BIOLOGI
Di Susun Oleh :
KELOMPOK 2
Alda sri aulya
Riski ayu
Tenri
Mila karmila
Nur fatimah
SMAN 1 TANGGETADA
KAB. KOLAKA
TA. 2017/ 201
i
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan
Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam upaya menambah wawasan dan pengetahuannya.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang.
Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
ii
Daftar isi
Sampul..........................................................................................................................i
Kata pengantar………………………………………......……………………………….…ii
Daftar isi ………………………………………………………………………………….…iii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Syarat pertama adalah logis, dengan kata lain kegiatan berfikir ilmiah harus mengikuti suatu
aturan atau memenuhi pola pikir (logika) tertentu. Kegiatan penalaran yang digunakan si mahasiswa
disebut logis karena ia memehuni suatu pola fikir induktifis atau pola fikir dengan menggunakan
observasi individual untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih general, dengan cara mengamati
refleks si balita ketika diberikan sebilah pisau. Syarat kedua bagi kegiatan penalaran adalah analitis,
atau melibatkan suatu analisa dengan menggunakan pola fikir (logika) tersebut di atas. Ini berarti,
jika si mahasiswa sejarah hanya melihat si anak saat diberikan sebilah pisau tanpa melakukan analisa
apa yang terjadi setelah itu dan tidak menggunakan pola fikir induktifisme dalam analisanya, maka
kegiatannya itu belum dapat disebut sebagai sebuah penalaran atau kegiatan berfikir ilmiah.
Dari penjelasan dan contoh di atas, dapatlah diketahui bahwa dalam proses berfikir kita sehari-
hari, kita dapat membedakan berfikir ilmiah dari kegiatan yang lain, yaitu berfikir non-ilmiah. Pada
penjelasan lebih lanjut, para filosof atau para pemikir menyimpulkan bahwa kegiatan berfikir ilmiah
didapatkan melalui rasio dan indera (juga pengalaman) manusia sehari-hari.
Selain berfikir ilmiah, terdapat dua contoh lain dimana sebuah kegiatan berfikir tidak dapat
disebut sebagai penalaran. Keduanya adalah berfikir dengan intuisi dan berfikir berdasarkan wahyu.
Intuisi adalah kegiatan berfikir manusia, yang melibatkan pengalaman langsung dalam mendapatkan
suatu pengetahuan. Namun, intuisi tidak memiliki pola fikir tertentu, sehingga ia tidak dapat
dikategorikan sebagai kegiatan penalaran. Sebagai misal, seorang Ayah merasa tidak tenang dengan
kondisi anaknya yang sedang menuntut ilmu di luar kota. Tetapi ketika ditanyakan apa sebab yang
menjadi dasar ketidaktenangan dirinya, sang Ayah tidak dapat menyebutkannya dan hanya beralasan
bahwa perasaannya menyatakan ada yang tidak beres dengan si anak yang ada di luar kota. Setelah
menyusul ke tempat anaknya, ternyata si anak sedang sakit parah. Meskipun proses berfikir sang
Ayah mendapatkan kebenaran, tetapi tidak bisa disebut berfikir ilmiah, karena tidak memenuhi suatu
logika tertentu dan terlebih lagi tidak terdapat proses analitis terdapat peristiwa ini.
Selain berfikir intuitif, pengetahuan melalui wahyu juga tidak bisa memenuhi kegiatan
penalaran. Alih-alih menggunakan pola fikir (logika) tertentu dan analisa terhadapnya, wahyu justru
mendasarkan kebenaran suatu pengetahuan bukan pada hasil aktif manusia. Dengan kata lain, melalui
wahyu, akal manusia bersifat pasif dan hanya menerima sebuah kebenaran yang sudah ada (taken for
granted) dengan keyakinannya.
Sampai pada poin ini, perbedaan berfikir ilmiah dari berfikir non-ilmiah memiliki perbedaan
dalam dua faktor mendasar, yakni:
a) Sumber pengetahuan, berfikir ilmiah menyandarkan sumber pengetahuan pada rasio dan
pengalaman manusia, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan sumber
pengetahuan pada perasaan manusia.
b) Ukuran kebenaran, berfikir ilmiah mendasarkan ukuran kebenarannya pada logis dan analitisnya
suatu pengetahuan, sedangkan berfikir non-ilmiah (intuisi dan wahyu) mendasarkan kebenaran
suatu pengetahuan pada keyakinan semata.
Uraian mengenai hakikat berfikir ilmiah atau kegiatan penalaran memperlihatkan bahwa pada
dasarnya, kegiatan berfikir adalah proses dasariah dari pengetahuan manusia. Darinya, kita
membedakan antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan non-ilmiah. Hanya saja, pemahaman
kita tentang berfikir ilmiah belum dapat disebut benar atau sahih sebelum kita melakukan
penyimpulan terhapat proses berfikir kita. Karena pengetahuan sesungguhnya terdiri atas kesimpulan-
kesimpulan dari proses berfikir kita. Dengan kata lain, suatu pengetahuan ilmiah disebut sahih ketika
kita melakukan penyimpulan dengan benar pula. Kegiatan penyimpulan inilah yang disebut logika.
3
Dengan demikian kita sudah mendapati hubungan antara syarat berfikir ilmiah dengan kegiatan
penyimpulan. Keduanya sama-sama memenuhi suatu pola pikir tertentu yang kita sebut logika.
Dilihat dari kegiatan penyimpulannya, logika terbagi menjadi dua bentuk, yaitu logika induktif
dan logika deduktif.
a) Logika Induktif
Kegiatan penarikan kesimpulan melalui logika ini dimulai dari kasus yang
khusus/khas/individual untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih umum/general/fundamental. Kita
tahu bahwa gajah memiliki mata, kambing juga memiliki mata, dan demikian pula lalat memiliki
mata. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan secara induktif bahwa semua hewan memiliki mata.
Logika induktif memiliki berbagai guna bagi kegiatan berfikir ilmiah kita, antara lain: Bersifat
ekonomis bagi kehidupan praksis manusia. Dengan logika induktif kita dapat melakukan generalisasi
ketika kita mengetahui/menemui peristiwa yang sifatnya khas/khusus.
Logika Induktif menjadi perantara bagi proses berfikir ilmiah selanjutnya. Ia merupakan
fase pertama dari sebuah pengetahuan, yang selanjutnya dapat diteruskan untuk mengetahui
generalisasi yang lebih fundamental lagi. Misalnya ketika kita mendapatkan kesimpulan “semua
hewan memiliki mata” lalu kita masukkan manusia ke dalam kelompok ini, bisa saja kita
menyimpulkan “makhluk hidup memiliki mata”.
b) Logika Deduktif
Logika Deduktif adalah kegiatan penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan yang
umum untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih khusus. Pada umumnya, logika deduktif didapatkan
melalui metode Sillogisme yang dicetuskan oleh Filosof Klasik, Aristoteles. Silogisme terdiri dari
premis mayor yang mencakup pernyataan umum, premis minor yang merupakan pernyataan tentang
hal yang lebih khusus, dan kesimpulan yang menjadi penyimpul dari kedua penyataan sebelumnya.
Dengan demikian, kebenaran dalam silogisme atau logika deduktif ini didapatkan dari kesesuaian
antara kedua pernyataan (premis mayor dan minor) dengan kesimpulannya.
4
untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu
fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan
kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT).
Penerapan pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran menuntut adanya perubahan setting
dan bentuk pembelajaran tersendiri yang berbeda dengan pembelajaran konvensional. Beberapa
metode pembelajaran yang dipandang sejalan dengan prinsip-prinsip pendekatan saintifik/ilmiah,
antara lain metode:
(1) Problem Based Learning;
(2) Project Based Learning;
(3) Inkuiri/Inkuiri Sosial; dan
(4) Group Investigation.
Metode-metode ini berusaha membelajarkan siswa untuk mengenal masalah, merumuskan
masalah, mencari solusi atau menguji jawaban sementara atas suatu masalah/pertanyaan dengan
melakukan penyelidikan (menemukan fakta-fakta melalui penginderaan), pada akhirnya dapat
menarik kesimpulan dan menyajikannya secara lisan maupun tulisan.
Dengan demikian, tampaknya pendekatan saintifik/ilmiah dalam pembelajaran sangat mungkin
untuk diberikan mulai pada usia tahapan ini. Tentu saja, harus dilakukan secara bertahap, dimulai dari
penggunaan hipotesis dan berfikir abstrak yang sederhana, kemudian seiring dengan perkembangan
kemampuan berfikirnya dapat ditingkatkan dengan menggunakan hipotesis dan berfikir abstrak yang
lebih kompleks.
Sementara itu, Kemendikbud (2013) memberikan konsepsi tersendiri bahwa pendekatan
ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati,
menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta. Komponen-komponen
tersebut seyogyanya dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi bukanlah sebuah
siklus pembelajaran.
5
hipotesis dalam sebuah penelitian akan sulit penelitian tersebut dipertanggungjawabkan kebenarannya
secara ilmiah.
Langkah terakhir dalam kerangka berpikir ilmiah adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan
merupakan salah satu faktor yang penting dalam sebuah proses penelitian, kenapa demikian, karena
dengan kesimpulan yang ada dalam suatu penelitian akan menjawab permasalahan yang ada dalam
penelitian. Kesimpulan itu berupa natijah hasil dari penafsiran dan pembahasan data yang diperoleh
dalam penelitian, sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam perumusan masalah.
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir ilmiah adalah berpikir rasional dan berpikir empiris. Bersifat ilmiah apabila ia
mengandung kebenaran secara objektif, karena didukung oleh informasi yang telah teruji
kebenarannya dan disajikan secara mendalam, berkat penalaran dan analisa yang tajam. Berpikir
rasional adalah berpikir menggunakan dan mengandalkan otak atau rasio atau akal budi manusia
sedangkan berpikir empiris berpikir dengan melihat realitas empiris, bukti nyata atau fakta nyata yang
terjadi di lingkungan yang ada melalui panca indera manusia.
Strategi pengembangan berpikir ilmiah kepada siswa dapat dilakukan melalui pendekatan
saintifik/ilmiah. Banyak para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan saintifik/ilmiah, selain
dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga
dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu
fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan
untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu
fenomena. Mereka dilatih untuk mampu berfikir logis, runut dan sistematis, dengan menggunakan
kapasistas berfikir tingkat tinggi (High Order Thingking/HOT).
Penerapan berfikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah dapat dilalui dengan langkah-langkah
sebagai berikut: Langkah pertama dalam kerangka berpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah adalah
perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
3.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan, umumnya bagi khalayak umum yang sudah membaca makalah
ini, diharapkan dapat mengetahui konsep dasar berfikir ilmiah, strategi pengembangan berpikir
ilmiah, dan mengetahui penerapan perpikir ilmiah dalam pembelajaran sejarah, sehingga dengan
mengkaji hal tersebut dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan dapat memberikan kontribusi
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dengan menerapkan cara berpikir ilmiah.
7
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Konsep Pendekatan Scientific Sejarah. Jakarta:
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Jujun S. Suariasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
8
9