Anda di halaman 1dari 21

Asuhan Keperawatan pada Anak dengan

Fraktur
ASUHAN KEPERAWATAN
KEPERAWATAN ANAK
PADA ANAK DENGAN FRAKTUR

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2014/2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Menurut Long (2000:357) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak
disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan. Menurut Oswari
(2000:144), Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Mansjoer,2000:43). Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik dan sudut dari tenaga tersebut , keadaan dari tulang itu
sendiri dan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.(
Price,1995:1183).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi
menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Wong D,2003:625)
B. Anatomi dan Fisiologi
Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka
masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat
pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen
disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras
dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun
dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang
disebut Kanal Haversian.
Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara
lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan
seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di
dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman.
Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme
keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya
terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga
disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah
merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi
sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel
lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast
merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast
yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap
kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra
seluler yang disebut matriks.
Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan
substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah
metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam
kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah
dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et
al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
Perbedaan tulang anak-anak dengan dewasa
Anak-anak adalah berbeda dengan dewasa. Hal ini sangat penting diketahui bahwa
keberhasilan diagnostik dan terapi penyakit ortopedik pada kelompok usia ini berbeda, karena
sistem skeletal pada anak-anak baik secara anatomis, biomekanis, dan fisiologi berbeda dengan
dewasa. Adanya growth plate (atau fisis) pada tulang anak-anak merupakan satu perbedaan yang
besar. Growth plate tersusun atas kartilago. Ia bisa menjadi bagian terlemah pada tulang anak-
anak terhadap suatu trauma. Cidera pada growth plate dapat menyebabkan deformitas. Akan
tetapi adanya growth plate juga membantu remodeling yang lebih baik dari suatu fraktur yang
bukan pada growth plate tersebut. Di bawah ini adalah beberapa karakteristik struktur dan fungsi
tulang anak yang membuatnya berbeda :
A. Remodelling
Tulang immatur dapat melakukan remodelisasi jauh lebih baik daripada dewasa. Karena adanya
aktivitas dari populasi sel yang banyak, kerusakan pada tulang dapat diperbaiki lebih baik dari
pada kerusakan yang terjadi pada dewasa.Struktur anatomis tulang anak-anak juga mempunyai
fleksibilitas yang tinggi sehingga ia mempunyai kemampuan seperti “biological plasticity”. Hal
ini menyebabkan tulang anak-anak dapat membengkok tanpa patah atau hancur; sehingga dapat
terjadi gambaran fraktur yang unik pada anak yang tidak dijumpai pada dewasa, seperti pada
fraktur buckle (torus) dan greenstick.
B. Ligamen
Seperti jaringan, ligamen adalah satu jaringan yang “age-resistant” dalam tubuh manusia. Tensile
strength (kekuatan tegangan) pada ligamen anak-anak dan dewasa secara umum sama. Meskipun
kekuatan tulang, kartilago, dan otot cenderung berubah, struktur ligamen tetap tidak berubah
seiring pertumbuhan dan perkembangan.
C. Periosteum
Bagian terluar yang menutupi tulang adalah lapisan fibrosa dense, yang pada anak-anak secara
signifikan lebih tebal daripada dewasa. Periosteum anak-anak sebenarnya mempunyai sebuah
lapisan fibrosa luar dan kambium atau lapisan osteogenik. Menurut Hence, periosteum anak-
anak mampu memberikan kekuatan mekanis terhadap trauma. Karena periosteum yang tebal,
fraktur tidak cenderung untuk mengalami displace seperti pada dewasa, dan periosteum yang
intak dapat berguna sebagai bantuan dalam reduksi fraktur dan maintenance. Sebagai tambahan,
fraktur akan sembuh lebih cepat secara signifikan daripada dewasa.
D. Growth Plate
Growth plate atau fisis adalah lempeng kartilago yang terletak di antar epifisis (pusat penulangan
sekunder) dan metafisis. Ini penting bagi pertumbuhan tulang panjang agar terjadi. Bagian ini
juga menjadi satu titik kelemahan dari semua struktur tulang terhadap trauma mekanik. Fisis,
secara histologik terdiri dari 4 lapisan, yaitu :
a. Resting zone: Lapisan teratas yang terdiri dari sel-sel germinal yang datar dan merupakan tempan
penyimpanan bahan-bahan metabolik yang akan digunakan nantinya.
b. Proliferating zone: Sel-sel di area ini secara aktif bereplikasi dan tumbuh menjadi lempeng. Sel-
sel tersebut disebut seperi tumpukan lempeng. Pada area ini, sel-selnya menggunakan bahan
metabolik yang sebelumnya disimpan untuk perjalanan mereka ke metafisis.
c. Hypertrophic zone: Sel-sel di area ini cenderung membengkak dan berubah menjadi lebih
katabolik. Sel mempersiapkan matriks untuk mengalami kalsifikasi dan berubah menjadi tulang.
Area ini menjadi letak terlemah secara mekanis.
d. Calcified zone: Secara metabolik, matriks menyebar untuk deposisi garam kalsium, dan
membentuk osteoid. Di daerah yang dekat metafisis, cabang-cabang pembuluh darah kecil
menjalar ke lapisan basal dari lempeng fisis.

C. Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:

1. Berdasarkan sifat fraktur.


a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.

b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
a. Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang seperti terlihat pada foto.
b. Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada
tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.
e. fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya
pada tulang.

4. Berdasarkan jumlah garis patah.


a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
5. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser
dan periosteum nasih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
1) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
c. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
d. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

D. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan
olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor (Reeves, 2001:248).
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila
tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut Oswari E(1993) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran,
penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut Long (1996:356) ada punpenyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur.
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat
kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).

E. Fraktur yang banyak terjadi pada anak

1. Fraktur klavikula
Klavikula adalah daerah tulang tersering yang mengalami fraktur. Letak tersering
adalah di antara 1/3 tengah dan lateral. Fraktur klavikula dapat sebagai akibat dari
cidera lahir pada neonatus. Diagnosis dengan mudah dibuat dengan evaluasi fisik dan
radiologis. Pasien akan menderita nyeri pada pergerakan bahu dan leher.
Pembengkakan local dan krepitus dapat tampak. Cidera neurovaskuler jarang terjadi.
Radiografi klavikula AP biasanya cukup untuk diagnosis. Fraktur klavikula pada
neonatus biasanya tidak memerlukan terapi lebih lanjut.
Kalus yang teraba dapat dideteksi beberapa minggu kemudian. Pada anak-anak yang
lebih tua, imobilisasi bahu (dengan balutan seperti kain gendongan atau yang mampu
menyandang/memfiksasi bagian lengan bawah dalam posisi horizontal melawan batang
tubuh) sebaiknya digunakan untuk mengangkat ekstremitas atas untuk mengurangi
tarikan ke bawah pada klavikula distal. Kalus yang dapat dipalpasi dapat dideteksi
beberapa minggu yang kemudian akan remodel dalam 6-12 bulan. Fraktur klavikula
biasanya sembuh dengan cepat dalam 3-6 minggu
2. Fraktur proksimal humerus

Biasanya akibat jatuh ke belakang dalam lengan yang ekstensi. Cidera neurovaskular jarang.
Akan tetapi, kerusakan saraf aksila harus dicurigai jika pasien merasakan fungsi deltoid yang
tidak normal dan parestesia atau anesthesia sepanjang aspek bahu lateral. Penatalaksanaan
dengan immobilisasi lengan dengan “sling-and swathe” (balutan papan elastis yang memfiksasi
humerus melawan tubuh) selama 3-4 minggu. Karena potensi remodelling yang signifikan pada
daerah ini, deformitas dalam derajat tertentu masih dapat diterima. Fraktur dengan angulasi yang
ekstrim (lebih dari 900) dapat memerlukan reduksi dengan operasi.
3. Fraktur suprakondiler humerus
Fraktur suprakondiler (metafisis humerus distal daerah proksimal dari siku) adalah fraktur
siku yang paling sering pada anak-anak. Terjadi sering pada usia antara 3 -10 tahun. Pasien akan
menahan lengan dalam pronasi dan menolak untuk fleksi karena nyerinya. Cidera neurovascular
sering terjadi pada displacement yang berat. Karena mengalir a.brachialis maka cidera sebaiknya
ditangani sebagai emergensi akut. Pembengkakan, jika berat, dapat menghambat aliran arteri
atau vena. Pemeriksaan neurovascular yang cermat diperlukan.
Compartment syndrome pada lengan bawah volar dapat terjadi dalam 12-24 jam.
Volkmann’s contracture karena iskemia intrakompartemen dapat mengikuti. Pin sering
digunakan untuk memfiksasi fraktur setelah reduksi terbuka atau tertutup. Fraktur suprakondiler
yang umumnya tanpa gangguan neurovaskular dapat dibidai dengan posisi siku fleksi 90 0, dan
lengan bawah dibidai dalam pronasi atau posisi netral.

4. Fraktur kondilus lateral


Fraktur kondilus lateral adalah akibat jatuh dimana kaput radialis pindah ke kapitelum
humerus. Fraktur gunting oblik permukaan sendi lateral sering terjadi. Biasanya disertai
pembengkakan yang berat meskipun fraktur tampak kecil pada X-ray. Risiko tinggi malunion
dan nonunion pada fraktur ini tinggi. Karena growth plate dan permukaan sendi displaced,
reduksi terbuka dan fiksasi dengan pin perkutaneus mungkin diperlukan. Gips tanpa pinning
mungkin cukup memuaskan untuk fraktur non-displaced.

5. Fraktur kaput radialis


Fraktur kaput radialis sering didiagnosis secara klinis karena biasanya sulit untuk terlihat
dengan X-ray. Patsien mengalami nyeri yang berat tersering dengan supinasi atau pronasi
sedangkan nyeri yang ringan biasanya dengan fleksi atau ekstensi siku. Leher radius dapat
mengalami angulasi hingga 70-800. Angulasi 450 atau kurang biasanya akan remodel secara
spontan. Manipulasi tertutup diperlukan pada angulasi yang lebih besar.

6. Fraktur buckle atau torus


Fraktur ini pada metafisis radius distal adalah sering. Biasanya akibat jatuh dengan bersandar
dengan pergelangan tangan dalam dorsofleksi. Fraktur adalah impaksi dan terdapat
pembengkakan jaringan lunak yang ringan atau perdarahan. Biasanya terdapat fraktur ulna distal
yang berhubungan dengan fraktur distal radius ini. Penatalaksanaan dengan short-arm cast (gips
lengan pendek). Fracture biasanya sembuh dalam 3-4 minggu.
F.
G. Gambar 4. Fraktur Buckle (Torus)

7. Fraktur Monteggia dan Galeazzi

Adalah fraktur pada pertengahan atau proksimal ulna dengan dislokasi kaput radius. Ketika
fraktur proksimal atau pertengahan ulna dicurigai atau ditemukan termasuk fraktur olekranon,
inspeksi teliti alignment kaput radialis dengan capitellium harus dilakukan. Reduksi tertutup
pada dislokasi kaput radialis diperlukan dengan reduksi ulna dan gips fraktur ulna.
Sedangkan fraktur Galeazzi meliputi fraktur radius yang lebih distal dengan dislokasi distal
radioulnar joint. Fraktur radius ini ditangani dengan reduksi terbuka dan fiksasi interna dengan
plate dan screw. Dislokasi ulna biasanya memerlukan posisi lengan bawah dalam supinasi untuk
mencapai reduksi
Gambar 5. Variasi Fraktur Monteggia

Gambar 6. Rontgen Fraktur Galeazzi


8. Fraktur panggul, leher femur, dan batang femur

Fraktur panggul biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat bersepeda,
atau jatuh dari ketinggian. Pasien tampak nyeri dengan pergerakan panggul yang pelan. Terdapat
risiko tinggi pada anak-anak untuk mengalami nekrosis vascular dan gangguan pertumbuhan
karena deformitas akibat gangguan vascular yang ada pada fisis. Fraktur leher femur merupakan
fraktur yang tidak stabil dan juga memiliki risiko tinggi seperti di atas karena kaya akan
pembuluh darah yang mensuplai fisis. Penatalaksanaan sebagai emergensi dengan ORIF dengan
screw untuk menstabilisasi.
Fraktur batang femur merupakan hasil dari trauma dengan gaya yang tinggi. Meskipun
kebanyakan fraktur femur tertutup, perdarahan ke dalam jaringan lunak di paha mungkin
mengakibatkan kehilangan darah yang signifikan. Fraktur batang femur dapat menimbulkan
pemendekan dan angulasi ke longitudinal akibat tarikan otot dan spasme. Restorasi panjang dan
alignment dicapai dengan traksi longitudinal. Overgrowth kira-kira 1-2,5 cm sering terjadi pada
fraktur femur pada anak-anak antara 2-10 tahun. Gips digunakan pada kelompok usia ini untuk
pemendekan beberapa sentimeter. Reduksi sempurna tidak diperlukan karena remodeling begitu
cepat. Penyambungan solid (union) biasanya tercapai dalam 6 minggu.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Fraktur adalah nyeri, hilangnya sungsi deformitas, pemendekan
ekstremitas krepitus, pembekakan lokal dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai frogmen tulang diimobilisasi spasme otot
yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan
gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak
alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap menjadi seperti normalnya. Pergeseran fragmen
pada faktur lengan atau tungkai menyebabkan defromitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas
yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5 sampai 5 cm.
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya fragmen satu dengan lainnya (uji
krepitus dapat kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5. Pembekakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan pendarahan
yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
( Brunner dan Suddarth, 2001 : 2358 )

Tanda Dan Gejala :


1. Nyeri tekan : Karena adanya kerusakan syaraf dan pembuluh darah.
2. Bengkak dikarenakan tidak lancarnya aliran darah ke jaringan.
3. Krepitus yaitu rasa gemetar ketika ujung tulang bergeser.
4. Deformitas yaitu perubahan bentuk, pergerakan tulang jadi memendek karena kuatnya tarikan
otot-otot ekstremitas yang menarik patahan tulang.
5. Gerakan abnormal, disebabkan karena bagian gerakan menjadi tidak normal disebabkan tidak
tetapnya tulang karena fraktur.
6. Fungsiolaesa/paralysis karena rusaknya syaraf serta pembuluh darah.
7. Memar karena perdarahan subkutan.
8. Spasme otot pada daerah luka atau fraktur terjadi kontraksi pada otot-otot involunter.
9. Gangguan sensasi (mati rasa) dapat terjadi karena kerusakan syaraf atau tertekan oleh cedera,
perdarahan atau fragmen tulang.
10. Echumosis dari Perdarahan Subculaneous
11. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan
struktur di daerah yang berdekatan.
12. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah

G. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma (Long, 1996: 356).
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak
langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena
trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan
bisep mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000: 147)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam
jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan
pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang
baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati (Corwin, 2000: 299)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia
jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini
dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2287).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan
rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993)

H. Penatalaksanaan

1. Medis
a. Gips : Prosedur ini bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak
bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi
tulang yang patah tersebut. Kategori gips terdiri dari :
- Gips ekstermitas atas : Mengimobilisasi pergelangan dan/atau siku
- Gips ekstermitas bawah : Mengimobilisasi pergelangan kaki dan/atau lutut
- Gips spika : Mengimobilisasi pinggul dan lutut
- Gips spinal dan vertikal : Mengimobilisasi tulang belakang
2. Traksi secara umum: Traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstreminasi klien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris
dengan sumbu tarikan tulang yang patah. Kegunaan traksi adalah antara lain mengurangi patah
tulang, mempertahankan fragmen tulang pada posisi yang sebenarnya selama penyembuhan,
memobilisasikan tubuh bagian jaringan lunak, memperbaiki deformitas.

Jenis traksi ada dua macam yaitu :


 Traksi kulit, biasanya menggunakan plester perekat sepanjang ekstremitas yang kemudian
dibalut, ujung plester dihubungkan dengan tali untuk ditarik. Penarikan biasanya menggunakan
katrol dan beban.
 Traksi skelet, biasanya dengan menggunakan pin Steinman/kawat kirshner yang lebih halus,
biasanya disebut kawat k yang ditusukan pada tulang kemudian pin tersebut ditarik dengan tali,
katrol dan beban.
3. Reduksi : Reduksi merupakan proses manipulasi pada tulang yang fraktur untuk memperbaiki
kesejajaran dan mengurangi penekanan serta merenggangkan saraf dan pembuluh darah. Jenis
reduksi ada dua macam, yaitu : Reduksi tertutup, merupakan metode untuk mensejajarkan fraktur
atau meluruskan fraktur, dan Reduksi terbuka, pada reduksi ini insisi dilakukan dan fraktur
diluruskan selama pembedahan dibawah pengawasan langsung. Pada saat pembedahan, berbagai
alat fiksasi internal digunakan pada tulang yang fraktur.

4. Penanganan Operatif : Fraktur pediatri tertentu mempunyai prognosis lebih baik jika fraktur
direduksi, dengan teknik terbuka atau tertutup, dan kemudian secara interna atau eksterna
distabilisasi. Sekitar 4 – 5 % fraktur pediatri memerlukan pembedahan. Indikasi yang lazim
untuk stabilisasi operatif pada anak dan ramaja dengan fisis terbuka adalah : Fraktur epifisis
tergeser, Fraktur intra – artikuler tergeser, Fraktur tidak stabil, Fraktur pada anak yang tercedera
berkali – kali dan Fraktur terbuka.

Prinsip – prinsip manajemen bedah fraktur pediatri sangat berbeda dari prinsip – prinsip
manajemen fraktur remaja matur dan orang dewasa. Reduksi tertutup yang berulang kali
dilakukan untuk fraktur epifisis merupakan kontraindikasi karena reduksi ini dapat menyebabkan
cedera berulang pada sel – sel benih fisis. Persekutuan anatomi pada pembedahan adalah suatu
keharusan, terutama pada fraktur intraartikuler dan fisis yang tergeser. Bila digunakan fiksasi
interna, fiksasi ini harus sederhana, (misalnya menggunakan kawat kirschener yang dapat
diambil segera setelah frajtur senbuh).
Fiksasi kaku untuk memungkinkan instabililasi ekstermitas biasanya bukan tujuan utama
tetapi agaknya lebih mengarah pada stabilitas yang cukup untuk mempertahankan alignem
anatomi dengan penambahan immobilisasi, biasanya dengan plester Gips. Akhirnya bila
digunakan fiksasi eksterna, diambil sesegera mungkin digantikan immobilisasi dengan gips.
Tindakan yang terakhir ini diindikasikan apabila masalah jaringan lunak telah terkoreksi, apabila
fraktur stabil atau keduanya.

5. Teknik pembedahan.
Tiga teknik pembedahan dasar digunakan pada manajemen fraktur pediatri.Reduksi terbuka
dan fiksasi interna diperlukan untuk penanganan fraktur epifisis tergeser, terutama fraktur Salter
– Harris tipe III dan IV, fraktur intraartikuler, dan fraktur tidak stabil, seperti fraktur yang
melibatkan diafisis lengan bawah, spina, dan fraktur insilateral femur dan tibia (lutut
mengambang). Indikasi lain meliputi cidera neuromuskuler yang memerlukan perbaikan dan
kadang – kadang fraktur terbuka femur dan tibia. Reduksi tertutup dan fiksasi interna terindikasi
pada epifisis, intraartikuler tergeser spesifik, dan fraktur metafisis tidak stabil dan fraktur
diafisis.
Indikasi untuk fiksasi eksterna pada fraktur pediatri meliputi :
- Fraktur terbuak derajat II dan III berat
- Fraktur yang disertai dengan luka bakar berat
- Fraktur dengan hilangnya tulang atau jaringan lunak luas yang mungkin memerlukan prosedur
rekontruktif, seperti cangkok vaskularisasi bebas, cangkok kulit dll.
- Fraktur yang memerlukan distraksi seperti fraktur dengan kehilangan tulang yang berarti
- Fraktur pelvis tidak stabil
- Fraktur pada anak disertai cidera kepala dan spastisitas
- Fraktur yang memerlukan perbaikan atau rekontruksi vaskuler atau syaraf.
Manfaat fiksasi eksterna meliputi mobilisasi fraktur yang kaku, manajemen terpisah
tungkai yang fraktur dan luka yang menyertai, dan mibilisasi pasien untuk pengobatan cedera
lain dan transportasi untuk prosedur diagnostik dan terapeutik. Sebagian besar komplikasi
dengan fiksasi eksterna adalah infeksi seapanjang pen dan dapat terjadi fraktur lagi setelah pen
diambil.

6. Fisiotherapi
Alat untuk reimobilisasi mencakup exercise terapeutik, ROM aktif dan pasif. ROM pasif
mencegah kontraktur pada sendi dan mempertahankan ROM normal pada sendi. ROM dapat
dilakukan oleh therapist, perawat atau mesin CPM (continous pasive motion). ROM aktif untuk
meningkatkan kekuatan otot.

Proses Penyembuhan Tulang


1. Fase formasi hematon (sampai hari ke-5) : Pada fase ini area fraktur akan mengalami kerusakan
pada kanalis havers dan jaringan lunak, pada 24 jam pertama akan membentuk bekuan darah dan
fibrin yang masuk ke area fraktur sehingga suplai darah ke area fraktur meningkat, kemudian
akan membentuk hematoma sampai berkembang menjadi jaringan granulasi.
2. Fase proliferasi (hari ke-12) : Akibat dari hematoma pada respon inflamasi fibioflast dan kapiler-
kapiler baru tumbuh membentuk jaringan granulasi dan osteoblast berproliferasi membentuk
fibrokartilago, kartilago hialin dan jaringan penunjang fibrosa, akan selanjutnya terbentuk fiber-
fiber kartilago dan matriks tulang yang menghubungkan dua sisi fragmen tulang yang rusak
sehingga terjadi osteogenesis dengan cepat.
3. Fase formasi kalius (6-10 hari, setelah cidera) : Pada fase ini akan membentuk pra prakulius
dimana jumlah prakalius nakan membesar tetapi masih bersifat lemah, prakulius akan mencapai
ukuran maksimal pada hari ke-14 sampai dengan hari ke-21 setelah cidera.
4. Fase formasi kalius (sampai dengan minggu ke-12) : Pada fase ini prakalius mengalami
pemadatan (ossificasi) sehingga terbentuk kalius-kalius eksterna, interna dan intermedialis selain
itu osteoblast terus diproduksi untuk pembentukan kalius ossificasi ini berlangsung selama 2-3
minggu. Pada minggu ke-3 sampai ke-10 kalius akan menutupi tulang.
5. Fase konsolidasi (6-8 Bulan) dan remoding (6-12 bulan) : Pengkokohan atau persatuan tulang
proporsional tulang ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan
lebih terorganisasi. Kalius tulang akan mengalami remodering dimanaosteoblast akan
membentuk tulang baru, sementara osteoklast akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga
akhirnya akan terbentuk tulang yang menyeruapai keadaan tulang yang aslinya.

I. Pengkajian
Pengkajian sekunder
1. Data demografi : Identitas klien
2. Dapatkan riwayat kejadian, cedera sebelumnya, pengalaman dengan tenaga kesehatan
3. Obseravasi adanya manifestasi fraktur:
a. Tanda – tanda cedera : Pembengkakan umum, Nyeri atau nyeri tekan, Penurunan penggunaan
fungsional dari bagian yang sakit (pada anak kecil yang menolak untuk berjalan atau
menggerakkan ekstermitas atas sangat dicurigai terjadi fraktur), Memar, Kaku oto yang parah,
Krepitasi (sensasi memarut pada sisi fraktur)
b. Kaji lokasi fraktur : Observasi adanya deformitas, instruksikan anak untuk menunjukkan area
yang nyeri
c. Kaji sirkulasi dan sensasi distal pada sisi fraktur
d. Bantu dalam prosedur diagnostik dan tes, mis. Raduografi dan tomografi
4. Riwayat imunisasi : Polio, Tetanus.
5. Aktivitas/istirahat
6. Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena keterbatasan mobilitas.
7. Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
b) Hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardi
d) Penurunan nadi pada bagiian distal yang cidera
e) Cavilary refil melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
8. Masa hematoma pada sisi cedera
9. Neurosensori
10. Kesemutan
11. Deformitas, krepitasi, pemendekan kelemahan
12. Kenyamanan : Anak sering menangis, rewel dan tidak tenang akiba tnyeri tiba-tiba saat cidera
spasme/ kram otot.
13. Keamanan : Laserasi kulit, perdarahan perubahan warna, pembengkakan local.
14. Sistem Integumen : Adanya Laserasi, perdarahan edema, serta perubahan warna kulit.
15. Sistem otot : Kekuatan gerak koordinasi.
16. Pemeriksaan diagnostic.
a) Pemeriksaan ronthgen menentukan lokasi/luasnya fraktur/trauma.
b) Scan tulang, Tomogram, Scan CT, MRI : Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
17. Arteriogram : Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai. Hitung darah lengkap : HT, mungkin
meningkat (hemoton sentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ
jauh pada trauma multiple). Peningkatan leukosit
adalah respon stress normal setelah trauma

Pengkajian Terhadap Ekstermitas yang di Gips


1. Pantau status kardiovaskuler.
2. Pantau nadi perifer
3. Pucatkan kulit ekstermitas pada bagian distal dari fraktur untuk memastikan sirkulasi yang
adekuat pada bagian tersebut.
4. Perhatikan keketatan Gips, gips harus memungkinkan insersi jari diantara kulit ekstermitas
dengan gips setelah gips kering.
5. Kaji adanya peningkatan hal – hal tersebut : Nyeri, Bengkak, Rasa dingin, sianosis atau pucat.
6. Kaji gerakan dan sensasi jari tangan atau jari kaki. Minta anak untuk menggerakkan jari tanga
atau jari kaki. Observasi adanya gerakan spontan pada anak yang tidak mampu berespon
terhadap perintah. Laporkan segera tanda – tanda ancaman kerusakan sirkulasi. Intruksikan anak
untuk melaporkan adanya rasa kebas atau kesemutan.
7. Perikas Suhu (gips plester): Reaksi kimia pada proses pengeringan gips, yang meningkatkan
panas.
8. Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau area tekan.
9. Inspeksi bagian dalam gips, untuk adanya benda – benda yang terkadang dimasukkan olrh anak
yang masih kecil.
10. Observasi adanya tanda – tanda infeksi : Periksa adanya drainase, Cium gips untuk adanya bau
memyengat., Waspadai adanya peningkatan suhu, letargi, dan ketidaknyamanan.
11. Observasi kerusakan pernafasan (gips spika): Kji ekspansi pada anak, Obvervasi frekuensi
pernafasan , Observasi warna dan perilaku.
12. Kaji adanya bukti – bukti perdarahan, Kaji adanya peningkatan perdarahn.
13. Kaji terhadap kebutuhan obat analgesic.
J. Pemeriksaan Penunjang

Foto Rontgen :
a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung
b. Mengetahui tempat dan type fraktur
c. Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan selama proses penyembuhan
secara periodic
d. Skor tulang tomography, skor C1, Mr1 : dapat digunakan mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
e. Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
f. Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat ( hemokonsentrasi ) atau menrurun ( perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple) Peningkatan jumlah SDP
adalah respon stres normal setelah trauma
g. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau cedera
hati (Doenges, 1999 : 76 ).

K. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang, spasme otot, edema, cedera pada
jaringan lunak, stres, ansietas, alat traksi/imobilisasi.
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami dan melaporkan adanya rasa
ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak menyenangkan selama 6bulan atau lebih.
Batasan Karakteristik:
Mayor:
Komunikasi (verbal atau penggunaan kode) tentang nyeri yang dideskripsikan.
Minor:
Mengatupkan rahang/ pergelangan tangan, perubahan kemampuan untuk melanjutkan aktivitas
sebelumnya, agitasi, ansietas, peka rangsang, menggosok bagian yang nyeri, mengorok, postur
tidak biasanya, ketidakefektifan fisik/ immobilisasi, masalah dalam konsentrasi, perubahan pada
pola tidur rasa takut mengalami cedera ulang, menarik bila disentuh, mata terbuka lebar atau
sangat tajam gambaran kurus, mual dan muntah.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot, kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilitas tungkai).
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami beresiko mengalami keterbatasan gerak
fisik tetapi bukan immobilisasi.
Mayor : Penurunan kemampuan untuk bergerak dengan sengaja dalam lingkungan.
Minor : Pembatasan pergerakan yang dipaksakan, enggan untuk bergerak.
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka, cedara tusuk, bedah
perbaikan; pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi sirkulasi; akumulasi/sekret,
imobilisasi fisik.
Definisi : Keadaan dimana seorang individu mengalami atau beresiko mengalami kerusakan
integritas jarigan membran mukosa.
Mayor :
Gangguan integumen, atau jaringan membran mukosa atau infasi seluruh tubuh.
Minor : Lesi, edema, eritema, membran mukosa kering.
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer:
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang.
Definisi : keadaan dimana seorang individu beresiko trserang agen patologik atau oportunistik
(virus, jamur, bakeri, dll).
5. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan alat bantu (kruk).
Definisi : keadaan dimana seorang individu beresiko untuk mendapat bahaya karena defisit
perseptual/fisiologis, kurang kesadaran tentang bahaya/usia lanjut.
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi/tidak
mengenal sumber informasi.

Definisi : Keadaan dimana seorang individu/kelompok mengalami defisiensi pengetahuan


kognitif ataupun ketrampilan. Ketrampilan psikomotor, dengan kondisi atau rencana pengobatan.

Mayor : Mengungkapkan kurang pengetahuan atau perawatan informasi, mengekspresikan suatu


ketidakakuratan persepsi status kesehatan.
Minor : Kurang integrasi tentang rencana pengobatan terhadap aktivitas sehari-hari.
Memperlihatkan atau mengekspresikan perubahan psikologis mengakibatkan kesalahan
informasi dan kurang informasi.

L. Fokus Intervensi

1. Nyeri akut berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, spasme otot, edema, cedera pada
jaringan lunak, stres ansietas, alat traksi/imobolisasi.
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri berkurang sampai dengan hilang
Kriteria Hasil:
a). Anak akan mengidentifikasi sumber-sumber nyeri
b). Mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan dan menurunkan nyeri
c). Menggambarkan rasa nyaman dari orang lain selama mengalami nyeri.
Intervensi-rasional :
1) Evaluasi keluhan nyeri, perhatikan lokasi, karakteriktik, intensitas (0-10)
R/ Meningkatkan kefektifan intervensi, tingkatkan ansietas dapat mempengaruhi persepsi atau
reaksi terhadap nyeri
2) Tinggikan dan dukung esktremitas yang terkena
R/ Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri
3) Dorong menggunakan teknik manajemen nyeri
R/ Meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen nyeri
4) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat, traksi
R/ Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan yang
rusak
5) Beri alternatif tindakan kenyamanan : pijatan alih baring
R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot
6) Ukur tanda-tanda vital
7) Beri obat sesuai indikasi:Diberikan untuk menurunkan nyeri

2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot, kerusakan rangka


neuromuskuler: nyeri/ketidaknyamanan; terapi restriktif (imobolisasi tugkai)
Tujuan : Setelah dilakukuan tindakan keperawatan, mobilitas fisik tidak terganggu
Kriteria Hasil:
Klien dapat mempertahankan atau meningkatkan mobilitas yang paling tinggi.

Intervensi:
a). Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan oleh cedera
R/ Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan diri atau persepsi diri tentang keterbatasan fisik
aktual.
b). Instruksikan pasien untuk atau bantu dalam rentang gerak pasien atau aktif pada ekstremitas
yang sakit dan yang tidak sakit
R/Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktor atau atrofi
c). Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodic
R/ Menurunkan resiko kontraktor fleksi panggul
d). Bantu atau dorong perawatan diri atau kebersihan (mandi, keramas)
R/ Meningkatkan kekuatan otot dan sirkulasi, meningkatkan perawatan diri langsung
e). Dorong peningkatan masukan sampai 2000-3000 ml/hari. Termasuk air asam, jus
R/ Mempertahankan hidrasi tubuh menurunkan resiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan
konstipasi
3. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka, cedera tusuk, bedah
perbaikan; pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup, perubahan sensasi sirkulasi; akumulasi
ekskresi/sekret, imobilisasi fisik

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, maka tidak terjadi kerusakan integritas
jaringan
Kriteria hasil :
a). Menunukkan perilaku atau teknik untuk mencegah kerusakan kulit atau memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi.
b). Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
c). Berpartisipasi dalam rencana pengobatan yang di anjurkan dalam meningkatkan
peyembuhan luka.
Intervensi:Rasional
a). Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna
R/ Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat
atau pemasangan gips, edema
b). Masase kulit dan penonjolan tulang pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan
R/Menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko kerusakan kulit
c). Ubah posisi dengan sering
R/ Mengurangi tekanan konstan pada area yang sama dan meminimalkan kerusakan
jaringan
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tak adekuatnya pertahanan primer:
kerusakan kulit, trauma jaringan, terpajan pada lingkungan, prosedur infasif, traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keparawatan, infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
a). Mencapai penyembuhan sesuai waktu, dan demam
b). TTV normal: TD sistole < 130 mmHg, diastole < 85 mmHg, suhu 36-37 C, nadi 78-88
x/mnt.
c). Tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, kolor, tumor, fungsiolaesa).
Intervensi:Rasional
a). Inspeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan kontinuitas
R/ Pen atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi kemerahan atau abrasi
b). Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi, perubahan warna kulit kecoklatan, bau
drainase yang tak enak
R/ Menghindarkan infeksi
c). Obsevasi tanda-tanda vital
d). Kaji adanya tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, color, tumor, fungsiolaesa)

e). Kaji tonus otot, reflek tendon dalam dan kemampuan berbicara:Kekuatan otot, spasme tonik
otot rahang, mengindikasi tetanus
f). Berikan obat sesuai indikasi:
R/ Antibiotik membantu mengatasi nyeri
5. Resiko cidera berhubungan dengan penggunaan alat bantu (kruk).
Intervensi:Rasional
a). Orientasikan pasien terhadap sekeliling
b). Ajarkan penggunaan kruk dgn benar
c). Ajarkan pada orang tua untuk memperkirakan perubahan sering pada kemampuan anak dan
waspada
d). Ajarkan orang tua untuk membantu anak dalam menangani tekanan sebaya yang melibatkan
perilaku resiko
6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi/tidak
mengenal sumber informasi
Intervensi:Rasional
a). Kaji pengetahuan pasien dan keluarga tentang penyakitnya.
b). Jelaskan proses penyakit pada keluarga dan pasien.
c). Berikan informasi yang berhubungan dengan penyakitnya.
d). Diskusikan setiap tindakan yang berhubungan dengan penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA

Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Donges Marilynn, E. (1993). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta. EGC
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Price Sylvia, A (1994), Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 2 . Edisi 4.
Jakarta. EGC
Smeltzer Suzanne, C (1997). Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Edisi 8. Vol 3.
Jakarta. EGC
Tucker,Susan Martin (1993). Standar Perawatan Pasien, Edisi V, Vol 3. Jakarta. EGC

Diposting oleh sukma wati di 12.15


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest

Tidak ada koment

Anda mungkin juga menyukai