PENDAHULUAN
3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Luka (wound) merupakan adanya diskontinuitas dan/atau kerusakan
jaringan tubuh yang menyebabkan gangguan fungsi. Luka pada kulit, otot,
tulang, pembuluh darah, maupun organ seperti jantung, usus dan sebagainya,
semuanya melalui suatu proses reparatif yang serupa (similar) dan dapat di
prediksi (predictable).3
Luka berdasarkan lama penyembuhan dapat diklasifikasikan menjadi dua
jenis, yaitu :3
1. Luka akut
Luka akut adalah luka dalam hitungan jam (s/d 8 jam). Luka yang
dibiarkan lebih dari 8 jam dinamakan neglected wound (luka yang
terabaikan). Luka akut umumnya merupakan luka traumatik,
contohnya luka tertusuk, terpotong, abrasi, laserasi, luka bakar, dan
luka traumatik lainnya.
2. Luka kronik
Luka kronis adalah luka yang berlangsung lebih dari 2 minggu tanpa
melewati fase-fase penyembuhan secara sempurna; atau merupakan
luka yang berulang. Contohnya adalah luka akibat tekanan.
remodeling.
Umumnya luka yang akut akan melalui tahapan fase diatas dengan baik, jika
dilakukan perawatan luka yang benar. Namun jika perawatan luka dilakukan
dengan sembarangan dan menyalahi prinsip-prinsip perawatan luka, maka luka
dapat menjadi kronis karena adanya fase penyembuhan yang tidak terlewati
dengan dengan sempurna. Pada luka-luka seperti ini tentunya memerlukan
pemahaman perawatan luka yang benar karena jelas luka tersebut lebih sulit
untuk sembuh.
Tabel 2.1. Fase dan waktu penyembuhan luka serta sel yang berperan
Fase penyembuhan luka Waktu Sel yang
berperan
Hemostasis Segera (menit) Platelet
Inflamasi Hari 1-3 Neutrofil
Makrofag
Proliferasi sel Hari 3-21 Makrofag
Granulasi dan matrix repair Hari 7-21 Limfosit
Angiosit
Neurosit
Fibroblast
Epitelialisasi Hari 3-21 Keratinosit
Remodelling/ pembentukan scar Hari 21-beberapa tahun Fibrosit
oksigen dari darah) selama lebih dari 8 jam akan menjadi nekrosis dan
kerusakannya tidak dapat dikembalikan ke keadaan normal (sering disebut
irreversibel injury). Maka dari itu sebaiknya perawatan luka dimulai
secepatnya sejak luka/injury terjadi dan tidak menunggu hingga nekrosis.
Luka akut yang bersih (acute clean wound) misalnya luka sayatan
pisau yang bersih dapat segera ditutup/dijahit sehingga terjadi
penyembuhan luka secara primer (primary wound healing). Luka akut
yang kotor memerlukan penanganan debridemen terlebih dahulu sebelum
penjahitan luka sesuai dengan prinsip penanganan luka secara umum.
Debridemen pada luka akut dilakukan sesegera mungkin setelah luka
terjadi. Penggunaan antiseptik pada luka masih kontroversial karena
beberapa pendapat mengatakan bahwa luka tidak harus steril dan flora
normal pada luka masih diperlukan untuk melawan kuman patogen.
Penggunaan antiseptik seperti betadine, alkohol atau peroksida dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan sehingga tidak dianjurkan untuk
digunakan pada luka terbuka. Larutan ideal digunakan untuk debridemen
adalah cairan fisiologis (NaCl 0.9%) sebanyak mungkin sampai luka
menjadi bersih.
Setelah dilakukan debridemen luka dengan benar, luka kemudian dinilai
apakah dapat langsung dilakukan penutupan/penjahitan. Jika luka akut
tersebut kotor namun masih dapat ditutup dengan penjahitan sebaiknya
dipasang drain sebagai pencegahan jika terbentuk pus dikemudian hari.
Jika luka akut tersebut cukup besar/dalam dan penjahitan sulit dilakukan
maka sebaiknya dipilih jenis perawatan/penyembuhan luka sekunder
(perawatan luka terbuka).
Luka pasca operasi umumnya merupakan luka akut steril sehingga
dapat dipertahankan sampai 3 hari untuk kemudian dilakukan penggantian
dressing. Waktu 3 hari dipakai sebagai patokan sesuai waktu yang
diperlukan bagi luka untuk melewati fase proliferasi dan epitelialisasi pada
luka akut tipe primary healing/repair. Saat epitelialisasi ujung-ujung luka
terjadi, luka tersebut bukan lagi dinamakan luka terbuka, oleh karena itu
13
dapat menyebabkan maserasi pada pinggir luka. Cairan pada luka kronik
ini juga menghancurkan matrik protein ekstraselular dan faktor-faktor
pertumbuhan, menimbulkan inflamasi yang lama, menekan proliferasi sel,
dan membunuh matrik jaringan. Dengan demikian, untuk mengefektifkan
perawatan pada dasar luka, harus mengutamakan penanganan cairan yang
keluar dari permukaan luka untuk mencegah aktifitas dari biokimiawi yang
bersifat negatif/merugikan.6
Luka maligna (malignant wound), suatu luka yang timbul akibat adanya
sel-sel neoplasma maligna di sekitar luka tersebut, juga dapat
dikategorikan sebagai luka kronis. Meskipun demikian, penanganan luka
yang mengikuti prinsip-prinsip diatas dapat menghasilkan penyembuhan
luka yang baik.
Gambar 2.3. Perbandingan permukaan luka yang lembab dan luka terbuka
(a) (b)
Gambar 2.4. (a) Aplikasi madu secara konvensional sebagai wound dressing
(b) Produk perawatan luka dan wound dressing berbahan dasar
madu
Mekanisme pasti yang mendasari proses penyembuhan luka dengan
menggunakan madu masih belum diketahui, namun beberapa penelitian
mengatakan bahwa madu bekerja melalui penurunan kadar ROS, selain itu
madu juga memiliki efek antibakteri dan pH yang rendah dengan kandungan
asam bebas yang tinggi. Hal ini penting dalam membantu proses
penyembuhan luka. Disamping itu jenis luka dan derajat keparahan luka juga
mempengaruhi dalam keberhasilan perawatan luka dengan madu. Madu yang
digunakan harus dalam jumlah yang cukup sehingga bila terkena eksudat luka
maka madunya tidak langsung hilang. Pemberiannya harus menutupi dan
mencakup seluruh bagian luka hingga kebagian tepinya. Hasil yang lebih baik
didapatkan bila madu diberikan pada dressing dibandingkan dengan dioleskan
langsung pada lukanya. Semua rongga harus terisi oleh madu dan dressing
membentuk suatu oklusi untuk mencegah madu keluar dari luka.
Pengaruh madu dalam menyembuhkan luka merupakan hasil dari
gabungan efek debrimen secara kimiawi pada jaringan nekrotik dan
devitalisasi jaringan dari ulkus oleh katalase, penyerapan edema melalui sifat
higroskopis dari madu, merangsang pertumbuhan jaringan granulasi, dan
17
epitelisasi dari tepi luka, sifat bakterisid dan fungisid madu, gizi untuk
jaringan, dan produksi H2O2 yang dihasilkan.8
Madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air, dengan asam
organik, vitamin, enzim, dan mineral, tetapi memiliki berat jenis 1,4 dan pH
3,6.7 Pengobatan dengan madu sederhana dan tidak mahal serta tidak perlu di
buat steril terlebih dahulu karena sudah memiliki sifat bakterisid dan fungisid,
memiliki viskositas yang tinggi sehingga membentuk penghalang fisik,
menciptakan lingkungan luka yang lembab sehingga mempercepat proses
penyembuhan luka.8
digunakan untuk MDT. Larva yang berukuran 1-2 mm akan menetas dari
telurnya dalam waktu 12-24 jam. Mereka akan memakan jaringan yang
nekrotik dalam kondisi lingkungan luka yang lembab. Dalam 4-5 hari mereka
akan menjadi dewasa dengan ukuran 10 mm, kemudian menjadi kepompong
dan lalat dewasa.
Tidak semua jenis luka dapat menggunakan MDT, MDT tidak boleh
digunakan pada luka yang kering karena maggot tidak bisa hidup di
lingkungan tersebut. Selain itu penggunaan MDT juga harus di hindari pada
20
luka terbuka organ berongga dan luka di dekat pembuluh darah besar.
(a)
(b)
Gambar 2.7. (a) Aplikasi MDT pada luka Buerger Disease
(b) Aplikasi MDT pada Diabetic Ulcer
C. Film Dressing
Penggunaan balutan luka dengan Film Dressing lebih sering digunakan
sebagai secondary dressing dan untuk luka-luka superfisial dan non-
eksudatif atau untuk luka post-operasi. Balutan ini terbuat dari
polyurethane film yang disertai perekat adhesif dan tidak menyerap
eksudat.
Penggunaan balutan luka dengan Film Dressing diindikasikan untuk luka
dengan epitelisasi, eksudat sedikit, dan luka insisi. Balutan luka jenis ini
kontraindikasi untuk luka terinfeksi dan memiliki eksudat yang banyak.
21
D. Hydrocolloids
Balutan ini mengandung partikel hydroactive (hydrophillic) yang
terikat dalam polymer hydrophobic. Partikel hydrophillic dapat
mengabsorbsi kelebihan kelembaban pada luka dan mengonversikannya ke
dalam bentuk gel sehingga kestabilan kelembaban luka akan terjaga.
Balutan ini akan mempertahankan luka dalam suasana lembab, melindungi
luka dari trauma dan mengindarkan luka dari resiko indeksi. Hydrocolloid
tidak lengket pada luka sehingga balutan dapat diganti tanpa menyebabkan
trauma atau rasa sakit saat penggantian balutan.
Hydrocolloid terbuat dari pektin, gelatin, carboxy-methylcellulose, dan
elastomers. Balutan ini diindikasikan untuk luka kemerahan dengan
epitelisasi dan eksudat minimal. Tidak dianjurkan untuk luka terinfeksi.
22
E. Alginate
Alginate terbuat dari rumput laut yang berubah menjadi gel jika bercampur
dengan eksudat luka. Alginate digunakan untuk dressing primer dan masih
memerlukan balutan sekunder. Alginate dapat digunakan selama 7 hari.
Alginate akan membentuk gel di atas permukaan luka yang berfungsi
menyerap cairan luka yang berlebihan dan menstimulasi proses
pembekuan darah.
Balutan dengan alginate diindikasikan untuk luka degnan eksudat sedang
sampai berat. Kontraindikasi pada luka dengan jaringan nekrotik dan
kering.
(a)
23
(b)
Gambar 2.10. Calcium Alginate dressing. (a) mekanisme kerja alginate
pada luka, (b) bentuk sediaan alginate dressing
F. Foam Dressing
Mengandung Polyurethane foam, tersedia dalam kemasan lembaran atau
‘cavity filling’. Foam memiliki kapasitas tinggi untuk mengabsorbsi
eksudat yang banyak dan mampu menyerap kelebihan kelembaban
sehingga mengurangi resiko maserasi. Foam dressing tidak menimbulkan
nyeti dan trauma pada jaringan luka saat penggantian perban dilakukan.
Foam dressing dapar digunakan sebagai dressing primer atau sekunder.
E. Luka epitelisasi
Bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk “re-
surfacing”
Transparent films, hydrocolloids
Balutan tidak terlalu sering diganti
F. Balutan kombinasi
Untuk hidrasi luka : hydrogel + film atau hanya hydrocolloid
Untuk debridement (deslough) : hydrogel + film/foam atau hanya
hydrocolloid atau alginate + film/foam atau hydrofibre + film/foam
Untuk memanage eksudat sedang s.d berat : extra absorbent foam atau
extra absorbent alginate + foam atau hydrofibre + foam atau cavity filler
plus foam
26
BAB III
3.1 Kesimpulan
Penggunaan ilmu dan teknologi serta inovasi produk perawatan luka dapat
memberikan nilai optimal jika digunakan secara tepat. Prinsip utama dalam
manajemen perawatan luka adalah pengkajian luka yang komprehensif agar dapat
Teknik pembalutan luka (wound dressing) saat ini berkembang pesat dan
dapat membantu dokter dan pasien untuk menyembuhkan luka kronis. Prinsip
lama yang menyebutkan penanganan luka harus dalam keadaan kering, ternyata
kolagen, tetapi luka yang terlalu basah juga akan menyebabkan maserasi kulit
balutan, dan prinsip-prinsip intervensi luka yang optimal merupakan konsep kunci
dressing dan memakai alat ganti balut yang lebih modern. Saat ini, lebih dari 500
jenis modern wound dressing dilaporkan tersedia untuk menangani pasien dengan
luka kronis antara lain berupa madu, larva Maggot, hidrogel, film dressing,
DAFTAR PUSTAKA