Anda di halaman 1dari 3

dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi.

Tabel 4 menyajikan data dari populasi


penelitian tanpa riwayat epilepsi sebelum tanggal indeks; hasil mengungkapkan bahwa risiko
epilepsi pada pasien dengan diabetes tipe 1 hampir 3,36 kali lipat (95% CI 2.35, 4.81)
dibandingkan kohort.

Tabel 5 menunjukkan risiko epilepsi pada pasien dengan diabetes tipe 1


dikelompokkan berdasarkan faktor demografi dan komorbiditas. Kami mengamati bahwa
kejadian epilepsi lebih besar pada diabetes tipe 1 dari pada kohort menurut status
komorbiditas dan faktor demografi. Karena populasi penelitian dengan komorbiditas kecil,
resiko epilepsi tidak berbeda antara pasien dengan dan tanpa diabetes tipe 1
memperhitungkan dengan cedera kepala, epilepsi sebelumnya, disabilitas intelektual atau
BBLR. Pasien dengan diabetes tipe 1 menunjukkan peningkatan risiko yang signifikan
epilepsi dibandingkan dengan pasien cohort berdasarkan umur <6 tahun (HR 6.06 [95% CI
3,41, 10,8]), usia 6-11 tahun (HR 1,86 [95% CI 1.06, 3.24]), usia ≥12 tahun (HR 2,47 [95%
CI 1,52, 4,03]), laki-laki (HR 2.54 [95% CI 1,66, 3,89]) atau perempuan (HR 3,58 [95% CI
2,33, 5,50]) dan tinggal di perkotaan (HR 2.47 [95% CI 1,68, 3,62]) atau daerah pedesaan
(HR 3.61[95% CI 2.24, 5.82]).

Tabel 6 menunjukkan risiko epilepsi pada pasien diabetes tipe 1 dengan dan tanpa
hipoglikemia. Sehubungan dengan perbandingan kohort, HR epilepsi adalah 2,67 (95% CI
1,97,3.62) dan 16,5 (95% CI 5.19, 52,3) untuk diabetes tipe 1 pasien dengan atau tanpa
hipoglikemia. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa risiko epilepsi meningkat dengan
jenis keparahan diabetes tipe 1 (p untuk trend <0,0001).

Diskusi

Pertanyaan kritis yang tersisa mengenai hasil dari diabetes tipe 1, termasuk fungsi
neuropsikologis. Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa pasien dengan diabetes tipe 1
dapat meningkatkan risiko perkembangan epilepsi (HR2.84 [95%, CI2.11, 3,83]). Hasil ini
konsisten dengan penelitian sebelumnya bahwa epilepsi atau kejang banyak terdapat pada
gangguan autoimun atau inflamasi dan penyakit primer atau sekunder yang terkait dengan
proses pro-inflamasi [11-17]. Selain itu, kami menetapkan bahwa proporsi disabilitas
intelektual pada kelompok penderita diabetes tipe secara signifikan lebih besar daripada
kelompok kohort (p = 0,0006). Selanjutnya, anak-anak dengan disabilitas intelektual
menunjukkan peningkatan risiko yang signifikan untuk terjadinya epilepsi. Mekanisme
asosiasi antara diabetes tipe 1dan epilepsi tetap tidak jelas. Para peneliti telah mengusulkan
beberapa hipotesis kemungkinan patofisiologi komorbiditas mereka, termasuk kelainan
autoimun, lesi otak, faktor genetik faktor dan kelainan metabolik [23]. Khususnya, baik
hiperglikemia dan hipoglikemia biasanya terjadi pada orang tua dengan diabetes, dan dapat
mengubah keseimbangan antara inhibisi dan eksitasi jaringan saraf sehingga menyebabkan
kejang motorik focal [24-26]. Selain itu, kami menemukan bahwa usia yang lebih muda
dikaitkan dengan peningkatan risiko berkembangnya epilepsi. Penelitian sebelumnya telah
menyarankan bahwa hipoglikemia parah, usia muda dan onset awal sebagai faktor risiko
penting untuk abnormalitas gambaran elektroensefalografi [10]. Rekaman serial
elektroensefalografi dilakukan pada 70 anak-anak dengan diabetes mengungkapkan bahwa
mereka yang memiliki gambaran abnormal elektroenselografi terdapat pada usia yang lebih
muda dan memiliki onset awal diabetes. Selain itu, 21 dari 34 dengan abnormal
elektroensefalografi (62%) pernah mengalami serangan hipoglikemia parah; bagaimanapun,
abnormalitas elektroensefalografi yang ditemukan hanya 13 dari 43 anak-anak dengan
diabetes yang tidak memiliki hipoglikemia parah (30%). Semua anak-anak dengan diabetes
dan kejang hipoglikemi memiliki abnormalitas gambaran elektoensefalografi permanen[10].

Hipotesis lain menjelaskan kejang pada pasien dengan diabetes tipe 1 mungkin
berhubungan dengan autoantibodi spesifik terhadap komponen saraf. Penyebab autoimun
tertentu, biasanya terkait dengan autoantibodi, telah semakin berkembang di identifikasi
dalam subset dari gangguan kejang idiopatik sebelumnya [11-17]. Epileptologist menjadi
semakin tertarik dalam proses autoimun dan dalam penelitian antibodi patogen. Baru-baru
ini, Ong et al mengadakan penelitian tingkat populasi untuk menguji hubungan antara
epilepsi dan 12 penyakit umum autoimun: diabetes tipe 1, psoriasis, rheumatoid arthritis,
penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, penyakit Crohn, kolitis ulseratif, sistemik lupus
eritematosus, sindrom antifosfolipid, sindrom Sjögren, myasthenia gravis dan penyakit celiac.
Risiko epilepsi secara konsisten diamati di semua 12 penyakit autoimun dan menunjukkan
peningkatan OR 3,9 pada anak-anak (<18 tahun) dengan diabetes tipe 1 [27]. Para peneliti
menyimpulkan bahwa epilepsi dan penyakit autoimun sering sekaligus terjadi, dan bahwa
peran potensial autoimunitas harus diperhitungkan ketika terjadi epilepsi. Secara khusus,
antibodi GAD telah dikaitkan dengan diabetes tipe 1 dan berbagai macam kondisi neurologis,
termasuk epilepsi [28-30]. Antibodi GAD telah terdeteksi di 80% dari pasien dengan yang
yang baru di diagnosis diabetes tipe 1, yaitu sekitar 80% pasien dengan epilepsi [29].

Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa proporsi disabilitas intelektual lebih
tinggi pada diabetes tipe 1 dibanding populasi umum. Hasil ini konsisten dengan yang
penelitian sebelumnya, pada anak-anak yang dengan diabetes tipe 1 ditemukan adanya
peningkatan risiko kesulitan dalam hal kognitif dan perilaku [31-33]. Selain itu, penelitian
lainnya mengamati hubungan antara peningkatan kontrol glikemik setelah infus insulin
subkutan terus-menerus dan perbaikan dalam suasana hati, perilaku dan kinerja tugas kognitif
yang kompleks [34]. Selain itu, defisit neurologis fokal terkait dengan hipoglikemia telah
diamati pada anak-anak dengan diabetes. Satu laporan yang disajikan yaitu episode 19 pada
tujuh anak dengan diabetes [35], dan penelitian lain yang melaporkan kejang motorik fokal,
diikuti oleh hemiparesis ipsilateral terkait dengan hipoglikemia [36]. Meskipun autoimunitas
dan neuroinflamasi cenderung berperan dalam subset dari pasien epilepsi dengan diabetes
tipe 1, kejang mungkin juga akibat dari komplikasi serebrovaskular yang umumnya terkait
dengan berbagai jenis kerusakan otak. Demikian, risiko kejang pada pasien epilepsi mungkin
independen dari penyebab imunologi.

Perawatan diabetes tipe 1 di Taiwan mengikuti beberapa pedoman yang diakui untuk
diagnosis, kontrol dan manajemen diabetes, meliputi berbagai komponen perawatan diabetes,
sering di titik beratkan pada terapi penurun glukosa [37]. Namun, penelitian ini terdapat
beberapa keterbatasan yang harus disebutkan. Pertama, NHIRD tidak memberikan detil
informasi pasien seperti pada kebiasaan gaya hidup, BMI, aktivitas fisik, status sosial
ekonomi dan riwayat keluarga. Semua ini memungkinkan adanya pembaur dalam penelitian
ini. Kedua, bukti yang berasal dari studi kohort umumnya dari kualitas metodologi yang lebih
rendah daripada percobaan acak, karena desain penelitian kohort adalah tergantung pada
banyaknya bias terkait dengan penyesuaian terhadap pembaur. Meskipun penelitian kami
dilakukan teliti sekali dengan kontrol yang memadai untuk pembaur, kunci keterbatasan
adalah bahwa bias bisa tetap tersisa karena kemungkinan tidak terukur atau pembaur yang
tidak diketahui. Ketiga, NHI mengklaim pendaftar utama melayani tujuan penagihan
administrasi dan tidak melalui verifikasi untuk tujuan ilmiah. Kita tidak dapat menghubungi
pasien secara langsung untuk mendapatkan lebih informasi tentang penggunaan obat-obatan
atau subtipe epilepsi, karena nomor identifikasi tidak diketahui. Namun, data yang kami
peroleh dari diagnosis diabetes tipe 1 dan epilepsi dapat dipercaya.

Kesimpulannya, hasil penelitian kami menunjukkan bahwa pasien dengan diabetes


tipe 1 menunjukkan insiden yang lebih tinggi dari epilepsi. Mekanisme patogen dari
gangguan neurologis tetap tidak diketahui tetapi mungkin berhubungan dengan gejala sisa
neurologis jangka panjang yang signifikan. Hasil saat ini bisa memberikan bukti untuk
memfasilitasi prognosis anak dengan diabetes tipe 1.Faktor penyebab antara diabetes tipe 1
dan peningkatan risiko epilepsi memerlukan penyelidikan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai