Anda di halaman 1dari 16

Uji Prekilinik

STEP 1 :

- Uji preklinik
Suatu uju yang dilakukan pada hewan coba dengan tujuan untuk menentukan
keamanan dan khasiat bahan uji secara ilmiah yang dilakukan dengan uji toksisitas
dan uji aktivitas(farmakodinamik) dan uji yang dilakukan secara in vitro dan in in
vivo
- Tolerabilitas
Untuk mengetahui sejauh mana obat menghasilkan efek merugikan dalam tubuh.

STEP 7

1. Apa saja uji yang dilakukan dalam uji preklinik?


Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Agar obat tradisional dapat diterima di
pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh
bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut
hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Tahapan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut:
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
4. Uji klinik
Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional/obat
herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal yang
diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah:
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang mendadak
populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian belakangan ini dilakukan
terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) yang diklaim antara lain
bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah merah (Pandanus conoideus Lamk.)
yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan kanker dan AIDS.
Tahap Uji Preklinik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia.
Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu
spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji
farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia,
sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji toksisitas
khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas
akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50%
hewan coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara
kematian. Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada
manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji
toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji
toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan
kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka
lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama
pemberian obat pada manusia (Tabel 4).2
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional
agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila:
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan.
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya
kanker.
4. Obat digunakan secara kronik Uji Farmakodinamik Penelitian farmakodinamik obat
tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan menelusuri mekanisme
kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji
dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan
kemungkinan efek pada manusia.

2. Apa tujuan dari uji preklinik?

Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia.
Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat
Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu
spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji
farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia,
sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat keamanannya.
Tujuan penelitian terhadap uji pra klinik antara lain adalah untuk mengidentifikasi
potensi terjadinya toksisitas pada manusia; merancang berbagai uji untuk menetapkan
mekanisme toksis lebih jauh; dan memperkirakan toksisitas yang spesifik dan paling relevan
untuk dipantau dalam uji-uji klinis. Sebagai tambahan berbagai penelitian yang tercantum
dalam tabel I, diperlukan pula beberapa perkiraan kuantitatif seperti ‘no effect’ dose – dosis
maksimum tidak terlihatnya suatu efek toksik tertentu; dosis letal minimum – dosis terkecil
yang dapat mematikan hewan percobaan; dan, bila perlu, dosis letal median (LD50) – dosis
yang mematikan sekitar 50% hewan.
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi ketoksikan
akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul pada hewan coba. Data
yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data kuantitatif yang berupa kisaran
dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang berupa gejala klinis.
Nurlaila, Donatus IA, Sugiyanto, Wahyono D, Suhardjono D. Petunjuk Praktikum
Toksikologi. 1st ed. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas
Farmasi, Universitas Gajah Mada; 1992. P. 3-5, 16-30.

Tipe Uji Pendekatan


Toksisitas akut Dosis akut yang mematikan sekitar 50% hewan percobaan
dan dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Biasanya dua
spesies, dua rute pemberian, dosis tunggal
Toksisitas subakut Tiga dosis, dua spesies. Mungkin diperlukan sekitar 4
minggu sampai 3 bulan sebelum uji klinis. Makin lama durasi
perencanaan penggunaan klinis, makin lama pula waktu uji
subakut
Toksisitas kronik Spesies hewan pengerat dan bukan pengerat. 6 bulan atau
lebih. Diperlukan jika obat dimaksudkan untuk digunakan
pada manusia dalam jangka waktu yang lama. Biasanya
berjalan bersamaan dengan uji klinis.
Efek terhadap perilaku Efek terhadap perilaku kawin, reproduksi, persalinan,
reproduksi keturunan, cacat saat lahir, dan perkembangan pascanatal
pada hewan.
Potensi karsinogenik Dua tahun, dua spesies. Diperlukan jika obat dimaksudkan
untuk digunakan pada manusia dalam jangka waktu yang
lama.
Potensi mutagenik Efek terhadap stabilitas dan mutasi genetik bakteri (Tes
Ames) atau sel-sel mamalia dalam kultur; tes letal dominan
dan klastogenisitas pada mencit.
Penelitian toksikologi Menentukan rangkaian dan mekanisme efek-efek toksik.
(Investigative toxicology) Menemukan berbagai gen, protein, dan jalur yang terlibat.
Mengembangkan metode baru untuk mengkaji toksisitas.
Hedi R. DewotoPengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka,
Departemen Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

3. Bagaimana uji preklinik dapat mengetahui tolerabilitas dan khasiat?


4. Apa saja kendala dalam uji preklinik?
Terdapat berbagai keterbatasan dalam uji praklinis yang penting untuk diketahui antara lain
sebagai berikut:
1. Uji toksisitas merupakan uji yang menyita waktu dan mahal. Diperlukan waktu sekitar 2
sampai 6 tahun untuk mengumpulkan dan menganalisa data serta memperkirakan
indeks terapeutik (suatu perbandingan antara jumlah senyawa yang memberikan efek
terapeutik dan yang menyebabkan efek toksik) obat sebelum dianggap layak uji pada
manusia.
2. Diperlukan jumlah yang besar hewan percobaan untuk mendapatkan data praklinis
yang sahih (valid). Para ilmuwan menaruh perhatian besar akan hal ini, dan berbagai
kemajuan telah dicapai untuk menurunkan jumlah hewan yang digunakan dengan tetap
mempertahankan kesahihan data. Kultur sel dan jaringan dengan berbagai metode in
vitro makin banyak digunakan, namun nilai perkiraan yang dihasilkan masih sangat
terbatas. Walaupun demikian, beberapa golongan masyarakat berusaha untuk
menghentikan semua uji menggunakan hewan percobaan dengan alasan yang tidak
berdasar bahwa hal ini tidak diperlukan lagi.
3. Ekstrapolasi indeks terapeutik dan data toksisitas dari hewan ke manusia dapat
memberikan perkiraan untuk sebagian besar toksisitas tetapi tidak seluruhnya. Untuk
menemukan suatu proses yang lebih maju, dibentuklah Predictive Safety Testing
Consortium, yakni suatu badan yang merupakan gabungan lima perusahaan farmasi
terbesar di Amerika Serikat denganFood and Drug Administration (FDA) sebagai badan
penasehat, untuk memperkirakan keamanan suatu pengobatan sebelum diujikan pada
manusia. Hal ini dicapai dengan cara menggabungkan berbagai metode laboratorium
yang dikembangkan secara internal dalam tiap perusahaan farmasi.
4. Untuk kepentingan statistik, berbagai efek samping yang jarang ditemui tidak mungkin
dideteksi.
www.kuliah.ftsl.itb.ac.id/wp.../09/3-uji-toksisitas.pdf

5. Bagaimana tahap pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka?

Tahap-tahap pengembangan dan pengujian fitofarmaka (Dep. Kes RI):


1. Tahap seleksi
Proses pemilihan jenis bahan alam yang akan diteliti sesuai dengan skala prioritas
sebagai berikut:
a. Jenis obat alami yang diharapkan berkhasiat untuk penyakit-penyakit utama
b. Jenis obat alamai yang memberikan khasiat dan kemanfaatan berdasar pengalaman
pemakaian empiris sebelumnya
c. Jenis OA yang diperkirakan dapat sebagai alternative pengobatan untuk penyakit-
penyakit yang belum ada atau masih belum jelas pengobatannya.
2. Tahap biological screening, untuk menyaring:
a. Ada atau tidaknya efek farmakologi calon fitofarmaka yang mengarah ke khasiat
terapetik (pra klinik in vivo)
b. Ada atau tidaknya efek keracunan akut (single dose), spectrum toksisitas jika ada,
dan sistem organ yang mana yang paling peka terhadap efek keracunan tersebut
(pra klinik, in vivo)
3. Tahap penelitian farmakodinamik
a. Untuk melihat pengaruh calon fitofarmaka terhadap masing-masing sistem biologis
organ tubuh
b. Pra klinik, in vivo dan in vitro
c. Tahap ini dipersyaratkan mutlak, hanya jika diperlukan saja untuk mengetahui
mekanisme kerja yang lebih rinci dari calon fitofarmaka.
4. Tahap pengujian toksisitas lanjut (multiple doses)
a. Toksisitas ubkronis
b. Toksisitas akut
c. Toksisitas khas/ khusus
5. Tahap pengembangan sediaan (formulasi)
a. Mengetahui bentuk-bentuk sediaan yang memenuhi syarat mutu, keamanan, dan
estetika untuk pemakaian pada manusia.
b. Tata laksana teknologi farmasi dalam rangka uji klinik, yakni:
 Teknologi farmasi tahap awal
 Pembakuan (standarisasi): simplisia, ekstrak , sediaan OA
 Parameter standar mutu: bahan baku OA, ekstrak, sediaan OA
6. Tahap uji klinik pada manusia, ada 4 fase yaitu:
a. Fase 1 : Dilakukan pada sukarelawan sehat
b. Fase 2 : Dilakukan pada kelompok pasien terbatas
c. Fase 3 : Dilakukan pada pasien dengan jmlh yang lebih besar dari fase 2
d. Fase 4 : Post marketing survailence, untuk melihat kemungkinan efek samping yang
tidak terkendali saat uji pra klinik maupun saat uji klinik fase 1-3.

6. Apa saja perbedaan in vitro dan in vivo?


In vitro:
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
Yang dimaksud uji in vitro adalah uji pada mikroba jika antibiotic; pada sel kanker dari
hewan utk obat anti kanker; pada plasmodium utk obat anti malaria; pada jamur missal
candida pada obat anti keputihan/candidiasis; pada cacing utk obat cacing; pada virus utk
obat antivirus; pada bagian organ tertentu dari hewan contoh obat asma bronkodilator diuji
pada otot polos trachea marmot; pada jantung hewan dalam chamber utk obat angina dan
aritmia; dll.
In vivo:
 Terletak di dalam tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi).
Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus
dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi
dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan
antara rodent dan non rodent.
Selain itu pemilihan jenis hewan yg dipilih pun harus tepat menggambarkan kondisi yg
diinginkan. Contohnya :
 Untuk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan
Wistar atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan
akan lbh baik dg jumlah sample yg banyak.
Fitokimia: Uji in vitro dan in vivo, elearning.unsri.ac.id
7. Apa saja syarat hewan yang digunakan untuk uji preklinik?
Hewan yang dipakai untuk suatu penelitian medis:
Yaitu Semua hewan. Disesuaikan dengan tujuan penelitian

 Menggunakan hewan utuh


Harmanto, Ning. Subroto, Ahkam. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek Samping.
Jakarta: Elex Media Komputindo.

Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai berikut:
 Berat badan lebih kecil dari 1 kg
 Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
 Mudah dipegang dan dikendalikan
 Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
 Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
 Lama hidup relative singkat
 Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University
Press.

Pada prinsipnya jenis hewan yang digunakan untuk uji toksisitas harus dipertimbangkan
berdasarkan sensitivitas, cara metabolisme sediaan uji yang serupa dengan manusia,
kecepatan tumbuh serta mudah tidaknya cara penanganan sewaktu dilakukan percobaan.
Hewan pengerat merupakan jenis hewan yang memenuhi persyaratan tersebut diatas,
sehingga paling banyak digunakan pada uji toksisitas. Hewan yang digunakan harus sehat;
asal, jenis dan galur, jenis kelamin, usia serta berat badan harus jelas. Biasanya digunakan
hewan muda dewasa, dengan variasi bobot tidak lebih dari 20%. Adapun kriteria hewan
yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1.
3 hal penting pemanfaatan hewan coba :
 Kesehatan hewan
 Pemilihan hewan
 Tujuan penelitian
Contoh:
Louis Pasteur :
1880 , menggunakan domba untuk penelitian tentang Anthrax.
Ivan Pavlov:
1890, menggunakan anjing untuk penelitian terapi diabetes.

CARA MEMEGANG (HANDLING) HEWAN UJI


Cara memegang hewan uji jenis rodensia berbeda antara tikus dan mencit pada
saat pemberian sediaan uji secara oral. Pemegangan yang benar sangat diperlukan
sewaktu pemberian sediaan uji, karena pemegangan yang salah dapat berakibat fatal.
Cara pemegangan yang salah dapat menyebabkan antara lain: sediaan uji yang diberikan
tidak dapat masuk kedalam lambung tetapi masuk kedalam paru-paru, sehingga
mengakibatkan kematian hewan uji. Disisi lain, pemegangan yang salah juga dapat
mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja seperti tergigit oleh hewan. Cara
pemegangan hewan yang benar dapat dilihat pada Gambar 2, 3 dan 4.
Gambar 2. Cara memegang mencit pada pemberian sediaan uji secara oral

Gambar 3. Cara memegang tikus pada pemberian sediaan uji secara oral

Gambar 4. Cara memegang kelinci


Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Nonklinik Secara In Vivo.

 Obat fertilitas: tikus galur SD  cepat berkembang biak


 Analgesik: mencit
 Antidiabetes: babi, sapi  pancreas lebih mirip manusia
 Antiemetic: burung merpati  bisa dirangsang muntah beberapa kali
 Antihipertensi: kucing, anjing  kardiovaskuler mirip
 Antiinflamasi: tikus
 Antipiretik: kelinci
 Asam urat  ayam, burung  metabolism mirip manusia
 Stamina: tikus, mencit  lebih tahan klu renang
 Uji libido dan kanker  tikus

8. apa saja landasan hukum penggunaan hewan coba dalam uji preklinik?
9. Bagaimana criteria tingkat toksisitas suatu bahan pada hewan coba?
10. Apa saja efek herbal yang ditimbulkan pada hewan coba?
 LD50 : menyatakan dosis obat yang dapat menyebabkan kematian pada 50% hewan
percobaan
 ED50 : menyatakan dosis obat yang dapat timbulkan efek (ex :kejang-kejang) pada
50% hewan percobaan.
Hollinger MA: Introduction to Pharmacology. Taylor & Francis, 1997.

11. Bagiamana cara melakukann uji preklinik?


12. Apa yang dimaksud dengan uji farmakologi?
13. Apa tujuan dari uji farmakologi?
14. Apa saja contoh dari uji farmakologi?
15. Apa yang dimaksud dengan uji toksikologi, tujuan dan contoh?
 Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi tingkat ketoksikan suatu zat/bahan yang
akan digunakan sebagai obat. Hasil yang diperoleh dari pelaksanaan uji toksisitas dapat
memberikan informasi tentang tingkat keamanan suatu zat/bahan pada hewan coba atau
bahan biologi lainnya sebelum zat/bahan tersebut digunakan di klinik.
 uji aktivitas (khasiat) obat adalah suatu uji untuk menentukan kebenaran khasiat suatu
bahan uji yang dibuktikan secara ilmiah dengan menggunakan metodologi dan parameter
yang ditentukan berdasarkan tujuan penggunaan bahan uji yang akan dipakai di klinik.

16. Apa saja macam-macam dan perbedaan dari uji toksikologi?


- Uji toksisitas akut adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu zat/bahan yang
dilakukan dalam kurun waktu tidak lebih dari 24 jam, dengan dosis tunggal atau dosis berulang.
Tujuan dilakukan uji toksisitas akut adalah disamping untuk menentukan bahaya pemaparan
suatu bahan secara akut, juga untuk menentukan batas keamanan (margin of safety) suatu
bahan dengan menentukan dosis yang menyebabkan kematian 50% pada hewan coba (lethal
dose 50% = LD50). Rute pemberian dalam pelaksanaan uji toksisitas akut pada hewan coba
dilakukan dengan 2 cara yakni (1) Cara pemberian yang di sarankan untuk dipakai di klinik, (2)
Cara pemberian intravena, jika memungkinkan, hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan bila
terjadi pemaparan bahan uji secara sistemik.

Kriteria tingkat ketoksikan suatu bahan berdasarkan LD50 pada hewan coba Derajat Ketoksikan
Derajat Ketoksikan LD50 Luar biasa toksik  1 mg/kg. bb. Sangat toksik 1-50 mg/kg.bb. Cukup
toksik 50-500 mg/kg. bb. Sedikit toksik 500-5000 mg/kg. bb. Praktis tidak toksik 5000–15.000
mg/kg.bb. Tidak berbahaya  15.000 mg/kg. bb.
Sumber: Lomis 1996.
- Uji toksisitas subkronis adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu zat/bahan
dengan dosis berulang dalam kurun waktu 14–90 hari namun WHO menyarankan sampai 180
hari tergantung dari lama waktu pemakaian obat yang akan digunakan di klinik.
Untuk bahan uji digunakan di klinik dalam waktu berkisar 1–3 hari seperti penggunaan obat
cacing (anthelmintik) maka lama uji toksisitas subkronis berlangsung 14 hari. Untuk bahan uji
yang dipakai di klinik berkisar 5–7 hari, seperti obat antibiotika, maka lama uji toksisitas
subkronis berlangsung 28 hari. Untuk bahan uji yang akan dipakai di klinik dalam kurun waktu 28
hari, maka lama uji toksisitas subkronis 90 hari, dan untuk pemakaian di klinik lebih dari 30 hari
seperti bahan uji untuk terapi penyakit degeneratif yakni obat hipertensi, obat diabetes mellitus,
obat tuberkulosis, obat kanker dan terapi supporting lainnya maka lama pengujian toksisitas
subkronis berkisar 90–180 hari. Tujuan dari pelaksanaan uji toksisitas subkronis adalah untuk
mengetahui adanya efek toksik setelah pemberian bahan uji secara berulang dalam jangka
waktu tertentu khususnya terhadap organ yang berfungsi vital di dalam tubuh hewan coba,
serta untuk mempelajari efek kumulatif bahan uji dalam tubuh.
- Uji toksisitas kronis adalah suatu uji untuk menentukan tingkat ketoksikan suatu bahan uji pada
hewan coba dengan dosis berulang dalam kurun waktu sepanjang umur hewan coba. Tujuan
dari uji toksisitas kronis adalah untuk mengetahui profil toksisitas suatu bahan uji secara
berulang dalam jangka panjang.

Uji Toksisitas Khusus


Uji toksisitas khusus adalah suatu uji yang khusus dilakukan untuk menentukan tingkat
ketoksikan suatu bahan uji yang diduga potensial dapat menimbulkan efek khusus pada hewan
coba seperti dapat mengganggu perkembangan fetus dalam kandungan, atau bahan uji yang
berdasarkan struktur kimia diduga potensial menyebabkan onkogenitas, atau bahan uji yang
dalam pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan secara genetik (genotoxicity).
Uji toksisitas khusus meliputi uji teratogenik, uji karsinogenik dan uji mutagenik. Uji toksisitas
khusus pada umumnya dipersyaratkan hanya untuk obat-obat yang akan di distribusikan untuk
negara Eropa dan Amerika Serikat, sedangkan di negara lain uji toksisitas khusus bukan
merupakan persyaratan mutlak dalam tahapan uji toksisitas pada penemuan obat baru. Uji
Teratogenik dilaksanakan dimulai dari tahap implantasi sampai tahapan organogenesis
sempurna (pada kelompok roden dilaksanakan pada hari ke 4 sampai hari ke 11 setelah kawin).
Pada tahap ini kemungkinan terjadi malformasi dalam perkembangan embrio akibat pemaparan
bahan uji. Parameter yang menjadi penilaian adalah terjadi abnormalitas pada perkembangan
fetus tanpa menimbulkan toksisitas bermakna pada induknya. Dalam beberapa literature
menyebutkan lingkup dari uji teratogenik mencakup semua aspek yang merupakan penyebab
dari proses abnormalitas perkembangan fetus sampai kelahiran yang dimulai dari uji
gametogenesis, fertilisasi, uji implantasi, uji embriogenesis, uji organogesis dan kelahiran. Uji
Karsinogenik dilaksanakan dalam jangka lama yakni pada tikus dalam waktu 24 bulan sedangkan
pada mencit 18 bulan. Berdasarkan Japenese Guidelines for Toxicity Studies lama uji pada tikus
130 minggu dan pada mencit 104 minggu. Parameter yang diamati adalah terbentuknya
neoplasma dan peningkatan kasus neoplasma sejalan dengan peningkatan dosis bahan uji. Uji
Mutagenik meliputi mutasi gen dan mutasi kromosomal. Mutasi gen adalah perubahan pada
sekuen nukleotida pada satu atau beberapa segmen yang dikode gen dalam bentuk substitusi
basa purin atau pirimidin, atau penghilangan/pergeseran basa tertentu yang berakibat
perubahan pada sekuen DNA. Mutasi kromosomal yaitu perubahan morfologi pada struktur
kromosom seperti abrasi kromosom, delesi kromosom.

http://repository.unair.ac.id/40108/1/gdlhub-gdl-grey-2016-melesdewak-40588-
pg.04-16-p.pdf
17. Apa yang dimaksud dengan uji farmakodinamik?
18. Apa contoh uji farmakodinamik?
19. Apa yang dimaksud dengan uji farmakokinetik dan contohnya?
KEGUNAAN FARMAKOKINETIKA Pengetahuan farmakokinetika berguna dalam berbagai bidang
farmasi dan kedokteran, seperti untuk bidang farmakologi, farmasetika, farmasi klinik,
toksikologi dan kimia medisinal.
Bidang farmakologi Pertama kali, dengan penelitian farmakokinetika dapat dibantu diterangkan
mekanisme kerja suatu obat dalam tubuh, khususnya untuk mengetahui senyawa yang mana
yang sebenarnya bekerja dalam tubuh; apakah senyawa asalnya, metabolitnya atau kedua-
duanya. Jika efek obat dapat dinilai secara kuantitatif, data kinetika obat dalam tubuh sangat
penting artinya untuk menentukan hubungan antara kadar/jumlah obat dalam tubuh dengan
intensitas efek yang ditimbulkannya. Dengan demikian daerah kerja efektif obat (therapeutic
window) dapat ditentukan.
Bidang farmasetica Dalam bidang farmasetika, farmakokinetika berguna untuk menilai
ketersediaan biologis (bioavailability) suatu senyawa aktif terapeutik dari sediaannya (sediaan
yang diberikan secara ekstravaskular). Seperti sudah banyak dibuktikan, kualitas zat aktif, jenis
dan komposisi bahan pembantu serta teknik pembuatan sediaan yang dipakai dalam pembuatan
suatu sediaan dapat mempengaruhi ketersediaan biologis zat aktif dari sediaan tersebut.
Sedangkan ketersediaan biologis zat aktif akan menentukan efektivitas terapeutik dari sediaan
yang bersangkutan. Selain itu, farmakokinetika dapat membantu menentukan pilihan bentuk
sediaan yang paling cocok/baik untuk dibuat.
Bidang farmasi klinik Untuk bidang farmasi klinik, farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan
yang cukup penting, yaitu : a) Untuk memilih route pemberian obat yang paling tepat. Apakah
harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan route lain seperti secara oral, rektal, dan lain-
lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah pemberian dalam
berbagai route pemberian, dan dengan mempertimbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan
oleh berbagai route pemberian tersebut. b) Dengan cara identifikasi farmakokinetika dapat
dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualization).
Sampai dengan saat ini cara identifikasi farmakokinetika merupakan cara yang paling tepat
untuk pengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah keija terapeutik
yang sempit seperti teofilin, dan lainlain. c) Data farmakokiketika suatu obat diperlukan dalam
penyusunan aturan dosis yang rasional. d) Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi
obat, baik antara obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan atau minuman.
Bidang toksikologi Dalam bidang ini farmakokinetika dapat membantu menemukan sebab-
sebab terjadinya efek toksik dari pemakaian suatu obat.
Bidang kimia medisinal Dalam bidang kimia medisinal, pengetahuan farmakokinetika dan data
farmakokinetika suatu senyawa obat dapat membantu memberikan arah terhadap sintesis
senyawa-senyawa obat baru yang lebih unggul: potensi lebih tinggi, stabilitas
20. Apa yang dimaksud uji mutagenic, tujuan serta contohnya?
21. Apa yang dimaksud dengan uji teratogenik, tujuan serta contohnya?

Anda mungkin juga menyukai