Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini, perawatan luka telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat terutama dalam dua dekade terakhir ini. Teknologi dalam bidang kesehatan
juga memberikan kontribusi yang sangat untuk menunjang praktek perawatan luka
ini. Disamping itu pula, isu terkini yang berkait dengan manajemen perawatan
luka ini berkaitan dengan perubahan profil pasien, dimana pasien dengan kondisi
penyakit degeneratif dan kelainan metabolik semakin banyak ditemukan. Kondisi
tersebut biasanya sering menyertai kekompleksan suatu luka dimana perawatan
yang tepat diperlukan agar proses penyembuhan bisa tercapai dengan optimal.1
Luka adalah suatu keadaan putusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh
cedera atau pembedahan.2 Seseorang yang menderita luka akan merasakan adanya
ketidaksempurnaan yang pada akhirnya cenderung untuk mengalami gangguan
fisik dan emosional sehingga berdampak pada kualitas hidupnya. Pada dasarnya,
dalam perawatan luka pemilihan teknik perawatan dan produk yang tepat harus
berdasarkan pertimbangan biaya (cost), kenyamanan (comfort), dan keamanan
(safety).3 Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS)
sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian
kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang
ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan anatomi kulit. Proses
tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama terutama bila terdapat faktor
resiko yang dapat memperlambat proses penyembuhan luka. Luka merupakan
faktor yang menyebabkan masalah biopsikososial spiritual dan ekonomi sampai
kematian karena sepsis. Secara sosial, seorang penderita luka kronis dapat
dikucilkan oleh orang lain karena pengaruh kotor dan bau yang di timbulkan.4
Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah perawatan luka
dengan menggunakan prinsip moisture balance, dimana disebutkan dalam
beberapa literature lebih efektif untuk proses penyembuhan luka bila

3
4

dibandingkan dengan metode konvensional. Metode ini belum banyak dikenal


dalam dunia medis di Indonesia. Asia Pacific Wound Care Congress (APWCC)
mencatat bahwa hingga tahun 2012, di Indonesia setidaknya baru ada 25 rumah
sakit. Kendala dalam perawatan luka di Indonesia adalah adanya anggapan bahwa
material perawatan luka modern cukup mahal, dan tidak cocok untuk masyarakat
Indonesia. Padahal, luka akut yang dirawat dengan metode konvensional
umumnya lebih lama sembuh. Semakin lama luka, maka bekas parut yang
dihasilkan akan semakin parah. Sedangkan luka yang dirawat dengan metode
modern akan membantu proses penyembuhan semakin cepat, sehingga kepulihan
kualitas hidup pasien bisa lebih cepat sekaligus menghemat waktu dan biaya
perawatan.5
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Luka (wound) merupakan adanya diskontinuitas dan/atau kerusakan
jaringan tubuh yang menyebabkan gangguan fungsi. Luka pada kulit, otot,
tulang, pembuluh darah, maupun organ seperti jantung, usus dan sebagainya,
semuanya melalui suatu proses reparatif yang serupa (similar) dan dapat di
prediksi (predictable).3
Luka berdasarkan lama penyembuhan dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis, yaitu :3
1. Luka akut
Luka akut adalah luka dalam hitungan jam (s/d 8 jam). Luka yang
dibiarkan lebih dari 8 jam dinamakan neglected wound (luka yang
terabaikan). Luka akut umumnya merupakan luka traumatik,
contohnya luka tertusuk, terpotong, abrasi, laserasi, luka bakar, dan
luka traumatik lainnya.
2. Luka kronik
Luka kronis adalah luka yang berlangsung lebih dari 2 minggu tanpa
melewati fase-fase penyembuhan secara sempurna; atau merupakan
luka yang berulang. Contohnya adalah luka akibat tekanan.

2.2 Fisiologi Luka2,3


Ada beberapa fase penyembuhan luka, yakni :
a. Fase inflamasi : berupa hemostasis dan inflamasi.
b. Fase proliferatif : terdiri dari epitelisasi, angiogenesis, pembentukan
jaringan granulasi dan deposisi kolagen.
c. Fase maturasi : kontraksi, pembentukan jaringan parut (scar tissue),
6

remodeling.

(a) (b) (c)


Gambar 2.1 Fase penyembuhan luka. (a) fase inflamasi penyembuhan luka segera
setelah terjadi kerusakan jaringan, (b) fase proliferasi penyembuhan luka hari ke 4
sampai hari ke 21 dimana terdapat penutupan permukaan luka oleh jaringan
granulasi dan keratosit, (c) fase remodelling dimana fibroblas dan jaringan
kolagen serta terbentuknya jaringan parut.

Umumnya luka yang akut akan melalui tahapan fase diatas dengan baik, jika
dilakukan perawatan luka yang benar. Namun jika perawatan luka dilakukan
dengan sembarangan dan menyalahi prinsip-prinsip perawatan luka, maka luka
dapat menjadi kronis karena adanya fase penyembuhan yang tidak terlewati
dengan dengan sempurna. Pada luka-luka seperti ini tentunya memerlukan
pemahaman perawatan luka yang benar karena jelas luka tersebut lebih sulit
untuk sembuh.

Gambar 2.3 Grafik fase penyembuhan luka

Fase-fase dalam penyembuhan luka (khususnya pada kulit dan jaringan di


bawahnya) umumnya memiliki pola dan waktu yang serupa seperti terlihat
7

pada tabel dibawah ini :

Tabel 2.1. Fase dan waktu penyembuhan luka serta sel yang berperan
Fase penyembuhan luka Waktu Sel yang
berperan
Hemostasis Segera (menit) Platelet
Inflamasi Hari 1-3 Neutrofil
Makrofag
Proliferasi sel Hari 3-21 Makrofag
Granulasi dan matrix repair Hari 7-21 Limfosit
Angiosit
Neurosit
Fibroblast
Epitelialisasi Hari 3-21 Keratinosit
Remodelling/ pembentukan scar Hari 21-beberapa tahun Fibrosit

Fase inflamasi Fase proliferasi Fase Remodelling


Gambar 2.2. Gambaran Fase Penyembuhan Luka

Jenis dari penyembuhan luka terdiri dari:


1. Primary wound healing (penyembuhan luka primer): terjadi saat
pinggirian luka (wound edges) yang bersih dan masih vital (tidak
8

iskemik/ nekrosis) ditemukan dengan aprokmasi yang baik (biasanya


penjahitan) sehingga fase pembentukan jaringan granulasi lebih cepat
dan epitelialisasi langsung terjadi dalam beberapa hari (1-3 hari).3
2. Secondary wound healing (penyembuhan luka sekunder): terjadi pada
luka yang cukup dalam /lebar dan jarak antara ujung-ujung luka terlalu
jauh, sehingga tidak dapat dilakukan penjahitan secara langsung.
Seluruh fase penyembuhan luka secara spontan akan dilewati sesuai
dengan dalam/luasnya luka dan tergantung dari penyakit yang
mendasarinya.3
3. Tertiary wound healing (penyembuhan luka tersier): terjadi pada luka
yang kurang vital/jaringan nekrotik cukup banyak/luka cukup
dalam/luka kotor dan memerlukan tindakan debridemen/nekrotomi
terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu (hingga luka cukup vital
dan bersih), untuk kemudian melewati fase-fase penyembuhan luka.3

2.3 Prinsip Perawatan Luka


Prinsip perawatan luka secara umum adalah :
1. Debridement
Seluruh materi asing/nonviable/jaringan nekrotik merupakan debris dan
dapat menghambat penyembuhan luka sehingga diperlukan tindakan untuk
membersihkan luka dari semua materi asing ini. Nekrotomi (pembuangan
jaringan nekrotik) juga termasuk dalam debridemen luka. Debridemen
dapat dilakukan berkali-kali (bertahap) sampai seluruh dasar luka (wound
bed) bersih dan vital.6
2. Moist wound bed
Dasar luka (wound bed) harus selalu lembab. Lembab bukan berarti
basah. Kassa yang direndam dalam larutan seperti Nacl itu basah bukan
lembab, karena kassa yang basah dapat menjadi kering sehingga tidak
pernah menjadi lembab. Lembab yang dimaksud adalah adanya eksudat
yang berasal dari sel di dasar luka yang mengandung sel-sel darah putih,
growth factors, dan enzim-enzim yang berguna dalam proses
9

penyembuhan luka. Suasana lembab ini harus dipertahankan dengan


diikuti pencegahan infeksi dan pembentuka pus.6
3. Prevent further injury
Jaringan disekitar luka biasanya mengalami inflamasi sehingga ikatan
antar selnya kurang kuat. Saat merawat luka dianjurkan untuk tidak
membuat luka/kerusakan baru dijaringan sekitarnya. Imobilisasi lama juga
dapat menyebabkan kerusakan jaringan lainnya misalnya terbentuk ulkus
dekubitus, infeksi sekunder, bahkan pneumonia.6
4. Nutritional therapy
Nutrisi adalah suatu terapi bukan hanya sebagai suplemen/tambahan.
Terapi nutrisi sangat penting dalam proses penyembuhan luka sebab
komponen jaringan yang rusak harus diganti. Pada setiap luka memerlukan
elemen pengganti yang didapatkan dari asupan nutrisi.6
5. Treat underlying diseases
Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses penyembuhan luka
adalah penyakit yang mendasari luka tersebut misalnya Diabetes Melitus,
CVI, Sindroma Lupus Erimatosus, dll. Jika penyakit yang mendasarinya
tidak diatasi, kemungkian besar luka akan sulit sembuh.
6. Work with law of nature
Pepatah mengatakan “time heals all wounds”. Sesungguhnya
penyembuhan luka dilakukan oleh tubuh penderita sendiri. Yang dapat kita
lakukan adalah memberikan suasana dan kondisi ideal agar luka dapat
sembuh tanpa adanya hambatan/gangguan.jika seluruh faktor yang
menghambat penyembuhan luka dapat diatasi (mulai dari faktor sistemik
sampai keadaan status lokalis itu sendiri) maka tidak ada alasan luka tidak
dapat sembuh.

2.4 Perawatan Luka Konvensional dan Modern3,6


Perawatan luka konvensional :
1. Tidak mengenal perawatan luka lembab
2. Kassa lengket pada area luka
10

3. Luka dalam kondisi kering


4. Pertumbuhan jaringan lambat
5. Infeksi lebih banyak
6. Balutan luka hanya menggunakan kassa
7. Luka terbuka/tertutup

Perawatan luka modern :


1. Perawatan luka lembab (moist wound care)
2. Kassa tidak lengket pada area luka
3. Luka dalam kondisi lembab
4. Pertumbuhan jaringan lebih cepat
5. Infeksi sedikit
6. Balutan luka modern
7. Luka tertutup dengan balutan luka

Manajemen luka konvensional


1. Manajemen luka sebelumnya tidak mengenal adanya lingkungan luka yang
lembab
2. Manajemen luka yang lama atau disebut metode konvensional hanya
membersihkan luka dengan larutan salin normal atau ditambahkan dengan
povidine iodin, atau hidrogen peroksida (H2O2). Antiseptik seperti itu
dapat mengganggu proses penyembuhan luka, tidak hanya membunuh
kuman tapi membunuh leukosit yang bertugas membunuh kuman patogen,
kemudian ditutup dengan kassa kering.
3. Ketika akan merawat luka di hari berikutnya, kassa tersebut menempel
pada luka dan menyebabkan rasa sakit pada pasien, disamping itu sel-sel
yang baru tumbuh pada luka juga menjadi rusak.
4. Luka dalam kondisi kering dapat memperlambat proses penyembuhan dan
akan menimbulkan bekas luka.
11

Manajemen luka modern


1. Perawatan luka lembab (moist wound healing) diawali pada tahun 1962
oleh Prof. Winter. Moist wound healing merupakan suatu metode yang
mempertahankan lingkungan luka tetap lembab untuk memfasilitasi proses
penyembuhan luka.
2. Lingkungan luka yang lembab dapat diciptakan dengan occlusive dressing
(perawatan luka tertutup).
Menurut Gitarja (2002), adapun alasan dari teori perawatan luka dengan
suasana lembab ini antara lain:
1. Mempercepat fibrinolisis. Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat
dihilangkan lebih cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana
lembab.
2. Mempercepat angiogenesis. Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka
tertutup akan merangsang lebih pembentukan pembuluh darah dengan
lebih cepat.
3. Menurunkan resiko infeksi
4. Kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
perawatan kering.
5. Mempercepat pembentukan Growth factor. Growth factor berperan pada
proses penyembuhan luka untuk membentuk stratum corneum dan
angiogenesis, dimana produksi komponen tersebut lebih cepat terbentuk
dalam lingkungan yang lembab.
6. Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif. Pada keadaan lembab,
invasi netrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit dan limfosit ke daerah
luka berfungsi lebih dini.

2.5 Jenis-Jenis Perawatan Luka


1. Perawatan luka akut
Secara umum 8 jam pada luka akut ditentukan sebagai golden period
untuk luka. Jaringan tubuh yang dibiarkan iskemik (tidak mendapat
12

oksigen dari darah) selama lebih dari 8 jam akan menjadi nekrosis dan
kerusakannya tidak dapat dikembalikan ke keadaan normal (sering disebut
irreversibel injury). Maka dari itu sebaiknya perawatan luka dimulai
secepatnya sejak luka/injury terjadi dan tidak menunggu hingga nekrosis.
Luka akut yang bersih (acute clean wound) misalnya luka sayatan
pisau yang bersih dapat segera ditutup/dijahit sehingga terjadi
penyembuhan luka secara primer (primary wound healing). Luka akut
yang kotor memerlukan penanganan debridemen terlebih dahulu sebelum
penjahitan luka sesuai dengan prinsip penanganan luka secara umum.
Debridemen pada luka akut dilakukan sesegera mungkin setelah luka
terjadi. Penggunaan antiseptik pada luka masih kontroversial karena
beberapa pendapat mengatakan bahwa luka tidak harus steril dan flora
normal pada luka masih diperlukan untuk melawan kuman patogen.
Penggunaan antiseptik seperti betadine, alkohol atau peroksida dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan sehingga tidak dianjurkan untuk
digunakan pada luka terbuka. Larutan ideal digunakan untuk debridemen
adalah cairan fisiologis (NaCl 0.9%) sebanyak mungkin sampai luka
menjadi bersih.
Setelah dilakukan debridemen luka dengan benar, luka kemudian dinilai
apakah dapat langsung dilakukan penutupan/penjahitan. Jika luka akut
tersebut kotor namun masih dapat ditutup dengan penjahitan sebaiknya
dipasang drain sebagai pencegahan jika terbentuk pus dikemudian hari.
Jika luka akut tersebut cukup besar/dalam dan penjahitan sulit dilakukan
maka sebaiknya dipilih jenis perawatan/penyembuhan luka sekunder
(perawatan luka terbuka).
Luka pasca operasi umumnya merupakan luka akut steril sehingga
dapat dipertahankan sampai 3 hari untuk kemudian dilakukan penggantian
dressing. Waktu 3 hari dipakai sebagai patokan sesuai waktu yang
diperlukan bagi luka untuk melewati fase proliferasi dan epitelialisasi pada
luka akut tipe primary healing/repair. Saat epitelialisasi ujung-ujung luka
terjadi, luka tersebut bukan lagi dinamakan luka terbuka, oleh karena itu
13

dapat dilakukan wound dressing dan pencucian. Pencucian dilakukan


dengan menggunakan air atau Nacl fisiologis untuk mencuci krusta dan
kemungkinan adanya kuman yang menempel saat dressing dibuka. Oleh
karena itu pasien boleh mandi setelah dressing atau balutan dibuka dan
luka harus dicuci saat mandi. Setelah itu luka dikeringkan dan dapat
langsung ditutup dengan dressing yang baru. Penggunaan antiseptik
(betadine, alkohol, dll) masih tetap kontroversial,

2. Perawatan luka kronik


Mungkin saja suatu saat luka kronis dapat melalui seluruh fase
penyembuhan namun tanpa mempertahankan fungsi dan struktur anatomis
yang benar. Luka dapat menjadi kronis jika terdapat hambatan/ gangguan
saat melewati fase-fase penyembuhan, misalnya ada penyakit yang
mendasari (biasanya penyakit kronis pula seperti diabetes, dll), nutrisi
yang kurang, atau akibat perawatan luka yang tidak benar.3
Gangren diabetikum merupakan salah satu contoh luka kronis yang
paling sering dijumpai dan sering berakhir dengan tindakan amputasi.
Perawatan luka secara baik dan benar yang dibarengi dengan kontrol
glukosa yang teratur sesungguhnya dapat mencegah tindakan amputasi
yang berlebihan.4
Secara prinsip perawatan luka kronis tidak banyak berbeda dengan luka
akut. Debridemen dan nekrotomi harus dilakukan secara rutin untuk
menghilangkan faktor penghambat penyembuhan luka. Debridemen dapat
dilakukan secara bertahap untuk mngurangi kemungkinan further injury
pada jaringan sehat disekitar luka. Prinsip moist wound bed pun harus
dilakukan dengan pemilihan wound dressing yang tepat. Nutrisi dan
pengobatan penyakit yang mendasari juga harus selalu dievaluasi supaya
pasien memperoleh asupan gizi yang baik untuk mempercepat
penyembuhan luka.
Substansi biokimia pada cairan luka kronik berbeda dengan luka akut.
Produksi cairan kopious pada luka kronik menekan penyembuhan luka dan
14

dapat menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan pada luka kronik
ini juga menghancurkan matrik protein ekstraselular dan faktor-faktor
pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel,
dan membunuh matrik jaringan. Dengan demikian, untuk mengefektifkan
perawatan pada dasar luka, harus mengutamakan penanganan cairan yang
keluar dari permukaan luka untuk mencegah aktifitas dari biokimiawi yang
bersifat negatif/merugikan.6
Luka maligna (malignant wound), suatu luka yang timbul akibat adanya
sel-sel neoplasma maligna di sekitar luka tersebut, juga dapat
dikategorikan sebagai luka kronis. Meskipun demikian, penanganan luka
yang mengikuti prinsip-prinsip diatas dapat menghasilkan penyembuhan
luka yang baik.

3. Moist Wound dressing


Metode moist wound healing adalah metode untuk mempertahankan
kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban,
sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara
alami. Dressing yang ideal harusnya mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Memertahankan kelembaban dasar luka
b. Dapat mengontrol perumbuhan kolonisasi bakteri
c. Bersifat absorben
d. Mudah digunakan
e. Berfungsi sebagai barrier dari bakteri
f. Penggantian dressing yang efektif
g. Menyebakan pembentukan jaringan granulasi yang sehat
h. Memulai epitelialisasi
i. Aman
j. Mengurangi dan menghilangkan nyeri pada tempat luka
k. Saat pelepasan tidak menyebabkan nyeri
l. Murah. Biaya pembelian balutan oklusif lebih mahal dari balutan kasa
konvensional, tetapi dengan mengurangi frekuensi penggantian balutan
15

dan meningkatkan kecepatan penyembuhan dapat menghemat biaya.

Gambar 2.3. Perbandingan permukaan luka yang lembab dan luka terbuka

Perbandingan permukaan luka yang lembab dengan luka yang terbuka:6


 Kelembaban meningkatkan epitelisasi 30-50%
 Kelembaban meningkatkan sintesa kolagen sebanyak 50 %
 Rata-rata re-epitelisasi dengan kelembaban 2-5 kali lebih cepat
 Mengurangi kehilangan cairan dari atas permukaan luka

2.6 Jenis Perawatan Luka Modern


Berbagai macam tipe dari balutan (wound dressing), mulai dari yang
kontroversial hingga yang advanced. Dressing kontroversial yang masih
digunakan sampai sekarang adalah kassa (cotton gauze). Advance dressing sangat
beragam jenisnya diantaranya pengaplikasian madu, larva Maggot, film dressing,
hydrocolloids, alginate, VAC (vacuum assted closure), bioceramics.

A. Perawatan luka dengan madu7,8


Madu merupakan bahan yang tidak membuat iritasi, tidak beracun, mudah
tersedia, dan relatif murah. Madu telah dilaporkan memiliki sifat antimikroba
yang baik. Selain itu madu juga efektif dalam penyembuhan luka, hampir
semua jenis luka responsif terhadap perawatan dengan madu. Penggunaan
madu dalam dressing luka dapat mempercepat proses penyembuhan luka
16

karena efeknya yang menstimulasi proses penyembuhan luka, mencegah


infeksi, menstimulasi pertumbuhan jaringan granulasi, mengurangi
peradangan dan dressing jaringan yang tidak melekat.

(a) (b)
Gambar 2.4. (a) Aplikasi madu secara konvensional sebagai wound dressing
(b) Produk perawatan luka dan wound dressing berbahan dasar
madu
Mekanisme pasti yang mendasari proses penyembuhan luka dengan
menggunakan madu masih belum diketahui, namun beberapa penelitian
mengatakan bahwa madu bekerja melalui penurunan kadar ROS, selain itu
madu juga memiliki efek antibakteri dan pH yang rendah dengan kandungan
asam bebas yang tinggi. Hal ini penting dalam membantu proses
penyembuhan luka. Disamping itu jenis luka dan derajat keparahan luka juga
mempengaruhi dalam keberhasilan perawatan luka dengan madu. Madu yang
digunakan harus dalam jumlah yang cukup sehingga bila terkena eksudat luka
maka madunya tidak langsung hilang. Pemberiannya harus menutupi dan
mencakup seluruh bagian luka hingga kebagian tepinya. Hasil yang lebih baik
didapatkan bila madu diberikan pada dressing dibandingkan dengan dioleskan
langsung pada lukanya. Semua rongga harus terisi oleh madu dan dressing
membentuk suatu oklusi untuk mencegah madu keluar dari luka.
Pengaruh madu dalam menyembuhkan luka merupakan hasil dari
gabungan efek debrimen secara kimiawi pada jaringan nekrotik dan
devitalisasi jaringan dari ulkus oleh katalase, penyerapan edema melalui sifat
higroskopis dari madu, merangsang pertumbuhan jaringan granulasi, dan
17

epitelisasi dari tepi luka, sifat bakterisid dan fungisid madu, gizi untuk
jaringan, dan produksi H2O2 yang dihasilkan.8
Madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air, dengan asam
organik, vitamin, enzim, dan mineral, tetapi memiliki berat jenis 1,4 dan pH
3,6.7 Pengobatan dengan madu sederhana dan tidak mahal serta tidak perlu di
buat steril terlebih dahulu karena sudah memiliki sifat bakterisid dan fungisid,
memiliki viskositas yang tinggi sehingga membentuk penghalang fisik,
menciptakan lingkungan luka yang lembab sehingga mempercepat proses
penyembuhan luka.8

Gambar 2.5. Penyembuhan luka dengan aplikasi madu

B. Maggot Debridement Therapy (MDT)9


Penggunaan larva untuk proses penyembuhan luka telah tercatat dengan
baik selama berabad-abad. Efek dari penggunaan larva pada luka pertama kali
diperkenalkan oleh Ambrosius Pare tahun 1557.9 Pembentukan jaringan
granulasi ditingkatkan oleh penggunaan dari belatung. Aplikasi klinis pertama
penggunaan belatung dilakukan oleh JF Zakharia dan J jones pada perang
saudara di Amerika. Kemudian William Bear menyempurnakan metode ini
dengan menggunakan belatung yang telah disterilkan untuk mencegah
terjadinya infeksi pada luka. Terapi dengan metode ini semakin banyak
digunakan terutama untuk luka kronis dan luka yang terinfeksi di Amerika
Utara dan Eropa selama tahun 1930. Dengan meluasnya penggunaan
antibiotik, MDT in kemudian ditinggalkan. Dan kembali digunakan sekitar
akhir tahun 1990-an dimana telah banyak ditemukan resistensi bakteri
terhadap antibiotik.9
Larva dari lalat hijau Lucilia Sericata adalah larva yang paling umum
18

digunakan untuk MDT. Larva yang berukuran 1-2 mm akan menetas dari
telurnya dalam waktu 12-24 jam. Mereka akan memakan jaringan yang
nekrotik dalam kondisi lingkungan luka yang lembab. Dalam 4-5 hari mereka
akan menjadi dewasa dengan ukuran 10 mm, kemudian menjadi kepompong
dan lalat dewasa.

Gambar 2.6. Daur Hidup Lalat


Larva yang digunakan dalam MDT harus steril untuk mencegah terjadinya
kontaminasi. Larva yang digunakan adalah larva yang baru menetas dari
telurnya. Dan larva harus digunakan dalam waktu 8 jam dan disimpan dalam
kulkas dengan suhu 8°-10°C, sehingga dapat memperlambat metabolisme
tubuh mereka. Untuk memaksimalkan debridemen, hal yang penting untuk
diperhatikan adalah pasokan oksigen pada luka dan kelembaban luka. Namun
luka yang terlalu lembab juga akan mematikan larva.
Tiga enzim proteolitik telah diidentifikasi dalam eksresi/sekresi (ES)
belatung. Enzim ini efektif mendegradasi komponen matriks ektraseluler,
termasuk laminin dan fibronektin. Dalam ES juga telah diindentifikasi adanya
zat antibakteri. ES menghambat perkembangan bakteri gram negatif dan gram
positif termasuk stafilokokus aureus yang resisten meticilin (MRSA), E.coli,
dan pseudomonas aeruginosa. ES juga menghasilkan amonia sehingga
menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan
bakteri. Selain itu, penelitian lain mengungkapkan bahwa larva L sericata
juga mencerna dan membunuh bakteri yang terdapat dalam luka.
Maggot juga menyebabkan peningkatan proliferasi dari fibroblas sehingga
19

akan mempercepat proses penyembuhan luka. Selain itu ES juga mengandung


sitokin, kandungan gamma-interferon dan interleukin-10 (IL-10) juga
meningkatkan jaringan granulasi pada luka. Maggot debridement therapy
terutama digunakan untuk membersihkan dan desinfektan pada luka kronis
yang kotor, banyak jaringan nekrotik, dan terinfeksi. Berbagai penelitian
menunjukkan kemajuan MDT dalam mengobati luka yang gagal
disembuhkan. Larva ini efektif membersihka jaringan nekrotik dan eksudat
tanpa merusak jaringan sehat disekitarnya. Hal ini akan merangsang
timbulnya jaringan granulasi dan mengurangi bau. MDT bermanfaat pada
berbagai jenis luka kronis.9,10

Tabel . Jenis luka yang dapat di terapi dengan MDT9


Jenis Luka
Ulkus diabetik Ulkus iskemik / arterial

Ulkus venous Ulkus tekanan

Ulkus neuropati (non-diabetik) Thromboangitis obliterans

Luka / ulkus post-trauma Necrotising fascitis

Abses malleolus Sinus pilonidal

Grossly infected toe Osteomyelitis

Luka infeksi pasca replantasi lengan Luka pasca prostese lutut


bawah
Luka infeksi pasca operasi payudara Luka tembak terinfeksi

Luka pada keganasan Luka bakar

Luka kronis pasca operasi Luka terinfeksi S. aureus yang resisten


terhadap methisilin
Kombinasi ulkus venous-arterial Mastoiditis sub-akut

Tidak semua jenis luka dapat menggunakan MDT, MDT tidak boleh
digunakan pada luka yang kering karena maggot tidak bisa hidup di
lingkungan tersebut. Selain itu penggunaan MDT juga harus di hindari pada
20

luka terbuka organ berongga dan luka di dekat pembuluh darah besar.

(a)

(b)
Gambar 2.7. (a) Aplikasi MDT pada luka Buerger Disease
(b) Aplikasi MDT pada Diabetic Ulcer

C. Film Dressing
Penggunaan balutan luka dengan Film Dressing lebih sering digunakan
sebagai secondary dressing dan untuk luka-luka superfisial dan non-
eksudatif atau untuk luka post-operasi. Balutan ini terbuat dari
polyurethane film yang disertai perekat adhesif dan tidak menyerap
eksudat.
Penggunaan balutan luka dengan Film Dressing diindikasikan untuk luka
dengan epitelisasi, eksudat sedikit, dan luka insisi. Balutan luka jenis ini
kontraindikasi untuk luka terinfeksi dan memiliki eksudat yang banyak.
21

Gambar 2.8. Transparant Film Dressing

D. Hydrocolloids
Balutan ini mengandung partikel hydroactive (hydrophillic) yang
terikat dalam polymer hydrophobic. Partikel hydrophillic dapat
mengabsorbsi kelebihan kelembaban pada luka dan mengonversikannya ke
dalam bentuk gel sehingga kestabilan kelembaban luka akan terjaga.
Balutan ini akan mempertahankan luka dalam suasana lembab, melindungi
luka dari trauma dan mengindarkan luka dari resiko indeksi. Hydrocolloid
tidak lengket pada luka sehingga balutan dapat diganti tanpa menyebabkan
trauma atau rasa sakit saat penggantian balutan.
Hydrocolloid terbuat dari pektin, gelatin, carboxy-methylcellulose, dan
elastomers. Balutan ini diindikasikan untuk luka kemerahan dengan
epitelisasi dan eksudat minimal. Tidak dianjurkan untuk luka terinfeksi.
22

Gambar 2.9. Hydrocolloid dressing pada luka dengan eksudat minimal

E. Alginate
Alginate terbuat dari rumput laut yang berubah menjadi gel jika bercampur
dengan eksudat luka. Alginate digunakan untuk dressing primer dan masih
memerlukan balutan sekunder. Alginate dapat digunakan selama 7 hari.
Alginate akan membentuk gel di atas permukaan luka yang berfungsi
menyerap cairan luka yang berlebihan dan menstimulasi proses
pembekuan darah.
Balutan dengan alginate diindikasikan untuk luka degnan eksudat sedang
sampai berat. Kontraindikasi pada luka dengan jaringan nekrotik dan
kering.

(a)
23

(b)
Gambar 2.10. Calcium Alginate dressing. (a) mekanisme kerja alginate
pada luka, (b) bentuk sediaan alginate dressing

F. Foam Dressing
Mengandung Polyurethane foam, tersedia dalam kemasan lembaran atau
‘cavity filling’. Foam memiliki kapasitas tinggi untuk mengabsorbsi
eksudat yang banyak dan mampu menyerap kelebihan kelembaban
sehingga mengurangi resiko maserasi. Foam dressing tidak menimbulkan
nyeti dan trauma pada jaringan luka saat penggantian perban dilakukan.
Foam dressing dapar digunakan sebagai dressing primer atau sekunder.

Gambar 2.11. Bentuk sediaan Foam Dressing


24

2.7 Implementasi Jenis Perawatan Luka dengan Jenis Luka3,5


A. Luka dengan eksudat & jaringan nekrotik (sloughy wound)
 Bertujuan untuk melunakkan dan mengangkat jaringan mati (slough
tissue)
 Sel-sel mati terakumulasi dalam eksudat
 Untuk merangsang granulasi
 Mengkaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
 Balutan yang dipakai antara lain: hydrogels, hydrocolloids, alginates dan
hydrofibre dressings
B. Luka Nekrotik
 Bertujuan untuk melunakan dan mengangkat jaringan nekrotik (eschar)
 Berikan lingkungan yg kondusif u/autolisis
 Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
 Hydrogels, hydrocolloid dressing
C. Luka terinfeksi
 Bertujuan untuk mengurangi eksudat, bau dan mempercepat penyembuhan
luka
 Identifikasi tanda-tanda klinis dari infeksi pada luka
 Wound culture – systemic antibiotics
 Kontrol eksudat dan bau
 Ganti balutan tiap hari
 Hydrogel, hydrofibre, alginate, metronidazole gel (0,75%), carbon
dressings, silver dressings
D. Luka Granulasi
 Bertujuan untuk meningkatkan proses granulasi, melindungi jaringan yang
baru, jaga kelembaban luka
 Kaji kedalaman luka dan jumlah eksudat
 Moist wound surface – non-adherent dressing
 Treatment overgranulasi
 Hydrocolloids, foams, alginates
25

E. Luka epitelisasi
 Bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk “re-
surfacing”
 Transparent films, hydrocolloids
 Balutan tidak terlalu sering diganti
F. Balutan kombinasi
 Untuk hidrasi luka : hydrogel + film atau hanya hydrocolloid
 Untuk debridement (deslough) : hydrogel + film/foam atau hanya
hydrocolloid atau alginate + film/foam atau hydrofibre + film/foam
 Untuk memanage eksudat sedang s.d berat : extra absorbent foam atau
extra absorbent alginate + foam atau hydrofibre + foam atau cavity filler
plus foam
26

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Penggunaan ilmu dan teknologi serta inovasi produk perawatan luka dapat

memberikan nilai optimal jika digunakan secara tepat. Prinsip utama dalam

manajemen perawatan luka adalah pengkajian luka yang komprehensif agar dapat

menentukan keputusan klinis yang sesuai dengan kebutuhan pasien. Diperlukan

peningkatan pengetahuan dan keterampilan klinis untuk menunjang perawatan

luka yang berkualitas, terutama dalam penggunaan modern dressing.

Teknik pembalutan luka (wound dressing) saat ini berkembang pesat dan

dapat membantu dokter dan pasien untuk menyembuhkan luka kronis. Prinsip

lama yang menyebutkan penanganan luka harus dalam keadaan kering, ternyata

dapat menghambat penyembuhan luka, karena menghambat proliferasi sel dan

kolagen, tetapi luka yang terlalu basah juga akan menyebabkan maserasi kulit

sekitar luka. Memahami konsep penyembuhan luka lembap, pemilihan bahan

balutan, dan prinsip-prinsip intervensi luka yang optimal merupakan konsep kunci

untuk mendukung proses penyembuhan luka. Perawatan luka menggunakan

prinsip kelembapan seimbang (moisture balance) dikenal sebagai metode modern

dressing dan memakai alat ganti balut yang lebih modern. Saat ini, lebih dari 500

jenis modern wound dressing dilaporkan tersedia untuk menangani pasien dengan

luka kronis antara lain berupa madu, larva Maggot, hidrogel, film dressing,

hydrocolloid, calcium alginate, foam / absorbant dressing, dressing antimikrobial,


27

hydrophobic antimikrobial. Keberhasilan proses penyembuhan luka tergantung

pada upaya mempertahankan lingkungan lembap yang seimbang, karena akan

memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen.


28

DAFTAR PUSTAKA

1. Casey G. Modern Wound Dressing. Nurs Stand. 2000; 15(5): 47-51


2. De Jong, Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed 3. Jakarta: EGC. 2011
3. Kartika RW. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. Jakarta:
CDK-230 / Vol. 42 (7). 2015
4. Astuti NF. Hubungan Tingkat Stres dengan Penyembuhan Luka Diabetes
Melitus di RSUD Gunung Sitoli Kabupaten Nias tahun 2013. Bekasi: STIK
Medistra Indonesia. 2014
5. Kristanto B, Saputri NC, Candra EF. Perbandingan Motivasi Penggunaan
Modern Dressing pada Penderita Ulkus Diabektikum di Kelurahan Kalijirak
dan Kelurahan Wonolopo Kecamatan Tasikmadu Karanganyar. Jakarta: JIK.
2015; 3(1): 67-74
6. Tarigan R, Pemila U. Perawatan Luka: Moist Wound Healing. Jakarta:
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia. 2007
7. Molan PC. Using Honey in Wound Care. International Journal of Clinical
Aromatherapy. 2006; 3(2): 21-4
8. Molan PC. Clinical Usage of Honey as a wound dressing: an update. Journal
of Woundcare. 2004; 13(9): 353-6
9. Chan DCW, et al. Maggot Debridement Therapy in Chronic Wound Care.
Hongkong Med J. 2007; 13(5): 382-5
10. Stegeman, S.A., and Steenvoorde, P. Maggot Debridement Therapy. Proc.
Neth. Entomol. Soc. Meet. 2011. 22: 61-66.

Anda mungkin juga menyukai