Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi


klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile
illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah
dengue disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Gambaran manifestasi
klinis yang bervariasi ini memperlihatkan fenomena gunung es, dengan kasus
DHF dan DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya. 1
Demam berdarah dengue terjadi dimana banyak tipe virus dengue secara
simultan atau berurutan ditularkan. Demam ini adalah endemik di Asia tropik,
dimana suhu panas dan praktek penyimpanan air dirumah menyebabkan populasi
Aedes aegypti besar dan permanen. Wabah tahun 1981 di Kuba, dimana anak dan
dewasa terpajan sama, telah menunjukkan bahwa sindrom permeabilitas vaskuler
akut, terjadi hampir selalu pada anak usia 14 tahun dan yang lebih muda. 2
Patogenesisnya belum dimengerti secara sempurna, penelitian
epidemiologi memberi kesan bahwa biasanya disertai dengan infeksi dengue tipe
2,3,dan 4 sekunder. Ada bukti bahwa antibodi non netralisasi menaikkan infeksi
seluler dan memperbesar keparahan penyakit.2
Sebagian besar menganut the secondary heterologous infection hypothesis
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DHF dapat
terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali
mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun.1,3
Empat manifestasi klinis mayor: demam tinggi, fenomena hemoragis,dan
sering hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Trombositopenia sedang sampai
nyata dengan hemokonsentrasi secara bersamaan adalah temuan laboratorium
klinis khusus dari DHF. Perubahan patologis utama yang menentukan keparahan
penyakit pada DHF dan membedakannya dari DF adalah rembesan plasma.4

1
Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif ,yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DHF
dirawat diruang perawatan biasa tetapi pada kasus DHF dengan komplikasi
diperlukan perawatan intensif.1
Manajemen memerlukan evaluasi segera tanda-tanda vital dan tingkat
hemokonsentrasi, dehidrasi, dan ketidakseimbangan elektrolit. Pemantauan ketat
adalah sangat penting selama sekurang-kurangnya 48 jam karena syok dapat
terjadi.2
Kematian telah terjadi pada 40-50 % penderita dengan syok, tetapi dengan
perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan hidup
secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit infeksi virus dengue


pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara
penyakit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), dengue fever, dengue
haemorrhagic fever (DHF) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue
shock syndrome = DSS).1

2.2 Etiologi

Virus

Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses) dan


sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, family Flaviviridae, yang mempunyai
4 jenis serotype yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Keempat serotipe virus
dengue dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi dengan salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang
bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang
yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4
serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan
di berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang
dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotype ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan
serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.1

2.3 Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di


Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di
Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk
epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, diantranya di Hanoi (1958),

3
Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan
Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe-2 dan chikungu berhasil diisolasi dari
beberapa kasus. Di Indonesia DHF pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DHF berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa
dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DHF telah
menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada saat ini DHF sudah endemis di
banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah berjangkit di
daerah pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DHF, Indonesia menempati urutan
kedua setelah Thailand. Pada saat ini DHF telah menyebarluas di kawasan Asia
Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.1

Morbiditas dan mortalitas DHF yang dilaporkan berbagai negara


bervariasi disebabkan beberapa factor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus
dengue dan kondisi meteorologist. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara,
pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari
golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya,
jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh
musim terhadap DHF tidak begitu jelas, namun sevara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari.1

4
2.4 Patofisiologi

Volume Plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan


membedakan antara Dengue Fever dan Dengue Haemorrhagic Fever ialah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma,
terjadinya hipotensi, trombositopenia, serta diastesis hemoragik. Penyelidikan
volume plasma pada kasus DHF dengan menggunakan 131 Iodine labeled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya
pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit
meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding
pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menimbulkan
dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui kapiler yang rusak.
Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya
cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan
perikardium yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui
infus, dan terdapatnya edem.1

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini dapat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan
perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada otopsi tidak
ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat destruktif atau akibat
radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa perubahan fungsional dinding
pembuluh darah agaknya disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja
secara cepat. Gambaran mikroskop elektron biopsy kulit pasien DHF pada masa
akut memperlihatkan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka anoksia atau
luka bakar.1

5
Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada


sebagian besar kasus DHF. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat
meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya tercapai 7-10 hari
sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya
megakariosit muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit
diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dengan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotel, limpa, dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak
diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusaka sel sendotel dan aktivasi sistem
pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut fungsi
trombosit pada DHF terbukti menurun mungkin disebabkan proses imunologis
terbukti ditemui kompleks imun dalam peredaran darah. Trombositopenia dan
gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
perdarahan pada DHF. 1

Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DHF. Masa


perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin parsial
yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun, termasuk
faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DHF berat terjadi
peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian lebih lanjut faktor
koagulasi membuktikan adanyan penurunan aktifitas antitrombin III. Disamping
itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas faktor VII, faktor II dan
antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini
menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak
hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi
sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis pada DHF dibuktikan dengan penurunan
aktifitas α-2 plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen. 1

6
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa (1) pada DHF stadium akut
telah terjadi proses koagulasi dan fibrinolisis, (2) Disseminated intravascular
coagulation (DIC) secara potensial dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada
masa dini DHF, peran DIC tidak menonjol dibanding dengan perubahan plasma
tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok
akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan DIC akan
saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai
perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya diakhiri dengan
kematian. (3) Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia; sedangkan perdarahan masif
ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks seperti trombositopenia,
gangguan faktor pembekuan, dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama
pada kasus dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik. (4) Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin akan berkurang. 1

Sistem komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DHF memperlihatkan penurunan kadar


C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok maupun
tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen dengan derajat
penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada dengue, aktivasi
komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur alternative. Hasil
penelitian radioisotope mendukung pendapat bahwa penurunan kadar serum
komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem komplemen dan bukan olehkarena
produksi yang menurun atau ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilatoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast
untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,
permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu paruh trombosit
memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. Disamping itu komplemen
juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin seperti tumor necrosis

7
factor (TNF), interferon gamma, interleukin (IL-2 dan IL-1). Bukti-bukti yang
mendukung peran sistem komplemen pada penderita DBD adalah (1)
ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam, (2) adanya
kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex) , baik pada DBD
derajat ringan maupun berat, (3) adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks
imun dengan derajat berat penyakit.1

Respons Leukosit

Pada perjalanan penyakit DHF, sejak demam hari ketiga terlihat


peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan. Suvatte dan
Longsaman menyebutnya sebagai transformed lymphocytes. Dilaporkan juga
bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DHF dijumpai transformed
lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-50%). Hal ini khas untuk DHF oleh
karena proporsinya sangat berbeda dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian
yang lebih mendalam dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit
plasma biru (LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada hari
demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula diantara hari keempat sampai
kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada DHF dengan
demam dengue. Namun, antara hari kedua sampai hari kesembilan demam, tidak
terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji
diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong itu
secara praktis mampu membantu diagnostik dini infeksi dengue dan sejak hari
ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi dengue dan non
dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa LPB merupakan campuran
antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB ialah limfosit dengan sitoplasma
biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit
besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan
daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk
bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di
dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah
yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.1

8
Pada infeksi virus dengue yang pertama terbentuk antibodi yang
menetralkan virus dengue yang serotipenya sama (homolog). Infeksi berikutnya
dengan serotipe yang berbeda akan berikatan dengan antibodi yang sudah ada
sebelumnya tapi tidak menetralisasi. Virus dengue dan antibodi non netralisasi
akan berikatan dengan receptor fc pada permukaan monosit/ makrofag kemudian
virus dengue masuk kedalam magrofag dan terjadi replikasi virus dan
mengaktivasi makrofag yang akan melepaskan sitokin yaitu Tumor Necrosis
Factor Alpha(TNF-∝),Interleukin -1 (IL-1) dan Interleukin -12(IL-12). Tumor
Nekrosisi Alpha yang diproduksi oleh makrofag teraktivasi merupakan sitokin
utama pada respon inflamasi akut terhadap mikroba. Efek biologi TNF-∝ adalah
meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada permukaan endotel pembuluh
darahyaitu intercelluler adhesion molecule-1, vascular cell adhesion molecule-1
,selectin dan integrin ligand ,juga pada permukaan lekosit yaitu selectin ligand
dan integrin.Ekspresi molekul adhesi tersebut akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah dan migrasi leukosit ketempat infeksi untuk
menyingkirkan mikroba.6
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah akan menyebabkan
perembesan plasma (plasma leakage) dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial
sehingga terjadi peningkatan hematokrit, hipoproteinemia, hiponatremia,
hipovolemia (renjatan) ,adanya cairan dalam rongga pleura dan peritoneum.6

2.5 Patogenesa

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue akan tetap infektif
sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat
menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus
dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,
dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan
bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur
virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi

9
ini menimbulkan reaksi imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi
tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya.5

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan


biokimiawi DHF belum diketahui secara pasti karena kesukaran mendapatkan
model binatang yang percobaan yang dapat dipergunakan untuk menimbulkan
gejala klinis DHF seperti pada manusia. Hingga kini sebagian besar ilmuwan
masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the
sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DHF dapat terjadi
apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus dengue serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan
sampai 5 tahun.1

The Immunological Enhancement Hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit., yaitu
enhancing-antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe
antibody yaitu (1) Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant specificity. Antibodi non-
neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus.
Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh
serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. 1

Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis (the


immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut : 1

a. Sel fagosit mononuclear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat (sitofilik) pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk

10
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuclear.
Mekanisme pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuclear
yang telah terinfeksi.
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar
ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DHF dengan dan tanpa
renjatan adalah jumlah sel yang terkena infeksi.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Aktivasi Limfosit T

Limfosit T juga memegang peran penting dalam pathogenesis DHF.


Akibat rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada infeksi sekunder oleh
virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama), limfosit T CD4+
berproliferasi dan menghasilkan IFN-α. IFN-α selanjutnya merangsang sel yang
terinfeksi virus dengue dan mengakibatkna monosit memproduksi mediator. Oleh
limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis
dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan
perdarahan.1

Hipotesis kedua petogenesis DHF mempunyai konsep dasar bahwa


keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala
berat terjadi sebagai akibat serotipe / galur serotipe virus dengue yang paling
virulen.1

11
2.6 Manifestasi Klinis

Kasus DHF ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi,


perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran
darah (circulatory failure).1,3
Patokan diagnosis DHF (WHO) : 1,3
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji torniquet positif dan salah satu bentuk
perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun ( tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) disertai kulit
yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki,
pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis di sekitar mulut.
Fenomena perdarahan paling umum adalah tes tourniquet positif, mudah
memar dan perdarahan pada sisi pungsi vena. Tampak pada kebanyakan kasus
adalah ptekie halus menyebar pada ekstremitas, aksila, wajah dan palatum lunak,
yang biasanya terlihat pada fase demam awal. Epistaksis dan perdarahan gusi
jarang terjadi; perdarahan gastrointestinal ringan dapat terlihat selama periode
demam.4

Tahap kritis dari perjalanan penyakit dicapai pada akhir fase demam.
Setelah 2-7 hari demam, penurunan suhu cepat sering disertai dengan tanda
gangguan sirkulasi yang beratnya bervariasi. Pasien dapat berkeringat, gelisah,
ekstremitas dingin dan menunjukkan suatu perubahan pada frekuensi nadi dan
tekanan darah. Pada kasus kurang berat, perubahan ini minimal dan tersembunyi,
menunjukkan derajat ringan dari rembesan plasma. Banyak pasien sembuh secara
spontan, atau setelah periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang
lebih berat, bila kehilangan plasma sangat banyak, terjadi syok dan dapat
berkembang dengan cepat menjadi syok hebat dan kematian bila tidak diatasi
dengan tepat.4

12
2.7 Klasifikasi

Sesuai dengan patokan yang disebut terdahulu,WHO membagi derajat


penyakit DHF dalam 4 derajat ,yaitu sebagai berikut : 1,3,4
1. Derajat I
Demam disertai gejala tidak khas dan satu- satunya manifestasi perdarahan
ialah uji tourniquet positif.
2. Derajat II
Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan lain.
3. Derajat III
Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi
menurun (kurang dari 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit yang dingin,
lembab dan penderita menjadi gelisah.
4. Derajat IV
Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang
tidak dapat diukur.

2.8 Diagnosa
Diagnosa DHF ditegakkan melalui anamnesis/alloanamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Kriteria klinis :1
1. Demam
Demam tinggi mendadak dan terus- menerus selama 2-7 hari disertai
gejala klinik yang tidak spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri
punggung, tulang, sendi dan kepala. Demam sebagai gejala utama
terdapat pada semua kasus. Alasan mengapa orang tua membawa
anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang
demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan,
gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau
oleh karena demam dan manifestasi perdarahan di kulit menjadi nyata.

13
2. Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari
pertama demam. Di daerah endemis DHF, uji tourniquet, merupakan
pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DHF apabila yang
dilakukan pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab
yang jelas. Uji tourniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan kriteria
WHO. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan
tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan
diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku.;
tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan
tekanan selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekie di bagian volar
lengan bawah. Uji dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi
(2,8x2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekie (WHO,1975). Pada DHF uji
tourniquet pada umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini
dapat memberikan hasil negatif atau positif lemah selama masa syok.
Apabila pemeriksaan diulangi setelah syok ditanggulangi, pada
umumnya akan didapat hasil positif, bahkan positif kuat.
3. Pembesaran Hati
4. Syok
Ditandai oleh nadi lemah, cepat, disertai tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan
sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang
teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari, dan kaki,
pasien menjadi gelisah, timbul sianosis disekitar mulut.

Pemeriksaan fisik
Selain didapatkan gejala yang dirasakan pasien sesuai anamnesa dan
temuan ruam pada pasien saat pemeriksaan, juga dilakukan pemeriksaan fisik
pada DHF ini ialah pemeriksaan hati. Hati yang membesar pada umumnya dapat
diraba pada permulaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat

14
penyakit, nyeri tekan sering kali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak
berumur 4 tahun dan atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat diraba.1

Pemeriksaan penunjang
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup
untuk klinis membuat diagnosis DHF. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka
DHF dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis,
dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.1,3
Kelainan hematologis yang paling sering adalah kenaikan hematokrit 20%
lebih besar melebihi nilai hematokrit penyembuhan, trombositopenia, leukositosis
ringan (jarang melebihi 10000, waktu perdarahan memanjang,dan kadar
protrombin menurun sedang (jarang kurang dari 40% kontrol). Kadar fibrinogen
mungkin subnormal dan produk-produk pecahan fibrin naik.2
Kelainan lain adalah kenaikan sedang kadar transaminase ,asidosis
metabolik ringan dengan hiponatremia,dan kadang kadang hipokloremia,sedikit
kenaikan urea nitrogen serum,dan hipoalbumineamia. Rontgen dada
menunjukkaan efusi pleura pada hampir semua penderita.2
Pada infeksi dengue primer, ada kemunculan antibody IgM antidengue
yang relative sementara. Antibodi ini menghilang 6-12 minggu dan dapat
digunakan untuk menentukan saat infeksi dengue. Pada infeksi dengue sekunder,
kebanyakan antibody adalah dari kelas IgG. Uji hemaglutinasi inhibisi (HI)
menunjukkan kenaikan titer cepat atau tetap tinggi (1:640 atau lebih besar) pada
sepasang serum.2

2.9 Diagnosa Banding


Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang
luas. Pada hari-hari pertama diagnosis DHF sulit dibedakan dari morbili, malaria
dan idiopatik thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. ITP demam
cepat menghilang dan tidak ditemukan hemokonsentrasi. Pada hari demam ke 3-
4,kemungkinan diagnosa DHF akan lebih besar, apabila gejala klinis lain seperti

15
manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.Kesulitan kadang-
kadang dialami dalam membedakan syok pada DHF dengan sepsis, dalam hal ini
trombositopenia dan hemokonsentrasi disamping penilaian gejala klinis lain
seperti tipe dan lama demam dapat membantu.1,3
Sebagai diagnosis banding yang paling penting ialah chikungunya
haemorrhagic fever yaitu demam berdarah yang disebabkan oleh virus
chikungunya yang termasuk kedalam arbovirus kelompok A. Sukar untuk
membedakan DHF derajat sedang dari chikungunya haemorrhagic fever (CHF).
Serangan demam pada CHF lebih mendadak, masa demam lebih pendek, tetapi
suhu di atas 40 oC lebih sering ditemukan. Ruam makulopapular, infeksi
konjungtiva dan rasa nyeri pada sendi lebih sering dijumpai pada CHF. Persentase
uji tourniquet positif, petekie yang tersebar dan gejala epistaksis hamper sama,
tetapi perdarahan gastrointestinal dan renjatan hanya ditemukan pada penderita
DHF. Walaupun praktis sukar untuk membedakan DHF tanpa renjatan dari CHF,
seyogyanya selalu dipikirkan kemungkinan DHF dengan konsekuensi
mempertinggi pengamatan periodis akan pemeriksaan laboratorium (hemoglobin
dan hematokrit) dan gejala klinis renjatan.3
Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang
luas. Pada hari ketiga sampai keempat demam, kemungkinan diagnosis DHF akan
lebih besar apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan
pembesaran hati menjadi nyata. Perdarahan sebagai petekie dan ekimosis
ditemukan pada beberapa penyakit infeksi diantaranya sepsis, meningitis
meningokok. Pada sepsis anak sejak semula tampak sakit berat, demam naik
turun, gejala radang beberapa alat tubuh mungkin tampak dengan jelas, misalnya
bronkopneumonia, hepatitis, nefritis. Disamping itu jelas terdapat leukositosis
disertai pergeseran ke kiri. Pada meningitis meningokok akan jelas ditemukan
gejala rangsang meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinal.3

16
2.10 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
sebagai akibat perdarahan. Pasien DHF dirawat diruangan perawatan biasa, tetapi
pada kasus DHF dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk
merawat pasien DHF dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil,
sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah
yang senantiasa siap bila diperlukan.Diagnosis dini dan edukasi untuk segera
dirawat bila didapat tanda syok, merupakan hal yang paling penting untuk
mengurangi angka kematian. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya
tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci
keberhasilan tatalaksana DHF terletak pada keterampilan para dokter untuk dapat
mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu ( fase kritis,
fase syok) dengan baik.1

Pengganti volume plasma


Dasar patogenesis DHF adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase
penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok), maka dasar pengobatannya
adalah penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian cairan harus
diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung
untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu disesuikan
dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume urin. Secara umum
volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8 %.1
Cairan intravena diperlukan apabila :1
 Anak terus-menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi hingga
tidak mungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi
sehingga mempercepat terjadinya syok.
 Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.jumlah
cairan yang diperlukan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam 1/3 larutan NaCl 0,9%.

17
Apabila terdapat kenaikan hematokrit 20% atau lebih, maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur
dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan
dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama.1

Berat badan (kg) Jumlah cairan (ml)


10 100 per kg BB
10-20 1000 + 50 x kg (di atas 10 kg)
>20 1500 + 50 x kg (diatas 20 kg)

Tabel 3.Kebutuhan cairan rumatan.1

Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah larutan ringer
laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5 /RL), ringer asetat
(RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5 / RA), NaCl 0,9% atau
dekstrosa 5% dalam larutan garam faali. Sedangkan larutan koloid adalah
dekstran-40 dan plasma darah.1

18
DHF derajat I atau derajat II tanpa peningkatan hematokrit
Gejala Klinis demam 2-7 hari
Uji tourniquet positif atau perdarahan
spontan.
Lab : Hematokrit tidak meningkat,
trombositopeni (ringan)

Pasien masih dapat minum Pasien tidak dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sd Pasien muntah terus-menerus
makan tiap 5 menit.
Jenis minuman : air putih, teh manis, sirup,
jus buah, susu, oralit.
Bila suhu >38,5oC beri paracetamol Pasang infus NaCl 0,9% :
Bila kejang beri anti konvulsif Dextrose 5% (1:3), tetesan
rumatan sesuai berat badan.
Periksa Hb, Ht, Trombosit
tiap 6-12 jam.
Monitor gejala klinis dan laboratorium
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari Ht naik dan atau trombosit
turun
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan
Periksa Hb, Ht, trimbosit tiap 6-12 jam

Infus ganti ringer laktat


(tetesan disesuaikan)
Perbaikan klinis dan laboratoris

Pulang

1
Bagan 1 : (Tatalaksana kasus DHF derajat I dan II)

19
Keterangan bagan 1:
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif
(DHF derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit
(DHF derajat II) dapat dikelola seperti tertera pada bagan 1. Apabila pasien masih
dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5
menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus
buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (paracetamol) diberikan bila suhu >38,5oC.
Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat antio konvulsif. Apabila
pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus
NaCl 0,9% : Dextrosa 5% (1:3) dipasang dnegan tetesan rumatan sesuai berat
badan. Disamping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, dan trombosit setiap
6-12 jam. Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk
mengetahui pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahn yang terjadi. Jadar Hb, Ht, dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam.
Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak
dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Hb, Ht cenderung naik danbtrombosit
menurun, maka infus cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan
pada bagan 2.1

20
DHF derajat II dengan peningkatan Hemokonsentrasi ≥ 20%
Cairan awal
RL/Nacl 0,9% atau RLD5/NaCl
0,9%+D5, 6-7 ml/kgBB/jam*
Monitor tanda vital/nilai Ht dan trombosit tiap 6 jam

Perbaikan Tidak ada perbaikan


Tidak gelisah Gelisah
Nadi kuat Distres pernafasan
Tekanan darah stabil Frekuensi nadi naik
Diuresis cukup (1 ml/kgBB/jam Ht tetap tinggi/naik
Ht turun (2 kali pemeriksaan) Diuresis kurang/tidak ada

Tanda vital memburuk


Ht meningkat
Tetesan dikurangi Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan Tetesan dinaikkan bertahap
5ml/kgBB/jam Evaluasi 15 menit

Perbaikan Tanda vital tidak stabil


Sesuaikan tetesan
Distres pernafasan Hb/Ht turun
Ht naik *
IVFD stop pada 24-48 jam Tek. Nadi ≤ 20 mmHg
Bila tanda vital/Ht stabil Koloid Tranfusi darah segar
Diuresis cukup 20-30 ml/kgBB 10 ml/kgBB

Perbaikan
*BB ≤ 20 kg
Bagan 2 : (Tatalaksana kasus DHF derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi ≥ 20%) 1

21
Keterangan bagan 2 :
Pasien DHF derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama ≤ 7
hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (paling tersering
perdarahan kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan), disertai penurunan
jumlah trombosit ≤ 100.000/ul dan penigkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien
datang, berikan cairan kristaloid ringer lactat/NaCl 0,9% atau dextrosa 5% dalam
ringer lactat/NaCl 0,9% 6-7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar
hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi tiap 12-24 jam. 1
1. Apabila selama observasi keadaan umum mebaik, yaitu anak tampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup dan kadar
Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetsan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh dalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas
cepat (distres pernafasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang,
tekanan nadi 20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan
dinaikkan lagi menjadi 15 ml/kgBb/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi.
Apabila tampak distres pernafasan menjadi lebih beratdan Ht naik maka
berikan cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30
ml/kgBB. Namun bila Ht turun, berikan tranfusi darah segar 10
ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis membaik, maka cairan disesuaikan
seperti ad.1. 1

Kriteria memulangkan pasien :4


a. Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antidemam(antipiretik)
b. Kembalinya nafsu makan
c. Perbaikan klinis yang dapat terlihat
d. Pengeluaran urine baik
e. Hematokrit stabil

22
f. Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok.
g. Tidak ada distres pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
h. Jumlah trombosit lebih dari 50.000/ mm3

2.11 Pencegahan
Pemberantasan DHF seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas
memutusan rantai penularan. Dalam hal DHF, komponen penularan terdiri dari
virus aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin yang
efektif terhadap virus itu, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan
terutama pada vektornya.3
Prinsip yang tepat dalam pencegahan DHF ialah sebagai berikut:3
1. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh ilmiah dengan
melaksanakan pemberantasan vektor pada saat sedikit terdapatnya kasus
DHF/DSS
2. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada
tingkat sangat rendah untuk memberikan kesempatan penderita viremia
sembuh secara spontan.
3. Mengusahaakan pemberantasan vektor dipusat daerah penyebaran, yaitu
disekolah dan rumah sakit termasuk pula daerah penyenggara disekitarnya.
4. Mengusahakan pemberantasan vektor disemua daerah berpotensi penularan
tinggi.

2.12 Prognosis
Kematian telah terjadi pada 40-50 % penderita dengan shock, tetapi
dengan perawatan intensif yang cukup kematian akan kurang dari 2%. Ketahanan
hidup secara langsung terkait dengan manajemen awal dan intensif.2

23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit demam berat yang
sering mematikan, disebabkan oleh virus dengue, ditandai oleh permeabilitas
kapiler, kelainan hemostasis dan pada kasus berat, sindrom syok kehilangan
protein. Virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
yang terinfeksi, terutama Aedes aegypti, dan karenanya dianggap sebagai
arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropoda). Empat manifestasi klinis
utama yang muncul akibat infeksi virus dengue yaitu demam tinggi, perdarahan,
terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan peredaran darah
(circulatory failure). Adanya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat
diagnosis DHF. Pengobatan DHF bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan
cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat
perdarahan serta terapi simptomatis. Perawatan yang intensif dan pemberian terapi
yang adekuat akan mengurangi angka kematian.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat dijadikan pembelajaran terhadap mahasiswa
atau tenaga kesehatan lain mengenai kasus terbanyak dan tersering dijumpai baik
di Puskesmas maupun di Rumah Sakit yaitu Dengue Haemorrhagic Fever (DHF).
Semoga dapat menjadi referensi dalam penulisan makalah mengenai DHF grade II
khususnya, serta dapat digunakan semaksimal mungkin sesuai dengan kebutuhan
mahasiswa kedokteran.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Poorwo, sumarmo ,dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi
2.Jakarta. 2010 : FKUI hal 155 – 181.
2. Halstead S.Arbovirus in Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin
AM.Ilmu Kesehatan Anak edisi 15. Jakarta.2000: EGC hal 1132 – 1136.
3. Hassan Rusepno, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta. 1985 :FKUI.
hal 607 – 621.
4. Asih,yasmin. 1999. Demam Berdarah Dengue
Diagnosis,pengobatan,pencegahan,dan pengendalian Edisi 2 /
WHO.Jakarta. 1999 : EGC hal 1 – 71
5. Chandra,Aryu , “Demam BerdarahDengue:Epidemiologi,Patogenesis,dan
Faktor Risiko Penularan”. Aspirator Vol 2 No2.
www.unair.ac.id/846ca0aad4f550398990g00786.pdf.Surabaya. 2010. hal
110-119.
6. Aliah,RahmahRahim,Ganda,IdhamJaya,dan Daud, Dasril. “Nilai
Prognostik Tumor Necrosis Factor Alpha Penderita Demam Berdarah
Dengue Tanpa Renjatan Pada Anak” ,JST Kesehatan Vol 1 No 2.
www.unbraw.ac,id/756cbbaa007896579dacaaa0264.pdf.Malang. 2011.
hal186-196.

25
26

Anda mungkin juga menyukai