Anda di halaman 1dari 16

1.2.

Kabinet Indonesia Masa Demokrasi Liberal ( 1950 – 1959 )

Masa demokrasi liberal banyak partai politik yang ikut berkiprah dalam pemerintahan di
Indonesia. Akan tetapi partai – partai terkuat saling mengambil alih kekuasaan yang
mengakibatkan seringnya terjadi pergantian kabinet. Pada masa demokrasi liberal ini terjadi
tujuh kali pergantian kabinet, yaitu :
2.2.1 Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kabinet Natsir merupakan kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama setelah
bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan. Kabinet Natsir merupakan kabinet
koalisi yang dipimpin oleh Masyumi. Sedangkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang
merupakan partai kedua terbesar saat itu lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak
ikut serta dalam kabinet, karena merasatidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan
yang dimiliknya.
Kabinet ini dipimpin oleh Muhammad Natsir dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh
terkenal yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi pada kancah politik Indonesia saat itu,
diantaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem, Ir. Djuanda
dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Program kerja kabinet Natsir :
1. Menggiatkan atau meningkatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2. Menguatkan konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Irian Barat pada masa ini merupakan wilayah-wilayah negara Indonesia yang
dijadikan boneka bentukan Belanda yang meski telah kembali ke pengakuan negara kesatuan,
tetapi wilayah RI belum sepenuhnya utuh karena wilayah Irian Barat masih dikuasai Belanda.
Oleh karena itu, pemerintah RI berupaya untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda.
Cara yang ditempuh oleh pemerintah RI adalah dengan cara diplomasi, konfrontasi ekonomi, dan
militer.
Hasil kerja :
1. Memetakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.
2. Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
3. Dilaksanakannya perundingan masalah Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
1. Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu
(kegagalan).
2. Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah
Indonesia, yaitu :
a. Gerakan DI/TII
Gerakan DI (Darul Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang pada saat itu mempunyai
keinginan yang tinggi untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia (NII).
Bahkan cita-citanya ini diwujudkan melalui proklamasi yang dikumandangkan pada tanggal 7
Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat. Atas cita-citanya ini, gerakan ini banyak
melakukan pemberontakan pada masa kabinet Natsir diberbagai wilayah Indonesia, seperti di
Jawa Barat, Sulawesi Sealatan, Aceh, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan
b. Gerakan Andi Azis
Gerakan ini merupakan pemberontakan Andi Aziz di makassar (Sulawesi Selatan). Andi Aziz
adalah kapten perwira Koninklije Nederland Indische Leger (KNIL) yang melakukan
pemberontakan disana dengan menyerang APRIS karena menginginkan terbentuknya Negara
Indonesia Selatan (NIT).
c. Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Gerakan ini dipimpin oleh Kapten Raymon Westerling yang merupakan bekas komandan
pasukan KNIL bentukan Belanda di Indonesia. Tujuan gerakan ini adalah untuk
mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara-
negara bagian RIS.
d. Gerakan RMS (Republik Maluku Selatan)
Gerakan ini dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa Agung
Negara Indonesia Timur). Gerakan ini diawali dari ketidaksetujuannya atas terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ketidaksetujuannya ini dikarenakan adanya penggabungan
daerah-daerah negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sehingga ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dar NIT (Negara Indonesia
Timur) yang menjadi bagian RIS dan mendirikan RMS (Republik Maluku Selatan). Bahkan,
pada tanggal 24 April 1950, Soumokil memproklamasikan berdirinya RMS.
Berakhirnya Kekuasaan Kabinet Natsir :

Penyebab jatuhnya Kabinet Natsir dikarenakan kegagalan Kabinet ini dalam


menyelesaikan masalah Irian Barat, terjadi banyak pemberontakan diberbagai daerah dan adanya
mosi tidak percaya dari PNI pada tanggal 22 Januari 1951 menyangkut pencabutan Peraturan
Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th
1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen
sehingga Kabinet Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden pada tanggal 21
Maret 1951.
Penyebab lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang
mendapat kritikan dari partai oposisi.Walaupun demikian terdapat beberapa prestasi yang sempat
ditorehkan pada masa kabinet ini seperti di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah
ekonomi kolonial ke ekonomi nasional,keberhasilan Indonesia masuk PBB serta berlangsung
perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Pergantian Kabinet Natsir ke Kabinet Sukiman :
Setelah kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk Sartono
(ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi
antara PNI dan Masyumi. Namun, usaha tersebut mengalami kegagalan, sehingga ia
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April
1951). Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai
formatur. Walaupun mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk
kabinet koalisi anatar Masyumi dan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu dipimpin
oleh Sukiman dan kemudian dikenal sebagai kabinet Sukiman.

2.2.2 Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Kabinet Sukiman berdiri setelah Kabinet Natsir dibubarkan dan menyerahkan


mandatnya kembali ke presiden. Awalnya presiden menunjuk Sartono (ketua PNI) menjadi
formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha membentuk kabinet koalisi antara PNI dengan
Masyumi. Nemun terus saja usahanya tersebut mengalami kegagalan, mengingat Sartono
merupakan bagian dari PNI saja dan tidak ada dari pihak Masyumi. Sehingga Sartono
mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret – 18
April 1951).
Presiden kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai
formatur. Awalnya kabinet ini banyak mengalami kesulitan namun akhirnya mereka berhasil
membentuk kabinet koalisi antar Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet
koalisi ini dipimpin oleh Sukiman, sehingga dikenal dengan kabinet Sukiman. Kabinet ini,
memiliki 7 pasal yang hampir sama dengan kabinet Natsir, hanya saja beberapa hal mengalami
perubahan dalam skala prioritas.
Program Kerja :
1. Bidang keamanan, menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk
menjamin keamanan dan ketentraman.
2. Sosial-ekonomi,mengusahakan kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaruhi hukum
agraria agar sesuai dengan kepentingan petani. Juga mempercepat usaha penempatan bekas
pejuang di lapangan usaha.
3. Mempercepat persiapan-persiapan pemilihan umum.
4. Di bidang politik luar negeri: menjalankan politik luar negri secara bebas-aktif serta
memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
5. Di bidang hukum, menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian
kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil Kerja :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan
usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan
ketentraman. Banyak hambatan dalam kabinet Sukiman membuat hasil kerja kabinet ini tidak
maksimal.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
1. Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta
Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari
pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana
dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan
memperhatiakan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke
dalam blok barat.
2. Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga
pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
3. Masalah Irian barat belum juga teratasi.
4. Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik, yang menyebabkan keamanan dan ketentraman
semakin tidak stabil yang tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi
pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Kegagalan kabinet Sukiman dianilai dalam penangganan masalah keamanan dalam
negeri, memihaknya Indonesia kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security Act
(MSA) dengan pemerintah Amerika Serikat. Hal ini memicu munculnya pertentangan dari
Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet
tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan
mandatnya kepada presiden.

2.2.3 Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)


Setelah kabinet Sukiman berakhir, pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno
menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi ) menjadi
formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja
selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari
Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat banyak dukungan dari PNI,
Masyumi, PSI.
Program :

1. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan


DPRD). Program untuk menyelenggarakan pemilu ini merupakan program yang
diutumakan dalam kabinet ini.
2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan taraf pendidikan rakyat, dan
pemulihan keamanan rakyat.
3. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian
Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta konsisten menjalankan politik luar negeri yang
bebas-aktif.

Hasil :
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport
Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat. Penerimaan negara menjadi menurun.
Dengan keadaan ekonomi yang semikin silit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi
standart profesional, maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat (berpendidikan rendah)
perlu dikemablikan kepada masyarakat. Hal ini tentu menimbulkan protes dikalangan militer.
Kalangan yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden dan
mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Hal ini menimbulkan kericuhan
dikalagan militer dan menjurus kearah kericuhan.

2. Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih
setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk
mengimport beras.
3. Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan
bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat
ke daerah yang tidak seimbang.
4. Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan.

5. Terjadi Peristiwa 17 Oktober 1952. Adanya konflik ditubuh angkatan darat yang
diawali dari upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga
muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan
membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern
dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang
ditentang oleh Kolonel Bambang Sugeng sehingga ia mengirim petisi mengenai
penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan
parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto
dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Keadaan ini menyebabkan muncul
demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Peristiwa 17 Oktober
1952 adalah peristiwa demonstrasi rakyat terhadap presiden yang menuntuk untuk
pembubaran parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan
samapai diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran
tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak mau m,enjadi dikatator, tetepi
khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi presiden akan ditunggangi mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952
dari Angkatan Dart sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris Jendral Ali Budihardjo dan sejumlah
perwira yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa 17 Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B.
Simatupang dan KSAD A.H. Nasution mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution
kemudian digantikan oleh Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktobert 1952 tidak
menyebabkan jatuhnya kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan menurunnya
kepercayaan masdyarakat terahadap pemerintah.
6. Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera
Timur (Deli). Perkebunan tersebut adalah perkebunan milik orang asing, yaitu perkebunan
kelapa sawit, teh, dan tembakau. Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan
pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan mengembalikan lahan perkebunan mereka
kembalai serta memiliki tanah-tanah perkebunan.

Pemerintah menyetujui tuntutan dari pengusaha asing ini dengan alasan akan
menghasilkan devisa dan akan menarik modal asing lainnya msuk ke Indonesia. Tanah
perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh
para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953
muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI.
Para petanipun melakukan protes kepada polisi dan disambut oleh tembakan polisi sehingga
jatuh korban dikalangan rakyat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Peristwa Tanjung Morawa ini dijadikan sarana oleh
kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela pemerintah. Akibatnya
Kabinet wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953 tanpa
menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.

2.2.4 Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)


Dua bulan setelah Kabinet Wilopo mundur, terbentuk kabinet barau yaitu Kabinet Ali
Satroamijoyo (PNI) sebagai Perdana Menterinya.Kabinet ini merupakan kabinet terakhir
sebelum Pemilihan Umum I ,kabinet ini sering disebut Kabinet Ali-Wongso atau Kabinet Ali-
Wongso-Arifin. Dalam kabinet ini Masyumi sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak
turut serta dan sebagai penggantinya Nahdatul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan politik
baru. Sehingga, kabinet Ali Sastroamijoyo ini merupakan gabungan dari PNI dan NU.
Program Kerja :

1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.


2. Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3. Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4. Penyelesaian Pertikaian politik

Hasil Kerja :
1. Disusunnya kerangka panitia pelaksanaan pemilu.
2. Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada
29 September 1955.
3. Suksesnya Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di Aceh, kabinet Ali mendapat kesulitan dari Persatuan Ulama
Seluruh Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang menuntut Aceh sebagai provinsi dan
meminta perhatian penuh atas pembangunan daerah. Daud Beureueh menilai bahwa tuntutan itu
diabaikan, ia menyatakan Aceh akan menjadi bagian dari NII (Negara Islam Indonesia) buatan
Kartosuwiryo (September 1953). Usaha meningkatkan kemakmuran mengalami kegagalan
karena inflasi dan korupsi yang meningkat.

2. Terjadi Peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam
tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952.
Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh
kabinet. Pengunduran Bambang Sugeng dikarenakan tugasnya sebagai KSAD dinilai terlalu
berat. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima
AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara
pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka
berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3. Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan
gejala membahayakan.
4. Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah akibat banyaknya masalah-masalah yang
belum dapat diselesaikan.Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU
memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkan NU memutuskan untuk
menarik dukungan kepada pemerintah dan menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20
Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Adanya hal ini memaksa Ali Sastroamijoyo harus
mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

2.2.5 Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)


Kabinet Ali digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap bertugas pada periode 12
Agustus 1955- 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiringan dengan
diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Kabinet ini dipimpin oleh Burhanudin
Harahap dari Masyumi.
Program Kerja :
1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan
Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum secara baik, maksimal, dan secepat mungkin menurut
rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat.
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Hasil Kerja :
1. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota
DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar
tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh
suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Setelah hasil pemungutan suara diumumkan
dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret 1956, Kabinet Burhanuddin
Harahap mengundurkan diri, menyerahkan mandatnya kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet
baru berdasarkan hasil pemilihan umum. Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan
kemudian dibentuk kabinet baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.
2. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-
Belanda.
3. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi
militer, salah satunya adalah menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus korupsi di
Departemen Kehakiman.
4. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat kembali Kolonel AH
Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan
ketidaktenangan. Serta banyaknya perseteruan antara para pemenang pemilu yang menyebabkan
sidang parlemen yang menjadi Deadlock.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet, sehingga kabinet pun jatuh. Akan
dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.
Sebenarnya kabinet ini seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak ada mosi tidak
percaya dari parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer, kabinet ini dengan
sukarela menyerahkan mandatnya, setelah berhasil melaksanakan Pemilu baik untuk anggota
DPR maupun konstituante.

2.2.6 Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)


Kabinet Ali Sastroamidjojo II, sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas
pada periode 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957. Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada tanggal
20 Maret 1956 yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU. Kabinet ini merupakan
hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program Kerja :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program
jangka panjang, sebagai berikut.

1. Perjuangan pengembalian Irian Barat ke Indonesia.


2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota
DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai serta menyehatkan dan
menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan
kepentingan rakyat.

Selain itu program pokoknya adalah,


1. Pembatalan KMB, pada tanggal 3 Mei 1956 untuk memperbaiki masalah ekonomi yang
mengalami kesulitan, disusul oleh munculnya gerakan separatisme yang dikenal dengan
PRRI/Permesta.
2. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar
negeri bebas aktif,
3. Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil Kerja :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB, beralihnya
perusahaan Belanda menjadi milik Tionghoa (Cina), kepentingan Belanda diperlakukan sesuai
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa
golongan ini dalam perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa
kota.

2. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada


gerakan sparatisme. Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari beberapa panglima TNI-
AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara membentuk dewan militer, seperti Dewan
Banteng di Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara
pada tanggal 22 Desember 1956. Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di
Sulawesi Utara.
3. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal
pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada
orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat
melindungi pengusaha nasional.
4. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali
Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah.
Sedangkan Ali Sastroamijoyo berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengembalikan
mandatnya hanya karena tuntutan daerah. Kemudian, tidak terima akan hal ini, pada bulan
Januari 1957 Masyumi menarik semua menterinya dari kabinet Ali Sastroamijoyo II. Peristiwa
itu sangat melemahkan kedudukan Ali Sastroamijoyo sehingga pada pada tanggal 14 Maret
1957, Ali Satroamijoyo akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Banyaknya kendala-kendala dalam tubuh Kabinet Ali Sastroamijoyo II dan adanya
pertentangan antara PNI dan Mayumi yang membuat Masyumi menarik para menteri-mentrinya
untuk keluar dari Kabinet, membuat Ali Sastroamijoyo menjadi lemah kedudukannya. Ditambah
dengan banyaknya kedaaan yang sangat kacau dalam negara, membuat Ali Sastroamijoyo
menyerahkan mandatnya kepada presiden.

Karena situasi negara yang kacau akibat terjadinya gerakan separatisme, konflik
dalam konstituante, maka presiden menyatakan negara dalam keadaan bahaya (14 Maret 1957).
Untuk mengatasi keadaan ini Presiden mengumumkan berlakunya undang-undang SOB (negara
dalam keadaan bahaya) dan angkatan perang mendapat wewenang khusus untuk mengamankan
negara di seluruh Indonesia. Pertentangan politik makin meluas, sehinggapembentukan kabinet
baru semakin bertambah sulit. Sementara itu partai-partai masih tetap menempuh cara tawar-
menawar kedudukan dalam bentuk kabinet baru.
Akhirnya atas dasar keadaan draurat itu, presiden menunjuk dirinya sendiri menjadi
pembentuk kabinet. Presiden membentuk kabinet baru yang disebut Kabinet Karya dan
menunjuk Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri.

2.2.7 Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)


Kabinet Karya atau Kabinet Djuanda ini resmi dilantik pada tanggal 8 April 1957 dalam
situasi negara yang sangat memprihatinkan.
Kabinet ini merupakan zaken kabinet (kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak
berdasarkan atas dukungan dari perlemen karena kondisi negara yang dalam keadaan darurat,
tetapi lebih berdasarkan pada keahlian yaitu terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar
pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
Dibawah pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda, terdapat tiga orang wakil Perdana
Menteri, yaitu Hardi, Idham Chalid, dan Leimana. Tugas dari kabinet ini sangatlah berat
terutama menghadapi pegolakan-pergolakan yang terjadi diberbagai daerah, perjuangan
mengembalikan Irian Barat kedalam wilayah Indonesia dan mengatasi masalah ekonomi serta
keuangan ekonomi yang sangat buruk.
Program Kerja :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya,
programnya yaitu :
1. Membentuk Dewan Nasional dan menampung atau menyalurkan aspirasi dari kekuatan-
kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat.
2. Normalisasi keadaan Republik Indonesia.
3. Melancarkan pelaksanaan pembatalan persetujuan KMB.
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat.Mempergiat dan mempercepat proses Pembangunan
Semua program itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi di
daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan
yang sangat buruk.
Hasil Kerja :
1. Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13
Desember 1957, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi
ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan
merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Melalui deklarasi Djuanda yang berhasil
menetapkan lebar wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang
menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Apabila ini diberlakukan, maka wilayah
Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan lain sebagainya.
2. Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan
pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai
titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3. Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 14 September 1957 untuk
meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan
nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI dengan tujuan
agar dapat menormalisasi keamanan negara.
4. Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri
tetapi tidak berhasil dengan baik.
5. Pembersihan pejabat-pejabat yang melakukan korupsi.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :


1. Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat.
Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan
seperti PRRI/Permesta.

Peristiwa pemberontakan PRRI ini dimulai ketika ketua Dewan Banteng pada tanggal 10
Februari 1958 mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat yntuk membubarkan kabinet
Djuanda. Kemudian, ditanggapi oleh oleh ketua parlemen Sartono dan dengan tegas memcat
secara tidak terhormat Achmad Husein, dkk. Setelah pemecatan ini, pada tanggal 15 Februari
1958 Achmad Husein memproklamasikan “Pemerintahan Revolusioner Rebublik Indonesia”
(PRRI) dengan Syariffudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.menanggapi ini, pemerintah
KSAD melakukan usaha musyawarah untuk tidak mendirikan republik didalam negara republik
juga untuk memulihkan keamanan negara. Namun, usaha musyawarah tidak berhasil, sehingga
KSAD melancarkan operasi militer. Operasi ini merupakan operasi gabungan AD, AL, dan AU.
Perlahan-lahan, beberapa kota berhasil dikuasai KSAD seperti Padang, Riau, dan kota-kota
lainpun dapat dikuasai dengan singkat.
2. Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit
dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
3. Terjadi Peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di
depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah
pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk
karena mengancam kesatuan negara.
4. Munculnya Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 10
Februari 1958, yang diketuai oleh Ahmad Husein dan Sumitro Djojohadikusumo. Bersamaan
dengan berdirinya gerakan ini, mereka mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang berisi
tuntutan pembubaran Kbinet Karya dan pembentukan Kkabinet baru yang dipimpinj oleh Moh.
Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selain itu, presiden diminta bertindak secara
konstitusional agar tuntutan itu dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
Namun,kabinet ini juga sempat dihadapkan pada situasi yang sulit ketika
mengalami kegagalan dalam menghadapi pergolakan di di daerah yang semakin
meningkat,sehingga menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya
pemberontakan seperti PRRI/Permesta, keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk
sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan,sehingga mengakibatkan krisis demokrasi
liberal mencapai puncaknya. Sampai pada akhirnya terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa
percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang
menghadir pesta sekolah tempat putra-putrinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957.
Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan
negara.
Pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar
Kabinet Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak
menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan berdirinya
“Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan Syarifudin Prawiranegara
sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta.
Hal itu membuat situasi negara semakin mengkhawatirkan.Pada tanggal 22 April 1959
dihadapan Konstituante,Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945.Anjuran Presiden tersebut diberikan kepada Konstituante
selama kurang lebih tiga tahun berdebat tanpa berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar.
Juga mengenai anjuran presiden tersebut,Konstituante tidak berhasil memberikan kata putus dan
demikian kuatlah kesan bahwa partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak mampu untuk
menembus jalan buntu dengan cara-cara parlementer.Kabinet inipun akhirnya menjadi
demisioner ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga
dimulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai