan penghasilan. Petchrung (2004)

menyatakan bahwa pendapatan keluarga berkolerasi dengan fatigue dan

mentransportasikan pada pasien hemodialisis mempengaruhi terjadinya fatigue

dan melakukan latihan fisik dapat menurunkan fatigue. Kebiasaan merokok

merupakan faktor sosial yang secara fisiologis akan mempengaruhi tersedianya

oksigen ke otak dan dapat menghabiskan cadangan-cadangan energi sehinggah

kondisi tersebut menyebabkan seseorang merasa lelah (Jhamb, et al, 2009).

Kebiasaan konsumsi alkohol dapat mempengaruhi sistem saraf pusat seperti

sedatif dan menyebabkan seseorang merasa lelah berjam-jam. Alkohol juga

mempengaruhi pola tidur sehinggah kekurangan waktu tidur menyebabkan

fatigue. Penghasilan memberikan pengaruh karena pemenuhan kebutuhan sehari-

hari termasuk pengobatan tergantung pada status finansial seseorang. Dalam

penelitian Sullivan dan McCarthy (2009) menyatakan bahwa pasien hemodialisis

yang tidak aktif , 14% akan mengalami fatigue pada level lebih rendah

berhubungan dengan level fisik yang lebih tinggi. Pasien hemodialisis cendrung

mengalami pembatasan hidup, kehilangan aktivitas sosial, dan penurunan

ekonomi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pasien dengan pendapatan

rendah akan mengalami fatigue. Kondisi tersebut disebabkan pasien dengan

pendapatan tinggi dapat dengan mudah mendapatkan perawatan lebih baik.

 
 
Universitas Sumatera Utara
15

Disamping itu, perawat juga harus memahami dampak faktor ekonomi terhadap

kondisi pasien yang menjalani hemodialisis sehinggah dapat menetukan intervensi

yang tepat. jumlah pendapatan hasil bekerja perbulan sesuai dengan upah

minimum regional (UMR) di kota Medan yaitu Rp 1.650.000.

2.2.3.3 Faktor situasional

Faktor situasional merupakan faktor yang berkaitan dengan situasi

hemodialisis, terdiri dari lamanya menjalani hemodialisis, komplikasi

hemodialisis dan riwayat penyakit. Kondisi tersebut memberikan gambaran

bahwa fase awal menjalani hemodialisis, pasien mengalami peningkatan fatigue.

Dukungan dari keluarga, tenaga kesehatan dan lingkungan sangat diperlukan pada

fase tersebut sehinggah pasien tidak mengalami perubahan psikologis berupa

depresi. Fatigue juga akan dirasakan bila pasien mengalami hipotensi intradialisis.

Selain itu fatigue biasanya menyertai komplikasi disequilibrium sindrom. Riwayat

penyakit yang menyebabkan klien mengalami end stage renal disease (ESRD)

diantaranya diabetes militus, hipertensi, glumerulonefritis dan penyakit lainnya.

Penyakit penyerta pasien dengan hemodialisis jika tidak mendapatkan perhatian

khusus dan tidak dilakukan pengobatan akan mempercepat progresifitas penyakit

(Sulistini, 2010).

 
 
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai