Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit ginjal kronik atau chronic kidney disease (CKD) adalah keadaan dimana
ginjal kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan volume dan komposisi cairan
tubuh yang berlangsung progresif, lambat, samar dan bersifat irreversible (biasanya
berlangsung beberapa tahun) di sebut dengan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik bersifat
samar karena hampir 75% jaringan ginjal dapat dihancurkan sebelum gangguan fungsi ginjal
terdeteksi. Karena besarnya cadangan fungsi ginjal, 25% dari jaringan ginjal sudah cukup
untuk menjalankan semua fungsi regulatorik dan eksretorik ginjal. Namun dengan kurang
dari 25% jaringan fungsional ginjal yang tersisa, insufisiensi ginjal akan tampak. (1)

Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 0,7-18% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari
seluruh dunia berkisar 25% hingga 80%. Insidens di negara berkembang, khususnya di
komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua pasien CKD datang ke rumah sakit.
Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat.

Tatalaksana nyeri post operatif dan anestesi pada pasien CKD harus hati-hati, karena
dapat memperberat staging bahkan dapat menyebabkan ginjal kehilangan seluruh fungsinya.
Pasien CKD mempunyai staging yang berbeda, sehingga penatalaksanaan nyeri yang
diberikan anestesi juga mempunyai perhatian yang khusus, terutama pada pasien CKD stage
akhir. Dikarenakan hal tersebut maka referat ini dibuat agar dapat mengetahui farmakokinetik
penatalaksanan nyeri pada tiap staging pasien CKD.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GAGAL GINJAL KRONIK


2.1.1 Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah). (2)

2.1.2 Kriteria (2)


Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (National Kidney Foundation Kidney Disease
Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI, 2002))

1. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)

2. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan


atau tanpa kerusakan ginjal.

2
2.1.3 Klasifikasi (2)
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2) Uremia
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥ 90 Asimptomatik
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 – 89 Asimptomatik

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang Asimptomatik –


3 30 – 59
gejala ringan
Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gejala ringan –
4 15 – 29
gejala sedang
Gejala sedang –
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis
gejala berat
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85

NKF-KDOQI telah membagi CKD dalam 5 derajat. Derajat 1 didefinisikan


sebagai kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG, sedangkan
derajat 2 kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan. Pada derajat 1 & 2 pasien
tidak mengeluhkan keluhan apapun dan kerusakan ginjal ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium secara tidak sengaja atau ditemukan saat pasien mengeluh
penyakit lain seperti diabetes melitus. Derajat 3 & 4 adalah kerusakan ginjal sedang
hingga berat dan penurunan LFG. Pasien CKD derajat 3 & 4 biasanya mempunyai
gejala uremia. Derajat 5 atau End Stage Renal Disease (ESRD), pasien dalam derajat
5 perlu hemodialisa atau Renal Replacement Therapy (RRT).
Perlunya mengetahui derajat kerusakan ginjal adalah mengurangi efek anestesi
dan analgesik. Selain itu untuk mengetahui batasan dan kesulitan untuk terapi nyeri
post-operatif.

2.1.4 Etiologi (3)


Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh

3
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi.

2.1.5 Faktor Resiko


Faktor resiko gagal ginjal kronik antara lain pasien dengan diabetes melitus
atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu dengan
riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta
kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti
African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American
Indians. (4)

2.1.6 Epidemiologi (2)


Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.

2.1.7 Anatomi Ginjal(1)


Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang
rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang.
Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing
masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk
seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk
menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral
(pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua
ginjal. Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot
polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri
dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke
sebuah kandung kemih. Kandung kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara
temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya

4
disesuaikan dengan mengubah – ubah status kontraktil otot polos di dindingnya.
Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah
saluran, uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya
sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di ginjal,
komposisi dan volume urin tidak berubah pada saat urin mengalir ke hilir melintasi
sisi sistem kemih.
Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran
mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan
ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah
luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa
segitiga – segitiga bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut
medula ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus,
yang keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.
Komponen vaskuler dari nefron diantara lain :
- Arteriol aferen
merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi
pembuluh – pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler
glomerulus
- Glomerulus
suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut
dari darah yang melewatinya
- Arteriol eferen
Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus
meninggalkan glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam
tubuh yang mendapat darah dari kapiler
- Kapiler peritubulus
Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler
yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk
memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen
tubulus. Kapiler – kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang
akhirnya mengalir ke vena renalis, temoat darah meninggalkan ginjal
Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang
terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :

5
- Kapsula Bowman
Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus
- Tubulus proksimal
Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku)
atau berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan
yang difiltrasi dari kapsula bowman
- Lengkung henle
Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars
desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars
assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali
ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati
garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel – sel
tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk aparatus
jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam
mengatur fungsi ginjal.
- Tubulus distal
Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung
henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul
- Duktus atau tubulus pengumpul
Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis
ginjal
Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang
dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks
merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron
korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula. Sebaliknya, nefron jukstamedula
terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke
dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk
lengkung vaskuler tajam yang dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan
berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik
permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam

6
kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi tergantung
kebutuhan tubuh.

2.1.8 Fisiologi Ginjal(1)


Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik
dan ekskretorik yaitu :
(1) filtrasi glomerulus
Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam
kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus
yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai
membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.
Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng,
memiliki lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang
membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut
dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara
glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural,
sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun
protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati
pori – pori diatas, pori – pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan
albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan
sangat negatif akan menolak albumin dan pritein plasma lain, karena yang terakhir
juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya
tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos
untuk masuk ke kapsula bowman.
Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan
memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di

7
dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah
filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan
masuk ke dalam lumen kapsula bowman.
Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan
darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik
kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekana darah glomerulus
yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke
kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama
yang menghasilkan filtrasi glomerulus.
GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang
melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotil plasma melawan filtrasi,
penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR.
Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat
mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat
dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.
Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena
tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus.
Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR.
Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal
melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi
terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat
peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh
konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam
glomerulus.
Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah
dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf
simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi
perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.
Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus
difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat
glomerulus setiap hari untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter
filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.

8
(2) reabsorpsi tubulus
Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus
(lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena
kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini meupakan transport
aktif dan pasif karena sel – sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight
junction. Glukosa dan asam amino dereabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus
proksimal melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya
direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi
natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars
descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui
transpor pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :
a. Reabsorpsi Glukosa
Glukosa direabsorpsi secara transpor altif di tubulus proksimal. Proses
reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena
molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus
membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.
b. Reabsorpsi Natrium
Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan
direabsorpsi secara aktif ditubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi
di tubulus proksimal, 25% dereabsorpsi di lengkung henle dan 8% di
tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi
sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga
berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.
c. Reabsorpsi Air
Air secar apasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.
Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal
dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi
di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.
d. Reabsorpsi Klorida
Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif
mengikuti penurunan gradien reabsorpsi aktif dan natrium yang
bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan
oleh kecepatan reabsorpsi Na
e. Reabsorpsi Kalium

9
Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan
direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%,
40% kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan
sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul
f. Reabsorpsi Urea
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan
difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi
sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses
sekresi. Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal
karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea.
Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi
kembali.
g. Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium
Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan
kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus,
40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi
di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan
oleh homon paratiroid. Ion fosfat ayng difiltrasi, akan direabsorpsi
sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan
dieksresikan ke dalam urin.
(3) sekresi tubulus
Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam
lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion
organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang
tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai
keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal.
Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan
kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil
dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua
konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi
tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke
pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

10
Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan
untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan eksternal :
1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh
2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES termasuk Na+, Cl-, K+,
HCO3-, Ca++, Mg++, SO4=, PO4= dan H+
3. Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam
pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui
peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O
4. Membantu memelihara keseimbangan asam – basa tubuh, dengan menyesuaikan
pengeluaran H+ dan HCO3- melalui urin
5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut) berbagai cairan tubuh, terutama
melalui pengaturan keseimbangan H2O
6. Mengeksresikan (eliminasi) produk – produk sisa (buangan) dari metabolisme
tubuh. Misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat –
zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak
7. Mengeksresikan banyak senyawa asing. Misalnya obat, zat penambah pada
makanan, pestisida, dan bahan – bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil
masuk ke dalam tubuh
8. Mensekresikan eritropoietin, suatu hormon yang dapat merangsang pembentukan
sel darah merah
9. Mensekresikan renin, suatu hormon enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal
10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya

11
2.1.9 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa
setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan nefron
yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian
seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal
Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan
aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin
dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
- Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik
ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis
- Sesak nafas
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
12
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air  volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia)  volume cairan berlebihan  ventrikel kiri gagal memompa
darah ke perifer  LVH  peningkatan tekanan atrium kiri  peningkatan
tekanan vena pulmonalis  peningkatan tekanan di kapiler paru  edema
paru  sesak nafas
- Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan
sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri
13
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium
fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di
sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi
bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan
dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.

14
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan
dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke
aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.

15
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.

2.1.10 Diagnosis
 Gejala Klinis
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti :
- Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
- Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
- Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
- Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema
- Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya
cadang ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal

16
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. (2)

 Gambaran Laboratorium(2)
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria

 Gambaran Radiologis(2)
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi

 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal(2)


Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas, dan obesitas.

17
2.1.11 Komplikasi(2)
Gagal ginjal kronik dapat menyebabkan berbagai komplikasi sebagai berikut :
- Hiperkalemia
- Asidosis metabolik
- Komplikasi kardiovaskuler ( hipertensi dan CHF )
- Kelainan hematologi (anemia)
- Osteodistrofi renal
- Gangguan neurologi ( neuropati perifer dan ensefalopati)
- Tanpa pengobatan akan terjadi koma uremik

2.1.12 Penatalaksanaan(2)
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
o Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat

18
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia
Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25 – 60 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr nilai
biologi tinggi
5 -25 0,6 – 0,8/kg/hari, termasuk < 10 g
> 0,35 gr/kg/hr protein
nilai biologi tinggi atau
tambahan 0,3 g asam
amino esensial atau asam
keton
<60(sind.nefrotik) 0,8/kg/hari (+1 gr protein/ < 9 g
g proteinuria atau 0,3 g/kg
tambahan asam amino
esensial atau asam keton

o Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi (ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk
memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerular dan hipertrofi glomerulus
4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian DM, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.
5) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi
- Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar

19
besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding
capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis,dll. Pemberian eritropoitin
(EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11
– 12 g/dl.
- Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dapat dilakukan melalui :
i. Mengatasi hiperfosfatemia
 Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
 Pemberian pengikat fosfat, seperti garam, kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam
kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat
(CaCO3) dan calcium acetate
 Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta
reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer
hidrokhlorida.
ii. Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah
normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal
karena dapat meningkatkan absorpsi fosfat dan kaliun di
saluran cerna sehingga mengakibatkan penumpukan garam
calcium carbonate di jaringan yang disebut kalsifikasi
metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan penekanan
yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.
iii. Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema
dan kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Maka air
yang masuk dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin.
Elektrolit yang harus diawasi asuapannya adalah kalium dan
natrium. Pembatasan kalium dilakukan karena hiperkalemia
dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena
itu, pemberian obat – obat yang mengandung kalium dan
makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus
20
dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan
hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan,
disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema
yang terjadi.
6) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

2.1.13 Prognosis
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu
sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai
tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
(3)

2.2 ANALGETIK OPIOID

2.2.1 Definisi

Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau
morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan
rasa nyeri. Semua analgesik opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan. Dengan kata
lain, opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan
reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering
digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri
pasca pembedahan. Opioid yang sering digunakan dalam anastesi antara lain adalah
morfin, petidin, fentanil(6).

2.2.2 Klasifikasi Opioid

Penggolongan opioid antara lain(6):


1. Opioid natural (morfin, kodein, pavaperin, dan tebain)
2. Semisintetik (heroin, dihidro morfin/morfinon, derivate tebain)
3. Sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).

21
2.2.3 Mekanisme Kerja(6)

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas diseluruh jaringan sistem saraf pusat,
tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus,
hipothalamus corpus striatum, sistem aktivasi retikuler dan di corda spinalis yaitu
substantia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan
polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan
reseptor morfin dan menghasilkan efek. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi
dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda dan dapat
bekerja sebagai agonis, antagonis, dan campuran.

Secara umum, efek obat-obat narkotik/ opioid antara lain ;


 Efek sentral:
a. Menurunkan persepsi nyeri dengan stimulasi (pacuan) pada reseptor opioid (efek
analgesi)
b. Pada dosis terapik normal, tidak mempengaruhi sensasi lain.
c. Mengurangi aktivitas mental (efek sedative)
d. Menghilangkan kecemasan (efek transqualizer)
e. Meningkatkan suasana hati (efek euforia), walaupun sejumlah pasien merasakan
sebaliknya (efek disforia)
f. Menghambat pusat respirasi dan batuk (efek depresi respirasi dan antitusif)
g. Pada awalnya menimbulkan mual-muntah (efek emetik), tapi pada akhirnya
menghambat pusat emetik (efek antiemetik)
h. Menyebabkan miosis (efek miotik)
i. Memicu pelepasan hormon antidiuretika (efek antidiuretika)
j. Menunjukkan perkembangan toleransi dan dependensi dengan pemberian dosis
yang berkepanjangan.

 Efek perifer:
a. Menunda pengosongan lambung dengan kontriksi pilorus
b. Mengurangi motilitas gastrointestinal dan menaikkan tonus (konstipasi spastik)
c. Kontraksi sfingter saluran empedu
d. Menaikkan tonus otot kandung kencing

22
e. Menurunkan tonus vaskuler dan menaikkan resiko reaksi ortostastik
f. Menaikkan insidensi reaksi kulit, urtikaria dan rasa gatal karena pelepasan
histamin, dan memicu bronkospasmus pada pasien asma.

2.2.4 Obat-obat opioid yang biasa digunakan dalam anastesi antara lain (7):

1) MORFIN

a. Farmakodinamik

Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung
otot polos. Efek morfin pada sistem syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu
depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan
emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis,
mual muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretika
(ADH).
b. Farmakokinetik

Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit
yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus,
tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek
analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama.
Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Eksresi morfin
terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan
keringat.
c. Indikasi

Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan atau


menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid.
Apabila nyerinya makin besar dosis yang diperlukan juga semakin besar. Morfin
sering digunakan untuk meredakan nyeri yang timbul pada infark miokard,
neoplasma, kolik renal atau kolik empedu, oklusi akut pembuluh darah perifer,
pulmonal atau koroner, perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan, nyeri
akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah.

23
d. Efek samping

Efek samping morfin (dan derivat opioid pada umumnya) meliputi depresi
pernafasan, nausea, vomitus, dizzines, mental berkabut, disforia, pruritus,
konstipasi kenaikkan tekanan pada traktus bilier, retensi urin, dan hipotensi.
e. Dosis dan sediaan

Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam


bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk
menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB. Untuk
nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yang
diperlukan

2. PETIDIN(7)

a. Farmakodinamik

Meperidin (petidin) secara farmakologik bekerja sebagai agonis reseptor µ.


Seperti halnya morfin, meperidin (petidin) menimbulkan efek analgesia, sedasi,
euforia, depresi nafas dan efek sentral lainnya. Waktu paruh petidin adalah 5 jam.
Efektivitasnya lebih rendah dibanding morfin, tetapi lebih tinggi dari kodein. Durasi
analgesinya pada penggunaan klinis 3-5 jam. Dibandingkan dengan morfin, meperidin
lebih efektif terhadap nyeri neuropatik.
Perbedaan antara petidin (meperidin) dengan morfin sebagai berikut :
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang larut dalam
air.
2. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam
meperidinat dan asam normeperidinat. Normeperidin adalah metabolit yang
masih aktif memiliki sifat konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek
analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli
ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat atropin menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan
dan takikardia.
4. Petidin menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter oddi lebih
ringan.

24
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tidak
ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg i.v pada dewasa.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.

b. Farmakokinetik

Absorbsi meperidin dengan cara pemberian apapun berlangsung baik.


Akan tetapi kecepatan absorbsi mungkin tidak teratur setelah suntikan IM.
Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai antar individu sangat bervariasi. Setelah pemberian meperidin IV,
kadarnya dalam plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama,
kemudian penurunan berlangsung lebih lambat. Kurang lebih 60% meperidin
dalam plasma terikat protein. Metabolisme meperidin terutama dalam hati.
Pada manusia meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat yang
kemudian sebagian mengalami konjugasi. Meperidin dalam bentuk utuh
sangat sedikit ditemukan dalam urin. Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin
ditemukan dalam urin dalam bentuk derivat N-demitilasi.
Meperidin dapat menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolik
otak, dan tekanan intra kranial. Berbeda dengan morfin, petidin tidak menunda
persalinan, akan tetapi dapat masuk ke fetus dan menimbulkan depresi
respirasi pada kelahiran.

c. Indikasi

Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada


beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa kerjanya
yang lebih pendek daripada morfin. Meperidin digunakan juga untuk
menimbulkan analgesia obstetrik dan sebagai obat preanestetik.

d. Dosis dan sediaan

Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan 100 mg ; suntikan 10


mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100 mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk
bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.

25
e. Efek samping

Efek samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan berupa


pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual-muntah, perasaan lemah,
gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi.

3. FENTANIL(7)

a. Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu


analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang
cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari
fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi
anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat
anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya
terhadap reseptor opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan
droperidol untuk menimbulkan neureptanalgesia.

b. Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali
melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,
sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

c. Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg
BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB
digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi
bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang tersedia
adalah suntikan 50 mg/ml.

26
d.Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat
dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,
katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol.

2.3 ANALGETIKA NON OPIOID (NSAID)(7)


Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim
siklooksigenase (COX). COX berperan dalam sintesis mediator nyeri, salah satunya
adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgetik jenis ini adalah mengeblok
pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim COX pada daerah yang
terluka dengan demikian mengurangi pembentukan mediator nyeri . Mekanismenya tidak
berbeda dengan NSAID dan COX-2 inhibitors.
Efek samping yang paling umum dari golongan obat ini adalah gangguan
lambung usus, kerusakan darah, kerusakan hati dan ginjal serta reaksi alergi di kulit. Efek
samping biasanya disebabkan oleh penggunaan dalam jangka waktu lama dan dosis besar.
Obat- obat Nonopioid Analgesics ( Generic name ) Acetaminophen, Aspirin, Celecoxib,
Diclofenac, Etodolac, Fenoprofen, Flurbiprofen Ibuprofen, Indomethacin, Ketoprofen,
Ketorolac, Meclofenamate, Mefanamic acid Nabumetone, Naproxen, Oxaprozin,
Oxyphenbutazone, Phenylbutazone, Piroxicam Rofecoxib, Sulindac, Tolmetin. Deskripsi
Obat Analgesik Non-opioid.

a. Salicylates

Contoh obatnya: Aspirin, mempunyai kemampuan menghambat biosintesis prostaglandin.


Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara ireversibel, pada dosis yang
tepat,obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan A2,
pada dosis yang biasa efek sampingnya adalah gangguan lambung (intoleransi). Efek ini
dapat diperkecil dengan penyangga yang cocok (minum aspirin bersama makanan yang
diikuti oleh segelas air atau antasid).

b. p-Aminophenol Derivatives

Contoh obatnya : Acetaminophen (Tylenol) adalah metabolit dari fenasetin. Obat ini
menghambat prostaglandin yang lemah pada jaringan perifer dan tidak memiliki efek
anti-inflamasi yang bermakna. Obat ini berguna untuk nyeri ringan sampai sedang seperti

27
nyeri kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain. Efek samping kadang-
kadang timbul 10 kali peningkatan ringan enzim hati. Pada dosis besar dapat menimbulkan
pusing, mudah terangsang dan disorientasi.

c. Indoles and Related Compounds

Contoh obatnya : Indomethacin (Indocin), obat ini lebih efektif daripada aspirin,
merupakan obat penghambat prostaglandin terkuat. Efek samping menimbulkan efek
terhadap saluran cerna seperti nyeri abdomen, diare, pendarahan saluran cerna, dan
pancreatitis, serta menimbulkan nyeri kepala, dan jarang terjadi kelainan hati.

d. Fenamates

Contoh obatnya : Meclofenamate (Meclomen), merupakan turunan asam fenamat,


mempunyai waktu paruh pendek, efek samping yang serupa dengan obat-obat AINS baru
yang lain dan tak ada keuntungan lain yang melebihinya. Obat ini meningkatkan efek
antikoagulan oral. Dikontraindikasikan pada kehamilan.

e. Arylpropionic Acid Derivatives

Contoh obatnya : Ibuprofen (Advil), tersedia bebas dalam dosis rendah dengan berbagai
nama dagang. Obat ini dikontraindikasikan pada mereka yang menderita polip hidung,
angioedema, dan reaktivitas bronkospastik terhadap aspirin. Efek samping: gejala saluran
cerna.

f. Pyrazolone Derivatives

Contoh obatnya : Phenylbutazone (Butazolidin) untuk pengobatan artristis rmatoid, dan


berbagai kelainan otot rangka. Obat ini mempunya efek anti-inflamasi yang kuat. Tetapi
memiliki efek samping yang serius seperti agranulositosis, anemia aplastik, anemia
hemolitik, dan nekrosis tubulus ginjal. g. Oxicam Derivatives Contoh obatnya : Piroxicam
(Feldene), obat AINS dengan struktur baru. Waktu paruhnya panjang untuk pengobatan
artristis rmatoid, dan berbagai kelainan otot rangka. Efek sampingnya meliputi tinitus,
nyeri kepala, dan rash.

28
g. Acetic Acid Derivatives

Contoh Obatnya : Diclovenac (Volatren) : Obat ini adalah penghambat siklooksigenase


yang kuat dengan efek antiinflamasi , analgetik, dan antipiretik. Waktu paruhnya pendek,
dianjurkan untuk pengobatan arthritis rheumatoid dan berbagai kelainan otot rangka. Efek
sampingnya distress saluran cerna, perdarahan saluran cerna dan tukak lambung.

h. Miscellaneous Agents

Contoh obatnya: Oxaprozin(Daypro). Obat ini mempunyai waktu paruh yang panjang.
Obat in memiliki beberapa keuntungan dan resiko yang berkaitan dengan obat AINS lain.
1. Ketorolak

- Diberikan secara oral, intramuskular, intravena.


- Efek analgesia dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam.
- Lama kerja 4-6 jam.
- Dosis awal 10-30mg/hari dosis maks. 90mg/hari
- 30mg ketorolak=12mg morfin=100mg petidin, dapat digunakan bersama
opioid.
- Cara kerja menghambat sintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu
reseptor opioid di sistem saraf pusat.
- Tidak untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri persalinan, wanita menyusui,
usia lanjut, anak usia <4th.

2. Ketoprofen

- Diberikan secara oral, kapsul, tablet 100-200 mg/hari.


- Per-rektal 1-2 suppositoria.
- Suntikan intarmuskuler 100-300mg/hari.
- Intravena per-infus dihabiskan dalam 20 menit.

2.3.1 Efek samping golongan NSAID

- Gangguan saluran cerna: nyeri lambung, panas, kembung, mual-muntah, konstipasi,


diare, dispepsia, perdarahan tukak lambung, ulserasi mukosa lambung.
- Hipersensitivitas kulit: gatal, pruritus, erupsi, urtikaria, sindroma Steven-Johnson.

29
- Gangguan fungsi ginjal: penurunan aliran darah ginjal, penurunan laju filtrasi
glomerulus, retensi natrium, hiperkalemia, peningkatan ureum-kreatinin, pererenal
azotemia, nekrosis papil ginjal, nefritis, sindroma nefrotik.
- Gangguan fungsi hepar: peningkatan SGOT, SGPT, gamma globulin, bilirubin,
ikterus hepatoseluler.
- Gangguan sistem darah: trombositopenia, leukimia, anemia aplastik.
- Gangguan kardiovaskuler: akibat retensi air menyebabkan edema, hipertensi, gagal
jantung.
- Gangguan respirasi: tonus bronkus meningkat, asma.
- Keamanan belum terbukti pada wanita hamil, menyusui, proses persalinan, anak kecil,
manula.

2.4 Manajemen Nyeri Pasca Operasi Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik

Manajemen nyeri pasca operasi pada pasien gagal ginjal kronik harus diperhatikan,
antara lain untuk mencegah terjadinya gagal ginjal stadium lanjut, pemberian dosis obat anti
nyeri dan nyeri kronik yang ditimbulkan. Nyeri kronik paling sering ditemukan pada 80%
pasien gagal ginjal dan 50% pasien hemodialisa. Nyeri kronik ini timbul karena adanya
penyakit lain yang mendasari seperti polycystic kidney disease, gout arthritis, diabetes
neuropati, nyeri otot saat hemodialisa, dan sindroma nyeri.

30
Pemberian Analgesik Dan Adjuvant Pada Pasien Gagal Ginjal

2.4.1 Manajemen Nyeri CKD stadium 1


Pasien dengan CKD stadium 1 biasanya memiliki fungsi ginjal yang normal
(GFR ≥90 mL / menit /1,73 m2). Kerusakan ginjal secara struktural yang terjadi
biasanya didiagnosis secara tidak sengaja selama pemeriksaan radiologi, seperti
terdapat kista ginjal[8,9,10]. Pasca operasi dan nyeri pasca trauma untuk pasien ini tidak
berbeda dari pasien tanpa penyakit ginjal[11, 12]
. Dokter anestesi harus
mempertimbangkan untuk menggunakan neuraksial atau blokade saraf bila
memungkinkan. Manajemen nyeri multirejimen lebih disarankan untuk digunakan
baik pada analgesia intraoperasi maupun pasca operasi. Acetaminophen, NSAID, atau
cyclooxygenase-2 tertentu inhibiters harus dianggap sebagai analgesik dan digunakan
jika tidak terdapat kontraindikasi [13]. Analgesia yang simpel ini mungkin cukup untuk
mengobati nyeri ringan hingga sedang pascaoperasi serta untuk mengurangi
kebutuhan opioid dan efek samping penyerta.[14,15]

NSAID adalah analgesik tambahan yang harus diberikan pada pasien CKD
derajat 1, karena belum adanya bukti yang menunjukkan bahwa terapi jangka pendek
pada setiap kerusakan ginjal kronis[16]. Tambahan lain dapat digunakan untuk

31
meningkatkan kontrol nyeri perioperatif, mengurangi dosis opioid, dan meminimalkan
kemungkinan perkembangan nyeri pascaoperasi atau posttrauma akut nyeri kronis.
Obat-obat ini termasuk tramadol dan antikonvulsan obat seperti gabapentin atau
pregabalin, yang dapat mengurangi nyeri, terutama bagi pasien dengan nyeri
neuropatik[17, 18, 19].

Manajemen nyeri di CKD Tahap 1


Neuraksial atau blokade saraf perifer bila memungkinkan
Nyeri ringan: Acetaminophen + NSAID ± tramadol
Nyeri sedang sampai berat: Acetaminophen + NSAID + tramadol ± opioid *
Gabapentin perioperatif atau pregabalin sebagai tambahan pada kasus tertentu seperti
trauma atau nyeri neuropatik
* Opioid kuat, CKD = kronis penyakit ginjal, NSAID = nonsteroid obat antiinflamasi

2.4.2 Manajemen nyeri CKD stadium 2

Dalam CKD stadium 2, pasien memiliki tingkat gangguan fungsi ginjal yang
ringan (GFR 60-89 mL / menit / 1,73 m2). Tingkat fungsi ginjal untuk pasien tersebut
cukup untuk ekskresi dari obat dan metaboliknya dengan tidak perlu penyesuaian
dosis obat nyeri[8, 10]
. Ada dua pertimbangan utama untuk pasien dengan Tahap 2
CKD. Pasien harus dipantau untuk melihat adanya kerusakan lebih lanjut fungsi ginjal
akibat anestesi perioperatif atau lainnya seperti pendarahan, dehidrasi, atau hipotensi
berkepanjangan. Beberapa kejadian tadi dapat menurunkan fungsi ginjal sehingga
membutuhkan penyesuaian dosis untuk beberapa analgesik[16]. Hal lain yang penting
untuk dipertimbangkan adalah efek yang mungkin terjadi dari NSAID pada ginjal
menyebabkan kerusakan lebih lanjut.

Prostaglandin menyebabakan kompensasi berupa vasodilatasi dari arteriol


aferen glomerulus untuk mempertahankan GFR dalam keadaan hipovolemia dan
hipotensi[16, 20]. NSAID menyebabkan penurunan dari prostaglandin vasodilator ginjal
dan memungkinkan terjadinya vasokonstriksi. Pada mereka yang memiliki penyakit
ginjal atau penurunan volume efektif, penambahan NSAID dapat memperburuk aliran
darah ke ginjal[20, 21]
. Secara umum, triad NSAID, hipotensi dan angiotensin
converting enzyme (ACE) inhibitor dapat menyebabkan kerusakan berat dari GFR
dan fungsi ginjal. Namun, dalam banyak kasus efek bisa bersifat sementara dengan

32
tidak ada bukti yang jelas untuk penurunan jangka panjang fungsi ginjal[16, 20, 22]
.
Risiko menggunakan NSAID dalam kelompok pasien harus seimbang terhadap
manfaat. Jika NSAID harus digunakan, mereka harus dibatasi dengan durasi sependek
mungkin dan fungsi ginjal harus dipantau ketat. NSAID harus dihindari pada pasien
dengan faktor risiko lainnya yang dapat merusak fungsi ginjal seperti usia lanjut,
[16, 20, 22]
diabetes, penggunaan ACE inhibitor-dan dehidrasi perioperatif
Cyclooxygenase-2 inhibitor, seperti NSAIDs lainnya, juga harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien ini[23].

Manajemen nyeri pada CKD stage 2


Neuraksial atau blok pada saraf perifer bila memungkinkan
Nyeri ringan : Acetaminophen + tramadol + opioids ±NSAIDs*
Nyeri sedang hingga berat : Acetaminophen + tramadol + opioids ±NSAIDs*
Perioperative gabapentin atau pregabatin sebagai adjuvants di beberapa kasus
seperti trauma atau nyeri neuropatik.

2.4.3 Manajemen nyeri CKD stadium 3 dan 4

Pasien dengan CKD Tahap 3 dan 4 memiliki kerusakan fungsi ginjal sedang
hingga berat dengan GFR antara 15 dan 59 mL / menit / 1,73 m2. Fungsi klinis pada
kebanyakan obat analgesik telah berubah pada pasien ini disebabkan oleh perubahan
pemeriksaan dari obat awal dan terapi aktif atau metabolit toksik nya. NSAID juga
dapat memperburuk kerusakan ginjal yang sudah ada sebelumnya[8, 9, 11]
. Teknik
Regional harus dipertimbangkan bila memungkinkan karena dapat membantu untuk
menghindari atau mengurangi paparan analgesik sistemik yang diberikan[13, 24].

Prinsip manajemen analgesik harus mencakup untuk menghindari penggunaan


NSAID, pengurangan dosis obat analgesik sesuai GFR atau CCR, dan pemantauan
ketat efek samping obat seperti sedasi. Penggunaan opioid untuk pasien dengan
kerusakan ginjal sedang sampai berat menimbulkan salah satu perhatian terbesar bagi
dokter. Meskipun pembatasan dosis analgesik opioid direkomendasikan untuk
sebagian besar kasus pada populasi pasien ini, membuat algoritma yang tetap untuk
obat-obat ini dalam kaitannya dengan GFR tidak selalu dapat digunakan karena
terdapat dua alasan. Pertama, opioid melalui metabolisme hati sebagai rute utama

33
eliminasi, tetapi beberapa opioid masih memiliki metabolik aktif atau beracun yang
perlu dikeluarkan melalui ginjal. Alasan kedua adalah peningkatan sensitivitas dari
sistem saraf pusat pada pasien CKD untuk opioid , yang tidak sepenuhnya berkorelasi
[17, 25]
dengan GFR. Kontrol pelepasan obat opioid membawa risiko tinggi dari efek
samping yang tidak diinginkan dan toksisitas pada pasien dengan kerusakan ginjal.
Pengontrolan pelepasan formula dihindari terutama untuk pasien dengan stadium 4-
CKD (GFR<30 mL / menit / 1,73 m2).

Penggunaan obat lainnya seperti antiepilepsi dapat menyebabkan efek


samping yang serius pada pasien terhadap gangguan fungsi ginjal dan penyesuaian
dosis harus dipertimbangkan. Gabapentin dan pregabalin harus digunakan dengan
hati-hati pada pasien ini dan hanya untuk indikasi nyeri neuropati. Gabapentinoids
dapat meningkatkan risiko sedasi dan bahkan koma. Agen ini tidak mengalami
metabolisme hepatik dan diekskresikan semata-mata oleh ginjal. Penurunan 50% dari
dosis untuk setiap penurunan 50% GFR atau CCR, dan meningkatkan waktu
interval[18, 26, 27, 28].

Managemen nyeri pada CKD stages 3 dan 4


Neuroaxial atau blokade saraf perifer kapanpun memungkinkan
Hindari penggunaan NSAIDs
Nyeri ringan : Acetaminophen ± tramadol
Nyeri sedang sampai berat : Acetaminophen + opioids** ( fentanyl atau
hydromorphone)± tramadol ± ketamine
Antiepileptik* hanya digunakan pada nyeri neuropati
* dosis tambahan, **1= dosis tambahan, 2 = hindari morphine dan codeine, 3 = hindari
bentuk yang long acting.

2.4.4 Manajemen nyeri CKD stadium akhir

Manajemen nyeri pasca operasi pada pasien ESRD nondialysis mengikuti


aturan yang sama seperti digambarkan untuk CKD stadium 4. Untuk pasien dialisis,
perkembangan nyeri acute on-kronis juga dapat mempengaruhi kualitas pasien dan
manajemen nyeri. Sekitar 50% dari pasien dialisis mengalami nyeri kronis berat.
Nyeri bertambah karena komorbiditas depresi pada sebagian besar pasien serta
menurunnya fungsi kognitif yang dapat membuat penafsiran rasa sakit mereka lebih

34
sulit. Perubahan siklus dalam konsentrasi plasma dari kebanyakan analgesik sebelum
dan setelah dialisis meningkatkan kebutuhan untuk penyesuaian dinamis dosis untuk
menyeimbangkan risiko toksisitas sebelum dialisis dan nyeri setelah dialisis[8, 9, 17].

Acetaminophen dianggap agen analgesik paling aman di ESRD dan harus


digunakan secara rutin sebagai analgesik awal. Dengan penggunaan jangka lama,
bagaimanapun, asetaminofen sendiri dapat menyebabkan nefrotoksisitas. Meskipun
beberapa penulis menyarankan tidak perlu untuk menyesuaikan dosis maksimum
harian acetaminophen pada pasien yang menjalani hemodialisis intermiten, 4 g /hari
dianjurkan dosis maksimum mungkin tidak berlaku untuk mayoritas pasien karena
adanya faktor-faktor lain yang meningkatkan risiko toksisitas. Selain gagal ginjal,
terdapatnya kekurangan gizi, yang mendasari gangguan hati, atau konsumsi alkohol
yang berlebihan merupakan faktor risiko untuk komplikasi serius terkait toksisitas
asetaminofen untuk pasien ini[22, 28, 29].

NSAIDs tidak berperan dalam manajemen nyeri pasca operasi pada ESRD
karena berisiko tinggi terjadi efek samping yang serius [22, 29]. Beberapa pengecualian
[12]
dapat diterima untuk jangka pendek penggunaan NSAID di ESRD seperti untuk
pasien dengan nyeri akut, nyeri pada pasien dengan gout. Pendekatan untuk
[17,18,22,25,26]
penggunaan analgesik opioid untuk dialisis pasien diringkas dalam .
Penggunaan fentanil, alfentanil dan hydromorphone relatif aman pada pasien dialisis
[22, 26]
tetapi dosis harus disesuaikan untuk meminimalkan risiko depresi pernapasan
Dokter yang merawat pasien pasca operasi mungkin perlu mempertimbangkan
kemungkinan melekat agen anestesi dan akumulasi adjuvant analgesik lain sebelum
dialisis. kondisi Umum pasien dialisis dengan penyakit penyerta mungkin juga
memperburuk risiko komplikasi opioid[22, 26, 28, 29]
. Morfin harus dihindari karena
[22, 26]
akumulasi metabolik beracun M3G Codeine, Yang akan dikonversi ke morfin,
juga harus dihindari untuk alasan yang sama[26, 27].

Konsep lama dialyzable M3G dan M6G telah berubah sejak studi baru yang
menemukan hemodialisis yang mengurangi konsentrasi metabolit glucoronidated
morfin setelah dialisis. Meperidin (petidin) perlu dihindari karena akumulasi
[26]
norpethidine, yang neurotoksik. Rekomendasi untuk penggunaan tramadol saat
pasien dialisis termasuk menurunkan dosis harian maksimum dan meningkatkan
interval antara dosis. Strategi ini membantu untuk menghindari risiko sedasi, depresi

35
pernafasan dan akumulasi dari metaboliknya[27]. obat tambahan untuk meningkatkan
skor nyeri, mengurangi dosis opioid dan mengobati nyeri neuropatik pada pasien
dialisis. Peran ketamine dalam mengobati dialisis dan perawatan untuk meredakan
[27, 28]
nyeri kronis pada pasien . Ketamine memegang peran penting dalam mengelola
nyeri akut dan akut-on-kronis dan dapat diberikan melalui berbagai rute, atau
dikombinasikan dengan opioid di pompa PCA [27, 28]..

Analgesik antikonvulsan mungkin diperlukan untuk pengobatan nyeri


neuropatik. Obat-obat ini dapat meningkatkan risiko sedasi pada pasien dialisis
dengan akumulasi antara sesi dialisis. Nyeri hebat dapat terjadi setelah dialisis karena
obat hanya diekskresikan di ginjal dari plasma pasien. Dosis harian yang kecil bisa
digunakan pada hari nondialysis dengan dosis tambahan segera setelah dialisis[18, 27,
29]
.

Komplikasi dari NSAIDs pada pasien dengan ESRD


Menyebabkan penurunan yang menetap pada fungsi ginjal
Meningkatkan risiko pendarahan GI yang efeknya pada mukosa GI dan fungsi platelet
Risiko potensial pada cardiovaskular
NSAIDs berhubungan dengan hiperkalemia

Opiod yang aman untuk pasien dengan ESRD


Opiod untuk ESRD Rekomendasi
Fentanyl Aman
Alfentanil Aman
Hydromorphone Aman, dosis tambahan mungkin di butuhkan
Morphine Dianjurkan untuk dihindari
Codeine Dihindari
Oxycodone Tidak cukup bukti

36
BAB III
KESIMPULAN

Pada pasien CKD stage 1, Analgesik harus dipertimbangkan untuk menggunakan


neuraksial atau blokade saraf bila memungkinkan. Manajemen nyeri multimodal rejimen
lebih digunakan untuk kedua intraoperatif dan analgesia pasca operasi. Acetaminophen,
NSAID, atau cyclooxygenase-2 tertentu inhibiters harus dianggap sebagai analgesik dan
[13]
digunakan jika tidak kontraindikasi . Pada gagal ginjal stadium 2 terjadi penurunan
volume efektif, penambahan NSAID dapat memperburuk aliran darah ke ginjal[20, 21]. Secara
umum, triad NSAID, hipotensi dan angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor dapat
menyebabkan kerusakan berat dari GFR dan fungsi ginjal. Namun, dalam banyak kasus efek
bisa bersifat sementara dengan tidak ada bukti yang jelas untuk penurunan jangka panjang
fungsi ginjal[16, 20, 22].

Pada pasien derajat 3 dan 4 NSAID dapat memperburuk kerusakan ginjal yang sudah
ada sebelumnya[8, 9, 11]. Teknik Regional harus dipertimbangkan bila memungkinkan karena
dapat membantu untuk menghindari atau mengurangi paparan analgesik sistemik yang
diberikan[13, 24]. Gabapentin dan pregabalin harus digunakan dengan hati-hati pada pasien ini
dan hanya untuk indikasi nyeri neuropati. Gabapentinoids dapat meningkatkan risiko sedasi
dan bahkan koma. Agen ini tidak mengalami metabolisme hepatik dan diekskresikan semata-
mata oleh ginjal. Penurunan 50% dari dosis untuk setiap penurunan 50% GFR atau CCR, dan
meningkatkan waktu interval[18, 26, 27, 28]. Pada stadium akhir acetaminophen dianggap agen
analgesik paling aman di ESRD dan harus digunakan secara rutin sebagai analgesik awal.
Dengan penggunaan jangka lama, bagaimanapun, asetaminofen sendiri dapat menyebabkan
nefrotoksisitas.

Strategi manajemen nyeri untuk pasien dengan CKD berbeda untuk setiap
stadiumnya. Ketika mengobati pasien CKD, dokter umum harus berusaha untuk melindungi
ginjal dari kerusakan lebih lanjut serta menghindari efek samping yang serius akibat
akumulasi agen analgesik atau metabolitnya. Memahami farmakokinetik agen analgesik
dapat membantu untuk memprediksi tolerabilitas pada pasien dengan CKD. Studi klinis lebih
lanjut diperlukan untuk mengatasi rejimen obat yang optimal untuk dapat digunakan sebagai
manajemen nyeri pasca operasi di berbagai tahap CKD, termasuk hemodialisis.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam UPH.
4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.
6. Latief. S. A, Suryadi K. A, dan Dachlan M. R, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
II, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK-UI, Jakarta, Juni, 2001, hal ;77-83,
161
7. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 2nd ed Appleton & Lange
Stamford 1996 ; 274-316.
8. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney
disease: Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S1-
266.
9. Levey AS, Coresh J, Balk E Kausz AT, Levin A, Steffes MW, et al. National Kidney
Foundation practice guidelines for chronic kidney disease: Evaluation, classification,
and stratification. Ann Intern Med 2003;139:137-47
10. Khwaja A, Throssell D. A critique of the UK NICE guidance for detection and
management of individuals with chronic kidney disease. Nephron Clin Pract
2009;113:c207-13.
11. Sear JW. Kidney dysfunction in the postoperative period. Br J Anaesth 2005;95:20-
32.
12. Eilers H, Liu KD, Gruber A, Niemann CU. Chronic Kidney disease: Implications for
the perioperative period. Minerva Anestesiol 2010;76:725-36
13. American Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain Management
Practice guidelines for acute pain management in the perioperative setting: An

38
updated report by the American Society of Anesthesiologist Task Force on Acute Pain
Management. Anesthesiology 2012;116:248-73
14. Toms L, McQuay HJ, Derry S, Moore RA. Single dose oral paracetamol
(acetamoniphen) for postoperative pain in adults. Cochrane Databese Syst Rev
2008;4;CD004602
15. Maund E, McDaid C, Rice S, Wright K, Jenkins B, Woolacott N. Paracetamol and
selective and non-selective non-steroidal anti-inflammatory drugs for the reduction in
morphine-related side-effects after major surgery: A systematic review. Br J Anaesth
2011;106:292-7
16. Lee A, Cooper MG, Craig JC, Knight JF, Keneally JP. Effects of nonsteroidal anti-
inflammatory drugs on postoperative renal function in adults with normal renal
function. Cochrane Database Syst Rev 2007;2:CD002765.
17. Nayak-Rao S. Achieving effective pain relief in patients with chronic kidney disease:
A review of analgesics in renal failure. J Nephrol 2011;24:35-40.
18. Dauri M, Faria S, Gatti A, Celidonio L, Carpenedo R, Sabato AF. Gabapentin and
pregabalin for the acute post-operative pain management. A systematic-narrative
review of the recent clinical evidences. Curr Drug Targets 2009;10:716-33
19. Clarke H, Bonin RP, Orser BA, Englesakis M, Wijeysundera DN, Katz J. The
prevention of chronic postsurgical pain using gabapentin and pregabalin: A combined
systematic review and meta-analysis. Anesth Analg 2012;115:428-42.
20. Huerta C, Castellsague J, Varas-Lorenzo C, García Rodríguez LA. Nonsteroidal anti-
inflammatory drugs and risk of ARF in the general population. Am J Kidney Dis
2005;45:531-9.
21. Stürmer T, Elseviers MM, De Broe ME. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs and
the kidney. Curr Opin Nephrol Hypertens 2001;10:161-3.
22. Kurella M, Bennett WM, Chertow GM. Analgesia in patients with ESRD: A review
of available evidence. Am J Kidney Dis 2003;42:217-28
23. Giovanni G, Giovanni P. Do non-steroidal anti-inflammatory drugs and COX-2
selective inhibitors have different renal effects? J Nephrol 2002;15:480-8.
24. Murphy EJ. Acute pain management pharmacology for the patient with concurrent
renal or hepatic disease. Anaesth Intensive Care 2005;33:311-22.
25. Murtagh FE, Chai MO, Donohoe P, Edmonds PM, Higginson IJ. The use of opioid
analgesia in end-stage renal disease patients managed without dialysis:
Recommendations for practice. J Pain Palliat Care Pharmacother 2007;21:5-16.

39
26. Davison SN. The prevalence and management of chronic pain in end-stage renal
disease. J Palliat Med 2007;10:1277-87.
27. Chazan S, Ekstein MP, Marouani N, Weinbroum AA. Ketamine for acute and
subacute pain in opioid-tolerant patients. J Opioid Manag 2008;4:173-80.
28. O’Connor NR, Corcoran AM. End-stage renal disease: Symptom management and
advance care planning. Am Fam Physician 2012;85:705-10.
29. Toussaint K, Yang XC, Zielinski MA, Reigle KL, Sacavage SD, Nagar S, et al .
What do we (not) know about how paracetamol (acetaminophen) works? J Clin
Pharm Ther 2010;35:617.

40

Anda mungkin juga menyukai