Anda di halaman 1dari 21

Referat

GANGGUAN PSIKIS PASCA BENCANA ALAM


DAN PENATALAKSANAANNYA

Oleh :
Denisa Alfadilah P. 2216 A 1210312026
Mala Azitha P. 2225 A 1310311088

Preseptor :
dr. Taufik Ashal, SpKJ

BAGIAN PSIKIATRI RSUP DR. M. DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
BAB I
LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang

Trauma merupakan suatu hal yang terbentuk akibat peristiwa yang

menimbulkan ancaman signifikan, baik secara fisik, emosi, maupun psikologis

terhadap keselamatan korbannya. Dalam satu dekade terakhir ini kita sering

mendengar terjadinya kasus – kasus yang terjadi pasca bencana alam, kekerasan

berupa kekerasan rumah tangga maupun kekerasan lainnya, serta berbagai bentuk

peristiwa traumatik lainnya. Berbagai kondisi ini merupakan suatu stresor

psikososial yang mungkin akan berdampak terhadap kehidupan individu berupa

terjadinya gangguan stres pasca trauma. Dari peneltian terkini didapatkan bahwa

dalam kehidupannya seorang individu minimal akan mengalami satu peristiwa

traumatik, dan 25% dari mereka yang tetap bertahan hidup dikatakan akan

mengalami gangguan stres pasca trauma.1,2

Kebanyakan reaksi terhadap peristiwa traumatik bertahan lebih dari beberapa

minggu maupun bulan. Beberapa reaksi yang bertahan tersebut sebagian kecil

berkembang menjadi gangguan psikiatri seperti gangguan stres pasca akut

maupun deprsi, gangguan ansietas dan penyalahgunaan zat. Menurut Rothbaum

dan Foa (tahun), >90% perempuan korban perkosaan memiliki simtom gangguan

stres pasca trauma yang timbul dalam waktu seminggu setelah trauma dan 40%

nya timbul dalam waktu enam bulan. Penelitian mengenai kejadian World Trade

Center (WTC) pada 11 September di New York ditemukan terdapat penurunan

gangguan stres pasca trauma dari 7,5% dalam satu bulan menjadi 0,6% dalam

1
enam bulan kemudian pada lebih dari 1000 penduduk. Angka kejadian ditemukan

lebih tinggi pada penduduk yang tinggal dekat dengan lokasi kejadian3.

Meskipun banyak gangguan kesehatan mental datang ke fasilitas kesehatan

layanan primer, tetapi masih sedikit yang terdiagnosis sebagai gangguan stres

pasca trauma. Banyaknya kasus kekerasan mauopun kejadian traumatik yang

tidak dilaporkan dapat mengarah ke rendahnya penemuan gangguan stres pasca

trauma. Jika pertanyaan sederhana yang terintegritas mengenai pajanan kejadian

traumatik bersamaan dengan skrining untuk simtom depresi dan ansietas

dilakukan menjadi pemeriksaan medis yang rutin dapat meningkatkan pengenalan

gangguan stres pasca trauma di layanan primer4.

1.2 Batasan Masalah

Referat ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

gambaran klinis, kriteria diagnosis, tatalaksana, dan prognosis dari gangguan stres

pasca trauma.

1.3 Tujuan Penulisan

Referat ini bertujuan untuk lebih memahami definisi, epidemiologi, etiologi,

patofisiologi, gambaran klinis, kriteria diagnosis, tatalaksana, dan prognosis dari

gangguan stres pasca trauma dan sebagai salah satu pemenuhan sesi

pembelajaraan kepaniteraan klinik dokter muda bagian Ilmu Kesehatan Jiwa

RSUP Dr. M. Djamil Padang.

2
1.4 Metode Penelitian

Referat ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk

kepada berbagai literatur, termasuk buku teks dan berbagai jurnal ilmiah.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penggunaan terminologi gangguan stres pasca trauma pertama kali

digunakan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders pada

tahun 1980 dandigolongkan ke dalam salah satu gangguan ansietas. Kriteria

diagnosis gangguan stres pasca trauma saat itu adalah terdapatnya trauma yang

dapat menimbulkan simtom dan tanda – tanda gangguan stres pasca trauma pada

semua orang. Pada tahun 1987, kriteria diagnosis tersebut berubah dan lebih

menitikberatkan kepada perilaku menghindar yang disengaja untuk menghindari

pikiran, perasaaan, aktivitas, dan situasi yang dapat mengingatkan kepada trauma.

Kemudian, pada tahun 1994 terjadi perubahan definisi trauma dimana kejadian

trauma tersebut harus melibatkan kematian atau ancaman kematian, atau

kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap inteegritas fisik diri sendiri atau

orang lain. Selain itu, penderita gangguan stres pasca trauma juga merespon hal

tersebut dengan rasa takut, tidak berdaya, dan rasa horror. Gangguan ini harus

disertai dengan adanya gejala penderitaan (distress) dan hendaya (impairment)

salah satu atau lebih fungsi yang penting manusia lebih dari satu bulan. Dalam

DSM V, gangguan stres pasca trauma sekarang termasuk ke dalam Trauma and

Stressor Related Disorders4,5.

Gangguan stress pascatrauma (post-traumatic stress disorder/PTSD)

adalah reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman

traumatis. Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah factor resiko

mayor untuk PTSD, karena banyak orang dengan ASD yang kemudian

4
mengembangkan PTSD. Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah

suatu reaksi maladaptive yang terjadi pada bulan pertama pada pengalaman

traumatis. Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung berbulan-

bulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa decade dan mungkin baru muncul

setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan terhadap peristiwa

traumatis. Simtom biasanya mulai timbul cepat setelah trauma namun dapat

menjadi onset lambat bila timbul enam bulan kemudian3,6.

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan penelitian – penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa kasus gangguan stres pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri

yang cukup sering dijumpai. Kasus ini dijumpai pada sekitar 10,3% untuk pria

dan 18,3% pada wanita. Berdasarkan survei The United States National Co-

Morbidity dari 5877 orang, penderita didapatkan berusia 15 – 54 tahun dengan

persentasi pria >60% dan perempuan >50% pernah mengalami kejadian

traumatik. Sedangkan, prevalensi seumur hidup gangguan stres pasca trauma

>10% pada perempuan dan 5% pada pria. Lebih dari sepertiga individu dilaporkan

menderita gangguan stres pasca trauma enam bulan setelah kejadian traumatik

tersbeut. Penderita gangguan stres pasca trauma biasanya juga memiliki komorbid

psikiatri. Lebih dari 80% responden memiliki setidaknya satu penyakit psikiatri

lainnya. Komorbiditas yang sering dialami antara lain adalah gangguan cemas

menyeluruh, gangguan panik, gangguan ansietas lainnya, dan penyalahagunaan

atau ketergantungan zat2,3.

5
2.3 Etiologi

Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami

gangguan stres pasca trauma adalah :

 Adanya gangguan psikiatri sebelum trauma baik pada individu yang

bersangkutan maupun keluarganya

 Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual

 Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir

 Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent, atau antisosial

 Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya

problem berupa kesulitan untuk menyesuaikan diri

 Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna

 Terpapar oleh kejadian – kejadian dalam kehidupan yang luar biasa

sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif

oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang

menimbulkan penderitaan bagi dirinya.2,3

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial

mungkin akan meningkatkan angka kejadian gangguan stres pasca trauma,

yaitu:

 Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan

perampokan)

 Penculikan

 Penyanderaan

 Serangan militer

 Serangan teroris

6
 Penyiksaan

 Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang

 Bencana alam baik yang alamiah maupun yang dibuat oleh manusia

 Kecelakaan mobil yang berat

 Didiagnosis mengalami penyakit berat yang mengancam kehidupan2

Berdasarkan DSM V, kategori kejadian traumatik yang dimaksud

mengalami perubahan. Sebenarnya tidak ada batas tegas yang menyatakan

kejadian traumatik seperti apa yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan stres

pasca trauma. Beberapa penelitian menyarankan bahwa kejadian yang tidak

mengancam jiwa seperti konflik serius dalam hubungan, kehilangan pekerjaan,

perpisahan, dan masalah finansial juga dapat mencetuskan terjadinya gangguan

stres pasca trauma. Berdasarkan hal tersebut, pada kebanyakan kasus, gangguan

stres pasca trauma tidak akan berkembang kecuali seseorang terpajan dengan

kejadian yang “sangat berat” dan merupakan “titik balik” dalam kehidupan

seseorang. Pada kriteria diagnosis juga ditambahkan poin kekerasan seksual yang

sebelumnya hanya ditulis sebagai pelecehan seksual di dalam DSM IV. Kategori

ini membuat definisi kekerasan seksual menjadi lebih luas seperti contoh

termasuknya perdagangan seksual, penetrasi seksual dengan alkohol/obat, kontak

seksual yang kasar.2,3,5

2.4. PTSD akibat bencana alam

Menurut World Health Organization (WHO), bencana adalah: (1) Sebuah

gangguan serius dari berfungsinya suatu komunitas atau masyarakat yang

menyebabkan kerugian manusia, material, kerugian ekonomi atau lingkungan

yang melampaui kemampuan komunitas atau masyarakat yang terkena tersebut

7
untuk mengatasinya dengan menggunakan sumber dayanya sendiri; (2) Situasi

atau peristiwa, yang melampaui kapasitas lokal sehingga memerlukan bantuan

eksternal pada tingkat nasional maupun internasional; (3) Sebuah istilah yang

menggambarkan suatu peristiwa yang dapat didefinisikan secara spasial dan

geografis, tetapi menuntut pengamatan untuk menghasilkan bukti. Ini menyiratkan

interaksi dari stresor eksternal dengan komunitas manusia. Istilah ini digunakan

dalam seluruh kegiatan sebagai respon untuk mengurangi terjadinya resiko7

2.4.1 Jenis-Jenis Bencana

Jenis-jenis bencana menurut Undang-Undang No.24 tahun 2007, antara

lain: (1) Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor; (2)

Bencana non-alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian

peristiwa non-alam, berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi dan

wabah penyakit; (3) Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi

konflik sosial antar-kelompok atau antar-komunitas masyarakat dan teror8

2.4.2 Respon Individu Terhadap Bencana

Perilaku yang diperlihatkan individu yang mengalami bencana sangat

bervariasi. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi terhadap kejadian, sistem pendukung

yang dimiliki dan mekanisme koping yang digunakan. Terdapat tiga tahapan

reaksi emosi yang dapat terjadi setelah bencana, yaitu: (1) Reaksi individu segera

(24 jam pertama) setelah bencana dapat berupa tegang, cemas, panik, terpaku,

linglung, syok, tidak percaya, gembira atau euforia, tidak terlalu merasa

8
menderita, lelah, bingung, gelisah, menangis, menarik diri dan merasa bersalah.

Reaksi ini masih termasuk reaksi normal terhadap situasi yang abnormal dan

memerlukan upaya pencegahan primer; (2) Minggu pertama sampai ketiga setelah

bencana. Reaksi yang diperlihatkan: ketakutan, waspada, sensitif, mudah marah,

kesulitan tidur, khawatir, sangat sedih. Reaksi positif yang masih dimiliki:

berharap atau berpikir tentang masa depan, terlibat dalam kegiatan menolong dan

menyelamatkan, menerima bencana sebagai takdir. Kondisi ini masih termasuk

respons normal yang membutuhkan tindakan psikososial minimal; (3) Lebih dari

tiga minggu setelah bencana. Reaksi yang diperlihatkan dapat menetap dan

dimanifestasikan dengan kelelahan, merasa panik, kesedihan terus berlanjut,

pesimis, menarik diri, berpikir tidak realistis, tidak beraktivitas, isolasi,

kecemasan yang dimanifestasikan dengan palpitasi, pusing, letih, mual, sakit

kepala9

Terdapat tiga periode bencana secara umum, yaitu: (1) Periode impak

(impact periode) biasanya berlangsung selama kejadian bencana. Pada periode ini,

korban selalu diliputi perasaan tidak percaya dengan apa yang dialami. Periode ini

berlangsung singkat; (2) Periode penyejukan suasana (recoil periode) biasanya

berlangsung beberapa hari setelah kejadian. Pada periode ini, tampak bahwa para

korban mulai merasakan diri mereka lapar dan mencari bekal makanan untuk

dimakan. Mereka tidak memahami bagaimana mereka harus memulihkan keadaan

dan mengganti harta benda mereka yang hilang; (3) Periode post traumatik (post-

trauma period) biasanya berlangsung lama, bahkan sepanjang hayat. Periode ini

berlangsung tatkala korban bencana berjuang untuk melupakan pengalaman yang

berupa tekanan, gangguan fisiologi, dan psikologi akibat bencana yang mereka

9
alami. Hal ini berarti bencana selalu menyisakan masalah, bahkan untuk jangka

lama.8,9

2.5 Patofisiologi

Gejala – gejala gangguan stres pasca trauma timbul sebagai akibat dari

respons biologik dan juga psikologik seorang individu. Kondisi ini terjadi oleh

karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya

perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang

traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan

menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi

suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian

otak yang sangat berperan besar.2

Inti dari sistem saraf pusat yang terlibat dalam merespon rasa takut adalah

amigdala. Amigdala mengatur kemampuan seseorang untuk mengalami rasa takut

dan belajar untuk menghindari rasa sakit dengan diperantarai oleh emosi dan

perhatian dalam 2 jalur yang berhubungan. Sinyal amigdala meningkatakan

pengolahan informasi rasa takut yang dilakukan oleh struktur kortikal yang lebih

tinggi. Hal tersebut akan meningkatkan kekuatan emosional mengenai informasi

atau memori pada korteks sehingga memudahkan proses pengenalan bila terpapar

kembali. Selain itu, amigdala juga mampu mengenali sinyal ancaman secara cepat

melalui jalur visual primitif yang melalui korteks dan neokorteks. Oleh sebab itu,

amigdala dapat menilai objek dan organisme di lingkungan sebelum berinteraksi

dengan mereka. Amigdala juga cepat diaktifkan di hampir seluruh tubuh untuk

merespon stimulus dengan melawan atau mundur. Untuk tetap menjaga tubuh

berada dalam situasi waspada, amigdala akan menstimulasi hipokampus untuk

10
membantu otak mempelajari dan membentuk kenangan baru yang spesifik

terhadap ancaman.

Bagian A : respon segera (subkortikal) terhadap ancaman

 Stimulus visual dan auditorik mencapai talamus

 Infromasi ini akan segera meninggalakan talams dan langsung

menuju pusat rasa takut yaitu amigdala

 Amigdala memberikan sinyal kepada struktur otak lainnya

termasuk hipotalamus dan lokus ceruleus yang menimbulkan

tangan berkeringat, takikardi, peningkatan tekanan darah, dan

peningkatan norepinefrin

 Seseorang tersebut akan berada dalam rekasi “fight or flight

response”

Bagian B : Proses kognitif dalam merespon ancaman segera

 Setelah rasa takut aktif, informasi akan dikirimkan dari talamus ke

korteks untuk proses kognitif

 Neokorteks (bagian ekseskutif dari korteks) akan menganalisis data

mentah tersebut dari organ sesorik dan menentukan apakan respon

takut tetap dilanjutkan atau tidak

 Jika tetap dilanjutkan maka amigdala akan tetap berada dalam

situasi waspada.4

Proses – proses tersebut terjadi karena sinyal yang diberikan amigdala

akan mengaktifkan neurotransmitter kepada :

 Sistem saraf simpatis (katekolamin)

 Sistem saraf parasimpatis

11
 Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)

Munculnya reaksi “fight or flight response” berasal dari perangsangan

pada sistem saraf simpatis. Reaksi ini akan dibatasi oleh sistem saraf parasimpatis

di beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak

berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis.

Perangsangan pada aksis HPA akan merangsang hipotalamus untuk

mengeluarkan CorticoReleasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida lainnya,

sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran

adenocorticotropic hormone (ACTH) yang akhirnya akan menstimulasi

pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. Pengeluaran katekolamin dan

hormon kortisol tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu.

Sebenarnya hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sitem saraf

simpatis dan beberapa sistem tubuh yang bersifa defensif tadi yang dtimbul akibat

peristiwa traumatik yang dialami seseorang. Peningkatan hormon kortisol akan

menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA.

Sehingga muncul hipotesis bahwa individu yang cenderung mengalami

gangguan stres pasca trauma mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida

dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik.

Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam

kondisi waspada terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses

ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan

terjadinya “konsolidasi berlebihan” dari ingatan – ingatan peristiwa traumatik.2

12
2.6 Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang esensial tentang gangguan stres pasca trauma

adalah:

1. Pajanan terhadap peristiwa traumatik yang berhubungan dengan

kematian atau mengancam kehidupan atau kecelakaan yang serius

2. Mengalami ulang peristiwa traumatik tersebut melalui ingatan, mimpi,

flashback, dan atau penderitaan psikologis dan fisik

3. Perilaku menghindar yang menetap kepada hal – hal yang dapat

mengingatkan ke peristiwa traumatik

4. Peningkatan kewaspadan

Hal ini dapat menimbulkan kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur,

iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan, kesulitan

konsentrasi.2,4

2.7 Kriteria diagnosis

Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder,

4th edition Text Revision (DSM-IV-TR) yang dikeluarkan oleh American

Psychiatric Association, menjelaskan tanda dan gejala PTSD yang mencakup:

A. Individu harus pernah terpapar pada suatu stresor/peristiwa traumatik dimana

kedua hal berikut dialami:

1. Seseorang yang mengalami, menyaksikan, atau menghadapi bahaya

yang mengancam hidupnya, kematian, luka parah, atau ancaman serius

bagi diri sendiri atau orang lain.

13
2. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan: pada

anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur

atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah).

B. Mengalami kembali peristiwa traumatis (re-experiencing symptoms) melalui

satu atau lebih gejala di bawah ini:

1. Teringat kembali akan kejadian trauma menyedihkan yang dialaminya

yang bersifat mengganggu, berupa gambaran, pikiran, persepsi (catatan:

pada anak-anak hal ini dimunculkan kembali pada permainan).

2. Mimpi buruk yang berulang tentang peristiwa trauma yang dialaminya

(catatan: pada anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya

isi yang dapat diketahui maksudnya).

3. Mengalami kilas balik trauma (merasa seakan kejadian trauma yang

dialaminya terjadi kembali, ilusi, halusinasi) (catatan: pada anak-anak

kejadian traumatis secara spesifik dapat terlihat).

4. Tekanan psikologis yang kuat jika dihadapkan pada hal-hal internal dan

eksternal yang menyerupai kejadian traumatis.

5. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal

yang menyerupai kejadian traumatis.

C. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan

mematikan perasaan atau tidak berespon terhadap suatu hal (sebelum trauma

masih berespon (avoidance symptoms). Gejala ini meliputi tiga atau lebih hal di

bawah ini:

1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang

berhubungan dengan kejadian trauma.

14
2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat

membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.

3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma yang

dialaminya.

4. Ketertarikan dan minat untuk berpartisipasi dalam peristiwa penting

berkurang.

5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.

6. Terbatasnya rentang emosi ( contoh: tidak dapat merasakan cinta)

7. Perasaan bahwa masa depannya suram (misalnya, berkurangnya

harapan untuk dapat menjalani hidup dengan normal, menikah, memiliki

karir, memiliki anak).

D. Gejala hiperarousal yang persisten (tidak ada sebelum trauma) meliputi dua

atau lebih gejala di bawah ini:

1. Sulit untuk memulai tidur/ sulit mempertahankannya.

2. Mudah marah dan meledak-ledak emosinya.

3. Sulit berkonsentrasi.

4. Hypervigilance (kewaspadaan yang berlebihan).

5. Reaksi kaget yang berlebihan.

E. Durasi dari gangguan ( gejala di kriteria B, C, D) lebih dari sebulan.

F. Gangguan/gejala diatas ini menyebabkan kecemasan dan gangguan fungsional

dalam berhubungan sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.

Spesifikasi: Acute: Gejala berlangsung sampai 3 bulan Cronic: Gejala

berlangsung lebih dari 3 bulan With delayed onset: gejala dimulai sedikitnya 6

bulan setelah ada stresor.

15
2.8 Tatalaksana

Sebelum menjalani terapi atau program-program apapun, ada baiknya

dilakukan evaluasi psikologis pada terlebih dahulu. Tindakan ini untuk memahami

kepribadian, trauma yang dialami, dan dampak dari trauma tersebut pada dirinya.

Evaluasi juga dapat membantu terapis untuk memahami berbagai risiko tambahan

dan menemukan kekuatan dari klien. Hal ini harus sangat diperhatikan karena

proses evaluasi dapat dialami sebagai proses yang sangat berat dan dapat

menimbulkan trauma sekunder. Setelah dilakukan evaluasi ada dua macam terapi

pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan

menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi. Hasil pengobatan akan lebih efektif

jika kedua terapi ini dikombinasikan sehingga tercapai penanganan yang holistik

dan komprehensif.10

a. Psikoterapi

Psikoterapi adalah suatu bentuk dari perawatan (treatment) terhadap masalah-

masalah yang dasarnya emosi, dimana seseorang yang terlatih dengan seksama

membentuk hubungan profesional dengan pasien dengan tujuan memindahkan,

mengubah, atau mencegah munculnya gejala dan menjadi perantara untuk

menghilangkan pola-pola perilaku yang terhambat. Dengan demikian, perawatan

menggunakan teknik psikoterapi ini merupakan perawatan yang secara umum

menggunakan intervensi psikis dengan pendekatan psikologis terhadap pasien

yang mengalami gangguan psikis atau hambatan kepribadian. Adapun macam-

macam psikoterapi diantaranya adalah:

1) Cognitive Behavioral Therapy (CBT) Menurut penelitian Cognitive

Behavioral Therapy (CBT) merupakan pendekatan yang paling efektif

16
dalam mengobati PTSD. Dalam CBT, terapis membantu untuk mengubah

kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan menganggu

kegiatan-kegiatan penderita PTSD misalnya, pada seorang anak korban

kejahatan mungkin akan menyalahkan diri sendiri karena ketidakhati-

hatiannya. Prinsip-prinsip CBT digunakan untuk modifikasi perilaku dan

proses re–learning. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran-

pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut

tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi

pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih

seimbang. Psikoterapi psikodinamik dapat berguna dalam terapi pada

banyak kasus PTSD. Di sejumlah kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik

dengan abreaksi dan katarsis terkait dapat bersifat terapeutik, tetapi

psikoterapi harus diindividualisasi karena mengalami kembali trauma

dapat terlalu berat untuk sejumlah pasien. Intervensi psikoterapeutik PTSD

mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Di samping teknik

terapi individual terapi kelompok dan terapi keluarga sering dilaporkan

efektif pada kasus PTSD. Keuntungan terapi kelompok mencakup saling

berbagi pengalaman traumatik dan dukungan antar anggota.

2) Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR)

EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model

pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagai

landasan yang mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena

jaringan-jaringan memori adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilaku

kita. Untuk memproses kembali informasi di dalam otak/jaringan memori

17
yang telah ada, EMDR dijalankan dengan melakukan kegiatan fisik yang

merangsang aktivasi pemrosesan informasi di dalam otak (dalam konteks

EMDR disebut sebagai stimulasi bilateral) melalui indra

pengelihatan/pendengaran/perabaan.

3) Playtherapy

Playtherapy merupakan cara yang dapat digunakan untuk mengobati

PTSD pada anak periode awal/young children. Pada terapi ini bertujuan

untuk memahami trauma anak dan memberikan kebebasan untuk

berekspresi dalam mengurangi tekanan emosional ynag dialami. Bermain

peran, menggambar, bermain dengan boneka atau benda-benda figural

dapat dijadikan cara untuk menyesuaikan diri dan memberi kesempatan

pada terapis untuk melakukan reexposure yaitu, membahas peristiwa

traumatiknya dalam situasi yang mendukung.

b. Farmakoterapi

Farmakoterapi merupakan terapi dengan menggunakan obat-obatan. Terapi ini

diperlukan untuk menstabilkan zat-zat di otak yang menyebabkan kecemasan,

kekhawatiran, dan depresi atau dengan kata lain merupakan terapi simptomatik

pada PTSD. Terapi obat ini bukanlah lini pertama dalam penanganan PTSD tetapi

dapat dijadikan sebagai terapi pendukung (adjuvan) psikoterapi agar tercapai hasil

yang optimal dalam menangani kasus PTSD. Adapun beberapa contoh

farmakoterapi yang sering digunakan dalam kasus PTSD, antara lain:

1) Golongan benzodiazepin: Chlordiazepoxide, Diazepam, Lorazepam.

2) Golongan non-benzodiazepin: Buspirone, Sulpiride, Hydroxyzine.

3) Golongan antidepresan: Trisiklik, Amitriptyline, Imipramine.

18
4) Golongan Monoamin Oksidase Inhibitor (MAOI): Moclobemide

5) Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI): Sertraline,

Paroxetine, Fluvoxamine, Fluoxetine.

2.9 Prognosis

Prognosis pada kasus PTSD sulit untuk ditentukan, karena itu bervariasi

secara signifikan dari pasien ke pasien. Beberapa individu yang tidak menerima

perawatan secara bertahap pulih dalam periode tahun. Prognosis yang baik

diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari

enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak

adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya. Pada

umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki kesulitan lebih

banyak terhadap peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia

pertengahan10

DAFTAR PUSTAKA

19
1. Courtois CA, Jeffrey S, Laura S, Juan C, John AF, Matthew F, et al.
Clinical Practice Guideline fot Treatment of PTSD. America: American
Psychological Association. 2017
2. Wiguna T. Gangguan stres pasca trauma. Dalam: Elvira SD dan
Hadisukanto G, editors. Buku Ajar Psikiatri. Edisi kedua. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. pp. 277-284.
3. Bisson JI. Post-traumatic stress disorder. Occup Med (Lond) 2007; 57 (6):
pp. 339-403.
4. Vieweg WVR, Julius DA, Fernandez A, Beatty-Brooks M, Hettema JM,
Panduragi AK. Posttraumatic stress disorder: Clinical features,
pathophysiology, adn treatment. The American Journal of Medicine 2006;
5 (119): pp. 383-390.
5. Levin AP, Kleinman SB, Adler JS. DSM-5 and posttraumatic stress
disorder. J Am Acad Psychiatry Law 2014; 42: pp. 146-158.
6. Jeffrey SN, Apencer AR, Beverly G. Psikologi Abnormal Ed.5 Jilid 1.
Jakarta: Erlangga. 2009
7. WHO. Humanitarian Health Action: Definitions Emergencies. [Diunduh
tanggal 18 Oktober 2017 dari http://www.who.int/hac/about/definitions/
en/index.html?utm_source=feedblitz&utm_medium=FeedBlitzEmail&utm
_content=565123&utm_campaign=0]. 2014

8. BNPB. Defenisi dan Jenis Bencana. [Diunduh tanggal 18 Oktober 2017


dari http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana]. 2012

9. Keliat, B.A., Akemat., Helena, N., Nurhaeni, H. Keperawatan Kesehatan


Jiwa Komunitas CMHN Basic Course. Jakarta: EGC. 2011

10. Sadock, B.J., Sadock, V.A. Synopsis Of Psychiatry Behavioral


Sciences/Clinical Psychiatry (10thed). Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins. 2007

20

Anda mungkin juga menyukai