Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak


negara di seluruh dunia. Epidemi HIV/AIDS merupakan krisis global dan tantangan yang
berat bagi pembangunan dan kemajuan sosial. Banyak negaranegara miskin yang sangat
dipengaruhi epidemi ini ditinjau dari jumlah infeksi dan dampak yang ditimbulkannya.
Bagian terbesar orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang dewasa yang
berada dalam usia kerja dan hampir separuhnya adalah wanita, yang akhir-akhir ini terinfeksi
lebih cepat daripada laki-laki. Konsekwensinya dirasakan oleh perusahaan dan ekonomi
nasional, demikian juga oleh tenaga kerja dan keluarganya.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV).1
AIDS adalah suatu penyakit yang kronik, progressive, dan sangat berbahaya karena
dapat menimbulkan banyak komplikasi infeksi oportunis yang dapat menyebabkan kematian,
oleh karena itu penting halnya untuk tahu bagaimana patogenesis dari virus HIV dalam
menginfeksi tubuh manusia. Dengan diketahuinya patogenesis dari virus HIV, obat untuk
mengatasi virulensi dari virus HIV pun makin dikembangkan. Namun obat – obatan yang
dikembangkan saat ini masih belum bisa untuk menyembuhkan penderita HIV dengan
sempurna. Oleh karena itu obat – obatan yang dikenal sebagai “Anti Retro Viral Drugs
(ARV)” ini masih dikembangkan dan perlu banyak penelitian lebih lanjut. 8,9
Saat ini tidak ada Negara yang terbebas dari HIV/AIDS. Kasus pertama AIDS di dunia
dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari beberapa literature sebelumnya
ditemukan kasus yang cocok dengan definisi surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an
di Amerika Serikat. Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh
Departemen Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali. Dan
kini, kasus HIV/AIDS ini kini semakin meluas dan menyerang berbagai lapisan dan strata
sosial. 2

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh secara bertahap yang disebabkan oleh infeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV).1
Penyakit ini dicirikan dengan timbulnya berbagai penyakit bakteri, jamur, parasit dan
virus yang bersifat oportunistik atau keganasan seperti sarkoma kaposi dan limfoma primer di
otak.1 HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam
tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya
berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem
kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan
sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin
lama akan semakin menurun.

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2014 jumlah statistik penderita HIV sebesar 150.296 dan penderita Aids
55.789 dengan jumlah kematian yaitu 9.796, dan jumlah kasus baru pada tahun 2014
menurun dari tahun sebelumnya yaitu penderita HIV 22.869, penderita Aids 1876 dan jumlah
kematian pada kasus baru sejumlah 211.3
Jumlah terbanyak di Indonesia adalah kedudukan tertinggi pada provinsi Papua lalu
diikuti dengan Bali dan DKI Jakarta. Jumlah paling banyak sekitar umur 20 hingga 29 tahun.
Dan di Indonesia terbanyak pada jenis kelamin laki-laki, dan faktor resiko terbesar
dikarenakan seks bebas.3

2.3 ETIOLOGI
Penyebab penyakit HIV-AIDS adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
merupakan famili humanretrovirus dan subfamilli lentivirus. Ada dua grup retrovirus yang
penting pada manusia, yaitu human T lymphotropic viruses, HTLV-1 dan HTLV-II, serta
Human Immudeficiency Virus, HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 yang terutama menyebabkan
penyakit HIV di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 terutama di Afrika.

2
Secara morfologi HIV memiliki diameter 100 – 150 nm dan berbentuk sferis hingga
oval karena bentuk selubung (envelope) yang menyelimuti partikel virus (core). Selubung
(envelope) virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipid. 6 Dan
pada selubung terdapat glikoprotein yang menonjol – nonjol dari membran sel. Glikoprotein
yang menonjol – nonjol di envelope virus ini terdiri dari gp120 dan gp41 yang berperan
sebagai reseptor untuk melekat (binding) pada reseptor pada membran sel inang.
Gp41(glikoprotein 41) menembus lapisan fosfolipid virus dan menjadi bagian dari reseptor
membran virus, sedangkan gp120 (glikoprotein 120) merupakan akhir dari batang gp41. Pada
bagian dalam membran virus terdapat protein matriks yang disebut p17. Lebih dalam lagi
terdapat kapsid protein menyelubungi komponen primer / inti (core) dari virus yang penting
dalam replikasi virus yang disebut p24. Di dalam inti terdapat 2 untaian RNA yang identik
dengan enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease. Enzim reverse transcriptase
berperan dalam mengubah RNA virus menjadi DNA. Integrase mengintegrasikan DNA virus
ke DNA kromosom dari sel inang, juga memodifikasi protein virus menjadi bentuk yang
dapat digunakan. 4
Pada HIV terdapat protein gen – gen tambahan dibandingkan dengan jenis retrovirus
lainnya yang hanya memiliki 3 gen (gag, pol, dan env). Protein gen HIV terdiri dari protein
struktural (Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev) dan gen aksesoris (Vpu hanya pada
HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2, Vpr, Vif, dan nef). Adapun protein kecil HIV yang punya

3
banyak fungsi, nef (necessary and enforcing factor), yang berperan agar virus dapat
menghindari respon imun. Fungsi nef yang diketahui sampai saat ini adalah downregulasi
permukaan sel sehingga reseptor CD4 mengalami degradasi, downregulasi molekul MHCI
(Major Histocompatibility Class I). Dengan makin sedikitnya reseptor CD4 dan molekul
MHCI, virus dapat berproliferasi tanpa risiko mendapat serangan dari respon imun intrasel
maupun ekstrasel. Nef juga berperan dalam memberi sinyal dan aktivasi produksi virus, dan
meningkatkan daya infeksi dari virus dengan menghancurkan barrier sel seperti
mendegradasi proteosom saat insersi virus ke dalam sel inang (host). Inilah yang
menyebabkan progresivitas dari penyakit AIDS. Dapat dikatakan tanpa adanya nef,
progresivitas penyakit AIDS tidak mungkin terjadi.8

2.4 PATOGENESIS
Target sel dari HIV adalah semua sel sistem imun atau sistem saraf sentral (SSS) yang
mengandung reseptor CD4 dan co-reseptor (chemokine receptor) yang sesuai pada mebran
plasma. Contohnya adalah limfosit T (co-reseptor CCR5), sel T (co-reseptor CXCR4),
monosit dan macrofag (co-reseptor CCR5), eosinofi, sel dendrit SSS (co-reseptor CCR5), sel
mikroglia SSS.1
Replikasi HIV memerlukan 6 tahap yang harus dilalui yakni :
1. Penggabungan dengan sel inang ( binding ) dan masuknya virus 10,11
Reseptor gp120 HIV berhubungan dengan reseptor CD4 dari sel sistem
imn atau SSS. Untuk menyelesaikan ‘binding’, kompleks gp120 berubah
bentuknya sesuai dengan reseptor chemokine yang sesuai (misal CCR5 atau
CCXR4) yang juga harus dihubungkan. Hubungan dari kedua reseptor ini
(gp120 dengan reseptor CD4 dan chemokine ) dapat membuat virus dengan
aman menyatukan gp41 dengan membran sel inang sehingga penyatuan
selubung virus (envelope) dengan membran sel inang (fusion) pun terjadi dan
kapsid dari virus masuk ke dalam sitoplasma sel inang.
2. Pelepasan kapsid virus (uncoating) 10,11
Setelah kapsid virus hancur, 2 untai RNA, enzim reverse transcriptase,
integrase, dan protease dilepaskan dalam sitoplasma.
3. Transkripsi terbalik (reverse transcription) 10,11

4
Dengan bantuan enzim reverse transcriptase, dibuatlah komplemen
provirus berupa DNA double-helix (cDNA) yang merupakan kopi dari RNA
virus yang asli.
Integrase kemudian memotong dinukleotida guanine-thymine dari 3
rantai terakhir dari rantai panjang cDNA. Preintegration complex (PIC) terdiri
dari cDNA, integrase, protein matriks, viral protein R (Vpr), dan protein sel
inang ke dalam nukleus. Mekanisme pasti dari transport ke membran nukleus
masih belum diketahui, mungkin microtubule-actin network yang berperan
berdasarkan penelitian yang ada.
4. Integrasi ke DNA sel host 10,11
Dalam nukleus, integrase mengontrol penggabungan dari rantai 3-
hydroxyl provirus ke rantai 5-fosfat akhir DNA sel host. Kemudian susunan
provirus-DNA host dirapikan oleh enzim dari DNA host sendiri dan
berakhirlah proses integrasi.
5. Sintesis protein dari virus (envelope protein) 10,11
Enzim RNA polimerase dari host mentranskripsi genome dari virus
menjadi molekul RNA, pada tempat yang dinamakan long-terminal repeat
(LTR). Dalam proses ini faktor transkripsi pun berperan untuk memastikan
transkripsi RNA virus dari kompleks DNA host, salah satunya adalah NF-KB
(nuclear factor kappa-light-enhancer of activated B-cells). Adapun
transcriptional activator (Tat), suatu protein virus yang sudah ada membantu
dalam transkripsi mRNA dengan memperpanjang copy dari genome virus dan
mengontrol transkripsi. Tanpa Tat, mRNA virus akan menjadi pendek. Dan Tat
ini akan aktif saat NF-KB bergabung dengan LTR.
RNA virus yang sudah ditranskripsi akan dibelah menjadi bagian yang
lebih kecil dan menjadi mRNA, atau dapat juga dalam keadaan tidak terbelah.
Rev, protein virus membantu dalam mengeluarkan RNA virus dari nucleus.
Dan ribosome dari sel host akan menerjemahkan mRNA menjadi protein –
protein virus. Protease yang dilepaskan dalam sitoplasma waktu virus
mengalami uncoating tadi akan membelah untaian yang sudah diterjemahkan
untuk menyelesaikan sintesis dari gp120, gp41, p24, p17 dan protein – protein
virus lainnya.
Sepasang RNA yang tidak terbelah dan mengandung genome HIV
sepenuhnya akan dibawa bersama dengan enzim replikasi dan protein ketika di

5
sitoplasma sel host. Kapsid virus akan dibentuk oleh protein p24. Protein p17
akan berkumpul di bawah membran plasma sel host dan membentuk matriks
protein virus. Komponen – komponen ini (kapsid, matriks, gp120, gp41) akan
membentuk virus yang masih belum matang yang akan menonjol di membran
plasma sel host dan siap untuk dilepaskan.
6. Eksositosis dari sel host 10,11
Virus yang belum matang ini akan dilepaskan ke ekstraseluler dari sel
host dengan evaginasi dari membran plasma sel host.

6
Kemudian setelah keluar, virus akan menjadi matang saat berada di ekstrasel dan siap
untuk menginfeksi sel lain.
Dalam kondisi provirus, genom virus akan stabil dan mengalami proses replikasi
sebagaimana DNA sel itu sendiri. Akibatnya, setiap DNA sel menjalankan proses replikasi
secara otomatis genom virus akan ikut bereplikasi. Dalam kondisi ini virus bisa memproteksi
diri dari serangan sistem imun tubuh dan sekaligus memungkinkan manusia terinfeksi virus
seumur hidup (a life long infection). (1,5)
Spesifikasi HIV terhadap CD4+ T cell ini membuat virus ini bisa digunakan sebagai
vektor untuk pengobatan gen (gene therapy) yang efisien bagi pasien HIV/AIDS. Soalnya,
vektor HIV yang membawa gen anti-HIV hanya akan masuk ke dalam sel yang sudah dan
akan diinfeksi oleh virus HIV itu sendiri. Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi
HIV karena virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+
berfungsi mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respon imun yang progresif. Kejadian infeksi HIV primer
dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency Virus ( SIV ). SIV dapat
menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada mukosa vagina. (1,5)

7
Virus dibawa oleh antigen presenting cells ke kelenjar getah bening regional. Pada
model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel
individual di kelenjar getah bening yang mengekspresikan SIV dapat di deteksi dengan
hibridisasi in situ dalam 7- 14 hari setelah inokulasi. Viremia SIV dideteksi 7-21 hari setelah
infeksi . Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening berhubungan
dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang mengekspresikan virus di jaringan
limfoid kemudian menurun secara cepat dan di hubungkan sementara dengan pembentukan
respon imun spesifik. Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel
limfosit CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respon sel limfosit CD8+
menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV berada pada keadaan ‘
steady-state ‘ beberapa bulan setelah infeksi . Kondisi ini bertahan relatif stabil selam
beberapa tahun, namun lamanya sangat bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat

8
replikasi HIV tersebut, dengan demikian juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah
heterogeneitas kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. (1,5)
Antibodi muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara
umum dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke level
‘steady state’. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas netralisasi yang kuat
melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat mematikan virus. (1,5)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang
terinfeksi HIV sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50%
berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan
penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan kerusakan
sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (1,5)
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, di mulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada
sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun,
dan ada pula yang perjalanannya lambat (non-pogresor). Seiring dengan makin
memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar
getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes, dll. (1,5)
Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak menunjukkan gejala,
secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk, dan
akhirnya pasien menunjukkan gejala klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi
yang disebut laten secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut
penyakit HIV. Manifetasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh adalah kerusakan
mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV yang luas di jaringan limfoid,
yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi in situ.Sebagian besar replikasi HIV terjadi
di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (1,5)

9
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bias mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 sel setiap hari. (1,5)
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada odha pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada odha yang
tertular dengan cara lain. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntik , makin
mudah terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan
efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah
dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat
menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. (1,5)

2.5 PENULARAN(6,7)
a. Penularan Seksual
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan
vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran
mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko

10
daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih
besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Seks oral tidak berarti tak
berisiko karena HIV dapat masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif. Kekerasan
seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya
tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang
memudahkan transmisi HIV.(6)
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga
karena adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofag) pada semen
dan sekresi vaginal. Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan
Amerika Utara menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko
terinfeksi AIDS akibat adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis
dan/atau chancroid. Resiko tersebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil,
oleh adanya penyakit menular seksual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan
trikomoniasis yang menyebabkan pengumpulan lokal limfosit dan makrofag.(6)
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan
kerentanan pasangan seksual yang belum terinfeksi. Kemudahan penularan bervariasi
pada berbagai tahap penyakit ini dan tidak konstan antar orang. Beban virus plasma yang
tidak dapat dideteksi tidak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau
sekresi alat kelamin. Setiap 10 kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah
sebanding dengan 81% peningkatan laju transmisi HIV. Wanita lebih rentan terhadap
infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi serta fisiologi mikroba vaginal, dan
kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual. Orang yang terinfeksi dengan
HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih mematikan.(6)
b. Kontaminasi Patogen Melalui Darah
Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita
hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan
kembali jarum suntik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh
organisme biologis penyebab penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama
atas infeksi HIV, tetapi juga hepatitis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik
merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C
di Amerika Utara, Republik Rakyat Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan

11
HIV dari satu tusukan dengan jarum yang digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga
sekitar 1 banding 150.
Post-exposure prophylaxis dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko
itu. Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga
dikhawatirkan walaupun lebih jarang. Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang
yang memberi dan menerima rajah dan tindik tubuh. Kewaspadaan universal sering kali
tidak dipatuhi baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan
pelatihan yang tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di
Afrika Sub Sahara ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak
aman. Oleh sebab itu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini
medis umum dalam masalah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan
kewaspadaan universal untuk mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.(6)
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju. Di
negara maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun
demikian, menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah
yang aman dan "antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah
yang terinfeksi".(6)
c. Penularan Masa Perinatal
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa
perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. Bila tidak
ditangani, tingkat penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah
sebesar 25%. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi
antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya
sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memengaruhi risiko infeksi, terutama beban virus
pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban virus, semakin tinggi risikonya).
Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.(6)
Faktor yang berperan pada transmisi ini terutama tingkat viremia pada ibu. Daktor
lain yang mempengaruhi terjadinya transmisi adalah rndahnya jumah el CD4, kemiripan
HLA ibu dan anak, serta lamanya interval antara kerusakan membran dan proses
kelahiran.
d. Transmisi Lewat Cairan Tubuh Lainnya
HIV dengan titer rendah pernah ditemukan dalam saliva, tetapi transmisi praktis tidak
pernah terjadi. Hal ini mungkin karena adanya beberapa substansi sperti HIV spesifik

12
IgA, IgG, IgM. Glikoprotein besar seperti mucin dan trombopoedin 1 yang memisahkan
materi HIV untuk dikeluarkan tubuh, Secretory Leucocyte protease inhibitor.
Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin

2.6 DIAGNOSIS
2.6.1Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan
pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien
memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya.
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA

Faktor risiko infeksi HIV.12

- Seks bebas
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.
Sumber : Depkes RI 2007

13
Daftar tilik riwayat pasien.12

Sumber :Depkes RI 2007

A. Diagnosis HIV pada Orang Dewasa.13


Ada dua sistem klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja
dengan infeksi HIV yaitu menurut WHO dan CDC (Centre for Diseases Control and
Prevention)
1. Klasifikasi menurut CDC
CDC mengklasifikasikan HIV/AIDS pada remaja (>13 tahun dan dewasa)
berdasarkan dua sistem, yaitu dengan melihat jumlah supresi kekebalan tubuh yang

14
dialami pasien serta stadium klinis. Jumlah supresi kekebalan tubuh ditunjukkan oleh
limfosit CD4+. Sistem ini terdiri dari tiga kategori yaitu :

a. Kategori Klinis A : CD4+ > 500 sel/ml


Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimptomatik), Limfadenopati
generalisata yang menetap, infeksi HIV akut primer dengan penyakit penyerta
atau adanya riwayat infeksi HIV akut.
b. Kategori Klinis B : CD4+ 200-499 sel/ml
Terdiri atas kondisi dengan gejala (simptomatik) pada remaja atau orang
dewasa yang terinfeksi HIV yang tidak termasuk dalam kategori C dan memenuhi
paling sedikit satu dari kriteria berikut yaitu keadaan yang dihubungkan dengan
infeksi HIV atau adanya kerusakan kekebalan dengan perantara sel (cell mediated
immunity), atau kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan
penanganan klinis atau membutuhkan penatalaksanaan akibat komplikasi infeksi
HIV.
Termasuk kedalam kategori ini yaitu Angiomatosis basilari, Kandidiasis
orofaringeal, Kandidiasis vulvovaginal, Dysplasia leher rahim, Herpes zoster,
Neuropati perifer, penyakit radang panggul.
c. Kategori Klinis C : CD4+ < 200 sel/ml\
Meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS dan pada tahap ini
orang yang terinfeksi HIV menunjukkan perkembangan infeksi dan keganasan
yang mengancam kehidupannya, meliputi : Sarkoma Kaposi, Kandidiasis
bronki/trakea/paru, Kandidiasis esophagus, Kanker leher rahim invasif,
Coccidiodomycosis, Herpes simpleks, Cryptosporidiosis, Retinitis virus
sitomegalo, Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV, Bronkitis/Esofagitis atau
Pneumonia, Limfoma Burkitt, Limfoma imunoblastik dan Limfoma primer di
otak, Pneumonia Pneumocystis carinii.
2. Klasifikasi menurut WHO.13
Pada beberapa negara, pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia, dalam hal
ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yaitu berdasarkan tanda dan
gejala mayor dan minor. Dua gejala mayor ditambah dua gejala minor didefinisikan
sebagai infeksi HIV simptomatik.

15
WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis
dengan mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor.
Seorang anak yang mempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa
didiagnosis HIV meskipun tanpa pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium
lainnya. Berikut ini adalah tanda-tanda gejala mayor dan minor untuk
mendiagnosis HIV berdasarkan klasifikasi WHO.
a. Gejala mayor
Gagal tumbuh kembang atau penurunan berat badan, Diare kronis, demam
memanjang tanpa sebab serta Tuberkulosis.
b. Gejala minor
Limfadenopati, Kandidiasis oral, batuk menetap, Distress
pernapasan/Pneumonia, infeksi berulang, serta infeksi kulit generalisata.
WHO mengklasifikasikan HIV/AIDS pada orang dewasa menjadi 4 stadium klinis, yaitu :
Stadium klinis HIV.13

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)

16
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis <50 ribu

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2014


Klasifikasi who tentanng immunodefisiensi HIV menggunakan CD4

Sumber : Depkes RI, 2014


CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi. Jika digunakan
bersamaan dengan penilaian klinis, CD4 dapat menjadi petunjuk dini progresivitas penyakit
karena jumlah CD4 menurun lebih dahulu dibandingkan kondisi klinis. Pemantauan CD4
dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau penggantian obat. Jumlah CD4 dapat

17
berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 kali
hasil pemeriksaan CD4 di bawah ambang batas sebelum ARV dimulai. Makin muda umur,
makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun digunakan persentase CD4. Bila ≥ 5 tahun,
jumlah CD4 absolut dapat digunakan. Pada anak < 1 tahun jumlah CD4 tidak dapat
digunakan untuk memprediksi mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada
jumlah CD4 yang tinggi.

2.6.2 Pemeriksaan fisik.12


Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007


Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif.. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang sering

18
ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat badan,
sariawan, dan diare.
Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %

2.6.3 Pemeriksaan penunjang


Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka klien/pasien harus melalui tahapan
konseling dan tes HIV (KT HIV). Secara global diperkirakan setengah ODHA tidak
mengetahui status HIV-nya. Sebaliknya mereka yang tahu sering terlambat diperiksa dan
karena kurangnya akses hubungan antara konseling dan tes HIV dengan perawatan,
menyebabkan pengobatan sudah pada stadium AIDS. Keterlambatan pengobatan mengurangi
kemungkinan mendapatkan hasil yang baik dan penularan tetap tinggi. Tujuan konseling dan
tes HIV adalah harus mampu mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan segera memberi
akses pada layanan perawatan, pengobatan dan pencegahan. KT HIV merupakan pintu masuk
utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Dalam kebijakan dan
strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV,
akses terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi
getting 3 zeroes13.
Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global
yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality; counseling;
correct test results; connections to care, treatment and prevention services). Prinsip 5C
tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV.13
1. Informed Consent

19
Persetujuan akan suatu tindakan pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh
pasien/kliensetelah mendapatkan dan memahami penjelasan yang diberikan secara
lengkap oleh petugas kesehatan tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien/klien tersebut.
2. Confidentiality
Semua isi informasi atau konseling antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor
dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa
persetujuan pasien/klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan
kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai
indikasi penyakit pasien.
3. Counselling
Proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan untuk memberikan informasi
yang jelas dan dapat dimengerti klien atau pasien. Konselor memberikan informasi,
waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan
dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang
diberikan lingkungan. Layanan konseling HIV harus dilengkapi. dengan informasi
HIV dan AIDS, konseling pra-Konseling dan Tes pascates yang berkualitas baik.
4. Correct test results
Hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar pemeriksaan HIV
nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada
pasien/klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa.
5. Connections to, care, treatment and prevention services
Pasien/klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan,
dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan
terpantau.

Tes Diagnosis HIV13


Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS ditambahkan dan ditegaskan pula indikasi tes HIV, yaitu:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang diduga terjadi
infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin

20
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan HIV.

Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan diagnosis.
Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.13
Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:
1. Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan
mikroskop elektron dan deteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus
ialah Polymerase Chain Reaction (PCR)
2. Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan Tes
Enzyme-Linked Immunoassay (ELISA),
A. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
 Rapid Test
Tes cepat dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk
Kementerian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1
maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit
bergantung pada jenis tesnya.

 Tes Enzyme-Linked Immunoassay (ELISA)


Tes ini digunakan untuk skrining untuk mendiagnosis HIV, mendeteksi
antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Tes ELISA sangat sensitif tapi tidak
selalu spesfik, karena penyakit lain juga bisa menunjukkan hasil positif
sehingga menyebabkan false positif, diantaranya penyakit autoimun
ataupun karena infeksi. Sensitivitasnya antara 98%-100%.
 Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang
sulit.western bolt memiliki spesifitas antara 99,6%-100%. Namun
pemeriksaannya cukup sulit, mahal dan membutuhkan waktu yang lama.

B. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)

21
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang
dari 18 bulan untuk menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi
serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah
untuk HIV-2) . Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah
lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan
menggunakan plasma darah.
Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika
HIV DNA tidak tersedia.

Tes Diagnosis HIV pada Anak > 18 bulan, Remaja dan Dewasa menurut Depkes 2014
Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III
(pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas dan
spesivisitasnya). Pemeriksaan pertama (A1) mrnggunakan tes dengan sensitivitas yang tinggi
(>99%), sedangkan untuk pemeriksaan selanjutnya (A2,A3) bila A1 berhasil positif,
menggunakan tes dengan spesifitas tinggi >99%

22
Keputusan klinis dari hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif, dan
indeterminate. Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya

23
2.7 KOMPLIKASI
a. Penyakit Saluran Pernapasan14,15
Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP jarang dijumpai pada orang sehat yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, tetapi umumnya dijumpai pada orang yang
terinfeksi HIV. Penyebab penyakit ini adalah fungi Pneumocystis jirovecii. Sebelum
adanya diagnosis, perawatan, dan tindakan pencegahan rutin yang efektif di negara-
negara Barat, penyakit ini umumnya segera menyebabkan kematian. Di negara-negara
berkembang, penyakit ini masih merupakan indikasi pertama AIDS pada orang-orang
yang belum dites, walaupun umumnya indikasi tersebut tidak muncul kecuali jika jumlah
CD4 kurang dari 200 per µL.
Tuberkulosis (TBC) merupakan infeksi unik di antara infeksi-infeksi lainnya yang
terkait HIV, karena dapat ditularkan kepada orang yang sehat (imunokompeten) melalui
rute pernapasan (respirasi). Ia dapat dengan mudah ditangani bila telah diidentifikasi,
dapat muncul pada stadium awal HIV, serta dapat dicegah melalui terapi pengobatan.

24
Namun demikian, resistensi TBC terhadap berbagai obat merupakan masalah potensial
pada penyakit ini.
Meskipun munculnya penyakit ini di negara-negara Barat telah berkurang karena
digunakannya terapi dengan pengamatan langsung dan metode terbaru lainnya, namun
tidaklah demikian yang terjadi di negara-negara berkembang tempat HIV paling banyak
ditemukan. Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per µL), TBC muncul
sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, ia sering muncul sebagai
penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner).
Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik (konstitusional) dan tidak terbatasi
pada satu tempat.TBC yang menyertai infeksi HIV sering menyerang sumsum tulang,
tulang, saluran kemih dan saluran pencernaan, hati, kelenjar getah bening (nodus limfa
regional), dan sistem syaraf pusat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih
berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner.
b. Penyakit Saluran Pencernaan16
Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari
mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi
jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks-1 atau virus sitomegalo). Ia pun
dapat disebabkan oleh mikobakteria, meskipun kasusnya langka.
Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena
berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri dan parasit yang umum (seperti Salmonella,
Shigella, Listeria, Kampilobakter, dan Escherichia coli), serta infeksi oportunistik yang
tidak umum dan virus (seperti kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, Mycobacterium avium
complex, dan virus sitomegalo (CMV) yang merupakan penyebab kolitis).
Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang
digunakan untuk menangani HIV, atau efek samping dari infeksi utama (primer) dari HIV
itu sendiri. Selain itu, diare dapat juga merupakan efek samping dari antibiotik yang
digunakan untuk menangani bakteri diare (misalnya pada Clostridium difficile). Pada
stadium akhir infeksi HIV, diare diperkirakan merupakan petunjuk terjadinya perubahan
cara saluran pencernaan menyerap nutrisi, serta mungkin merupakan komponen penting
dalam sistem pembuangan yang berhubungan dengan HIV.
c. Penyakit Syaraf dan Jiwa17

25
Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan
pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisma atas
sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu
sendiri.
Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit bersel-satu, yang
disebut Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan
radang otak akut (toksoplasma ensefalitis), namun ia juga dapat menginfeksi dan
menyebabkan penyakit pada mata dan paru-paru. Meningitis kriptokokal adalah infeksi
meninges (membran yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang) oleh jamur
Cryptococcus neoformans. Hal ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, lelah, mual,
dan muntah. Pasien juga mungkin mengalami sawan dan kebingungan, yang jika tidak
ditangani dapat mematikan.
Leukoensefalopati multifokal progresif adalah penyakit demielinasi, yaitu penyakit
yang menghancurkan selubung syaraf (mielin) yang menutupi serabut sel syaraf (akson),
sehingga merusak penghantaran impuls syaraf. Ia disebabkan oleh virus JC, yang 70%
populasinya terdapat di tubuh manusia dalam kondisi laten, dan menyebabkan penyakit
hanya ketika sistem kekebalan sangat lemah, sebagaimana yang terjadi pada pasien AIDS.
Penyakit ini berkembang cepat (progresif) dan menyebar (multilokal), sehingga biasanya
menyebabkan kematian dalam waktu sebulan setelah diagnosis.
Kompleks demensia AIDS adalah penyakit penurunan kemampuan mental (demensia)
yang terjadi karena menurunnya metabolisme sel otak (ensefalopati metabolik) yang
disebabkan oleh infeksi HIV; dan didorong pula oleh terjadinya pengaktifan imun oleh
makrofag dan mikroglia pada otak yang mengalami infeksi HIV, sehingga mengeluarkan
neurotoksin. Kerusakan syaraf yang spesifik, tampak dalam bentuk ketidaknormalan
kognitif, perilaku, dan motorik, yang muncul bertahun-tahun setelah infeksi HIV terjadi.
Hal ini berhubungan dengan keadaan rendahnya jumlah sel T CD4 + dan tingginya muatan
virus pada plasma darah. Angka kemunculannya (prevalensi) di negara-negara Barat
adalah sekitar 10-20%, namun di India hanya terjadi pada 1-2% pengidap infeksi HIV.
Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan subtipe HIV di India.
d. Kanker dan Tumor Ganas18,19
Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi

26
genetik; yaitu terutama virus Epstein-Barr (EBV), virus herpes Sarkoma Kaposi (KSHV),
dan virus papiloma manusia (HPV).
Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi
HIV. Kemunculan tumor ini pada sejumlah pemuda homoseksual tahun 1981 adalah salah
satu pertanda pertama wabah AIDS. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari subfamili
gammaherpesvirinae, yaitu virus herpes manusia-8 yang juga disebut virus herpes
Sarkoma Kaposi (KSHV). Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik
keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan,
dan paru-paru.
Kanker getah bening tingkat tinggi (limfoma sel B) adalah kanker yang menyerang sel
darah putih dan terkumpul dalam kelenjar getah bening, misalnya seperti limfoma Burkitt
(Burkitt's lymphoma) atau sejenisnya (Burkitt's-like lymphoma), diffuse large B-cell
lymphoma (DLBCL), dan limfoma sistem syaraf pusat primer, lebih sering muncul pada
pasien yang terinfeksi HIV. Kanker ini seringkali merupakan perkiraan kondisi
(prognosis) yang buruk. Pada beberapa kasus, limfoma adalah tanda utama AIDS.
Limfoma ini sebagian besar disebabkan oleh virus Epstein-Barr atau virus herpes
Sarkoma Kaposi.
Kanker leher rahim pada wanita yang terkena HIV dianggap tanda utama AIDS.
Kanker ini disebabkan oleh virus papiloma manusia.
Pasien yang terinfeksi HIV juga dapat terkena tumor lainnya, seperti limfoma Hodgkin,
kanker usus besar bawah (rectum), dan kanker anus. Namun demikian, banyak tumor-
tumor yang umum seperti kanker payudara dan kanker usus besar (colon), yang tidak
meningkat kejadiannya pada pasien terinfeksi HIV. Di tempat-tempat dilakukannya terapi
antiretrovirus yang sangat aktif (HAART) dalam menangani AIDS, kemunculan berbagai
kanker yang berhubungan dengan AIDS menurun, namun pada saat yang sama kanker
kemudian menjadi penyebab kematian yang paling umum pada pasien yang terinfeksi
HIV.

e. Infeksi oportunistik lainnya15-19


Pasien AIDS biasanya menderita infeksi oportunistik dengan gejala tidak spesifik,
terutama demam ringan dan kehilangan berat badan. Infeksi oportunistik ini termasuk
infeksi Mycobacterium avium-intracellulare dan virus sitomegalo. Virus sitomegalo dapat

27
menyebabkan gangguan radang pada usus besar (kolitis) seperti yang dijelaskan di atas,
dan gangguan radang pada retina mata (retinitis sitomegalovirus), yang dapat
menyebabkan kebutaan. Infeksi yang disebabkan oleh jamur Penicillium marneffei, atau
disebut Penisiliosis, kini adalah infeksi oportunistik ketiga yang paling umum (setelah
tuberkulosis dan kriptokokosis) pada orang yang positif HIV di daerah endemik Asia
Tenggara.

2.8 PENATALAKSANAAN13
Terapi anti-HIV
Dalam siklus hidup virus HIV, ada empat tahap yang dapat diintervensi dengan obat
antiretroviral; yaitu:
1. Transkripsi balik (reverse transcription), yang dihambat dengan reverse
transcriptaseinhibitor (RTI). RTI terbagi atas analog nukleosida (nucleoside reverse
transcriptase inhibitors, NRTI) dan analog nonnukleosida (non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors, NNRTI).
2. Protease, yang dihambat protease inhibitors (PI)
3. Fusi membran, yang dihambat oleh fusion inhibitors (FI).
4. Integrasi materi genetik (DNA), yang dihambat oleh integrase inhibitors (II).
Mekanisme kerja obat antiretroviral dapat dilihat pada skema berikut ini.

28
RTI bekerja dengan menghambat enzim reverse transkriptase selama proses transkripsi RNA
virus pada DNA pejamu. Analog NRTI akan mengalami fosforilasi menjadi bentuk trifosfat,
yang kemudian secara kompetitif mengganggu transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA
virus akan mengalami terminasi.
Obat yang termasuk NRTI antara lain zidovudin, zalcitabine, abacavir, didanosine,
stavudine, lamivudine, dan tenofovir. Sedangkan analog NNRTI akan berikatan langsung
dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk NNRTI
antara lain efavirenz, nevirapine, delavirdine, dan etravirine.
PI bekerja dengan cara menghambat protease HIV. Setelah sintesis mRNA dan
poliprotein HIV, protease HIV akan memecah poliprotein HIV menjadi sejumlah protein
fungsional. Dengan pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih
terjadi, namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk
golongan PI antara lain saquinavir, amprenavir, ritonavir, indinavir, lopinavir, dan atazanavir.
FI bekerja dengan menghambat masuknya virus ke dalam sel pejamu, dengan cara berikatan
dengan subunit gp41. Obat yang termasuk FI antara lain enfuvirtide dan maraviroc. Namun
secara spesifik, maraviroc digolongkan dalam CCR5 antagonis (CC chemokine receptor 5).
Maraviroc bekerja dengan mengikat reseptor CCR5 di permukaan sel CD4+ dan mencegah
perlekatan virus HIV dengan sel pejamu II bekerja dengan menghambat penggabungan
(integrasi) DNA virus dengan pejamu. Obat yang termasuk golongan II adalah raltegravir.
Terapi anti-HIV yang dianjurkan saat ini adalah HAART (highly active antiretroviral
therapy), yang menggunakan kombinasi minimal tiga obat antiretroviral. Terapi ini terbukti
efektif dalam menekan replikasi virus (viral load) sampai dengan kadar di bawah ambang
deteksi.

 Persiapan pemberian ARV


Prinsip pemberian ARV adalah harus menggunakan 3 jenis obat yang ketiganya harus
terserap dan berada dalam dosis terapeutik dalam darah,dikenal dengan highly active
antiretroviral therapy (HAART). Istilah HAART sering disingkat menjadi ART
(antiretroviral therapy) atau terapi ARV.
Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan
pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping/toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan harga
obat.Konseling terapi yang memadai sangat penting untuk terapi seumur hidup dan

29
keberhasilan terapi jangka panjang. Isi dari konseling terapi ini termasuk: kepatuhan minum
obat, potensi/kemungkinan risiko efeksamping atau efek yang tidak diharapkan atau
terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome/IRIS) setelah
memulai terapi ARV, terutama pada ODHA dengan stadium klinis lanjut atau jumlah CD4
<100 sel/mm3, dan komplikasi yang berhubungan dengan terapi ARV jangka panjang.
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum
inisiasi ARV dan membantu penentuan paduan yang akan digunakan
Rekomendasi tes laboratorium untuk persiapan inisiasi ARV

 Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART


ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu dimonitor perjalanan
klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan
bayi yang lebih muda. Evaluasi klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk
pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV.
Parameter klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO
pada setiap kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk
pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV.
 Indikasi Memulai ART

30
Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan,
meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi.
Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak

a. Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8
minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan
CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai
pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5
minggu pengobatan kriptokokus.
 Paduan ART Lini Pertama
Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV).
ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa,
termasuk ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB

 Pemantauan Setelah Pemberian ARV


Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan.

31
1. Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV
Penilaian klinis dan tes laboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA
sebelum inisiasi ART dan berguna untuk memonitor respons pengobatan dan
kemungkinan toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter
dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART.
Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau
lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan.
Tes laboratorium yang direkomendasikan

 Pemantauan Sindroma Pulih Imun


Penting sekali melakukan pemantauan dalam 6 bulan pertama terapi ARV. Perbaikan
klinis dan imunologis diharapkan muncul dalam masa pemantauan ini, selain untuk
mengawasi kemungkinan terjadinya sindrom pulih imun (Immune Reconstitution
Inflammatory Syndrome/IRIS) atau toksisitas obat. Pemantauan awal dan pemantauan

32
selanjutnya harus selalu dilakukan untuk memastikan keberhasilan terapi ARV, memantau
efek samping obat dan perlu tidaknya substitusi, mendeteksi masalah terkait kepatuhan, dan
menentukan kapan terapi ARV harus diganti (switch) ke lini selanjutnya. Kepatuhan
pengobatan didefinisikan sebagai sejauh mana perilaku ODHA dalam menjalani pengobatan,
sesuai dengan yang dianjurkan oleh petugas kesehatan.
Untuk terapi ARV, kepatuhan yang tinggi sangat diperlukan untuk menurunkan
replikasi virus dan memperbaiki kondisi klinis dan imunologis; menurunkan risiko timbulnya
resistansi ARV; dan menurunkan risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan adalah
dukungan kepatuhan, tidak selalu penggantian ke obat ARV alternatif. Berbagai faktor seperti
akses pengobatan, obat ARV dan faktor individu mempengaruhi kepatuhan terhadap ARV.
Faktor individu dapat berupa lupa minum obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas, depresi
atau penyakit lain, bosan minum obat, atau penggunaan alkohol dan zat adiktif.
 Diagnosis kegagalan terapi ARV
Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis,
imunologis, dan klini. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak dapat
dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu
kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini. ODHA
harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalam keadaan
kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian
kegagalan dilakukan setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan.

33
34
 Paduan ARV Lini Kedua
Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami
kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi
ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi
resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2
NRTI + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa,
remaja, dan juga anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama.
Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin,
dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah obat yang sama sekali belum
dipakai sebelumnya. Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke
NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan.

35
 Paduan ART Lini Ketiga
Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan yang
efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua harus
menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal
terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA
menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes
resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Pada penentuan indikasi dan
memulai lini ketiga, diperlukan konsultasi dengan rumah sakit rujukan yang sudah
mempunyai pengalaman.

Pencegahan penularan HIV melalui terapi ARV


1. Pencegahan Penularan HIV pada pasangan serodiskordan
Terapi ARV adalah pencegahan penularan HIV paling efektif saat ini. Orang dengan
HIV yang mempunyai pasangan seksual non-HIV (pasangan serodiskordan) harus
diinformasikan bahwa terapi ARV juga bertujuan untuk mengurangi risiko penularan
pada pasangannya. Orang HIV tersebut dengan CD4 < 350 sel/mm3, atau menderita
TB paru aktif, atau hepatitis B, atau sedang hamil atau menyusui, dan yang akan
memulai terapi ARV, perlu ditekankan informasi pencegahan penularan sehingga
kepatuhan terhadap ARV menjadi lebih baik. Jika orang dengan HIV yang
mempunyai pasangan serodiskordan tersebut mempunyai jumlah CD4 > 350 sel/mm3

36
atau tidak mempunyai indikasi memulai ARV lainnya, sebaiknya ditawarkan untuk
memulai terapi ARV segera dengan tujuan menurunkan penularan HIV kepada
pasangannya.
2. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari ibu HIV dapat tertular HIV, dengan
perincian risiko 5-10% selama masa kehamilan, 10-20% pada saat persalinan, dan 5-
20% pada saat menyusui. Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan
menjadi kurang dari 2%. Bahkan, kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak
terdeteksi (undetected) dalam terapi antiretroviral sebelum kehamilan. Setelah
diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan
agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat.
Upaya ini terdiri dari :
1) Pemberian ARV pada ibu hamil
Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV
yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+).
Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan sebagai
acuan untuk memulai terapi. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan
ART pada orang dewasa lainnya. Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh
diberikan pada trimester pertama, belakangan tidak terbukti menunjukkan efek
teratogenik dibandingkan bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli
2012 WHO mengeluarkan kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu
hamil. Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV
berapapun usia kehamilan. Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum
kehamilan, ARV dapat diteruskan tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan
setelah melahirkan hingga seterusnya
2) Persalinan yang aman
Persalinan untuk ibu dengan HIV dapat berupa persalinan per vaginam
maupun seksio sesarea. Persalinan seksio sesarea berisiko lebih kecil untuk
penularan terhadap bayi, namun perlu dipertimbangkan risiko lainnya.
Persalinan per vaginam dapat dipilih jika ibu sudah mendapat pengobatan
ARV dengan teratur selama setidaknya enam bulan dan/atau viral load kurang

37
dari 1.000 kopi/mm3 pada minggu ke-36. Persalinan per vaginam maupun
seksio sesarea tersebut dapat dilakukan di semua fasilitas kesehatan yang
mampu tanpa memerlukan alat pelindung diri khusus, selama fasilitas tersebut
melakukan prosedur kewaspadaan standar.
3) Pemberian ARV pencegahan pada bayi
Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI eksklusif maupun
susu formula, diberi Zidovudin dalam 12 jam pertama selama enam minggu.
4) Pemberian nutrisi yang aman pada bayi.
Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan
mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya
yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat
AFASS (affordable/terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat
diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Di
negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO
menganjurkan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu
mendapat terapi ARV secara teratur dan benar.
3. Pencegahan Pasca Pajanan HIV (PPP)
Pencegahan pasca pajanan (PPP) adalah pemberian ARV dalam waktu singkat untuk
mengurangi kemungkinan didapatnya infeksi HIV setelah terpapar ketika bekerja atau
setelah kekerasan seksual. PPP sebaiknya ditawarkan pada kedua kelompok pajanan
tersebut dan diberikan sesegera mungkin dalam waktu 72 jam setelah paparan.
Penilaian kebutuhan PPP harus berdasarkan status HIV sumber paparan jika
memungkinkan, dan pertimbangan prevalensi dan epidemiologi HIV di tempat
tersebut. PPP tidak diberikan jika orang yang berisiko terpapar sebenarnya HIV positif
atau sumber paparannya HIV negatif. Lamanya pemberian PPP HIV adalah 28-30
hari. Pilihan obat PPP harus didasarkan pada paduan ARV lini pertama yang
digunakan, juga mempertimbangkan kemungkinan resistansi ARV pada sumber
paparan. Oleh karena itu, sebelum pemberian PPP sebaiknya diketahui jenis dan
riwayat ARV sumber paparan, termasuk kepatuhannya.

38
Penanganan Infeksi Opportunistik
1. Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol
Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV.
Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol
dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada
beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan
pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis
dan infeksi bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian
kotrimoksasol

2. Tuberkulosis
Berdasarkan International Standar for Tuberculosis Care (ISTC) prinsip tata laksana
pengobatan TB pada ODHA sama seperti pasien TB umumnya. Obat TB pada ODHA sama
efektifnya dengan pasien TB umumnya. ODHA dengan TB mempunyai sistem imunitas yang
rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis kronis dan lainnya, sehingga sering
timbul efek samping dan interaksi obat yang berakibat memperburuk kondisi. Pada keadaan

39
tersebut sebagian obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi tersebut
menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta kepatuhan ODHA sering terganggu.
Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan OAT lini pertama kategori 1 yang disepakati secara internasional.

 Pemantauan Pasien dalam terapi ARV

1. Pemantauan Klinis
a. Frekwensi pemantauan klinis tergantung dari respon terapi ARV. Batasan
minimalnya perlu dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak
memulai ARV kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah stabil.
b. Yang dinilai adalah tanda dan gejala efek samping obat, gagal terapi,
frekwensi infeksi oportunistik, konseling ke pasien untuk memahami terapi
ARV dan dukungan kepatuhan
2. Pemantauan Laboratoris
a. Pemantauan CD4 rutin tiap 6 bulan atau bila ada indikasi klinis. Angka
limfosit total (TLC = Total Lymphocyte Count) digunakan untuk memprediksi
keberhasilan terapi, bukan untuk memantau terapi.
b. Untuk pasien yang akan mulai terapi dengan AZT perlu untuk dilakukan
pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum mulai terapi, minggu ke 4, 8, 12
sejak mulai terapi atau ada indikasi gejala anemia.
c. Pengukuran enzim transaminase dan kimia darah lain perlu dilakukan bila ada
tanda dan gejala, bukan berdasar sesuatu yang rutin. Namun bila
menggunakan NVP untuk wanita dengan CD4 250-350 sel/mm3 perlu

40
dilakukan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8, 12 sejak
mulai ARV
d. Evaluasi fungsi ginjal perlu pada pasien yang mendapat TDF
e. Hiperlaktatemi dan asidosis laktat pada pasien yang mendapat NRTI, terutama
d4T. Tidak dianjurkan untuk pemeriksaan rutin, kecuali pasien menunjukkan
gejala.
f. PI (Protease Inhibitor) mempengaruhi metabolisme glukosa dan lipid.
Pemeriksaan dianjurkan bila bergejala.
g. Viral Load (VL) tidak dianjurkan sampai sekarang karena keterbatasan
fasilitas dan kemampuan pasien. Pemeriksaan VL digunakan untuk membantu
diagnosis gagal terapi, dan ini dapat memprediksi gagal terapi lebih awal.
Harapan terapi ARV dapat menurunkan VL menjadi tidak terdeteksi
(undetectable) setelah bulan ke 6
3. Pemantauan jumlah CD4
a. ARV meningkatkan jumlah CD4
b. Dapat tidak terjadi terutama pada pasien jumlah CD4 sangat rendah. Namun
bukan menutup kemungkinan pasien mencapai pemulihan, hanya perlu waktu
yang lebih lama.
c. Curiga gagal obat secara imunologis bila CD4 pasien tidak pernah mencapai
100 sel/mm3, atau pernah tinggi kemudian turun perlahan – lahan secara
progresif tanpa ada penyakit lain.
4. Kematian dalam terapi ARV
a. Penyebab kematian pasien :
i. Penanganan infeksi oportunis yang tidak adekuat
ii. Efek samping ARV yang berat (misal SJS)
iii. Gagal fungsi hati stadium akhir (ESLD – End Stage Liver Disease)

2.9 PROGNOSIS
Tidak ada obat untuk infeksi HIV. Sebelum kita memiliki pengobatan apapun untuk
virus, penderita AIDS hidup hanya untuk beberapa tahun. Untungnya, obat telah secara
substansial meningkatkan tingkat prospek dan kelangsungan hidup. Upaya pencegahan telah
seignifikan mengurangi infeksi HIV pada anak muda dan memiliki potensi untuk membatasi
secara signifikan infeksi baru pada populasi lainnya.19
Obat-obatan telah memperpanjang harapan hidup, dan banyak orang yang mengidap
HIV dapat berharap untuk hidup selama puluhan tahun dengan pengobatan yang tepat.

41
Harapan hidup normal akan semakin meningkat jika mereka mengikuti pengobatan secara
disiplin.19
Obat-obatan membantu pemulihan sistem kekebalan tubuh pulih dan melawan infeksi
dan mencegah kanker terjadi. Nantinya, virus bisa menjadi resisten terhadap obat yang
tersedia, dan manifestasi AIDS bisa terjadi. Obat yang digunakan untuk mengobati HIV dan
AIDS tidak menghilangkan infeksi. Hal ini penting diingat bagi pengidap HIV bahwa dia
masih menularkan virus HIV bahkan setelah menerima pengobatan yang efektif.19

BAB III
KESIMPULAN

HIV (Human Immunodeficiecy Virus) merupakan virus retro RNA yang dapat
menyebabkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Virus ini memiliki bagian
envelope (selubung) dan core (inti) di mana pada envelope terdapat protein gp41 dan gp120
yang membantu dalam proses infeksi virus pada sel target. Dan pada core diselubungi oleh
kapsid dan berisi materi – materi virus yang sangat penting dalam proses replikasi virus

42
seperti 2 untai RNA, enzim reverse transcriptase, integrase, dan protease. Masing – masing
materi tersebut memiliki fungsinya masing – masing dalam proses replikasi virus.
Sel target dari HIV adalah semua sel sistem imun atau sistem saraf sentral (SSS) yang
mengandung reseptor CD4 dan co-reseptor (chemokine receptor) yang sesuai pada mebran
plasma seperti sel T khususnya.
Adapun reaksi dari tubuh terhadap infeksi dari virus HIV berupa respon imun bawaan
dan respon imun adaptif. Respon imun yang melibatkan sitokin – sitokin tersebut dapat
memperparah maupun menghambat perjalanan penyakit AIDS itu sendiri. Masing – masing
respon imun tersebut dapat membuat serangkaian fase dari perjalanan penyakit dari AIDS itu
sendiri di mana didapati CD4 yang akan terus menurun hingga menuju kematian.
Dengan perkembangan zaman dan banyaknya penelitian mengenai patofisiologi HIV,
maka obat dari HIV pun dapat dibuat untuk menghambat replikasi dari HIV dan
memperlambat progresivitas dari penyakit yang dinamakan obat anti retroviral (ARV).
Obat ARV sendiri diklasifikasikan menjadi 5 yakni NNRTI (Non-Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor), NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), PI (Protease
Inhibitor), EIs / FIs (Entry / Fusion Inhibitors), INSTIs (Integrase Strand Transfer
Inhibitors). Hanya saja EIs dan INSTIs masih dalam tahap pengembangan sehingga yang
banyak dipakai adalah NNRTI, NRTI, dan PI. Masing – masing golongan bekerja pada fase –
fase dari replikasi HIV dengan sifat menghambat / menginhibisi.

Sistim pengobatan dari ARV ini sendiri tidak dapat menggunakan monoterapi seperti
pada pengobatan dari penyakit pada umumnya. Alasannya adalah pengobatan monoterapi
ditakutkan dapat menyebabkan resistensi yang menyebabkan kegagalan dari pengobatan.
Oleh karena itu pengobatan ARV menggunakan sistim kombinasi dimana terus
dikembangkan dari tahun ke tahun.
Pengobatan ARV memerlukan waktu seumur hidup dari penderita karena pengobatan
hanya bersifat menghambat progresivitas penyakit, bukan menyembuhkan atau
menghilangkan HIV dari tubuh penderita. Oleh karena itu penting halnya untuk
memperhatikan efek – efek samping yang cukup berat dari obat – obatan ARV itu sendiri
yang dapat muncul dan memperberat kondisi dari penderita, melihat sistim pengobatannya
yang juga menggunakan sistim kombinasi yang dapat memperbesar kemungkinan munculnya
efek samping obat yang dapat fatal.

43
Kematian dari penyakit AIDS bukan disebabkan oleh HIV namun oleh karena infeksi
oportunistik yang sangat banyak dalam satu pasien dimana penanganan infeksi oportunistik
juga tidak adekuat. Hal lain yang dapat menyebabkan kematian dari penderita AIDS adalah
akibat efek samping obat ARV itu sendiri.
Saat ini telah keluar pedoman nasional penatalaksanaan pengobatan ARV tahun 2014
di Indonesia yang cukup banyak berbeda dari tahun sebelumnya yakni tahun 2007 dan tahun
2011. Pedoman ini sekarang menjadi pegangan dalam setiap pengobatan ARV di Indonesia
sampai muncul pedoman terbaru

DAFTAR PUSTAKA
1) Mansjoer, Arif M. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In : Triyanti
Kuspuji, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI ; 2000. Hal. 162-3.
2) Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropical. Hiv aids. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Edisi IV. Jilid III. Hal. 1803-1807.
3) Kemenkes RI & Ditjen PP , Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia, September 2014
4) Merati, Tuti P. Respon Imun Infeksi HIV. In : Sudoyo Aru W., editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI ; 2006. Hal . 545-6.
5) Lan, Virginia M. Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). In: Hartanto H, editor. Patofisiologi: Konsep
Klinis proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG ‘ 2006. Hal . 224.

44
6) Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Diseae: AIDS and related
Disorders. Longo et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine Volume 1. Edisi ke
18. New York: Mc Graw-Hill ;2012
7) Yogev R, Chadwick EG Acquaired Immunodeficiency Syndrome, Kliegman RM et al
Nelson Textbook. Edisi ke 19.philadephia: Elsevier:2011
8) Duarsa : Infeksi HIV dan AIDS; dalam Daili Sjaiful F, Makes Wresti Indriatmi B,
Zubier Farida, editors : Infeksi Menular Seksual; edisi ke-4, FKUI, Jakarta 2011, hal
146 – 158
9) Unandar : HIV dan AIDS; dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors : Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi ke-5, FKUI, Jakarta 2007, hal 427-432
10) International AIDS Society USA : Pathogenesis of HIV Infection: Total CD4+ T-Cell
Pool, Immune Activation, and Inflammation. 2010.
11) Gandhi R : HIV Pathogenesis. 2009. Available at url :
http://www.acthiv.org/2009_presentations/HIV_The_Basics/Rajesh_Gandhi.pdf
12) Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
pada orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007
13) Pedoman Nasional Terapi AntiretroviralDepartemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
14) Nawaz, Ali Pneumocystis Carinii Pneumonia Imaging. [online]. 2010..
15) Bellin, Marie F. Tuberclosis. [online]. 2010. Available from:
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_v_1/t/tuberculosis.aspx?
tt_topic={1D3246DB-FAEE-4089-8496-9AC80C7DD8B5}&tt_item={F6046FA7-
E87A-4B31-85FC-E09CC979336B}
16) Bellin, Marie F. Cytomegalovirus disease. 2009. Available at
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/c/cytomegalovirus_disease
.aspx
17) Nawaz, Ali. Imaging in CNS Toxoplasmosis: Imaging. [online]. 2010. [cited 2010 jan
24]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/344706-imaging
18) Bellin, Marie F. Kaposi’s Sarcoma. [online]. 2010. Available from:
http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_v_1/k/kaposis_sarcoma.aspx?
p=1
19) Nawaz, Ali. Thoracic Kaposi Sarcoma Imaging: Imaging. [online]. 2010. [cited 2008
May 30]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/356704-imaging
20) Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
pada orang Dewasa dan Remaja” Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2011

45

Anda mungkin juga menyukai