Anda di halaman 1dari 19

STEP 7

1. Apa saja yang dilakukan dalam uji preklinik?

Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dahulu diuji
dengan serangkaian uji farmakologi pada hewan. Sebelum calon obat baru ini dapat
dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, farmasetika, dan efek toksiknya pada hewan uji.
Serangkaian uji praklinik yang dilakukan antaralain :

a) Uji Farmakodinamika
Untuk mengetahui apakah bahan obat menimbulkan efek farmakologik seperti yang
diharapkan atau tidak, titik tangkap, dan mekanisme kerjanya. Dapat dilakukan
secara in vivo dan in vitro.

b) Uji Farmakokinetik
- Untuk mengetahui ADME (Absorpsi, Distribusi, Metabolisme dan Eliminasi)
- Merancang dosis dan aturan pakai

c) Uji Toksikologi
- Mengetahui keamanannya
d) Uji Farmasetika

- Memperoleh data farmasetikanya, tentang formulasi, standarisasi, stabilitas, bentuk


sediaan yang paling sesuai dan cara penggunaannya.
Katzung.1989.Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 3

2. Apa tujuan dari uji preklinik?


- Uji Pra-Klinik dimaksudkan untuk mengetahui apakah obat menimbulkan efek
toksik pada dosis pengobatan ataukah tetap aman dipakai.
- Merancang berbagai uji untuk menetapkan mekanisme toksis lebih jauh
- Sebagai persyaratan untuk pertibangan untuk pengembangan OT
- Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada
manusia
- Uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya
- Mengidentifikasi potensi terjadinya toksisitas pada manusia
- Memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling relevan untuk dipantau dalam
uji-uji klinis
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
3. Bagaimana uji preklinik dapat mengetahui tolerabilitas dan khasiat?
- Tolerabilitas:
Kuantitatif : dilihat dari uji toksisitas akut dan penelitian epidemiologi
Kualitatif: dilihat gejala yang timbul (kejang), respon tubuhnya (demam, tidak aktif)
- Keamanan :
Efek samping yang ditimbulkan dari obat tersebut
- Dosis : menggunakan rumus Lawrance

4. Apa saja kendala uji preklinik?


Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara
lain sebagai berikut:
1. Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu
sekitar 2 sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta
memperkirakan indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang
memberikan efek terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum
dianggap layak uji pada manusia.
2. Diperlukan jumlah yang besar hewan percobaan untuk mendapatkan data
praklinis yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan
berbagai kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan
dengan tetap mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan
berbagai metode in vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang
dihasilkan masih sangat terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan masyarakat
berusaha untuk menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan
alasan yang tidak berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3. Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat
memberikan perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya.
Untuk menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety
Testing Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan
farmasi terbesar di Amerika Serikat denganFood and Drug Administration (FDA)
sebagai badan penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum
diujikan pada manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode
laboratorium yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4. Untuk kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak
mungkin dideteksi.
www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp.../09/3-uji-toksisitas.pdf

5. Bagaimana cara melakukan uji preklinik?


1. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
- Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional
yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka.
- Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.
- Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan
rencana pemberian pada manusia.
- Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang
digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan
WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan
coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji
toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.
- Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50)
yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala
toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50
perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia.
Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.
- Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
- sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan
atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui
efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian
sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian
obat pada manusia (Tabel 4).

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional
agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
a. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
b. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
d. Obat digunakan secara kronik

 Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia
Majelis Kedokteran Indonesia, Volume: 57, Nomor: 8, Agustus 2007

6. Bagaimana tahap pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka?

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil
data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya
pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara
sistematik. Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai
berikut.

2. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat herbal
yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang diprioritaskan
untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
a. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
b. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
c. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

Sembilan spesies tanaman yang dipilih sebagai tanaman unggulan untuk diteliti lebih
lanjut, termasuk uji klinik, adalah

- cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.),


- temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.),
- kunyit (Curcuma domestica Val.),
- jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.),
- sambiloto (Andrographis paniculata Nees.),
- jahe (Zingiber officinale Rosc.),
- mengkudu (Morinda citrifolia L.),
- salam (Eugenia polyantha Wight.), dan
- jambu biji (Psidium guajava L.).
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak populer
di kalangan
masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan terhadap tanaman
Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita
diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain
dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.

3. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik


- Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional
yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka.
- Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.
- Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan
rencana pemberian pada manusia.
- Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang
digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan
WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan
coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji
toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
 Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas.
- Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50)
yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala
toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50
perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia.
Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.
- Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
- sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan
atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui
efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian
sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian
obat pada manusia (Tabel 4).

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional
agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
e. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
f. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
g. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
h. Obat digunakan secara kronik

 Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat
tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba.
Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara
pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro dan in vivo pada hewan coba
hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan efek pada manusia

4. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar


Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia penentuan identitas, dan menentukan
bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat mempengaruhi efek yang
ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan dengan bahan yang telah
dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu
yang bersifat termolabil. Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri
atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula
prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak
yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang
berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan
untuk pelangsing yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol
95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air atau
etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu tanin, musilago,
dan alkaloid tersari dengan baik
5. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus dibuktikan
khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji
klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind
controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik
pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah
terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti
halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi.
Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan
informed-consent sebelum penelitian dilakukan, dan diberi ethical clearance. Standardisasi
sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan
(reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisional
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa
pembanding. Jumlah pasien 100-200; dilakukan uji toksisitas kronik, uji sediaan bahan
obat.
Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding.
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau
yang lambat timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum
digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna
mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya berdasarkan dosis
empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang dihadapi adalah dalam
melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat standar. Obat
tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat
tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia meskipun
nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini. Kurangnya uji klinik
yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
a. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
b. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat dan
aman pada uji preklinik
c. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
d. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis
empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor.
e. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah laku
di pasaran
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat bahan alam
yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih sedikit
digolongkan sebagai fitofarmaka.
Majelis Kedokteran Indonesia, Volume: 57, Nomor: 8, Agustus 2007

7. Apa yang dimaksud dengan uji farmakologi?


8. Apa yang dimaksud dengan uji farmakodinamik dan contoh?

9. Apa yang dimaksud dengan uji farmakokinetik dan contoh?


10. Apa yang dimaksud dengan uji mutagenik, tujuan, dan contoh?
Uji yang dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya senyawa yang
bersifatmutagen(zat atau senyawa yg dapat meningkatkan laju perubahan di dalam
gen

11. Apa yang dimaksud dengan uji teratogenik, tujuan, dan contoh?
Uji yg dilakukan untuk mengetahui apakah suatu obat bisa menimbulkan kecacatan
pada janin waktu lahir.
12. Apa saja perbedaan in vitro dan in vivo?
In vitro:
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
Yang dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker dari
hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada jamur missal
candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat cacing; pada virus utk
obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator
diuji pada otot polos trachea marmot; pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina
dan aritmia; dll.
In vivo:
 Terletak di dalam tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang
jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan
mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia
merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg
diinginkan. Contohnya :
 Untuk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak sehingga
pengamatan akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
Fitokimia: Uji in vitro dan in vivo, elearning.unsri.ac.id

In vivo In vitro
Uji terletak di dalam tubuh makhluk Terletak di luar tubuh(laboratorium)
hidup(hewan coba)
Membutuhkan sample yang lebih banyak Sample lebih sedikit
Harga lebih mahal Harga lebih murah
Waktu lebih lama Waktu lebih pendek
Contoh : uji menggunakan hewan coba Contoh : uji bakteri didalam cawan petri

http://repository.unair.ac.id/40108/1/gdlhub-gdl-grey-2016-melesdewak-40588-pg.04-16-
p.pdf

13. Apa saja syarat hewan yang digunakan untuk uji preklinik?
Dalam pemeliharaan dan penggunaan hewan percobaan perlu diperhatikan prinsip 5 Freedom
(5F) dengan rincian sebagai berikut:
1. Freedom from hunger and thirst (bebas dari rasa lapar dan haus)
Memberikan akses makanan dan air minum yang sesuai dan memadai untuk kesehatan
hewan mencakup jumlah dan komposisi nutrisi. Kualitas makanan dan air minum yang
memadai dibuktikan melalui analisis proximate makanan, mutu air minum, dan uji
kontaminasi yang dilakukan secara berkala.
2. Freedom from discomfort (bebas dari ketidaknyamanan)
Menyediakan lingkungan yang bersih dan paling sesuai dengan biologik spesies antara
lain meliputi siklus cahaya, suhu, dan kelembaban lingkungan serta fasilitas fisik seperti
ukuran kandang dan komposisi kelompok.
3. Freedom from pain, injury, and disease (bebas dari rasa sakit, trauma, dan penyakit)
Program kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan meminimalkan/ meniadakan
rasa sakit, serta pemilihan prosedur dilakukan dengan pertimbangan meminimalkan rasa
sakit (non-invasive), penggunaan anestesia dan analgesia bila diperlukan, serta eutanasia
dengan metode yang manusiawi dalam rangka untuk meminimalkan bahkan meniadakan
penderitaan hewan.
4. Freedom from fear and distress (bebas dari ketakutan dan stress jangka panjang)
Memberikan kondisi lingkungan dan perlakuan untuk mencegah/ meminimalkan
timbulnya stress (aspek husbandry, care, penelitian), memberikan masa adaptasi dan
pengkondisian (misalnya training) bagi hewan terhadap prosedur penelitian, lingkungan
baru, dan personil. Semua prosedur pada hewan dilakukan oleh personil yang kompeten,
terampil dan terlatih.
5. Freedom to express natural behavior (bebas mengekspresikan tingkah laku alami)
Memberikan ruang dan fasilitas untuk program pengayaan lingkungan (environmental
enrichment) yang sesuai dengan karakteristik biologik dan tingkah laku species
seperti food searching dan foraging, memberikan sarana untuk kontak sosial bagi species
yang bersifat sosial seperti pengandangan berpasangan atau berkelompok, dan
memberikan kesempatan untuk grooming, mating, bermain, dan lainnya.
Prinsip 5F ini diterapkan dalam bentuk Standard Operating Procedures terkait dengan
Program Kesehatan (veterinary care) dan Perawatan Harian (housing dan husbandry).

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai
berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press

14. Apa saja landasan hukum penggunaan hewan coba dalam uji preklinik?

Di tingkat nasional
 Undang-undang no. 23/1992 tentang Kesehatan
 Undang-undang no. 36/2009 tentang Kesehatan
 Pasal 44 ayat 4: Penelitian terhadap hewan harus dijamin kelestariannya dan
mencegah dampak buruk yang tidak langsung terhadap manusia
 Peraturan Pemerintah no 39 tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
 Buku Pedoman Nasional Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK), Depkes RI, 2007 sesuai
dengan SK Menkes 1031/2005 tentang PNEPK, dan 6 Buku Suplemennya
 Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB), BPOM 2006
 SK Menkes no 1333/2002 tentang Persetujuan Penelitian Kesehatan Terhadap
Manusia

Di tingkat internasional
 Nuremberg Code 1947: the Doctor’s Trial
 Universal Declaration of Human Rights, UN 1948
 Declaration of Helsinki: Ethical Principles for Medical Research Involving Human
Subjects, WMA General Assembly (1964 – 2008)
 Operational Guidelines for Ethics Committees That Review Biomedical Research,
WHO 2000
 ICH Guidelines for Good Clinical Practice for Trials on Pharmaceutical Products,
WHO 1995
 International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human Subjects,
CIOMS 2002
 International Ethical Guidelines for Epidemiological Studies, CIOMS 2008

15. Bagaimana kriteria tingkat toksisitas suatu bahan pada hewan coba?
 khusus

16. Apa saja efek herbal yang ditimbulkan pada hewan coba?
LD50 : menyatakan dosis obat yang dapat menyebabkan kematian
pada 50% hewan percobaan
ED50 : menyatakan dosis obat yang dapat timbulkan efek (ex :kejang-
kejang) pada 50% hewan percobaan.

Anda mungkin juga menyukai