Anda di halaman 1dari 23

Referat

Rehabilitasi Pasien Skizofrenia di Tengah


Keluarga

Oleh :
Nindya Farhanah P. 2219 A
Hana Fadlina Anisa P. 2232 A

Pembimbing
dr. Nadjmir, Sp.KJ (K)

SMF ILMU PSIKIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M. DJAMIL

PADANG

1
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skizofrenia adalah sebuah gangguan psikotik kronik yang hilang timbul dan

merupakan sebuah sindrom dengan variasai penyebab dan peralanan penyakit yang

luas, serta jumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik,

dan budaya.1,2 Secara epidemiologi skizofrenia memengaruhi laki-laki dan perempuan

dengan persentase yang sama, dimana penyakit ini biasanya muncul pada saat usia

remaja akhir atau awal dewasa (18-25 tahun).3

Di Indoensia, penyakit gangguan jiwa merupakan penyakit yang merata dan

hampir selalu ada di setiap wilayah dengan prevalensi 1,7 per mil. Gangguan jiwa

terbanyak ditemukan di DI Yogyakarta (2,7 per mil).3 Skizofrenia sendiri merupakan

penyakit dengan faktor risiko yang banyak, baik dari segi genetik, kelainan

neurobiologi, lingkungan faktor psikososial, dan budaya.

Skizofrenia merupakan sebuah penyakit kronik. Semakin lama berangsur-

angsur pasien semakin menarik diri dan kehilangan fungsi psikososial lainnya dan

juga menimbulkan deteriorasi pada pasiennya. Seringkali penderita yang mengalami

skizofrenia mengalami kekambuhan sehingga ia harus menjalani perawatan dan

pengobatan yang berulang atau keluar masuk rumah sakit jiwa. Banyak faktor yang

memicu terjadinya kekambuhan yaitu faktor lingkungan, keluarga, penyakit fisik,

maupun faktor dari dalam individu itu sendiri.

2
Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah

terjadinya kekambuhan pada penderita dengan gangguan jiwa, oleh karena itu

pemahaman keluarga mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan

lingkungan menerima penderita apa adanya dan memperlakukannya secara

manusiawi dan wajar merupakan hal yang mendasar dalam mencegah kekambuhan

penderita. Oleh karena itu perlu dipahami oleh keluarga dan lingkungan mengenai

perawatan skizofrenia di rumah sehingga keluarga dan lingkungan akan lebih mampu

merawat dan mencegah terjadinya kekambuhan pada anggota keluarga atau

masyarakat yang mengalami skizofrenia.

1.2Tujuan Penulisan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mempelajari dan

memahami bagaimana cara perawatan paaien skizofrenia di rumah.

1.3Metodologi Penulisan

Metode penulisan makalah ini berupa tinjauan kepustakaan merujuk kepada

berbagai literatur seperti textbook dan jurnal.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Skizofrenia menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa

III (PPDGJ III) adalah suatu sindrom dengan variasi penyebab dan perjalanan

penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan

pengaruh genetik, fisik dan budaya. Skizofrenia merupakan satu gangguan psikotik

yang kronik, sering mereda, namun timbul hilang dengan manifestasi klinik yang

amat luas variasinya. penyesuaian pramorbid, gejala dan perjalanan penyakit yang

amat bervariasi.1,2

2.2 Epidemiologi

Skizofrenia mempengaruhi laki-laki dan perempuan secara seimbang. Saat

ini diperkirakan ada 2,2 juta pasien hidup dengan skizofrenia di Amerika Serikat,

dan sekitar 300.000 pasien dirawat di rumah sakit. Penyakit ini biasanya terjadi di

usia produktif yaitu masa remaja akhir atau awal dewasa (18-25 tahun). Studi

Epidemiologic Catchment Area (ECA) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar

0,6 sampai 1,9 persen.3

Penelitian di China menunjukkan bahwa total penderita skizofrenia adalah

0,41% dari jumlah penduduk. Analisis umur bertingkat menunjukkan bahwa

4
perbandingan prevalensi antara laki- laki dan perempuan bervariasi. Prevalensi lebih

tinggi pada laki-laki dikelompok usia muda (18-29 tahun) dan prevalensi lebih tinggi

pada wanita dikelompok usia yang lebih tua (40 tahun atau lebih). Prevalensi lebih

banyak penderita laki-laki usia muda juga ditunjukkan dalam penelitian lain.

Dua jenis pengelompokan digunakan, yaitu dengan menggunakan usia pada saat

gejala pertama muncul dan usia saat konsultasi pertama. Usia pasien saat gejala

pertama muncul memiliki perbedaan 1,63 tahun lebih awal pada laki- laki dan usia

saat konsultasi pertama, menunjukkan laki-laki lebih awal yaitu 1,22 tahun dari

perempuan. Perbedaan tersebut menunjukkan bahwa onset pada kelompok laki-laki

perlu lebih diperhatikan daripada kelompok wanita.3

Gangguan jiwa di Indonesia merupakan penyakit yang merata dan hampir

disetiap wilayah di dunia ada. Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk

Indonesia 1,7 per mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta (2,7 per

mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa

Tengah 2,3 per mil).3

2.3 Etiologi

1. Faktor Genetik

Faktor Genetik terhitung menjadi liabilitas mayor untuk penyakit skizofrenia.

Kemampuan menurun pada generasi selanjutnya skizofrenia secara genetik berkisar

60-80%. Penelitian genetika molekuler telah mengidentifikasi gen yang terbukti

paling berperan antara lain :1

5
a. Neuregulin (NRG1) pada kromosom 8p21-22 yang memiliki peran ganda

dalam perkembangan otak, plastisitas sinaptik dan sinyal glutamat.

b. Dysbindin (DTNBP1) pada kromosom 6p22 yang membantu mengatur

pelepasan glutamat.

c. DISC1 (Disrupted In SChizophrenia) yaitu sebuah kromosom translokasi

seimbang (1,11) (q42;q14.3) yang memiliki peran ganda dalam sinyal

sinaptik dan fungsi sel.

Beberapa presentase resiko terjadinya skizofrenia ketika seseorang

memiliki kerabat yang terkena dampak sebagai berikut

Tabel 1. Liabilitas skizofrenia berdasarkan kerabat yang terkena


Skizofrenia1
Anggota keluarga (s) yang menderita skizofrenia Risiko(kira-
kira)
Kembar Identik 46%
Satu saudara atau kembar fraternal 12-
15%
Kedua Orangtua 40%
Salah satu orang tua 6%
Tidak ada kerabat yang terkena skizofrenia 0,5-
1%

Terdapat hubungan antara lokasi kromosom dan skizofrenia yaitu lebih dari

separuh seluruh kromosom dikaitkan dengan skizofrenia, namun lengan panjang

kromosom 5, 11, 18, lengan pendek kromosom 19, serta kromosom X paling sering

disebut. Selain iu lokus pada kromosom 6, 8, 22 juga terlibat yang mengartikan

adanya indikasi potensi dasar genetik yang heterogen untuk skizofrenia.

2. Neurobiologi

6
Terdapat peran patofisiologis area otak tertentu termasuk sistim limbik,

korteks frontal, serebelum, dan ganglia basalis dimana area tersebut saling

berhubungan dalam proses patologi primer terutama area sistem limbik dalam

patofisiologis skizofrenia.1

a. Aktivitas berlebihan dopaminergik

Formulasi sederhana dari hipotesis dopamin pada pasien skizofrenia adalah

bahwa skizofrenia merupakan hasil dari aktivitas dopaminergik yang berlebihan.

Teori ini timbul dari dua pengamatan. Pertama, efikasi dan potensi dari obat-obatan

anti-psikotik (yaitu, antagonis reseptor dopamin (DRAs) yang memiliki kemampuan

bertindak sebagai antagonis dari reseptor Dopamin tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan

yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, terutama kokain dan amfetamin

merupakan psikotomimetik yang berarti cenderung menghasilkan manifestasi seperti

gejala psikosis, seperti halusinasi visual, distorsi persepsi, dan perilaku mirip

skizofrenia.1

Bukti menunjukkan bahwa skizofrenia berhubungan dengan stimulasi

berlebihan dari dopamin D2 dan kurangnya stimulasi D1 pada korteks

prefrontal. Pelepasan secara berlebihan senyawa dopamin pada pasien skizofrenia

telah dihubungkan dengan beratnya gejala positif pada pasien. Hasil Position

Emission Tomography (PET) Scan pada reseptor dopamin menunjukkan

peningkatan reseptor D2 di nukleus kaudatus dari pasien skizofrenia yang bebas

obat. Penelitian lain menunjukkan peningkatan konsentrasi dopamin di amygdala

dan peningkatan jumlah reseptor dopamin tipe 4 di korteks entorhinal.1

7
b. Serotonin

Serotonin merupakan sistem neurotransmitter yang berfungsi sebagai pusat

pengatur emosi, perilaku dan akan bermasalah pada pasien skizofrenia Penelitian

terkini menyatakan bahwa jumlah serotinin yang berlebih menyebabkan gejala

positif dan negatif skizofrenia. Serotonin yang kuat menjadi antagonis dari clozapine

dan obat-obat generasi kedua yang memiliki fungsi menurunkan gejala positif dan

negatif skizofrenia.1

c. Norepinefrin

Norepinefrin pada orang dengan skizofrenia mengalami peningkatan

dibandingkan dengan orang normal.Norepinefrin yang meningkat dikaitkan dengan

gejala-gejala psikosis yang muncul pada pasien. Anhedonia (penyebab dari

terganggunya kepuasaan emosi dan mengalami penurunan akan kesenangan) telah

lama menjadi ciri utama dari skizofrenia. Degenerasi selektif bagian

norepinefin dapat menjelaskan gejala-gejala yang muncul pada skizofrenia.1

d. GABA

Penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien skizofrenia kehilangnya

neuron-neuron GABAergik di Hippocampus.GABA memiliki peran regulasi pada

aktivitas dopamin, dan hilangnya peran inhibisi terhadap neuron dopaminergik pada

neuron GABAergik dapat menyebabkan hiperaktivitas pada neuron dopaminergic.1

e. Glutamat

8
Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas,

hipoaktivitas dan neurotoksisitas terinduksi glutamat. Glutamat dilibatkan karena

ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamat, menimbulkan sindrom yang

menyerupai skizofrenia.1

f. Neuropeptida

Dua neuropeptida, kolesistokinin dan neurotensin ditemukan di sejumlah

regio otak yang terlibat dalam sikofrenia dan konsentrasinya mengalami perubahan

pada keadaan psikotik.1

g. Neuropatologi

Pada akhir abad ke-20 para peneliti membuat suatu langkah signifikan dalam

mengungkap dasar neuropatologi potensial skizofrenia, terutama disistim limbik dan

ganglia basalis, termasuk abnormalitas neuropatologi atau neurokimiawi di korteks

serebri, talamus, dan batang otak. Berkurangnya volume otak secara luas terdapat

pada otak skizofrenik akibat berkurangnya kepadatan akson, dendrit dan sinaps yang

memerantai fungsi asosiatif otak.1

h. Sistem Limbik

Berkat perannya dalam pengendalian emosi, banyak studi sampel otak

skizofrenik postmortem yang terkontrol baik menunjukkan adanya pengurangan

ukuran regio yang meliputi amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus. Serta

terdapat disorganisasi neuron pada hipokampus

9
i. Ganglia basalis

Karena ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan, penyakit pada

ganglia basalis dikaitkan dalam skizofrenia seperti pada geraka cara berjalan yang

ganjil, seringai wajah dan stereotipi. Ganglia basalis berhubungan secara timbal

balik dengan lobus frontalis dan abnormalitas lobus frontalis yang terlihat pada

sejumlah studi pencitraan otak mungkin disebabkan penyakit diganglia basalis dari

pada lobus frontal sendiri.1

3. Model diatesis-stress

Suatu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan

lingkungan adalah model diatesis-stress. Model ini menjelaskan bahwa seseorang

mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dipapar oleh

pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres akan memungkinkan

perkembangan gejala skizofrenia.

Penelitian menyebutkan bahwa model diatesis- stress sangat erat kaitannya

dengan ekspresi emosi seseorang. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis

(contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi keluarga yang penuh

tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis diatesis dapat tebentuk lebih

lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres psikososial, dan

trauma.1

4. Faktor Psikososial

a. Teori Psikoanalitik dan Psikodinamik

10
Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari fiksasi perkembangan,

dan merupakan konflik antara ego dan dunia luar.Kerusakan ego memberikan

konstribusi terhadap munculnya gejala skizofrenia. Secara umum kerusakan ego

mempengaruhi interprestasi terhadap realitas dan control terhadap dorongan dari

dalam. Sedangkan pandangan psikodinamik lebih mementingkan hipersensitivitas

terhadap berbagai stimulus menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan

selama anak-anak dan mengakibatkan stress dalam hubungan interpersonal. Simptom

positif diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor

pemicu/pencetus, dan erat kaitanya dengan adanya konflik. Simtom negative

berkaitan erat dengan faktor biologis, sedangkan gangguan dalam hubungan

interpersonal mungkin timbul akibat kerusakan intrapsikis, namun mungkin juga

berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.1

b. Teori belajar

Anak-anak yang nantinya mengalami skizofrenia mempelajari reaksi dan cara

berfikir yang tidak rasional dengan mengintimidasi orang tua yang juga memiliki

masalah emosional yang signifikan. Hubungan interpersonal yang buruk dari pasien

skizofrenia berkembang karena pada masa anak- anak mereka belajar dari model

yang buruk.1

c. Teori tentang keluarga

11
Pasien skizofrenia sebagaimana orang yang mengalami penyakit non

psikiatri berasal dari keluarga dengan disfungsi, perilaku keluarga yang pagtologis

yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh

pasien skizofrenia.1

d. Teori sosial

Industrialisasi dan urbanisasi banyak berpengaruh dalam menyebabkan

skizofrenia.Meskipun ada data pendukung, namun penekanan saat ini adalah

dalam mengetahui pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan

penyakit.1

2.4 Gambaran Klinis

Pembahasan tanda dan gejala klinis skizofrenia memiliki tiga isu utama;

Petama, tidak ada tanda atau gejala yang patognomonik untuk skizofrenia; tiap tanda

atau gejala yang tampak pada skizofrenia dapat terjadi pada gangguan psikiatrik dan

neurologis lain. Oleh sebab itu, riwayat pasien penting untuk diagnosis skizofrenia;

klinisi tidak dapat mendiagnosis hanya berdasarkan status mental saja. Kedua, gejala

pasien dapat berubah seiring berjalannya waktu. Ketiga, klinisi harus

mempertimbangkan tingkat pendidikan pasien, kemampuan intelektual, serta

budaya.1

Pada riwayat premorbid skizofrenia yang tipikal, pasien memiliki ciri

kepribadian schizoid atau skizotipal yang ditandai dengan sifat pendiam, pasif, dan

introvert. Beberapa pasien remaja juga dapat menunjukkan awitan perilaku obsesif

kompulsif sebagai gambaran prodromal. Adanya tanda dan gejala prodromal, hampir

12
selalu dikenali setelah diagnosis skizofrenia ditegakkan, padahal beberapa bulan atau

tahu sebelumnya mungkin tanda dan gejala itu telah ada. Tanda dan gejala dapat

diawai dengan gejala somatic yang kemudian didiagnosis awalnya berupa kepura-

puraan (malingering) atau gangguan somatisasi. Sampai akhirnya keluarga dan orang

sekitar menyadari bahwa pasien telah berubah dan terdapat gangguan pada fungsi

sosial, okupasional, dan aktvitas personal. Pada stadium ini pasien mulai

menumbuhkan minat pada ide abstrak, filosofi, ilmu gaib, atau pertanyaan religious.

Tanda dan gejla prodromal tambahan dapat mencakup perilaku sangat aneh, afek

abnormal, cara bicara yang tidak biasa, ide bizar, dan pengalaman perceptual yang

aneh.1

Pada tahun 1980, T.J. Crow mengajukan klasifikasi pasien skizofrenik ke

dalam tipe I dan II, berdasarkan ada atau tidaknya gejala positif (atau produktif) dan

gejala negatif (defisit). Walaupunsistem ini tidak diterima sebagai bagian klasifikasi

DSM IV, pembedaan klinis ini secara signifikan mempengaruhi penelitian psikiatrik.

Gejala positif mencakup waham dan halusinasi. Gejala negatif meliputi afrk mrndatar

atau menumpul, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, blocking, kurang merawat diri,

kurang motivasi, anhedonia, dan penarikan diri secara sosial. Pasien tipe I cenderung

memiliki sebagian besar gejala positif, struktur otak normal pada CT scan, dan respon

relative baik selama pengobatan. Pasien tipe II cenderung mengalami sebagian besar

gejala negatif, abnormalitas striktiral otak pada CT Scan, dan respon buruk terhadap

terapi. Kategori ketiga, disorganized, mencakup pembicaraan kacau (gangguan isi

pikir), perilaku kacau, defek kognitif, dan deficit atensi.1

2.5 Diagnosis

13
Skizofrenia pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental

dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar

(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consciousness)

dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran

kognitif tertentu dapat berkembang kemudian. Pedoman diagnosis skizofrenia adalah

sebagai berikut:2

 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a) - “thought echo”, isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda, atau

- “thought insertion or withdrawal”, isi pikiran yang asing dari luar

masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil

keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

- “thought broadcasting”, isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang

lain atau umum mengetahuinya

b) – “delusion of control”, waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of influence”, waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar; atau

- “delusion of passivity”, waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

terhadap suatu kekuatan dari luar;

14
(tentang “dirinya” secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota

gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);

- “delusional pereception”, pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang

bermaknsa sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistis atau mukjizat

c) Halusinasi auditorik:

- suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku

pasien, atau

- mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai

suara yang berbicara) atau

- jenis suara halusinasi lain yang berasal dari satu bagian tubuh

d) Waham-waham menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil

 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secaraa jelas:

e) halusinasi yang menetap dari pancaindera apa saja, apabila disertai baik oleh

waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan

afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-valued ideas)

yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau

berbulan-bulan terus menerus;

f) arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation),

yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau

neologisme;

g) perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisituuh

tertentu (;posturing), atau fleksibilitas cerea, negativism, mutisme, dan stupor;

15
h) gejala-gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon

emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan

diri dari pergaulan dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua

hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi aatau medikasi neuroleptika

 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)

 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu

keseluruhan (overall) quality dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal

behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tidak bertujuan, tidak

berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan

penarikan diri secara sosial

Skizofrenia Hebefrenik

Pedoman diagnosis:2

 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

 Diagnosis hebefrenia pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja atau

dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun)

 Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang

menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan

diagnosis

 Untuk diagnosis hebefrenia yang meyakinkan umumnya diperlukan

pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa

gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan:

16
- perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dirmalkan,

serta mannerism; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri

(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa

perasaan;

- afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering

disertai cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),

senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap tinggi hati

(lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerism,

mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal,

dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases);

- proses piker mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu

(rambling) serta inkoheren

 Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikiri

umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya

tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).

Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination)hilang serta

sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas,

yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose).

Adanya preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama,

filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan

pikiran pasien.

2.6 Tatalaksana

17
Tatalaksana farmakologi pada pasien dengan skizofrenia mencakup

antipsikotik golongan antagonis reseptor dopamine (APG I) dan antagonis serotonin

dopamine (APG II). Obat APG 1 terutama untuk mengontrol gejala-gejala positif

sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak bermanfaat. Obat APG II bermanfaat

baik untuk gejala positif maupun negatif. Standar emas baru adalah APG II yaitu

efektid dan efek samping yang lebih ringan dan dapat digunakan secara aman tanpa

memerlukan pemantauan jumlah sel darah putih setiap minggu.1,4

Tabel 2 Antipsikotik yang sering digunakan4

Golongan Nama Obat


APG 1 Haloperidol
Klorpromazin
APG 2 Risperidone
Olanzapine
Quetiapine
Clozapin
Paliperidone
Aripipirazole

Tatalaksana lainnya meliputi terapi kejang listrik atau electro convulsive

therapy dan terapi psikososial. Terapi psikososial berorientasi suportif sangat

bermanfaat terutama pada terapi jangka panjang skizofrenia. Pasien skizofrenia harus

didekati secara baik dengan penuh empati.4

Komponen dari terapi psikososial antara lain adalah :

− Psikoedukasi keluarga dan pasien

− Kolaborasi membuat keputusan tentang terapi dan tujuannya.

− Monitoring gejala dan pengobatan

18
− Asistensi dalam mencari pelayanan kesehatan, asuransi, tempat kerja, dan

lain-lain

− Terapi suportif: termasuk dukungan emosi dan meyakinkan serta mendorong

prilaku sehat pasien dan membantu pasien menerima keadaannya.

− Peer support atau self help group: adanya sebuah kelompok yang memiliki

jadwal bertemu yang reguler tergantung pada kebutuhan dan perhatian dari

kelompok tersebut.

− Rehabilitasi :

 Rehabilitasi psikososial: membantu pasien melatih ketrampilan dengan

tujuan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan

 Rehabilitasi psikiatri : mengajarkan pasien ketrampilan yang

membuatnya dapat meraih tujuan dalam pekerjaan, pendidikan, sosialisasi

dan tempat tinggal

 Rehabilitasi pekerjaan : latihan bekerja dan program training yang

dapat membantu pasien untuk menjadi pekerja penuh waktu

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam

merawat penderita skizofrenia dirumah :

− Memberikan kegiatan atau kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.

− Berikan tugas yang sesuai kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan

sesuai perkembangan.

19
− Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri dalam melakukan kegiatan,

misalnya; makan bersama, bekerja bersama, rekreasi bersama, dan lain-lain.

− Minta keluarga atau teman menyapa ketika bertemu dengan penderita, dan

jangan mendiamkan penderita, atau jangan membiarkan penderita berbicara

sendiri.

− Mengajak atau mengikutsertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat,

misalnya pengajian, kerja bakti, dan sebagainya.

− Berikan pujian yang realistis terhadap keberhasilan penderita, atau dukungan

untuk keberhasilan sosial penderita.

− hindkan berbisik-bisik di depan penderita atau ada penderita dalam suatu ruangan

yang sama atau disaksikan oleh penderita.

− Mengontrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu

minum obat dengan prinsip benar nama obat, benar nama pasien, benar dosis,

benar waktu, benar cara pemberian.

− Mengenali adanya tanda - tanda ke kambuhan seperti; sulit tidur, mimpi buruk,

bicara sendiri, senyum sendiri, marah-marah, sulit makan, menyendiri, murung,

bicara kacau, marah-marah, dan lain-lain.

− Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.

− Segera kontrol jika terjadi perubahan perilaku yang menyimpang, atau obat

habis.

20
2.7 Prognosis

Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara

berangsur-angsur menjadi semakin menarik diri dan tidak berfungsi selama bertahun-

tahun. Berikut gambaran klinik yang berkaitan dengan prognosis:

Tabel 3 Faktor penentu prognosis skizofrenia1

Prognosis Baik Prognosis Buruk


 Awitan lambat (>30 tahun),  Awitan muda
terutama perempuan  Tidak ada faktor presipitasi
 Ada faktor presipitasi yang jelas  Awita insidious
 Awitan akut  Riwayat sosial, seksual, dan
 Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan premorbid buruk
pelerjaan premorbid baik  Perilaku autistic, menarik diri
 Gejala gangguan mood (terutama  Lajang, cerai
gangguan depresif)  Riwayat keluarga dengan
 Menikah skizofrenia
 Riwayat keluarga dengan gangguan  Sistem pendukung buruk
mood  Gejala negatif
 Sistem pendukung baik  Tanda dan gejala neurologis
 Gejala positif  Riwayat trauma perinatal
 Tanpa remisi dalam 3 tahun
 Berulang kali relaps
 Riwayat melakukan tindakan
penyerangan

21
BAB III

PENUTUP

Penanganan pasien dengan skizofrenia perlu dilakukan dengan komprehensif,

mulai dari perawatan di rumah sakit sampai dengan perawatan di rumah. Peran

keluarga sangat penting dalam penyembuhan pasien skizofrenia terutama dalam

mencegah terjadinya relaps. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mencegah

terjadinya relaps pada pasien skizofenia salah satunya adalah dengan melakukan

psikoedukasi keluarga. Perlu diketahui lebih mendalam tentang hubungan antara

psikoedukasi keluarga dengan kejadian relaps pada pasien skizofrenia.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan


DSM-5. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajaya: Jakarta; 2013.
1. Kaplan HI, Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II. Binarupa
Aksara. Tangerang: 2010. 33-46
2. Riset Kesehatan Dasar, 2013. Riset Kesehatan Dasar.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201
3.pdf. Diunduh 19 Oktober 2017, pukul 19.00 WIB.
3. Amir N. Skizofrenia dalam Buku Ajar Psikiatri Edisi Kedua. Jakarta. FKUI. 2014
4. Sariah AE, Outwater AH, dan Malima KIY. Risk and Protective Faktors for
Relaps Among Individuals with Schizophrenia: A Qualitative study in Dar es
Salaam, Tanzania. BioMed Central Psychiatry Journal. 2014. 14:240
5. Kishimoto T et al. Long-Acting Injectable vs Oral Antipsychotics for Relaps
Prevention in Schizophrenia: A Meta-Analysis of Randomized Trials. NCBI.
Schizophrenia Bulletin vol 40 no 1 p 192-213. 2014)

23

Anda mungkin juga menyukai