Anda di halaman 1dari 17

EPILEPSI

Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis
yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten, yang
terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron-
neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi, sedangkan
serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic
seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel
saraf di otak yang spontan.
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara
sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik
serebral yang berlebihan. Tidak semua bangkitan disertai kejang, misalnya
bangkitan lena (absence seizure). Diagnosa epilepsi ditegakkan, bila
penderita mengidap minimal 2 serangan kejang (konvulsi) dalam kurun
waktu 2 tahun.

Etiologi

Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari kasus


epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering
kita sebut sebagai kelainan idiopatik. Terdapat dua kategori kejang epilepsi
yaitu kejang fokal dan kejang umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi
dibagi menjadi dua, yaitu :
Kejang Fokal
a. Trauma kepala
b. Stroke
c. Infeksi
d. Malformasi vaskuler
e. Tumor (Neoplasma)
f. Displasia
g. Mesial Temporal Sclerosis
Kejang Umum
a. Penyakit metabolik
b. Reaksi obat
c. Idiopatik
d. Faktor genetik
e. Kejang fotosensitif

Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak
mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial
membran sel.
Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K+ dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca2+, Na+ dan Cl-,
sehingga di dalam sel terdapat konsentrasi tinggi ion K+ dan konsentrasi
rendah ion Ca2+, Na+, dan Cl-, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat
diruang ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang
menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrit-dendrit
dan badan-badan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah
polarisasi membran neuron berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter,
yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas
muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik.
Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamat,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang
terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil
pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau
rangsang. Hal ini misalnya terjadi dalam keadaan fisiologik apabila
potensial aksi tiba di neuron.
Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik
tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan
mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan
melepaskan muatan listrik.
Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah
atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah
dilampaui oleh ion Ca2+ dan Na+ dari ruangan ekstra ke intra seluler.
Influks Ca2+ akan mencetuskan/melepaskan depolarisasi membran dan
lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara
sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas
serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat
pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah mempengaruhi
neuron-neuron sekitar pusat epilepsi.
Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepas muatan.
Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti
ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk
fungsi otak.
Klasifikasi
Dikenal sejumlah tipe bangkitan epilepsi yang paling lazim adalah bentuk
serangan luas (grand mal, petit mal, absence) pada mana sebagian besar
otak terlibat dan serangan parsial (sebagian) yang mana pelepasan muatan
listrik hanya terbatas sampai sebagian otak.
Klasifikasi bangkitan epilepsi menurut ILAE tahun 1981 yaitu :
I. Berhubungan dengan lokasi
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1. Benign childhood epilepsy with centro-temporal spikes


2. Childhood epilepsy with occipital paroxysmal
3. Primary reading epilepsy

B. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)


1. Chronic progressive epilepsia partialis continua of childhood
(Kojewnikow's syndrome)
2. Syndromes characterized by seizures with specific modes of
precipitation
3. Epilepsi lobus Temporal/ Frontal/ Parietal/ Ocipital

C. Kriptogenik

II. Umum
A. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1. Benign neonatal familial convulsions
2. Benign neonatal convulsions
3. Benign myoclonic epilepsy in infancy
4. Childhood absence epilepsy (pyknolepsy)
5. Juvenile absence epilepsy
6. Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)
7. Epilepsies with grand mal (GTCS) seizures on awakening
8. Others generalized idiopathic epilepsies not defined above
9. Epilepsies with seizures precipitated by specific modes of activation

B. Kriptogenik / Simptomatik
1. West syndrome (infantile spasms, blitz Nick-Salaamm Krampfe)
2. Lennox-Gastaut syndrome
3. Epilepsy with myoclonic-astatic seizures
4. Epilepsy with myoclonic absence
C. Simptomatik (dengan etiologi yang spesifik atau nonspesifik)
1. Dengan etiologi yang Nonspesifik
a. Early myoclonic encephalopathy
b. Early infantile epileptic encephalopathy with suppression burst
c. Other symptomatic generalized epilepsies not defined above
2. Sindroma spesifik
a. Bangkitan epilepsy yang disebabkan oleh penyakit lain

III. Tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum


1. Campuran bangkitan umum dan fokal

Manifestasi Klinis
1. Bangkitan Umum
a. Grand mal (Perancis = penyakit besar) atau bangkitan Tonik-klonik
‘generalized’
Kejang ini merupakan bentuk kejang yang paling banyak terjadi.
Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan kejutan-kejutan ritmis
dari anggota badan dan hilangnya untuk sementara kesadaran dan
tonus. Terdiri atas 3 fase; fase tonik, fase klonik dan fase pasca
kejang. Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1 menit untuk kemudian
disusul oleh fase klonis dengan kejang-kejang dari kaki-tangan,
rahang dan muka. Lamanya serangan berkisar antara 1 dan 2 menit
yang disusul dengan keadaan pingsan selama beberapa menit dan
kemudian sadar kembali dengan perasaan kacau serta depresi.
b. Bangkitan lena (petit mal/absence)
Kejang ini termasuk jenis yang jarang. Bangkitan lena terjadi secara
mendadak dan juga menghilang secara mendadak (10-45 detik).
Berupa kesadaran menurun sementara, namun kendali atas postur
tubuh masih baik (penderita tidak jatuh); biasanya disertai
automatisme (gerakan-gerakan berulang), keadaan termangu-
mangu (pikiran kosong), mendadak berhenti bergerak. Terjadi pada
masa kanak-kanak (4-8 tahun). Remisi spontan 60-70% pasien pada
masa remaja.
c. Bangkitan lena yang tidak khas (bangkitan lena atipikal)
Manifestasi klinisnya berupa perubahan postural terjadi lebih
lambat dan lebih lama, biasanya disertai retardasi mental.
d. Bangkitan mioklonik (bangkitan klonik)
Berupa kontraksi otot sebagian/seluruh tubuh yang terjadi secara
cepat dan mendadak. Bercirikan kontraksi otot-otot simetris dan
sinkron yang tak ritmis dari terutama bahu dan tangan (tidak dari
muka). Adakalanya berlangsung dengan jangka waktu singkat
sekali, kurang dari satu detik.
e. Bangkitan atonik
Tiba-tiba kehilangan tonus otot postural sehingga seringkali jatuh
tiba-tiba. Sering terjadi pada anak-anak.
2. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana
Dapat menyebabkan gejala-gejala motorik, sensorik, otonom dan
psikis tergantung korteks serebri yang teraktivasi, namun
kesadaran tidak terganggu; penyebaran cetusan listrik abnormal
minimal, penderita masih sadar.
b. Bangkitan parsial kompleks (epilepsi lobus temporalis)
Penyebaran cetusan listrik yang abnormal lebih banyak.Biasanya
terjadi dari lobus temporal karena lobus ini rentan terhadap
hipoksia/infeksi.Cirinya ada tanda peringatan/”aura” yang disertai
oleh perubahan kesadaran; diikuti oleh “automatisme”, yakni
gerakan otomatis yang tidak disadari seperti menjilat bibir,
menelan, menggaruk, berjalan, yang biasanya berlangsung selama
30-120 detik. Kemudian, biasanya pasien kembali normal yang
disertai kelelahan selama beberapa jam.
c. Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
Biasanya terjadi pada bangkitan parsial sederhana.
3. Bangkitan lainnya
 Kejang demam
 Status epileptikus

Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka
epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
1) Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat,
rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah
menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat
memunculkan informasi
tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan
tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan
kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2) Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-
tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti trauma
kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus,
infeksi telinga atau sinus. Sebab sebab terjadinya serangan epilepsi harus
dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan
riwayat
penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus
memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali,
perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan
pertumbuhan otak unilateral.

3) Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling
sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi
untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk
kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya
kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah
yang sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada
anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-
ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan
obat anti epilepsi (OAE).

b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi
data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan Computer
Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif
dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan.

Diagnosis Banding
1. Bangkitan Psychogenik
2. Gerak lnvolunter (Tics, headnodding, paroxysmalchoreoathethosisl
dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response,
jitterness, dll.)
3. Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA,
narkolepsi, attention deficit)
4. Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi)
5. Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion,
sindroma psikotik akut)
6. Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen)
7. Keadaan episbdik dari penyakit tertentu (tetralogy speels,
hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi,
periodic paralysis, migren, dll)

Penatalaksanaan
1. Tindakan Umum (non farmakologi)
Selama bangkitan epilepsi :
(a) Letakan penderita di tempat teduh dan aman, untuk mencegah
kecelakaan.
(b) Jangan mencoba mengambil sesuatu dari mulut / membukanya
kecuali mencegah lidah tergigit.
(c) Kendorkan ikat pinggang atau ikat leher (dasi)
(d) Jangan mencoba menahan gerak / konvulsi, dapat meninbulkan
luksasio / fraktur.
(e) Setelah bangkitan berhenti (bila mungkin dihentikan dengan anti
konvulsi, letakan pada posisi koma (semi frone / three-
quarterprone position)
(f) Awasi terus dan bebaskan jalan nafas sampai penderita sadar
kembali.
(g) Jangan cepat-cepat dibawa kerumah sakit, kecuali bila serangan
berkepanjangan, terjadi kecelakaan atau anoreksia.
(h) Segera setelah fase iktal, penderita merasa bingung, perlu bantuan
untuk memuluhkan kepercayaan diri dan simpati tanpa kegaduhan
(i) Jangan tergesa memberikan minum setelah bangkitan, apalagi obat
anti epilepsi (OAE)
2. Tindakan Khusus
Prinsip-prinsip terapi farmakologi untuk epilepsi yakni:
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih
dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek
samping dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi dengan satu jenis obat anti
epilepsi.
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara
bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping obat.
d. Apabila dengan penggunaaan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila
sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya
diturunkan secara perlahan.

3. Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :


a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor penyebab.
Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan berhenti
sendiri.
Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat diberikan
diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan anak < 10
kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang masih
belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit dengan
dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian diazepam
per rektal masih belum berhenti, maka penderita dianjurkan untuk
dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsi
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat penderita
epilepsi terbebas dari serangan epilepsinya. Serangan kejang yang
berlangsung mengakibatkan kerusakan sampai kematian sejumlah
sel-sel otak. Apabila kejang terjadi terusmenerus maka kerusakan
sel-sel otak akan semakin meluas dan mengakibatkan menurunnya
kemampuan intelegensi penderita.
Karena itu, upaya terbaik untuk mengatasi kejang harus dilakukan
terapi sedini dan seagresif mungkin. Pengobatan epilepsi dikatakan
berhasil dan penderita dinyatakan sembuh apabila serangan epilepsi
dapat dicegah atau dikontrol dengan obatobatan sampai pasien
tersebut 2 tahun bebas kejang. Secara umum ada tiga terapi epilepsi,
yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Merupakan terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Jenis obat anti epilepsi
(OAE) baku yang biasa diberikan di Indonesia adalah obat
golongan fenitoin, karbamazepin, fenobarbital, dan asam valproat.
Obat-obat tersebut harus diminum secara teratur agar dapat
mencegah serangan epilepsi secara efektif. Walaupun
serangan epilepsi sudah teratasi, penggunaan OAE harus tetap
diteruskan kecuali ditemukan tanda-tanda efek samping yang berat
maupun tanda-tanda keracunan obat. Prinsip pemberian obat
dimulai dengan obat tunggal dan menggunakan dosis terendah yang
dapat mengatasi kejang.

2) Terapi bedah
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong
bagian yang menjadi fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi
sumber serangan. Diindikasikan terutama untuk penderita epilepsi
yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini merupakan jenis bedah
epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

3) Terapi nutrisi
Pemberian terapi nutrisi dapat diberikan pada anak dengan kejang
berat yang kurang dapat dikendalikan dengan obat antikonvulsan
dan dinilai dapat mengurangi toksisitas dari obat.
Terapi nutrisi berupa diet ketogenik dianjurkan pada anak penderita
epilepsi. Walaupun mekanisme kerja diet ketogenik dalam
menghambat kejang masih belum diketahui secara pasti, tetapi
ketosis yang stabil dan menetap dapat mengendalikan dan
mengontrol terjadinya kejang. Hasil terbaik dijumpai pada anak
prasekolah karena anak-anak mendapat pengawasan yang lebih
ketat dari orang tua di mana efektivitas diet berkaitan dengan
derajat kepatuhan. Kebutuhan makanan yang diberikan adalah
makanan tinggi lemak. Rasio kebutuhan berat lemak terhadap
kombinasi karbohidrat dan protein adalah 4:1. Kebutuhan kalori
harian diperkirakan sebesar 75 – 80 kkal/kg. Untuk pengendalian
kejang yang optimal tetap diperlukan kombinasi diet dan obat
Antiepilepsi.
Pemilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) Berdasarkan Tipe Bangkitan.

Tipe bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua


Bangkitan Fenitoin, Acetazolamide,clobazam,
parsial(sederhana karbamazepin, asam clonazepam,ethosuximide,
atau kompleks) valproat felbamate, gabapentin,
lamotrigine,levetiracetam,
oxcarbazepine, tiagabin,
topiramate, vigabatrin,
phenobarbital, pirimidone
Bangkitan umum Karbamasepin, gabapentin, lamotrigin,
sekunder fenitoin, asam valproat levetirasetam, tiagabin,
topiramat
Bangkitan umum Karbamasepin, Lamotrigin, topiramat
tonik klonik fenitoin, asam
valproat, fenobarbital.
Bangkitan lena Asam valproat, Acetazolamide,clobazam,
etosuksimid clonazepam, lamotrigine,
phenobarbital, pirimidone
Bangkitan Asam valproat Clobazam, clonazepam,
mioklonik ethosuximide,
lamotrigine,
phenobarbital, pirimidone,
piracetam
.
Dosis, Kadar Terapi dan Sediaan Obat Antikonvulsi yang Beredar di Indonesia.

OBAT DOSIS FREKUENSI Sediaan


PEMBERIAN
PERHARI
Asam DD : 5-15 Sirup 250 mg/5 ml
Valproat mg/kgBB/hari 3-4 kali/hari Tablet 250 mg, 150 mg
DA : 10-30
mg/kgBB/hari
Diazepam DD : T tablet 2 mg, 5 mg, 10 mg
2-4 kali/hari
0.2mg/kgBB/hari - Injeksi 5 mg/ml
DA : 0.15- - Gel rektal (suposituria)
0.3mg/kgBB/hari 2mg, 5 mg, 10 mg, 20 mg
Fenitoin DD : 300 mg/hari Kapsul 100 mg, 50 mg
DA : 5 mg/hari 1-2 kali/hari Ampul 100 mg/2 ml
Fenobarbital DD:2-3mg/kgBB/hari Tablet 30 mg, 50 mg, 100
2 kali/hari
DA :3-5mg/kgBB/hari mg

Karbamazepin DD : 1000-2000
mg/hari 2-4 kali/hari Ampul 50 mg/ml
DA : 15-25
mgkgBB/hari

Klonazepam DD : 1.5 mg/hari Kaplet salut film 200 mg


DA : 0.01-0.03 3 kali/ hari

mg/kgBB/hari
Lamotrigin DD : 100-500 mg/hari Tablet salut film 2 mg
1-2 kali/hari
DA : 1.2
mg/kgBB/hari

Levetirasetam DD : 2x500mg/hari Tablet 50 gr, 100 mg


Atau 2x1500mg/hari 2 kali/hari
DA : -

Gabapentin* DD :900 mg – 2.4g Tablet 250 mg dan


/hari 500 mg
1-3 kali/hari
DA : -
Topiramat DD : 200-600 mg/hari Tablet 300 mg
Tablet 25 mg, 50 mg
2 kali/hari
100 mg
DA = Dosis anak
DD = Dosis dewasa
*dalam kombinasi

Prognosis

Prognosis status epileptikus adalah tergantung pada penyebab yang mendasari


status epileptikus. Pasien dengan status epileptikus akibat penggunaan
antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya prognosisnya lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan dengan cepat dan dilakukan pencegahan terjadi
komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai etiologi maka prognosis tergantung
dari meningitis tersebut
Daftar Pustaka

1. Goodman and Gilman. Dasar Farmaklogi dan Terapi. Edisi 10. Jakarta: EGC,
2008. Hal 506-531
2. Hoan Tjay, Tan. Kirana, Rahardja. Obat-Obat Penting: Khasiat, Penggunaan,
dan efek-efek sampingnya. Edisi 6. Jakarta:Penerbit PT Elex Media
Komputindo . 2007. Hal 415-427
3. Katzung, Betram G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 9. Jakarta: EGC,
2002. Hal 83-125
4. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006. Hal 1157-1166
5. Harsono.2007.Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
6. Sidharta, Priguna M.D.,Ph. D.1999. Neurology klinis dalam praktek umum,
Dian Rakyat, Jakarta
7. Harsono. .Epidemiologi epilepsi. dalam: Kapita selekta Neurology. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2007.
8. Nafrialdi; Setiawati, A. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI,2009
9. Brown JK. Fits in children. In: Laidlaw J, Richens A, eds. A textbook of epilepsy. 2nd
ed. London: Churchill Livingstone, 1982.
10. Commission on Classification and Terminology of the International League against
Epilepsy. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of
epileptic seizures. Epilepsia 1981;22:489-501.
11. Commission on Classification and Terminology of the International League against
Epilepsy. Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes.
Epilepsia 1989;30:389-399.
12. Consensus development panel. Febrile seizures: long term management of children
with fever-associated seizures. Pediatrics 1980;66:1009-1012.
13. World Health Organization. Initiative of support to people with epilepsy. Geneva:
WHO, Division of Mental Health, 1990.

Anda mungkin juga menyukai