Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit

infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali

menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain

kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali

oleh akmuer Hasen di norwegia dan memiliki sifat 1). Basil tahan asam dan

tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3). Dapat diisolasi dan diinokulasi,

tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri antara 12-21 hari, 5). Masa

inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra merupakan penyakit yang

menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan

deformitas (Djuanda, 2005).

Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473

orang (data tahun 1992). Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang

ditemukan pada bayi, laki-laki lebih banyak dibanding wanita.

Penularan Mycobacterium Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga

menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak langsung erat

dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan penyakit

morbus hansen adalah umur, jenis kelamin, ras, genetik, iklim,

lingkungan/sosial ekonomi (Asing, 2010).

1
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai

tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk

yang terinfeksi penyakit tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

1. Definisi Penyakit Morbus Hansen ?

2. Apa Etiologi dari Morbus Hansen ?

3. Patogenesis dari Morbus Hansen ?

4. Patofisiologi dari Morbus Hansen ?

5. Asuhan Keperawatan Morbus Hansen ?

1.3.Tujuan Penulisan

1. Diharapkan Mahasiswa/Mahasiswi dapat mengetahui apa itu penyakit

Morbus Hansen

2. Mahasiswa/Mahasiswi bisa mengerti bagaimana Asuhan Keperawatan dari

Morbus Hansen

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Definisi

Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan

oleh Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang

syaraf perifer, kulit, mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian

menyerang organ-organ kecuali susunan syaraf pusat.

penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta

(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan

jaringan tubuh lainnya. (Depkes RI, 1998).

2.2.Etiologi

Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit

kusta/ morbus Hansen yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH

Armouer Hansen pada tahun 1873. Kuman ini bersifat tahan asam

berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar 0,2-0,5 micron.

Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup

dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di

kultur dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi

sistemik pada binatang Armadillo.

3
2.3.Patogenesis

Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan

bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh

yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh, M leprae

terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan

hidup M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang

lama, serta sifat kuman yang avirulens dan nontoksis.

M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada

dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae

masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan

makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit)

untuk memfagositnya.Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-

imunitas, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan

kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang

kemudian dapat merusak jaringan.

Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas

selulartinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman..

Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag akan

berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-

kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak

4
segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa epiteloid akan

menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae,

di samping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya

sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan

imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan

beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi

kerusakan saraf yang progresif.

2.4.Patofisiologi

Mycobakterium Leprae

Masa inkubasi 2 – 10 tahun

Lesi pada kulit dan mukosa

Syaraf dan perifer/mati rasa

Respon tulang dan pemendekan jari-jari

Kerusakan bentuk tubuh karena infiltrasi kulit

1). Tanda Dan Gejala

Tanda Dan GejalaAda 3 tanda cardinal pada penyakit kusta bila salah

satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis

penyakit :

5
1. lesi kulit yang anestesi

2. Penebalan saraf perifer

3. Ditemukan mycobacterium leprae.

Selain itu menurut Ridley dan toppling, kusta dapat dikelompokan

berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan

imonologik menjadi 5 kelompok

1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid (TT)

Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa

macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang

mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik

dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf

perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal.

2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT).

Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai

lesi satelit dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan

saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik.

3. Tipe Borderline-Borderline (BB).Merupakan tipe II yang paling

tidak stabil, dan jarang dijumpai, lesi dapat berbentuk macula infilit,

permukaannya dapat mengkilat, batas kurang jelas, jumlah melebihi

tipe BT dan cenderung simetrik, bentuk, ukuran dan distribusinya

6
bervariasi. Bisa didapat lesi punchedout yaitu hipopigmentasi yang

oral pada bagian tengah, merupakan cirri khas tipe ini

4. Tipe Borderline Lepromatous (BL).Lesi dimulai dengan macula,

awalnya sedikit darem dengan cepat menyebar keseluruhan badan,

macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya. Walau masih kecil

papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi yang hampir simetrik.

Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,

hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan gugurnya rambut lebih

cepat muncul dibandingkan dengan tipe lepromatous dengan

penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi dikulit.

5. Tipe Lepromatous-Lepromatous (LL).Jumlah lesi sangat banyak,

simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilap, terbatas tidak

tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan antidrosis pada

stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping

hidung, dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan

punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai bawah, pada

stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat disertai

madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas hidung,

dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi testis

7
5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Bakterioskopik

Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan

paling infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan

telinga. Denngan menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai

didermis, diputar 90 derajat dan dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat

sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada pemeriksaan akan

tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.

b. Test Mitsuda

Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang

hasilnya dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul

infiltrat di tempat penyuntikan berarti lepromim test positif

6. Pencegahan

a. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk

beluk penyakit lepra pada pasien;

b. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada

dosis therapeutic.

c. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis

terhadap lepra

7. Pengobatan

obat-obatan umum yang biasa dipakai dalam pengobatan Morbus

Hansen :

8
a. PB ( Tipe kering )

Pengobatan bulanan :hari pertama : 2 Kapsul Rifampisin I Tablet

Dapsone (DDS) Pengobatan harian : hari ke 2 – 28 : tablet Dapsone

(DDS) Lama pengobatan : 6 Blister diminum selama 6 – 9 bulan

b. MB ( Tipe basah )

Pengobatan bulanan : hari pertama :2 Kapsul Rifampisin 3 Tablet

Lamrene 1 Tablet Dapsone pengobatan harian : hari ke 2 – 28 :1

Tablet Lamrene 1 Tablet Dapsone (DDS) lama pengobatan : 12 blister

diminum selama 12 – 18.

9
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. Pengkajian

1. Identitas Klien

Mencakup Nama, umur Jenis Kelamin alamat, pekerjaan pendidikan agama dll.

2. Riwayat Kesehatan

o RKD

Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit misalnya:

penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak terjaga atau dengan kata lain

personal higine klien yang kurang baik

o RKS

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi

dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang

gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya Komplikasi pada

organ tubuh dan gangguan perabaan ( mati rasa pada daerah yang lesi )

o RKK

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan

oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-

5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus

hansen akan tertular

10
3. Riwayat Psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita

4. Riwayat Sosial Ekonomi


Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari golonganmenengah
kebawah terutam apada daerah yang lingkungannya kumuh dan sanitasi yang
kurang baik

5. Pola Aktifitas Sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

6. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.

a. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga reflek
kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi
motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta.
Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ
tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak
pada alis mata maka alis mata akan rontok

b. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan
pada tenggorokan.

11
c. Sistem Persyarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada
kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

Kerusakan fungsi motorik


Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur),
bila terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan
(lagophthalmos).
Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi
darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.

d. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau kelumpuhan
otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

e. Sistem Integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem (kemerah-
merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi
otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

3.2. Diagnosa Keperawatan


1) Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
2) Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
3) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

12
4) Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh

3.3. Intervensi Keperawatan


Diagnosa I : Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
Rasional: Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau
mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional: menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi
terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional: Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan
kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional: Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan

Diagnosa 2 : Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses


inflamasi jaringan
Tujuan :setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat
berkurang dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:

13
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3 : Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi
dan aktivitas dapat dilakukan
Kriteria: 1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi:
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit
Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian
aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan
pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam perawatan
pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Dianosa 4 : Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan


ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh

14
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan
konsep diri meningkat
Kriteria: 1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative
Intervensi :
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan
dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan
perilaku menarik diri.
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan
kenyakinan yang salah
Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih
membantu pasien.

15
BAB IV

PENUTUPAN

4.1. Kesimpulan

Lepra (penyakit hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai


oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit,
selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata yang disebabkan
oleh Mycobacterium Leprae yang bersifat intraseluler obligat, saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas.
Penyakit ini terutama menyerang kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air
susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak
mengandung Mycobacterium Leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.
Gejala klinis dapat berupa kelainan saraf tepi (kerusakaan dapat bersifat sensorik,
motorik, san aautonomik). Kerusakan Sensorik : hipoanastesi, anastesi pada lesi.
Motorik : kelemahan otot (ekstremitas, muka, otot mata). Autonomik : Persarafan
kelenjar keringat sehingga lesi terserang nampak lebih kering.

Morbus Hansen jika didiagnosis dini dan pengobatan tepat dan segera
menghasilkan prognosis baik

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes, (1998), Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan ke-


XII, Depkes Jakarta

2. Mansjoer, Arif, (2000), Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta.

Armaeur H. 1875. Morbus Hansen.

Asing I. 2009. Morbus Hansen (kusta/lepra). Askep gangguan muskuloskeletal.

Barakbah J. Prof. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya

Djuanda, adi, Hamzah Mochtar, Aizah siti, 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin edisi 4. FK UI.Jakarta

Erfandi. 2010. Penyakit Kusta dan Asuhan Perawatan

Fadillah Y. 2008. Morbus Hansen (Lepra)

17

Anda mungkin juga menyukai